Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku,
Secara bahasa, halal bi halal
adalah kata majemuk dalam Bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau
sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus Bahasa Arab
maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari.
Kata majemuk ini tampaknya
memang made in Indonesia, yang tidak dikenal oleh masyarakat/bangsa Arab. Kata halal bi
halal tersebut justru
diserap dari
Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan
ibadah puasa Ramadhan, yang biasanya
diadakan di sebuah tempat oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan
khas di negara kita.
Saudaraku,
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa halal bi halal berasal
dari lafadz Arab yang disusun dengan tidak memperhatikan/tidak berdasarkan tata
bahasa Bahasa Arab (ilmu nahwu).
Faktanya, halal bi halal yang berarti halal dengan halal
atau sama-sama halal, yang bermakna saling menghalalkan/saling memaafkan yang
sekaligus bermakna menjalin/menyambung tali silaturrahim (صِلَةُ
الرَّحِمِ ),
yang tentunya merupakan bagian dari risalah Islam (dan hal seperti ini
sebenarnya tidak hanya terbatas saat hari raya Idul fitri saja).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, bahwa halal bi halal yang berarti
halal dengan halal atau sama-sama halal, yang bermakna saling
menghalalkan/saling memaafkan yang sekaligus bermakna menjalin/menyambung tali
silaturrahim, merupakan bagian dari risalah Islam karena hal ini memang ada
dalil yang mendasarinya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al A’raaf ayat 199
berikut ini:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَـــٰهِلِينَ ﴿١٩٩﴾
Jadilah engkau pema`af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma`ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS.
Al A’raaf. 199).
Sedangkan terkait perintah untuk mengadakan hubungan
silaturrahim dan tali persaudaraan, bisa dilihat penjelasan Al Qur’an dalam
surat An Nisaa' ayat 1 dan surat Ar Ra'd ayat 21, serta dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari & Imam Muslim dan sebuah hadits lainnya
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim berikut ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُواْ اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’. 1).
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ ﴿٢١﴾
"dan orang-orang yang
menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan*, dan mereka
takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk". (QS. Ar Ra’d.
21).
*) Maksudnya ialah mengadakan
hubungan silaturrahim dan tali persaudaraan.
Dalam
sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang suka
dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung
hubungan rahimnya (hendaklah
ia senantiasa menjaga hubungan silaturrahim)**.”
(Muttafaqun ‘alaih).
**) Shilaturrahim terdiri dari 2 kata, yakni shilat ( صِلَةُ ) yang berarti
menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim ( الرَّحِمِ ) yang berarti
kasih sayang, sehingga shilaturrahim diartikan sebagai menghubungkan kasih
sayang antar sesama.
Sedangkan dalam Hadits yang lain, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْشِ
السَّلَامَ، وَأَطْعِم ِالطَّعَامَ، وَصِلِ الْأَرْحَامَ، وَقُمْ بِاللَّيْلِ
وَالنَّاسُ نِيَامٌ، وَادْخُلِ الْجَنَّةَ
بِسَلَامٍ.
“Tebarkanlah salam, berilah (orang)
makanan, sambunglah karib kerabat (silaturrahim), berdirilah
(shalat) di malam hari ketika manusia tidur, dan masuklah kamu ke dalam surga
dengan selamat.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dari Abu Hurairah(.
Saudaraku,
Ada satu hal yang perlu kusampaikan di sini, bahwa
kegiatan saling memaafkan serta kegiatan mengadakan hubungan silaturrahim dan
tali persaudaraan adalah termasuk ibadah ghairu mahdhah, yaitu ibadah yang ada
perintahnya, namun tentang tata caranya, tempatnya, waktunya, berapa banyaknya,
dst. tidak ada ketetapan dari Al Qur’an maupun Hadits sehingga terbuka
kesempatan bagi kita untuk berkreasi dalam pelaksanaannya.
Dengan demikian, tindakan mengkhususkan pada hari-hari
tertentu (seperti mengkhususkan pada hari raya Idul Fitri saja) untuk
bermaaf-maafan sekaligus mengadakan hubungan silaturrahim dan tali persaudaraan,
hal ini jelas merupakan perbuatan penambahan syariat baru dalam Islam tanpa adanya
landasan dalil.
Sedangkan jika kita mengada-adakan “ibadah baru” yang
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam/tidak ada dalil
yang mendasarinya baik dari Al Qur’an maupun Al Hadits, maka jelas hal ini
adalah perbuatan bid’ah.
Diriwayatkan dari Jabir
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
(رواه مسلم)
“Kemudian daripada itu. Maka sesungguhnya
perkataan yang paling benar adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik tuntunan adalah
tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara
adalah yang diada-adakan. Maka sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (HR. Muslim)
Saudaraku,
Adapun yang benar adalah bahwa bermaaf-maafan sekaligus mengadakan
hubungan silaturrahim dan tali persaudaraan tersebut merupakan salah satu
bentuk ibadah ghairu mahdhah yang pelaksanaannya bisa kapan
saja tidak terkait dengan hari-hari tertentu. Artinya bisa dilaksanakan pada hari
raya Idul Fitri atau waktu lainnya. Sehingga kalaupun harus melaksanakannya pada
hari raya Idul Fitri, tentunya tidak masalah selama diiringi keyakinan bahwa
hal seperti ini sebenarnya tidak hanya terbatas saat Idul fitri.
(Wallahu ta’ala a’lam).
Penjelasan tambahan:
Ibadah dalam Islam, ada yang
disebut sebagai ibadah mahdhah (ibadah yang murni hubungan antara manusia
dengan Allah), ada juga yang disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang
bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah).
√ Ibadah mahdhah adalah ibadah yang
tata caranya, tempatnya, waktunya, berapa banyaknya, dst. sudah ada ketetapan
dari Al Qur’an maupun Hadits sehingga tidak ada celah kreatifitas bagi kita
dalam melaksanakannya. Contoh: wudhu,
tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, i’tikaf di masjid,
puasa, haji, umrah, dll.
√ Ibadah ghairu mahdhah adalah
ibadah yang ada perintahnya, namun tentang tata caranya, tempatnya, waktunya,
berapa banyaknya, dst. tidak ada ketetapan dari Al Qur’an maupun Hadits
sehingga terbuka kesempatan bagi kita untuk berkreasi dalam pelaksanaannya
(biasanya terkait muammalah). Contoh: menuntut ilmu dan menyebarkannya,
berdakwah/amar ma’ruf nahi munkar, dll.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar