Assalamu’alaikum
wr. wb.
Saat hendak menyampaikan kajian rutin di Jurusan Teknik
Industri Universitas Trunojoyo Madura, seorang teman sejawat (dosen
Universitas Trunojoyo Madura) telah menyampaikan
pertanyaan sebagai
berikut: “Titipan pertanyaan dari Pak Fulan (nama samaran/bukan nama sebenarnya),
muallaf di Pontianak yang beristri 9. Di Al Qur’an
disebutkan boleh menikah dengan 2, 3 atau 4, tapi
kalau nggak sanggup adil dengan seorang istri saja. Khan nggak disebutkan 5, 6,
7 atau 8, 9. Boleh dong saya berijtihad. Tolong jawabannya Pak Ustadz, kalau
nggak berani beristri banyak, jangan nyalahin orang doooong...”.
Saudaraku,
Sebenarnya perkara
ini dalam Islam sudah sangat jelas. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an
surat An Nisaa’ ayat 3 berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَـــٰمَىٰ فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـــٰثَ وَرُبَـــٰعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً ... ﴿٣﴾
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
…” (QS. An Nisaa’. 3).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit
bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku
adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan
arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau
empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu.
(kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam
giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini
...”.
Saudaraku,
Dari penjelasan di atas, sudah sangat jelas bahwa dalam
Islam seorang laki-laki diperbolehkan memiliki istri maksimal 4 orang saja (artinya
memiliki istri lebih dari empat itu dilarang).
Selain penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat
An Nisaa’ ayat 3 di atas, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi juga menegaskan larangan memiliki istri lebih dari empat tersebut.
Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa
salah seorang sahabat bernama Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu
‘anhu masuk Islam dalam keadaan ia memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di
masa jahiliyah. Seluruh istri tersebut juga masuk Islam
bersamanya. Namun Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintah Ghailan memilih empat orang
dari istri-istrinya tersebut (dan menceraikan yang lain). Berikut bunyi hadits tersebut
selengkapnya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ
بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه
وسلم - أَنْ
يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ. (رواه الترمذى)
Dari Ibnu ‘Umar, Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy baru
masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya
tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya. (HR. Tirmidzi).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan:
أمسك أربعا وفارق سائرهن
“Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.” (HR. Ibnu
Hibban).
Saudaraku,
Seandainya diperbolehkan memiliki lebih dari empat istri,
tentu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk menceraikan istri yang lain dan menyisakan
empat orang saja.
Selain hadits di atas, Ibnu Majah dan Abu Daud juga telah
meriwayatkan, dimana salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Qais
ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Aku masuk Islam, sementara waktu itu
aku beristri delapan. Aku pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan kepada beliau tentang
hal itu. Beliau pun bersabda:
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
‘Pilihlah saja empat dari mereka.”
Hadits tersebut selengkapnya adalah sebagai
berikut:
عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم
- فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ
« اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا »
Dari Qois bin Al Harits, berkata,
“Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan orang istri. Aku pun mengatakan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu beliau
bersabda: Pilihlah empat saja dari mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud).
Sehingga dari uraian di atas, dengan sangat mudah bisa
kita simpulkan bahwa Islam telah melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari empat. Sedangkan bagi yang sudah terlanjur memiliki
istri lebih dari empat, diperintahkan untuk menceraikan yang
lain.
Saudaraku,
Satu hal yang harus kita ingat, bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berkata-kata tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu
yang diturunkan kepada beliau.
قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُّعَاءَ
إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang
yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al
Anbiyaa’. 45).
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى ﴿١﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى ﴿٢﴾ وَمَا
يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾ عَلَّمَهُ شَدِيدُ
الْقُوَى ﴿٥﴾ ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى ﴿٦﴾
(1) “Demi bintang ketika terbenam”, (2) “ kawanmu
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru”, (3) “dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”. (4) “Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”, (5) “yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat”, (6) “Yang mempunyai akal yang
cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli”. (QS. An Najm.
1 – 6).
Saudaraku,
Karena beliau adalah seorang nabi dimana setiap ucapan
dan perintahnya bukan berasal dari hawa nafsunya melainkan wahyu dari Allah SWT.,
maka terhadap apapun yang datang dari beliau (serta terhadap apapun yang datang
dari Allah SWT.), maka sikap kita
adalah: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (kami mendengar dan kami patuh). Artinya terhadap apapun yang datang dari beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam serta terhadap apapun yang datang dari Allah SWT., kita terima dan kita laksanakan apa adanya (seutuhnya)
tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.
Allah SWT. berfirman dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat
51:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ
لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami
patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An
Nuur. 51).
Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36, Allah
SWT. berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36)
Saudaraku,
Ambillah
seluruh hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa terkecuali, baik
yang kita senangi maupun yang tidak kita senangi. Ikutilah syariat itu semuanya
(tanpa terkecuali) dan janganlah kita mengikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.
Kita tidak
boleh mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah,
yaitu hukum-hukum yang kita senangi saja, sementara hukum-hukum yang lain yang
tidak kita senangi kita buang begitu saja. Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur'an surat
Al Baqarah ayat 208:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا
تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).
Dari Al Qur'an
surat Al Baqarah ayat 208 tersebut, diperoleh penjelasan bahwa kita
diperintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya. Artinya kita
tidak boleh mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah, yaitu hukum-hukum yang kita senangi saja, sementara
hukum-hukum yang lain yang tidak kita senangi kita buang begitu saja. Jika hal
ini yang kita lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan membuang
sebagian yang lainnya), maka tanpa kita sadari, kita telah memperturutkan
langkah-langkah syaitan. Padahal, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kita. Na’udzubillahi mindzalika!
...
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَن
يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ
يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
“...
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat”. (QS. Al Baqarah. 85).
Saudaraku,
Jika kita hanya mengambil Islam sebagian saja, atau
bahkan ingin sepenuhnya mengambil hukum-hukum lain (selain yang ditetapkan oleh
Allah), lalu apakah hukum Jahiliyah yang kita kehendaki? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum
Allah bagi orang-orang yang yakin?
أَفَحُكْمَ الْجَـــٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maa-idah. 50).
Lebih dari
itu semua, Allah juga telah memberikan peringatan yang sangat keras sebagaimana
firman-Nya dalam surat Al Mu’minuun ayat 71 berikut ini:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
﴿٧١﴾
“Andaikata kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang
ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan
mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. Al Mu’minuun. 71).
-----
Pak Fulan
mengatakan: “... Boleh dong saya berijtihad”.
Saudaraku,
Untuk segala sesuatu yang
hukumnya sudah disebutkan secara jelas dalam nash Al Qur'an dan Al Hadits, maka
dalam hal ini sama sekali tidak diperlukan ijtihad. Contohnya tentang hukum memakan daging babi. Dalam hal ini sama sekali tidak diperlukan ijtihad karena hukumnya sudah disebutkan secara jelas (secara eksplisit) dalam nash Al Qur'an:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا
إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٧٣﴾
”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah. 173).
Demikian juga terhadap perkara di atas, yaitu tentang
larangan dalam Islam untuk beristeri lebih dari empat orang.
Sedangkan untuk segala
sesuatu yang hukumnya tidak disebutkan secara jelas dalam nash Al Qur'an dan Al
Hadits, maka dalam kasus-kasus seperti ini diperlukan ijtihad.
Meskipun demikian, tidak sembarang orang boleh berijtihad, karena dalam hal ini diperlukan syarat keilmuan yang sangat luas serta
metodologis dalam mengeluarkan suatu fatwa.
Jadi untuk
persoalan-persoalan yang tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al
Qur'an dan Al Hadits itu, maka hal ini merupakan wilayah ‘ulama’* untuk mendiskusikannya (didiskusikan oleh ulama yang memang benar-benar
punya kompetensi dan memiliki syarat-syarat untuk berijtihad). Kemudian
ditafsirkan berdasarkan keilmuan dan metodologi agama, dan akhirnya lahirlah
fatwa, yang tujuan akhirnya adalah solusi dari permasalahan ummat.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam hal ini “ada atau tidak adanya fatwa”, hal yang tidak jelas tersebut sebenarnya tetap memiliki
hukum (tetap ada hukumnya apakah halal, mubah, haram atau wajib maupun sunnah). Fatwa hanya
memperjelas untuk mempermudah ummat.
Jadi, untuk
persoalan-persoalan yang tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al
Qur'an dan Al Hadits, jika sekiranya kita belum mampu, maka sebaiknya (jalan
selamatnya) adalah dengan mengikuti fatwa tersebut.
Saudaraku,
Akan sangat berbahaya, berijtihad bagi siapa saja yang
ilmunya masih sedikit tentang Islam. Ini tak ubahnya seperti seorang buta yang baru meraba belalai gajah,
lantas menyimpulkan bahwa ternyata gajah itu sejenis hewan yang bentuknya
seperti ular. Alhasil, si buta
merasa benar dalam mengambil kesimpulan karena merasa didukung oleh bukti yang
sangat meyakinkan. (Wallahu a'lam).
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kesalahan/kekhilafan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Yang dimaksud dengan ‘ulama' ( عُلَمَاءُ
) adalah orang-orang yang berilmu (bentuk jamak/plural), bentuk tunggal/mufrad/singular-nya: ‘alim ( عَالِمٌ ) = orang yang berilmu.