Assalamu’alaikum wr. wb.
Saat aku sedang menikmati perjalanan dengan kereta api dari
Blitar menuju Surabaya, seorang akhwat (dosen sebuah perguruan tinggi negeri di Manado) telah
menyampaikan pesan via WhatsApp di sebuah grup dosen dengan pesan sebagai
berikut: “Mau tanya Pak Imron. Waktu perjuangan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dulu, adakah orang yang abu abu, yang pura-pura baik sama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi dibelakang Nabi ingin menghancurkan
Nabi. Pingin tahu sejarahnya”.
Saudaraku,
dakwatuna.com – Di
dalam buku-buku sirah nabawiyah sudah banyak dijelaskan kisah masyhur orang
munafik di kalangan Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah. Ya, dialah sang
tokoh munafik Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul.
Sebelum
Rasulullah hijrah ke Madinah, kedua suku besar di Madinah yaitu suku Aus dan
Kajraj ingin memulai sebuah perdamaian dengan akan diangkatnya seorang pemimpin
dari kalangan mereka. Setelah
bermusyawarah mereka-pun
sepakat untuk mengangkat Abdullah bin Ubay bin Salul untuk menjadi pemimpin
besar kedua suku tersebut.
Hingga pemimpin itu
sudah dipersiapkan untuk upacara pembai’atan, datanglah Rasulullah SAW yang
hijrah dari Mekah menuju Madinah. Kaum muslimin di Madinah pun menyambutnya
dengan suka cita. Dengan datangnya seorang Rasul di kalangan mereka, maka
otomatis pemimpin tertinggi kaum muslimin adalah Rasulullah SAW. Dengan begitu
gugurlah jabatan Abdullah bin Ubay bin Salul untuk menjadi pemimpin mereka.
Dari kejadian
tersebut muncullah dalam diri Abdullah bin Ubay bin Salul perasaan kecewa,
dengki, iri dan marah atas gagalnya ia menjadi pemimpin Madinah. Perasaan itu
senantiasa ia bakar dengan perbuatan-perbuatan yang tujuannya merusak kesolidan
kaum muslimin.
Walaupun ia juga
ikut masuk Islam, namun hatinya menolaknya. Ia berpura-pura baik terhadap kaum
muslimin, juga senantiasa mengikuti ibadah-ibadah yang dilaksanakan kaum
muslimin. Namun di sisi lain ia terus mengobarkan kebencian dan menghasut semua
sahabat-sahabat Rasulullah untuk membenci Rasulullah. Allah menutup pintu
hatinya dari hidayah, hingga ia matipun masih dalam keadaan munafik.
Dengan melihat kisah
tersebut, kita tahu bahwa di dalam barisan dakwah yang dipimpin seorang Rasulullah-pun masih ada orang
munafik yang tumbuh subur dan menggerogoti barisan dari dalam. Di antara tujuan
mereka melakukan adalah:
membuat kekacauan di kalangan internal, memprovokasi dan menebarkan perpecahan
dalam barisan para pejuang. Dan yang paling berbahaya adalah mereka meneliti
rencana para dai dan rahasia para pejuang dan memberikan informasi-informasi
berharga tersebut kepada pihak-pihak tertentu dari musuh-musuh dakwah.
Salah seorang pakar
tafsir Prof. Dr. Zaid Umar al ‘Ishi ketika menjelaskan Surat Al Munafiqun
beliau menyatakan bahwa Surat Al-Munafiqun adalah surat yang menjelaskan
tentang pergerakan dan manuver kaum munafik. Isi dari surat ini adalah
menjelaskan tentang bagaimana penyusupan kaum munafik dalam kehidupan kaum
muslimin. Berkaitan akan bahaya tipu daya dan manuver mereka, maka Allah
memberikan rambu-rambu sebagaimana dalam firman-Nya:
وَإِذَا
رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِن يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ
كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ
الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ قَـــٰــتَلَهُمُ اللهُ
أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ ﴿٤﴾
Dan
apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika
mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan
kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras
ditujukan kepada mereka. Mereka (orang-orang munafik) itulah musuh (yang
sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka.
Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?
(QS. Al-Munaafiquun. 4).
Kisah tentang kaum
munafik bukanlah sebatas dongeng pengantar tidur. Namun, kisah tentang munafik
harus dijadikan pelajaran bahwa kalangan ini akan terus eksis selama di sana
masih ada yang namanya komunitas mukmin. Dan ini sebenarnya bisa diatasi dengan
adanya filter ketat, baik ketika masih berada dalam fase dakwah, persiapan
maupun ketika dalam kondisi meletusnya semangat berjuang.
