Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang teman (dosen di Yogyakarta) telah memberi komentar
terhadap artikel “Mengikhlaskan
Hutang (i)” dengan komentar
sebagai berikut: “Kalau yang kesusahan, iyalah. Tapi saya ada beberapa
(yang) memang tidak ada niat bayar. Kalau yang seperti itu, baiknya bagaimana
Pak Imron?”
Saudaraku,
Sebagai pihak yang memberi pinjaman, tentunya saudaraku
berhak untuk menagih hutang tersebut. Sebaliknya, bagi orang yang telah
berhutang kepada saudaraku, maka kewajiban dia untuk mengembalikan hutangnya
tersebut. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ
يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin
itu terkatung-katung dengan sebab hutangnya
sampai hutang dilunasi”. (HR. Ahmad, Imam at-Tirmidzi, Imam ad-Darimi, Imam Ibnu
Mâjah).
Hadits ini menunjukkan bahwa
seseorang akan tetap disibukkan dengan hutangnya
walaupun ia telah meninggal dunia. Hadits ini juga menganjurkan agar kita
melunasi hutang
sebelum meninggal dunia. Dan hadits
ini juga menunjukkan bahwa hutang
adalah tanggung jawab yang
berat.
Saudaraku,
Selain hadits di atas yang menunjukkan bahwa hutang
adalah tanggung jawab yang berat, hadits berikut ini juga menjelaskan betapa
beratnya tanggung jawab terhadap hutang tersebut sehingga orang yang mati
syahid-pun tidak akan diampuni dosanya jika dosa tersebut terkait dengan
hutang.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ.
(رواه مسلم)
“Orang yang mati
syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali hutang”. (HR. Muslim).
Terlebih lagi jika yang bersangkutan memang tidak ada
niat untuk membayar hutangnya, maka dia benar-benar akan bertemu Allah sebagai seorang
pencuri. (Na’udzubillahi mindzalika).
Dari Shuhaib bin al-Khair radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَـا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا وَهُوَ مُـجْمِعٌ
أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللّٰـهَ سَارِقًا. (رواه ابن ماجه)
“Siapa saja yang
berutang, sedang ia berniat tidak melunasi hutangnya maka ia akan bertemu
Allah
sebagai seorang pencuri”. (HR. Ibnu Mâjah).
Saudaraku,
Mengingat betapa beratnya tanggung-jawab terhadap hutang
tersebut, maka sebaiknya saudaraku ingatkan akan tanggung-jawabnya untuk
mengembalikan hutangnya.
Jika saudaraku mempunyai kekuasaan, hendaknya saudaraku
ingatkan dengan kekuasaan. Namun jika saudaraku tidak mampu menagih hutangnya dengan tangan/kekuasaan, maka dengan lisan saudaraku. Artinya jika
saudaraku mempunyai bekal ilmu yang cukup, sebaiknya saudaraku ajak untuk
berdiskusi dengan menyertakan hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang
kuat disertai dengan dalil-dalil yang mendasarinya, dengan
harapan semoga yang bersangkutan bisa segera mengembalikan hutangnya.
Dari Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang
siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan
lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Ada satu hal yang harus saudaraku perhatikan saat saudaraku
mengingatkan akan tanggung-jawabnya untuk mengembalikan hutangnya, bahwa saudaraku
(dan kita semua) juga musti belajar banyak terhadap apa yang telah dilakukan
oleh Nabi Musa AS., dimana Beliau telah mengingatkan Fir’aun dengan kata-kata
yang lemah lembut sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat Thaahaa berikut
ini:
اِذْهَبْ أَنتَ وَأَخُوكَ
بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي ﴿٤٢﴾ اِذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا
لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ ﴿٤٤﴾
(42) “Pergilah
kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua
lalai dalam mengingat-Ku”; (43) “Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas”; (44) “maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut". (QS. Thaahaa. 42 – 44).
Nah, jika kepada Fir’aun saja Allah telah memerintahkan
Nabi Musa AS. untuk mengingatkannya dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi
kepada saudara sesama muslim.
Sedangkan jika saudaraku sudah mengingatkannya namun
ternyata tetap tidak ada tanda-tanda dari yang bersangkutan untuk melunasi
hutangnya, maka saudaraku tidak perlu berkecil hati. Santai
saja wahai saudaraku, karena uang tersebut akan tetap menjadi hak saudaraku
dan dia juga tetap harus mengembalikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا
بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ. (رواه ابو داود)
“Tidak halal harta
seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” (HR. Abu Dawud).
Jika dia tidak bersedia untuk
mengembalikannya ketika masih hidup di dunia ini (atau minta dihalalkan), maka
kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya.
Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ، فَلَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ
وَلَا دِرْهَمٌ، وَلٰكِنَّهَا الْـحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ. (رواه أحمد)
“Barangsiapa
meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki tanggungan hutang, sedang di
sana tidak ada dinar dan tidak juga dirham, akan tetapi yang ada hanya kebaikan
dan kejelekan”. (HR.
Ahmad dari Ibnu ‘Umar r.a.)
Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ عِنْدَهُ لِأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارًا وَلاَ
دِرْهَمًا. إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْ حَسَناَتِهِ بِقَدْرِ
مَظْلَمَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٍ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ
صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه
البخارى)
“Siapa yang memiliki
kezaliman terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta kehalalan saudaranya
tersebut pada hari ini, sebelum datang suatu hari saat tidak berlaku lagi dinar
dan tidak pula dirham. Jika ia memiliki amal saleh, akan diambil dari
kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang diperbuatnya lalu diserahkan
kepada orang yang dizaliminya. Apabila ia tidak memiliki kebaikan, akan diambil
kejelekan saudaranya yang dizaliminya lalu dibebankan kepadanya.” (HR.
al-Bukhari).
Meskipun demikian, jika saudaraku berkenan untuk mengikhlaskan
hutang tersebut (meskipun yang bersangkutan sebenarnya mampu untuk
mengembalikan hutangnya), maka saudaraku juga akan mendapatkan kemuliaan
sebagaimana penjelasan hadits berikut ini. (Wallahu a'lam).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ
اللهُ انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْرًا غَيْرَ
أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِرًا يَسَّرْتُ
عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِرًا أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ.
قَالَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ. (رواه أحمد)
“Ada seseorang
didatangkan pada hari kiamat. Allah berkata (yang artinya), “Lihatlah
amalannya”.
Kemudian orang tersebut berkata:
“Wahai Rabbku. Aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku
memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang
yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap
orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai
dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya): “Aku lebih berhak
memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni”. (HR. Ahmad).
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kesalahan/kekhilafan.
Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{ Bersambung; tulisan ke-2 dari 3
tulisan }
NB.
Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam
selalu berdo’a agar terlindung
dari hutang. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berdo’a
dalam shalatnya:
اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَسِيحِ
الدَّجَّالِ، وَأَعُوذُبِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْـمَمَـاتِ، اَللّٰهُمَّ
إِنِّـيْ أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْـمَأْثَمِ وَالْـمَغْرَمِ
Ya Allah sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepadamu dari fitnah
al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan fitnah
mati. Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.
Ada seorang yang bertanya
kepada Beliau:
“Mengapa engkau sering kali berlindung kepada Allah dari hutang?”. Beliau menjawab:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ،
وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya,
apabila seseorang terlilit hutang,
maka bila berbicara ia akan dusta dan bila berjanji ia akan pungkiri”. (HR. al-Bukhâri dan
Muslim, dari ‘Aisyah r.a.)