Assalamu’alaikum wr. wb.
Tanggapan beliau (staf pengajar/dosen di Jawa
Barat) terhadap artikel “Menikah
Dengan Wali Hakim Karena Benci Kepada Ayah (II)”:
Matursuwun sanget Pak Imron,
amat bisa dipahami penjabaran Pak
Imron,
apalagi haditsnya jelas ada.
Namun lagi-lagi kami amat sangat
membenci mantan suami. Rasanya
kami belum bisa mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Karena begitu sakitnya kami di perlakukan
tidak baik (saya dan tiga orang anak yang semuanya perempuan).
Sekarang ini setelah mendapatkan
penjelasan dari Pak Imron, PR kami adalah
belajar untuk ikhlas, walaupun
rasanya
akan sulit sekali. Saya tidak
tahu dari mana memulainya untuk bisa ikhlas. Rasanya memang sulit untuk ikhlas
dengan perlakuan yang sudah dia lakukan.
Kalau mau jujur, kami lebih merasa
tenang dan
hati damai setelah bercerai. Dan kamipun sudah melupakan dia,
kami anggap dia sudah tidak ada. Anak-anakpun bisa ceria lagi setelah kami berpisah,
semua anak-anak
saya upayakan ikut dengan saya di pengadilan. Maaf kalau saya kurang sopan, dengan meluapkan emosi ke
Pak Imron.
Tanggapan
Tenang saja, wahai saudaraku. Islam itu indah,
semua permasalahan ada tuntunannya. Hal ini jelas
berbeda dengan agama lain.
Karena
begitu banyak problematika kehidupan yang tidak diatur/tidak ada tuntunan/tidak
ada penjelasan di dalam kitab suci agama lain, maka pada umumnya pemuka-pemuka
agama lain lebih sering menggunakan logikanya sendiri untuk menjelaskan
berbagai problematika kehidupan ini, tanpa bisa menunjukkan rujukannya di dalam
kitab sucinya. Dan sesungguhnya hal
ini benar-benar merupakan penjelasan yang sangat lemah, karena pada
dasarnya pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas.
... وَمَا
أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
Saudaraku,
Penting pula untuk
kusampaikan di sini. Yaitu ketika kita menjumpai saudara sesama muslim yang
lain yang memberikan penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan ini
dengan lebih mengedepankan logikanya sendiri tanpa bisa menunjukkan rujukannya
dalam Al Qur'an (serta Al Hadits). Dalam hal ini (jika kita menemui kasus
seperti ini), maka yang sesungguhnya terjadi adalah semata-mata karena
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh saudara kita tersebut, bukan karena keterbatasan Al Qur'an serta Al Hadits.
Dan hal
ini (sekali lagi) benar-benar berbeda dengan agama lain. Jika pemuka-pemuka
agama lain lebih sering menggunakan logikanya sendiri dalam memberikan
penjelasan tentang berbagai problematika kehidupan ini, maka hal ini
benar-benar karena memang begitu banyak problematika kehidupan yang tidak
diatur/tidak ada tuntunan/tidak ada penjelasan di dalam kitab sucinya. Bukan
karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh mereka tentang kitab
sucinya.
Saudaraku
mengatakan: “Namun lagi-lagi kami amat sangat
membenci mantan suami. Rasanya
kami belum bisa mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Karena begitu sakitnya kami di perlakukan
tidak baik (saya dan tiga orang anak yang semuanya perempuan)”.
Saudaraku yang
dicintai Allah,
Tentunya
sangat bisa dimaklumi jika kemudian timbul rasa benci kepada mantan suami jika
mantan suami memang telah berperilaku buruk serta mengkhianati saudaraku
beserta ketiga anak tercinta sehingga menimbulkan luka yang sangat dalam.
Meskipun demikian, sebaiknya jangan terlalu berlebihan
dalam membencinya. Silakan saudaraku tidak
suka (benci) kepada mantan suami, namun bencilah orang yang saudaraku
benci, sekedarnya saja.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ
أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أُرَاهُ رَفَعَهُ
قَالَ أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا
وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا.
(رواه الترمذى)
Abu Kuraib menceritakan kepada
kami, Suwaid bin Amr AI Kalbi menceritakan kepada kami, dari Hamad bin Salamah,
dari Ayyub, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah – menurutku Abu Hurairah
meriwayatkan hadits secara marfu' kepada rasul – ia (Abu Hurairah) berkata,
"Cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi
suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci
sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu
cintai." (HR.
At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Terlalu
berlebihan dalam membenci mantan suami hanya akan menimbulkan kelelahan
berpikir, stres, serta membuat pikiran kita dipenuhi kekesalan.
Daripada
membenci yang terlalu berlebihan yang pasti akan sangat banyak menguras
pikiran, tentunya akan lebih bermanfaat jika saudaraku bisa melapangkan dada
untuk memaafkannya. Semoga kelapangan dada saudaraku dalam
menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah SWT. sebagai
amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya.
Amin, ya rabbal ‘alamin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
وَأَوْلَـــٰـدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا
وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤﴾
(14) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ
عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
(15) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ... ﴿١٦﴾
(16) “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik
untuk dirimu. ...”. (QS. At Taghaabun. 14 – 16).
Sedangkan jika luka itu memang teramat dalam sehingga saudaraku
tidak mampu untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua urusan ini
hanya kepada-Nya, supaya jiwa saudaraku menjadi tenang.
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
“Hai jiwa
yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27 – 28).
Sekali lagi, jika luka itu memang teramat dalam sehingga saudaraku
tidak mampu untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua urusan ini
hanya kepada-Nya, supaya jiwa saudaraku menjadi tenang. Yakinlah, bahwa Allah SWT. pasti
akan memberikan keputusan yang terbaik diantara kita semua. Karena
Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana, sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an
surat Al An’aam ayat 18:
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).
Sedangkan
Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an
dalam surat Ar Ruum ayat 6:
... لَا يُخْلِفُ
اللهُ وَعْدَهُ وَلَـــٰـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
“... Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
(QS. Ar Ruum. 6).
Saudaraku tidak perlu galau menghadapi situasi yang benar-benar sulit seperti ini. Karena masih ada
Allah SWT., yang kepada-Nya kita bisa mengadukan segala kesusahan/kesedihan
serta semua permasalahan hidup ini.
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ
وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿٨٦﴾
Ya`qub menjawab:
"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan
kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada
mengetahuinya." (QS. Yusuf. 86).
Mohonlah
kepada Allah agar saudaraku diberi kekuatan sehingga saudaraku benar-benar
dapat ridha dengan apa yang telah Allah berikan kepada saudaraku.
وَلَوْ أَنَّهُمْ
رَضُوْاْ مَا ءَاتَـــٰـهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللهُ سَيُؤْتِينَا اللهُ مِن
فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللهِ رَاغِبُونَ ﴿٥٩﴾
“Jikalau
mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan
memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At
Taubah. 59).
Lebih dari itu,
Sadarkah saudaraku,
bahwa sesungguhnya saudaraku termasuk orang-orang pilihan yang dipilih
langsung oleh Allah SWT. karena saudaraku dipandang mampu untuk mendapatkan cobaan
seperti ini? Karena seandainya hal ini ditimpakan kepada orang lain, belum
tentu mereka bisa tabah dan sabar dalam menghadapinya.
Sudahkah saudaraku menyadarinya? Dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan
berupaya untuk bisa tabah dan sabar dalam menghadapi cobaan ini dan tetap
berbaik sangka kepada-Nya? Bukankah saudaraku termasuk orang-orang pilihan yang dipilih langsung oleh
Allah karena saudaraku dipandang mampu untuk mendapatkan cobaan seperti ini? Bukankah
Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya?
لاَ يُكَلِّفُ
اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”
(QS. Al Baqarah ayat 286).
Terlebih
lagi jika hal ini kita kaitkan dengan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits berikut ini:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ. (رواه البخارى)
“Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR.
Al Bukhari(.
Disamping itu semua, tahukah saudaraku bahwa seseorang itu akan diberi cobaan oleh Allah
SWT. sesuai
dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kuat, Allah SWT. akan berikan
kepadanya cobaan
yang berat. Sedangkan jika agamanya masih
lemah, ia juga akan
diuji sesuai dengan agamanya. Dengan demikian jika pada saat ini saudaraku ditimpa
cobaan yang teramat berat, hal ini sekaligus juga menunjukkan betapa kuatnya
agama saudaraku.
وَأَيُّ
النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ
فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ
صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ
يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang
semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan keadaan
agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika agamanya masih lemah,
ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah cobaan itu senantiasa menimpa
seorang hamba sampai ia meninggalkan si hamba berjalan di muka bumi tanpa ada
dosa padanya.” (HR. At-Tirmidzi,
hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya).
Berbahagialah engkau wahai saudaraku, karena dalam hal
ini bukan aku yang menilai, namun yang menilai adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (baca kembali hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di
atas).
Sedangkan segala yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (termasuk dalam hal ini), tidak lain adalah wahyu semata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkata-kata tidaklah mengikuti
hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ
الصُّمُّ الدُّعَاءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang
yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al
Anbiyaa’. 45).
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىٰ ﴿١﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ ﴿٢﴾ وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ﴿٤﴾ عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ ﴿٥﴾ ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَىٰ ﴿٦﴾
(1) “Demi bintang ketika terbenam”, (2) “ kawanmu
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru”, (3) “dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”. (4) “Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”, (5) “yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat”, (6) “Yang mempunyai akal yang
cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli”. (QS. An Najm.
1 – 6).
Oleh karena itu dalam situasi/kondisi bagaimanapun,
tetaplah istiqomah untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Tak mungkin
Allah bermaksud buruk kepada hamba-hamba-Nya.
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَا
يَمُوتُ أَحَدُكُمْ إِلَّا وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ. (رواه مسلم)
“Janganlah salah seorang di
antara kalian meninggal melainkan dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah”.
(HR. Muslim).
