Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku,
Sebagai hidangan spesial dari Allah SWT. bagi
hamba-hamba-Nya, maka ketika diperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an di hadapan
kita, sudah semestinya jika kita sambut dengan baik hidangan dari Allah
tersebut. Demikian juga ketika dihadapan kita ada ‘alim/‘ulama', ustadz
maupun saudara kita yang lain yang memberikan kajian/mengajak kita untuk
memaknai Al Qur’an1, tentunya akan sangat tidak pantas jika kita
abaikan/kita tinggalkan kajian itu begitu saja, apalagi sampai membencinya.
Jika ini yang kita lakukan, dimana ketika di hadapan kita
diperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an, ketika dihadapan kita ada ‘alim/‘ulama', ustadz
maupun saudara kita yang lain yang memberikan kajian/mengajak kita untuk
memaknai Al Qur’an, kemudian kita abaikan/kita tinggalkan begitu saja (apalagi
sampai membencinya), maka ketahuilah bahwa terkait
hal ini, Allah telah memberikan peringatan yang sangat keras!
أَفَبِهَــٰـذَا
الْحَدِيثِ أَنتُم مُّدْهِنُونَ ﴿٨١﴾
Saudaraku,
Marilah kita perhatikan ilustrasi berikut ini:
Ketika kita masih kecil dan masih tinggal serumah dengan
orang tua kita, kemudian pada suatu saat ayah kita sedang menasehati kita namun
kita cuek saja atas nasehat-nasehat ayah kita bahkan kemudian kita meninggalkan
begitu saja ayah kita yang sedang menasehati kita tersebut, hingga hal ini
telah membuat ayah kita memanggil kita dengan nada marah sambil berkata: “Le2,
berarti kamu ini telah menganggap remeh saja ya, omongan/nasehat ayahmu ini!”.
Mendengar teguran keras dari ayah kita tersebut, tentunya
kita akan sangat ketakutan. Sehingga kita akan segera berbalik arah untuk
segera menghadap kepada ayah kita dan segera memohon maaf atas kekhilafan kita
tersebut.
Pelajaran Untuk Kita Semua
Saudaraku,
Jika terhadap teguran ayah kita saja telah membuat kita
ketakutan, lalu bagaimana lagi jika yang menegur adalah Allah SWT? Pemilik
semua yang ada di langit dan yang ada di bumi ini?
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٤﴾
“Kepunyaan-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Asy Syuura. 4).
Sekali lagi, jika terhadap teguran ayah kita saja telah
membuat kita ketakutan, lalu bagaimana lagi jika yang menegur adalah Allah SWT?
Pemilik semua yang ada di langit dan yang ada di bumi ini? Tentunya akan
lebih-lebih lagi takut kita kepada-Nya.
Sehingga akan sangat mudah dipahami, bahwa ketika di
hadapan kita diperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an, ketika dihadapan kita ada ‘alim/‘ulama', ustadz
maupun saudara kita yang lain yang memberikan kajian/mengajak kita untuk
memaknai Al Qur’an, maka tidak ada pilihan lain bagi kita selain daripada
menyambutnya dengan baik, karena sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang
sangat mulia yang diturunkan dari Tuhan semesta alam, dan tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan.
Saudaraku,
Demikianlah seharusnya sikap kita sebagai orang-orang
yang beriman ketika diperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an/ketika ada ajakan untuk
memaknai Al Qur’an.
Sedangkan apabila kita berada pada posisi/diberi
kesempatan oleh Allah untuk menyampaikan dakwah/mengajak saudara-saudara kita
untuk memaknai Al Qur’an, maka satu hal yang harus kita perhatikan adalah bahwa
hal itu harus kita lakukan/kita niatkan hanya karena Allah semata.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (QS. Al An’aam.
162). “tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS.
Al An’aam. 163).
Sedangkan apabila pada saat kita menyampaikan
dakwah/mengajak saudara-saudara kita untuk memaknai Al Qur’an, kemudian satu
per satu diantara mereka meninggalkan kita sebelum kita selesai menyampaikan
dakwah tersebut, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka para Nabi itu telah
menyampaikan dakwah kepada ummatnya tanpa meminta
upah sedikitpun. Mereka para Nabi itu hanyalah berharap upah dari Allah semata,
karena upah dari Allah adalah lebih baik dan Dia adalah Pemberi rezki Yang
Paling Baik.
Perhatikan petunjuk yang diberikan Allah SWT. ketika kita
menghadapi situasi yang sulit seperti ini:
فَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ إِنْ
أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿٧٢﴾
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak
meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah
belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah
diri (kepada-Nya)". (QS. Yunus. 72).
Sedangkan terhadap saudara-saudara kita yang telah
meninggalkan dakwah kita/yang telah meninggalkan ajakan kita untuk memaknai Al
Qur’an, tentunya kita tidak boleh memandang rendah mereka. Karena ketika
kita sedang memandang rendah orang lain, maka pada saat itu pula tanpa kita
sadari kita telah merasa lebih tinggi daripada mereka. Kita juga
tidak boleh menjelekkan mereka, karena ketika kita
sedang menjelekkan orang lain, maka pada saat itu pula tanpa kita sadari
kita telah merasa lebih baik daripada mereka. Demikian seterusnya.
Dalam hal ini, maka sikap terbaik kita adalah dengan
memandang mereka sebagai saudara-saudara kita yang barangkali belum mengetahui
tentang adanya teguran yang sangat keras dari Allah terkait sikap mereka (baca
kembali surat Al Waaqi’ah ayat 81 di atas), sehingga menjadi tugas kita untuk
terus berupaya mengingatkan mereka.
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ
أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللهِ وَمَا أَنَاْ بِطَارِدِ الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّهُم
مُّلَــٰـقُو رَبِّهِمْ وَلَــــٰـكِنِّي أَرَىـٰـكُمْ قَوْمًا تَجْهَلُونَ ﴿٢٩﴾
“Dan
(dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu
(sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali
tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan
bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".
(QS. Huud.
29).
Ya Rabbi,
Berilah kesempatan kepada hamba untuk menyampaikan dakwah
kepada saudara-saudara hamba. Semoga Engkau berkenan memberi kekuatan kepada
hamba, sehingga hamba tetap mampu untuk terus menebar dakwah kepada sesama,
hingga akhir hayat hamba. Amin, ya rabbal ‘alamin!
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Jabir r.a berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “..., Dan sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi
manusia yang lain”. (HR. at-Thabrani)
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Memaknai Al Qur’an identik dengan membacanya,
memahaminya, menghayatinya dan mengamalkan pesan-pesan moral dan spiritualnya
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
begitu, Al Qur’an sebagai
petunjuk kehidupan manusia dapat berfungsi.
لَقَدْ كَانَ فِي
قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَـــٰبِ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَـــٰـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى
وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ ﴿١١١﴾
“Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan
(kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (QS. Yusuf. 111).
2) Le = panggilan orang tua kepada
anak laki-laki dalam Bahasa Jawa.