Nashir Al Jullail
menyatakan: “Hendaknya barisan kaum muslimin dibentengi dari infiltran yang
menampakkan keshalehan, kecintaannya kepada dakwah dan jihad. Sehingga mereka
(kalangan munafik) tidak bisa masuk menembus barisan para da’i. Karena mereka
akan berusaha masuk lebih jauh hingga sampai kepada pemangku kebijakan atau
dalam level yang bisa memberikan pengaruh dalam perjalanan dakwah”.
Adapun
saran yang ditawarkan oleh Al Jullail selain yang sudah disebutkan sebelumnya,
agar terbebas dari infiltrasi adalah: peduli akan terbentuknya pribadi-pribadi
yang kokoh, melakukan pembinaan dan pendidikan terhadap para kader meskipun
memakan waktu yang cukup panjang, tidak memberikan posisi yang strategis
kecuali sosok-sosok yang sudah teruji pendidikannya, kesabaran, keutamaan,
ketaqwaan dan kejujurannya, serius dalam pendidikan dan pembinaan serta cermat
dalam memilih, tetap hati-hati terhadap kalangan yang mempunyai rekam jejak ada
kemunafikan meskipun mereka sudah terlihat saleh, juga harus waspada dengan
sosok-sosok yang namanya langsung melambung secara mendadak, mencari faktor
yang melambungkan namanya, apakah karena jerih payah amalnya atau karena ada
pihak-pihak tertentu yang mengorbitkan dan melejitkannya, jangan sekali-kali
memberikan posisi dakwah kepadanya.
_____
Seorang
sahabat (staf pengajar/dosen, tinggal di Solo) telah memberikan tanggapan: “Iman
itu sederhana.
Menjalankan semua perintah dan meninggalkan larangan. Sampai dengan hari ini saya belum
bisa melakukan semua itu. Terkadang malu sendiri. Yang
terberat belum bisa melaksanakan sekedar yang disampaikan (misal di kelas), jadi saya kadang
munafik juga. Masih belum bisa lepas dari godaan dunia yang semakin hari
semakin berat. Sudah punya hp yang baik masih dalam hati kecil tergoda untuk
beli hp keluaran terbaru. Dan banyak sekali yang lainnya”.
Sahabatku,
Yang aku
maksudkan di atas (terkait pertanyaan Ibu Dosen dari Manado) adalah munafik
secara aqidah/keyakinan, yaitu orang yang tidak beriman namun berpura-pura
beriman. Atau orang yang berpura-pura
mengikuti ajaran agama Islam namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hatinya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ؛ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا
وَعَدَ أَخْلَفَ. (رواه البخارى ومسلم)
“Tanda orang munafik ada tiga: Jika bicara berdusta, jika diberi
amanah berkhianat, dan jika berjanji menyelisihinya”. (HR. Al Bukhari dan
Muslim).
Meskipun Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan tanda-tanda orang
munafik, kita tidak boleh asal tuduh saja kepada orang lain yang dalam dirinya
terdapat tanda-tanda tersebut. Sebagai ilustrasi: adanya mendung yang gelap,
adalah tandanya mau turun hujan. Namun pada kenyataannya, belum tentu hujan
benar-benar turun, meski tanda-tandanya sudah sangat jelas.
Saudaraku,
Ketahuilah, bahwa
nifak itu ada dua macam, yaitu nifak kecil dan nifak besar. Nifak kecil ialah
berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang munafik, seperti yang tersebut
dalam hadits di atas, dengan tetap ada iman dalam hati. Nifak jenis ini tidak
menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam, namun termasuk sarana menuju
kekufuran. Jika perilaku-perilaku tersebut terus ia lakukan, tidak menutup
kemungkinan ia akan terjerembab dalam kemunafikan.
Sedangkan jenis
kedua ialah nifak besar atau nifak yang berkaitan dengan keyakinan, yaitu
apabila seseorang menampakkan keimanan dan keislaman namun menyembunyikan kekufuran
dalam hati. Cukup banyak ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan untuk mencela dan
mengkafirkan mereka yang memiliki sifat ini (nifak besar) serta mengabarkan
bahwa orang yang memiliki sifat ini akan dikembalikan ke dalam kerak api
neraka.
... إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَـــٰـفِقِينَ وَالْكَـــٰــفِرِينَ فِي
جَهَنَّمَ جَمِيعًا ﴿١٤٠﴾
“... Sesungguhnya
Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di
dalam Jahannam, (QS. An Nisaa’. 140).
إِنَّ
الْمُنَـــٰـفِقِينَ فِي
الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا ﴿١٤٥﴾
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka”. (QS. An Nisaa’. 145).
Saudaraku,
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka sangat mudah dipahami bahwa akan sangat berbahaya jika
kita asal tuduh saja kepada orang lain yang dalam dirinya terdapat tanda-tanda
tersebut sebagai orang munafik, karena kita tidak tahu apa isi hati setiap
manusia.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan bahayanya tuduhan seperti ini
dalam sebuah hadits berikut ini:
Dari Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
مَا
أَكْفَرَ رَجُلٌ رَجُلًا إِلَّا بَاءَ أَحَدُهُمَا بِهَا إِنْ كَانَ كَافِرًا
وَإِلَّا كَفَرَ بِتَكْفِيْرِهِ.