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ
حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللهُ أَنَا عِنْدَ
ظَنِّ عَبْدِي بِي. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib telah menceritakan kepada kami
Abuz Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Allah berfirman: 'Aku selalu tergantung prasangka
hamba-Ku terhadap-Ku." (HR. Bukhari).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللهُ سُبْحَانَهُ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ
عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ
ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ
مِنْهُمْ وَإِنْ اقْتَرَبَ إِلَيَّ شِبْرًا اقْتَرَبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ
أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً. (رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia bercerita, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
'Allah SWT berfirman, "Aku seperti prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku
bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam dirinya,
niscaya Aku akan mengingatnya di dalam Diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku pada
kelompok, niscaya Aku akan mengingatnya pada kelompokyang lebih mulia dari
mereka. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, niscaya Aku akan
mendekatkan Diri kepadanya satu hasta. Dan jika ia datang kepada-Ku sambil
berjalan, niscaya Aku datang kepadanya dengan berlari kecil'." (HR. Ibnu Majah(.
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, berbahagialah engkau wahai
saudaraku karena dengan adanya cobaan yang teramat berat yang menimpa
saudaraku, hal ini menunjukkan betapa kuatnya agama saudaraku.
Saudaraku,
Beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul,
orang-orang yang shiddiq (jujur keimanannya), para syuhada (yang mati
syahid), serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan yang beriman, yang mulia
disisi-Nya. Demikianlah yang digambarkan dalam hadits sahih berikut:
وَأَيُّ
النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ،
فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا
اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى
حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي
عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang
semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan keadaan
agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika agamanya masih lemah,
ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah cobaan itu senantiasa menimpa
seorang hamba sampai ia meninggalkan si hamba berjalan di muka bumi tanpa ada
dosa padanya.” (HR. At-Tirmidzi,
hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya)
Maka bersyukurlah atas semua yang telah diberikan Allah
kepada saudaraku, tak terkecuali terhadap cobaan yang teramat berat yang
menimpa saudaraku.
وَإِذْ تَأَذَّنَ
رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٌ ﴿٧﴾
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(QS. Ibrahim. 7).
Saudaraku,
Sering-seringlah membaca Al Qur’an, karena
Al Qur'an adalah penawar dahaga dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ
لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّـــٰــلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا ﴿٨٢﴾
“Dan Kami turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah
menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”. (QS. Al Israa’. 82).
وَلَوْ جَعَلْنَـــٰـهُ قُرْءَانًا أَعْجَمِيًّا لَّقَالُوا لَوْلَا فُصِّلَتْ ءَايَـــٰــتُهُ أَاَعْجَمِيٌّ وَعَرَبِيٌّ قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا
هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ فِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ
عَلَيْهِمْ عَمًى أُوْلَـــٰـــئِكَ يُنَادَوْنَ مِن مَّكَانٍ بَعِيدٍ ﴿٤٤﴾
“Dan jikalau Kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan
dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak
dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing,
sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah
petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan
orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al
Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka*. Mereka itu adalah (seperti)
orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. Fush shilat. 44).
Saudaraku,
Banyak-banyaklah
mengingat Allah, karena hanya dengan mengingat Allah saja, hati ini menjadi
tenteram.
الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ
اللهِ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ ﴿٢٨﴾
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah
hati menjadi tenteram. (QS. Ar Ra’d. 28).
Dan jangan lupa, jadikan sabar dan sholat sebagai
penolongmu!
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ
وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّـــٰبِرِينَ ﴿١٥٣﴾
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Baqarah. 153).
Sebagai penutup,
Jika hal-hal di atas bisa saudaraku laksanakan dengan
baik, maka in sya Allah saudaraku akan termasuk golongan orang-orang beriman
sebagaimana penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ
لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا
لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ. (رواه مسلم)
“Sungguh mengagumkan perkara
seorang mukmin, sesungguhnya setiap perkaranya merupakan kebaikan baginya, dan
ini tidak dimiliki siapapun kecuali oleh seorang mukmin: apabila memperoleh
kelapangan, dia bersyukur, maka ini kebaikan baginya, dan apabila ditimpa
kesusahan, dia bersabar, maka ini pun kebaikan baginya.” (HR. Muslim).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Berikut ini tanggapan beliau (staf pengajar/dosen di Jawa Barat) terhadap
bahasan di atas:
Masya Allah. Alhamdulillah. Ternyata selama ini saya banyak melupakan Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang terhadap hamba-Nya yang hina ini. Penjelasan Pak Imron membuat saya jadi tersentak kaget, betapa saya sudah menjadi hamba yang mendholimi
diri sendiri.
Maha Benar Allah dengan segala
firman-Nya. Matursuwun Pak Imron,
tausiyahnya seperti air sejuk yang membuat hati ini
tersadar akan kekeliruan selama ini. Semoga
hati ini bisa ikhlas karena semua yang terjadi tidak bukan karena atas Kehendak-Nya.
Moga-moga
Allah SWT senantiasa melindungi hati hamba dan anak-anak hamba. Aamiiin Yaa Robbal 'aalamiin.
Demikian,
Semoga bermanfaat.
{Tulisan ke-3 dari 3
tulisan}