Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat telah bertanya:
Mohon maaf sebelumnya Kang Im
kalau kita belum pernah kenal secara pribadi sebelumnya. Saya mohon bantuan Kang
Im untuk memberi pencerahan atas masalah yang sedang saya hadapi. Bila suami
berhubungan lagi secara sembunyi-sembunyi dengan mantan pacarnya, bagaimana
hukumnya Kang Im?
Saya kenal banget dengan mantan
pacar suami saya karena kita dulu teman kuliah, dan terus terang saya merasa tidak
nyaman dengan sikap suami saya tersebut. Saya tidak tahu berapa sering mereka
berhubungan karena suami selalu menghapus pesan + log telpon di hape-nya. Cuma
beberapa kali saya sempat melihatnya, itupun buru-buru dihapus oleh suami.
Suami berdalih tidak ada apa-apa diantara mereka, semua laporan sengaja dihapus
supaya saya tidak berpikir macam-macam.
Tapi namanya seorang istri,
mana bisa percaya begitu saja ‘kan, Kang Im. Wong sama mantan pacar lhooo.
Beberapa yang sempat kubaca memang sedikit nostalgia dengan masa lalu sih, dan
itu sempat membuat hati saya terluka. Bagi saya, masa lalu biarlah berlalu,
jangan lagi dihadirkan dalam masa sekarang.
Saya sudah minta ke suami untuk
jujur dan terbuka tentang sms maupun pembicaraan mereka ditelpon, tapi suami tidak
pernah mau bicara sedikitpun. Setiap kali saya secara tak sengaja
mengetahuinya, kita selalu berantem. Bukan karena saya tidak suka mereka
berhubungan, tapi karena ketidakjujuran suami saya.
Saya tidak melarang mereka
menjalin silaturrahim, tapi saya hanya ingin suami terbuka sama saya, tidak
menghapus sms maupun laporan telp-nya di hape-nya agar saya yakin dan percaya bahwa
diantara mereka memang tidak ada apa-apa. Saya tahu, menjalin silaturrahim itu
baik, tapi kalau berpotensi menimbulkan konflik dalam rumah tangga kami,
bagaimana saya harus menyikapinya Kang Im?
Maksud saya, saya hanya ingin
diberi pencerahan masalah adab berhubungan dengan mantan pacar agar tidak
mengganggu keharmonisan rumah tangga pasangan masing-masing. Begitu Kang Im,
matur nuwun.
Sampai saat ini saya juga belum
pernah menegur mantan pacar suami tersebut, meskipun saya tahu dia yang lebih
sering menghubungi suami saya duluan. Bagaimana sebaiknya sikap saya terhadap
mantan pacar suami saya itu Kang Im, saya ingin tetap memegang etika berteman
meskipun sebetulnya saya pengen sekali menegurnya.
Atas segala bantuan Kang Im,
sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih.
-----
Saudaraku yang dicintai Allah,
Sebagai sesama muslim yang
terikat dalam tali persaudaraan yang kuat dalam iman dan Islam, saya ikut
merasakan apa yang saudaraku rasakan. Semoga kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam
menghadapi sikap suami tersebut, dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan
sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya rabbal
‘alamin!
Saudaraku,
Chatting dengan lawan jenis
yang bukan mahram sama halnya dengan berbicara melalui telepon, SMS, dan
berkiriman surat. Semuanya ada persamaan, yaitu sama-sama berbicara antara
lawan jenis yang bukan mahram. Persamaan ini juga mengandung adanya
persamaan hukum.
Sebenarnya berbicara antara
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram pada dasarnya tidak dilarang apabila
pembicaraan itu memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh syara'.
Seperti pembicaraan yang mengandung kebaikan, menjaga adab-adab kesopanan,
tidak menyebabkan fitnah dan tidak berkhalwat.
Dalam sejarah, kita bisa lihat
bahwa isteri-isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara
dengan para sahabat, ketika menjawab pertanyaan yang mereka ajukan tentang
hukum agama. Bahkan ada diantara isteri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menjadi guru para sahabat selepas wafatnya beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, yaitu Sayyidatina Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Saudaraku,
Perhatikan firman Allah SWT. dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 32 berikut
ini:
يَــــٰــنِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ
كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ﴿٣٢﴾
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”, (QS. Al Ahzaab. 32).
Imam Qurtubi menafsirkan
kata 'Takhdha'na (tunduk) dalam ayat di atas dengan
arti lainul qaul (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam
hati. Yaitu menarik hati orang yang mendengarnya atau membacanya adalah
dilarang dalam agama kita.
Saudaraku,
Jelaslah sekarang, bahwa
pembicaraan yang menyebabkan fitnah dengan melembutkan suara merupakan
pembicaraan yang dilarang. Termasuk di sini adalah kata-kata yang diungkapkan
dalam bentuk tulisan. Karena dengan tulisan, seseorang juga bisa mengungkapkan
kata-kata yang menyebabkan seseorang merasakan hubungan istimewa, kemudian
menimbulkan keinginan yang tidak baik.
Adapun khalwat, hukumnya
dilarang dalam agama Islam. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
لَا
يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَــٰــذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ
رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ. (رواه مسلم)
“Sekali-kali tidak boleh setelah hariku ini seorang lelaki masuk
menemui wanita yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya, kecuali jika bersamanya
ada satu atau dua orang lelaki lagi.” (HR. Muslim no. 5641).
Yang tampak dari hadits ini,
kata al-Imam an-Nawawi, menunjukkan bolehnya dua atau tiga orang lelaki
berkhalwat dengan seorang wanita. Namun, yang masyhur menurut ulama mazhab kami
(yakni mazhab Syafi’iyah), khalwat yang seperti itu tetap haram. Adapun hadits
di atas ditafsirkan bahwa hal itu dibolehkan hanya pada orang-orang yang amat
jauh kemungkinannya terjatuh dalam perbuatan fahisyah/keji karena kesalehan
mereka, muru’ah (penjagaan kewibawaan) mereka, atau hal lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. (رواه البخارى
ومسلم)
“Janganlah
sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama
mahram si wanita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Khalwat adalah perbuatan
menyepi yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram dan
tidak diketahui oleh orang lain. Perbuatan ini dilarang karena ia dapat
menyebabkan atau memberikan peluang kepada pelakunya untuk terjatuh dalam
perbuatan yang dilarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ
لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ. (رواه
البخارى ومسلم)
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka
jangan sekali-kali ia berduaan dengan wanita yang tidak ada mahram bersamanya,
karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Khalwat bukan saja dengan duduk
berduaan. Tetapi berbual-bual melalui telepon di luar keperluan syar'i,
juga termasuk berkhalwat. Karena mereka sepi dari kehadiran orang lain,
meskipun secara fisik mereka tidak berada dalam satu tempat. Namun melalui
telepon mereka lebih bebas membicarakan apa saja selama berjam-jam tanpa merasa
dikawal oleh orang lain. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan mantan pacar.
Dan haram juga ialah
perkara-perkara syahwat yang membangkitkan hawa nafsu seperti yang dilakukan
oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dimana sms atau email
atau facebook atau yang serupa dengannya telah menjadi alat untuk memadu kasih
yang memuaskan nafsu di antara keduanya. Memperbincangkan perkara-perkara yang
berbau pornografi, lebih-lebih lagi hukumnya adalah haram.
Saudaraku,
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum chatting
sama dengan menelepon,
sebagaimana yang sudah kita terangkan di atas. Artinya chatting di luar
keperluan yang syar'i termasuk khalwat. Begitu juga dengan sms.
Namun bila ada tuntutan syar'i
yang darurat, maka itu diperbolehkan sesuai keperluan. Di sinilah dituntut adanya
kejujuran kita kepada Allah SWT. dalam mengukur sejauhmana urusan kita tersebut,
apakah benar-benar karena tuntutan syar'i atau hanya sekedar mengikuti hawa
nafsu belaka. Dan kejujuran itu bergantung sejauhmana iman kita kepada Allah.
Jika muraqabatillah kita kuat (yakni merasa diri sentiasa dalam pandangan
Allah), maka itu yang akan menjadi pengawal kita. Jika tidak, maka kita akan
hanyut bersama orang-orang yang terpedaya dengan teknologi modern ini. Na’udzubillahi
mindzalika!
-----
Tentang sikap saudaraku kepada suami untuk jujur dan
terbuka tentang sms maupun pembicaraan mereka ditelpon, tentu saja ini
merupakan langkah yang benar. Karena dengan demikian, maka suami akan merasa dikawal oleh
orang lain sehingga dapat
terhindar dari berkhalwat yang
memang dilarang dalam agama kita (sebagaimana uraian di atas).
Saudaraku mengatakan bahwa menjalin
tali silaturrahim itu baik. Dan
memang demikianlah faktanya. Karena dalam
sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang suka
dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung
hubungan rahimnya (hendaklah
ia senantiasa menjaga hubungan silaturrahim).”
(Muttafaqun ‘alaih).
Namun dalam upaya menjalin tali
silaturrahim tersebut, tentu ada adabnya (sebagaimana uraian di atas). Terlebih
lagi jika hal itu dilakukan oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram.
-----
Saudaraku,
Sudah
menjadi sesuatu yang wajar jika kita berharap agar semuanya berjalan baik-baik
saja. Jika itu terkait dengan suami, maka kita berharap agar sang suami tetap
setia untuk selamanya, dst.
Namun jika
dalam perjalanan waktu kemudian ada kekhilafan dari suami tercinta, maka
berdo’alah kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya
sehingga bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk kemudian segera
bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat
dipertahankan untuk selamanya.
Dan jika pada
akhirnya sang suami menyadari kesalahannya kemudian mulai belajar untuk berubah
ke arah yang lebih baik, sebaiknya maafkanlah kesalahannya. Semoga kelapangan
dada kita dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh
Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan kita kepada-Nya.
Amin, ya rabbal ‘alamin!
Namun jika
ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk)
sehingga saudaraku tidak mampu untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan
semua urusan ini hanya kepada-Nya. Yakinlah, bahwa Allah akan memberikan
keputusan terbaik diantara kita. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana,
sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Al An’aam ayat 18:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ
عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).
Sedangkan
Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an
dalam surat Ar Ruum ayat 6:
وَعْدَ اللهِ لَا
يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَــٰــكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
"(sebagai)
janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum. 6).
Ya… Tuhan
kami,
Berilah
kekuatan kepada kami, sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang
telah Engkau berikan kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami hanya
berharap kepada Engkau. Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin, ya
rabbal ‘alamin!
وَلَوْ أَنَّهُمْ
رَضُوْاْ مَا ءَاتَــــٰــهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ
وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللهُ سَيُؤْتِينَا اللهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا
إِلَى اللهِ رَاغِبُونَ ﴿٥٩﴾
“Jikalau
mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada
mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan
kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah",
(tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah. 59).
Terakhir, marilah kita bersama-sama merenungi
perjalanan hidup sepasang suami-isteri di dunia
ini:
Saudaraku,
√ Bagi sepasang suami-isteri, khususnya bagi suami yang
bekerja sendirian (isteri tidak bekerja), maka sang istri tidak boleh memberikan harta suaminya kepada siapapun, kecuali dengan izinnya.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ فِي
الْمَرْأَةِ تَصَدَّقُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا قَالَ لَا إِلَّا مِنْ قُوتِهَا
وَالْأَجْرُ بَيْنَهُمَا وَلَا يَحِلُّ لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا
إِلَّا بِإِذْنِهِ. (رواه ابو داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, tentang seorang wanita yang bersedekah dari rumah suaminya, ia berkata:
"Tidak dibolehkan kecuali dari makanannya sendiri, dan ganjarannya dibagi
untuk keduanya (istri dan suami). Tidak dihalalkan bagi istri untuk bersedekah
dari harta suaminya kecuali atas izinnya”. (HR. Abu Dawud).
Larangan memberikan harta suami kepada orang lain itu demikian ditekankan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sampai-sampai sekedar memberikan makananpun juga
dilarang tanpa seizin suami.
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ بْنُ
مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ
الْوَدَاعِ يَقُولُ لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا
بِإِذْنِ زَوْجِهَا قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الطَّعَامُ قَالَ ذَاكَ
أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا. (رواه الترمذى)
Hannad menceritakan kepada
kami, Ismail bin Ayasi memberitahukan kepada kami bahwa Syurahbil bin Muslim Al
Bahil berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda didalam khutbahnya pada haji wada': “Janganlah
seorang istri menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya”.
Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah,
tidak juga makanan?” Beliau menjawab: “Makanan adalah harta kita yang paling
utama”. (HR. At-Tirmidzi).
Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri dan
anak-anaknya (beserta ahli waris lainnya, jika ada) bebas menggunakan harta
tersebut tanpa memerlukan izin dari suami karena setelah suami meninggal, maka kepemilikan harta tersebut telah
berpindah kepada ahli warisnya yang
berhak.
√ Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup dan
belum bercerai, maka isteri tidak boleh menikah lagi karena Islam mengharamkan
poliandri, yaitu satu istri bersuamikan dua orang atau lebih.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلَّا
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ ... ﴿٢٤﴾
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. ...”. (QS. An Nisaa’. 24).
Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri boleh
menikah lagi dengan laki-laki lain setelah
melewati masa iddahnya.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al
Baqarah. 234).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Orang-orang yang wafat) atau meninggal
dunia (di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka mereka
menangguhkan), artinya hendaklah para istri itu menahan (diri mereka) untuk
kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh),
maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai
yang hamil, maka iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat
At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu,
menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya,
(mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada
diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan
(secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa
yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin”.
Bolehnya menikah lagi itu menunjukkan bahwa sang istri memang sudah bukan lagi
berstatus istri almarhum. Seandainya statusnya masih istri almarhum, tentu
tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, karena
Islam mengharamkan poliandri (sebagaimana penjelasan di atas).
√ Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup, saat
anak perempuannya akan menikah, maka dia memerlukan ijin darinya selaku wali
nikahnya.
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR.
At-Tirmidzi).
Namun ketika suami telah wafat, maka saat sang anak perempuannya akan menikah, dia tidak lagi memerlukan
ijin darinya karena statusnya sebagai wali nikah telah digantikan oleh orang
lain (sesuai dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau
ayah dari ayah dan seterusnya ke atas, 3. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah
dan seibu, 4. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah saja, 5. anak laki-laki
dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang seayah saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara
laki-laki ayah/sepupu).
Demikian seterusnya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa
kepemilikan seorang suami terhadap hartanya serta terhadap isteri dan
anak-anaknya, hanyalah sebatas nyawa masih dikandung badan (tentunya hal ini
juga berlaku bagi seorang isteri).
Karena ketika seseorang telah wafat, maka semuanya itu
akan dia tinggalkan untuk kemudian dia akan melanjutkan perjalanan berikutnya
(di alam kubur) sendirian. Hingga pada tahap selanjutnya, dia akan datang
menghadap kepada Allah SWT. dengan sendiri-sendiri untuk mempertanggung-jawabkan
semua perbuatannya.
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَــٰــمَةِ فَرْدًا ﴿٩٥﴾
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah
pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS. Maryam. 95).
Setelah berada di Padang Mahsyar,
maka selanjutnya semua akan dihisab satu persatu.
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ ﴿٢٥﴾ ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا
حِسَابَهُمْ ﴿٢٦﴾
”Sesungguhnya kepada Kami-lah
kembali mereka,” (QS. Al Ghaasyiyah. 25). ” kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab
mereka.”. (QS. Al Ghaasyiyah. 26).
Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa kebersamaan kita
dengan pasangan hidup kita ternyata sangatlah sebentar. Karena berapapun
usia kita saat ini, sesungguhnya sisa umur kita tetaplah sangat sedikit. Karena
kita tidak tinggal di dunia ini, melainkan hanya sebentar saja.
قَالَ إِن لَّبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَّوْ أَنَّكُمْ
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١١٤﴾
Allah berfirman: "Kamu
tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya
mengetahui". (QS. Al Mu’minuun. 114).
Ayat tersebut semakin menegaskan, bahwa sesungguhnya
kebersamaan kita dengan pasangan hidup kita ternyata sangatlah sebentar,
meskipun kebersamaan itu dapat bertahan hingga akhir hayat kita.
Oleh
karenanya, silahkan berduka cita tetapi jangan
terlalu berduka cita (apalagi sampai larut di dalamnya) terhadap segala sesuatu
yang luput dari kita, apakah itu berupa kehilangan jabatan, pekerjaan, harta
kekayaan, orang-orang yang kita cintai, dll., termasuk jika saudaraku harus
mendapati kemungkinan terburuk (kehilangan suami tercinta karena beliau wafat,
atau karena pergi meninggalkan saudaraku begitu saja atau sebab-sebab lainnya).
Ingatlah, bahwa pada hakekatnya semuanya itu hanyalah titipan Allah semata. Karena
sesungguhnya Allah-lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, termasuk
jiwa dan raga kita.
لِكَيْلَا تَأْسَوْا
عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَـــٰــكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ﴿٢٣﴾
“(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira* terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,” (QS. Al Hadiid. 23). *) Yang dimaksud dengan terlalu
gembira disini adalah gembira yang telah melampaui batas, yang menyebabkan
kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.
Saudaraku,
Satu hal
yang harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim/muslimah
yang baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata.
Kalaupun
kita harus mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua,
anak, saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah
Allah semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya). Dan jika
suatu ketika Allah memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita,
maka (karena cinta kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal:
ketika tiba-tiba sang istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus
berupaya semaksimal mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang
istri tetap tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia. Sekalipun kecantikannya
masih membuat kita terpesona, juga kelembutan sikapnya, dll. (Semoga hal ini
tidak sampai terjadi pada istri/suami kita. Amin, ya rabbal ‘alamin!)
Sedangkan
terkait sikap mantan
pacar suami yang lebih sering menghubungi suami duluan, maka
terhadap hal ini saudaraku bisa bersandar pada hadits berikut ini:
Dari Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang
siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan
lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Jadi,
tidak masalah jika saudaraku menegur mantan pacar suami agar tidak lagi menghubungi suami. Kalaupun
harus menghubungi suami, maka sampaikan adabnya (sebagaimana uraian di
atas).
Saudaraku,
Satu hal yang harus kita perhatikan saat menyampaikan
dakwah kepadanya (serta kepada saudara kita yang lainnya), bahwa kita musti
berendah diri dan berlaku lemah lembut. Sikap merendahkan diri serta berlaku
lemah lembut dihadapannya, jelas akan lebih dapat mendatangkan simpati
dibandingkan sikap angkuh dan kasar. Demikian contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dalam
berdakwah, sebagaimana telah diperintahkan Allah SWT. dalam surat Asy Syu’araa’
ayat 215:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
﴿٢١٥﴾
“dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. Asy Syu’araa’. 215).
Sedangkan dalam ayat yang lain, kita juga diperintahkan
untuk berdakwah bil hikmah (dengan hikmah) dan memberi pelajaran yang baik atau
nasihat yang lembut dan membantahnya dengan bantahan yang baik pula, dengan hujjah-hujjah
(keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang jelas.
اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah*
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (QS. An Nahl. 125). *) Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar
yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Disamping harus kita sampaikan dengan cara yang baik
sebagaimana penjelasan surat Asy Syu’araa’ ayat 215 serta surat An Nahl ayat
125 di atas, kita juga musti belajar banyak terhadap apa yang telah dilakukan
oleh Nabi Musa AS., dimana beliau telah menyampaikan dakwah kepada Fir’aun dengan
kata-kata yang lemah lembut sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat Thaahaa
berikut ini:
اِذْهَبْ أَنتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي
ذِكْرِي ﴿٤٢﴾ اِذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ
إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ ﴿٤٤﴾
(42) “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa
ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku”; (43) “Pergilah
kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”; (44) “maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaahaa. 42 – 44).
Nah, jika kepada Fir’aun saja Allah telah memerintahkan
Musa AS. untuk menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi
kepada saudara sesama muslim!
Saudaraku tidak perlu khawatir jika mantan pacar suami
tersebut pada akhirnya akan bersikap buruk kepada diri saudaraku (setelah
saudaraku berupaya menyampaikan dakwah kepadanya dengan cara yang baik). Kita
tidak perlu takut, karena sesungguhnya Allah beserta kita/Allah akan membantu kita!
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَا
أَوْ أَن يَطْغَىٰ ﴿٤٥﴾ قَالَ لَا تَخَافَا
إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ ﴿٤٦﴾
(45) Berkatalah mereka berdua: "Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah
melampaui batas". (46) Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua
khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat". (QS. Thaahaa. 45 – 46).
Beliau
mengatakan: “Alhamdulillah. Terimakasih sekali atas segala bantuan Pak Imron,
sudah terasa lega hati saya dengan pencerahan njenengan, in sya Allah saya bisa
lebih sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah saya. Semoga Allah SWT
melimpahkan segala kebaikan untuk Pak Imron dan keluarga. Aamiin. Matur nuwun
sanget Pak Im”.
Alhamdulillah, Ya Rabb!
Engkau telah memberi
kesempatan kepada hamba untuk menguatkan saudara hamba yang saat ini sedang
mengalami cobaan yang teramat berat ini!
Ya Rabb!
Semoga Engkau berkenan memberi kekuatan kepada hamba,
sehingga hamba tetap mampu untuk terus menebar kebaikan kepada sesama, hingga
akhir hayat hamba. Amin, ya rabbal ‘alamin!
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Jabir r.a berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “..., Dan sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia
yang lain”. (HR. at-Thabrani).
Demikian hasil dialog ini,
Semoga
bermanfaat!