(روه ابن حبان)
“Tidaklah seseorang
memvonis kafir (mengkafirkan) orang lain kecuali salah seorang dari keduanya
kembali dengan hal tersebut. Apabila benar kafir (maka menuju kepada orang yang
dikafirkannya tersebut), namun bila tidak, maka ia kafir dengan sebab
pengkafirannya tersebut”. (HR. Ibnu Hibban).
Kecuali jika yang
bersangkutan telah melakukan kemunafikan secara nyata. Perhatikan firman Allah
dalam surat An Nisaa’ ayat 138 – 139 berikut ini:
بَشِّرِ
الْمُنَـــٰـفِقِينَ بِأَنَّ
لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٣٨﴾ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَـــٰــفِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ
الْعِزَّةَ لِلّٰهِ جَمِيعًا
﴿١٣٩﴾
(138) “Kabarkanlah
kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih”,
(139) “(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman
penolong dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kekuatan
di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”.
(QS. An Nisaa’. 138 – 139).
Tanggapan
seorang akhwat lainnya (staf pengajar/dosen, tinggal di Depok): “Matursuwun
Pak Imron Kuswandi M., pemaparan tentang (orang) munafiq berikut dengan kasus
konkritnya membuat kita semakin jelas dan faham. Mudah-mudahan kita bisa
menyikapi hal ini terutama di internal grup kita sendiri”.
Alhamdulillah,
terimakasih kembali. Semoga
bermanfaat.
Amin, ya rabbal
'alamin!
Tanggapan
balik dari ibu dosen dari Manado (akhwat yang pertama kali bertanya di atas): ”Apakah
surat Al Maa-idah ayat 51 dan seterusnya itu berhubungan dengan
kejadian ini? Tambah
ingin tahu”. “Sudah nyampe, Pak Imron? Kalau masih di kereta, dilanjutkan”.
Masih separuh
perjalanan/masih nyampai Stasiun
Malang, Bu. Surat Al Maa-idah ayat 51 terkait
larangan bagi kita kaum muslimin untuk mengambil orang-orang Yahudi dan nasrani
(serta orang-orang kafir) menjadi pemimpin, Bu.
Tanggapan
beliau (ibu dosen dari Manado): “Oh ya? Itu mengenai kepemimpinan, ya?
Betul. Kecuali jika
terpaksa, Bu.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat
Ali ‘Imraan ayat 28 berikut ini:
لَّا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَـــٰــفِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ
مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَىٰةً
وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ ﴿٢٨﴾
“Janganlah orang-orang
mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali(mu)”. (QS. Ali ‘Imraan. 28).
Tafsir Jalalain
(Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
“(Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin)
yang akan mengendalikan mereka (dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barang
siapa melakukan demikian) artinya mengambil mereka sebagai pemimpin (maka
tidaklah termasuk dalam) agama (Allah sedikit pun kecuali jika menjaga sesuatu
yang kamu takuti dari mereka) maksudnya jika ada yang kamu takuti, kamu boleh
berhubungan erat dengan mereka, tetapi hanya di mulut dan bukan di hati. Ini
hanyalah sebelum kuatnya agama Islam dan berlaku di suatu negeri di mana mereka
merupakan golongan minoritas (dan Allah memperingatkanmu terhadap diri-Nya)
maksudnya kemarahan-Nya jika kamu mengambil mereka itu sebagai pemimpin (dan
hanya kepada Allah tempat kamu kembali) hingga kamu akan beroleh balasan
dari-Nya”.
Tanggapan
beliau (ibu dosen dari Manado): “Kalau saya termasuk yang terpaksa ya Pak Imron, (karena) yang ada mereka semua (orang-orang Nasrani).
Milih siapa lagi?
Paling kalau ada yang
bilang dia naik sama muslim,
ya itu yang
dipilih. Muslim
di sini
muslim yang
paling nurut,
kalau diperhatikan. Tidak pernah protes meskipun ditekan kiri-kanan.
Inggih,
Bu (termasuk dalam keadaan
terpaksa).
Tanggapan
beliau (ibu dosen dari Manado): “Pak
Imron memang hebat ya, punya
banyak jawaban kalau ada yang nanya. Salut buat Pak Imron dan
terimakasih atas jawaban-jawabannya.
Sepertinya Al Qur’an sudah hafal semua, ya Pak? Grup ini harus bangga nich, punya Pak Imron”.
Alhamdulillah pernah sekolah madrasah selama 12 tahun, Bu. (Baca buku:
Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits, Jilid
1, sub-bab 6.8. Ketika Pujian Datang
Menyapa, halaman 152 – 156).
Demikian diskusi ini,
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar