بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Senin, 01 Oktober 2018

MENIKAH DENGAN WALI HAKIM KARENA BENCI KEPADA AYAH (I)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (staf pengajar/dosen di Jawa Barat) telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut:

Apa kabarnya Pak Imron? Mudah-mudahan selalu sehat wal afiat, ya Pak. Nyuwun sewu ada yang ingin saya tanyakan, boleh kan Pak? Ada seorang anak yang membenci bapaknya oleh karena bapaknya selama ini tidak menafkahinya karena bapak dan ibunya bercerai 5 tahun yang lalu.

Nah pada saat anak ini (perempuan) akan menikah, dia tidak mau yang menjadi walinya adalah bapaķnya. Dia ingin diwalikan oleh wali hakim. Apakah pernikahan si anak ini sah atau tidak ya, Pak Imron? Apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh wali hakim? Siapa saja yang bisa menjadi wali hakim, Pak Imron? Matursuwun atas perkenan jawaban dari Pak Imron.

Tanggapan

Alhamdulillah, keadaanku sehat wal afiat. Tentunya hal ini juga karena do’a saudaraku yang in sya Allah telah dikabulkan oleh Allah SWT.

Saudaraku,
Agar lebih mudah dalam pembahasannya, pesan/pertanyaan yang telah saudaraku sampaikan tersebut aku bagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) Ada seorang anak yang membenci bapaknya oleh karena bapaknya selama ini tidak menafkahinya karena bapak dan ibunya bercerai 5 tahun yang lalu, (2) Pada saat anak ini (perempuan) akan menikah, dia tidak mau yang menjadi walinya adalah bapaķnya. Dia ingin diwalikan oleh wali hakim. Apakah pernikahan si anak ini sah atau tidak ya, Pak Imron?, (3) Apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh wali hakim? dan (4) Siapa saja yang bisa menjadi wali hakim?

1.  Ada seorang anak yang membenci bapaknya oleh karena bapaknya selama ini tidak menafkahinya karena bapak dan ibunya bercerai 5 tahun yang lalu.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta surat Al Baqarah ayat 233 berikut ini:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ...”. (QS. An Nisaa’. 34).

... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).

Adapun dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini:

حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya”. Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu”. (HR. Bukhari).

Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada istri dan anaknya.

Sedangkan ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai, maka wanita yang dulunya berstatus istri, kini berubah statusnya menjadi mantan istri (kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan suaminya). Nah karena kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan suaminya, maka sang mantan suami sudah tidak lagi wajib memberi nafkah kepada mantan istrinya.

Namun hak nafkah bagi anak tidaklah terputus, karena perceraian tersebut tidak akan pernah memutuskan hubungan orangtua dengan anaknya. Tidak ada istilah mantan anak bagi pasangan yang sudah bercerai (tidak seperti hubungan suami-istri yang terputus akibat perceraian sehingga statusnya menjadi mantan suami/mantan istri).

Nah karena perceraian tersebut tidak akan pernah memutuskan hubungan orangtua dengan anaknya, maka ayah tetap berkewajiban untuk memberi nafkah/menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal bersama mantan istrinya. Sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa seorang bapak yang tidak menafkahi anaknya karena sang bapak telah bercerai dengan sang ibu, jelas hal ini adalah perbuatan dosa.

Pertanyaannya adalah: “Bolehkah seorang anak membenci bapaknya karena sang bapak selama ini tidak menafkahinya karena sang bapak telah bercerai dengan ibunya?”.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 dan dalam surat Luqman ayat 15 berikut ini:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut. 8).

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman. 15).

Dari dua ayat di atas, diperoleh penjelasan bahwa sekalipun kedua orang tua memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah, ternyata Allah tetap memerintahkan sang anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik. Padahal perbuatan syirik (mempersekutukan Allah) adalah dosa terbesar dari semua dosa, hingga Allah tidak akan mengampuni dosa syirik tersebut.

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا ﴿٤٨﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisaa’. 48).

Nah, jika keduanya memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah saja ternyata Allah tetap memerintahkan sang anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik, lalu bagaimanakah jika keduanya hanya melakukan kekhilafan yang bahkan nilainya tidak sebanding dengan dosa syirik?

Oleh karena itu, mulai saat ini anak tersebut jangan pernah lagi membenci ayahnya (apalagi sampai tidak mau menikah dengan berwalikan ayah kandungnya). Anak tersebut harus tetap berbakti kepadanya/tetap berbuat baik kepada ayahnya selagi beliau masih hidup di dunia ini, meski beliau telah berbuat salah kepadanya, sebesar apapun kesalahannya.

2.  Pada saat anak ini (perempuan) akan menikah, dia tidak mau yang menjadi walinya adalah bapaķnya. Dia ingin diwalikan oleh wali hakim. Apakah pernikahan si anak ini sah atau tidak ya, Pak Imron?

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali. Demikian penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Dan ketahuilah pula bahwa yang berhak menikahkan seorang wanita adalah ayah kandung dari wanita tersebut. Siapa pun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun dilakukan juga, maka pernikahan itu menjadi tidak sah. Tidak sah artinya jika pasangan tersebut nekad nikah juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan zina.

Sehingga siapapun yang mengangkat diri menjadi wali tanpa adanya izin dari ayah kandung, lalu menikahkannya, maka dia akan masuk neraka karena telah menghalalkan perzinaan yang secara nyata dilarang oleh agama.

Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan yang lainnya).

Lalu apakah kedudukan ayah kandung sebagai wali nikah tersebut tidak tergantikan?

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ayah kandung tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali nikah hingga kapanpun, meski ayah kandung tersebut tidak pernah memberi nafkah sama sekali. Kecuali jika terdapat tiga hal berikut ini (posisi ayah kandung sebagai wali nikah bisa gugur jika terdapat tiga hal berikut ini):

   Adanya pemberian wewenang/hak perwalian
Apabila ayah kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang (mewakilkan kepada orang lain), baik orang itu masih famili atau bukan, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan dengan ketentuan orang tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah, yaitu: muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka.

   Tidak terpenuhinya syarat sebagai wali nikah
Bila syarat-syarat sebagai wali nikah (yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka) tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah hak ayah kandung sebagai wali nikah. Misalnya, seorang ayah kandung tidak beragama Islam (baik karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad), maka haknya sebagai wali nikah gugur dengan sendirinya. Atau misalnya ayah kandung menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat sebagai ‘aqil tidak terpenuhi sehingga gugurlah haknya untuk menjadi wali nikah.

   Dengan meninggalnya ayah kandung
Bila ayah kandung telah wafat, maka status ayah kandung sebagai wali nikah akan digantikan oleh orang lain (sesuai dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau ayah dari ayah dan seterusnya ke atas, 3. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah dan seibu, 4. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah saja, 5. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah/sepupu).

Saudaraku menyampaikan bahwa dia tidak mau yang menjadi wali nikahnya adalah bapaķnya. Dia ingin diwalikan oleh wali hakim. Apakah pernikahan si anak ini sah atau tidak?

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa tidak ada sedikitpun alasan untuk menggantikan status ayah kandungnya sebagai wali nikah karena memang tidak ada hal-hal yang bisa menggugurkan statusnya sebagai wali nikah.

Saudaraku,
Siapa pun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun dilakukan juga, maka pernikahan itu tidak sah. Artinya jika pasangan tersebut nekad kawin juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan zina.

3.  Apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh wali hakim?

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa persengketaan antara anak dengan bapak karena sang bapak tidak pernah memberi nafkah kepadanya adalah sama sekali tidak bisa menggugurkan status ayah kandung sebagai wali nikah sehingga pernikahan si anak ini tidak boleh diwalikan oleh wali hakim.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak semua orang bisa menjadi wali nikah. Allah menghargai hubungan kekeluargaan/kekerabatan manusia. Oleh karena itu, keluarga lebih berhak untuk mengatur daripada orang lain yang bukan kerabat. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat Al Anfaal pada bagian akhir ayat 75 berikut ini:

... وَأُوْلُواْ الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَــــٰبِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
“... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Anfaal. 75).

Bagian dari hak “mengatur” tersebut adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan calon mempelai wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali nikah bagi si wanita itu. Tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masih ada kerabat yang lebih dekat, karena hal semacam ini sama saja dengan merampas hak perwalian sehingga nikahnya menjadi tidak sah.

4.  Siapa saja yang bisa menjadi wali hakim?

Saudaraku,
Apabila seorang wanita tidak punya wali (anak dari hasil hubungan zina) atau memiliki wali tetapi tidak berhak untuk menikahkannya karena tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai wali nikah, atau semua walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (tidak mau menikahkan tanpa alasan yang syar’i), maka hakim boleh menikahkannya. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو داود)   
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).

Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali khusus (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).

Sebagai contoh: anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak nasab (anak hasil hubungan zina tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya) dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Untuk kasus seperti ini, maka wali nikahnya adalah wali hakim.

Selanjutnya, siapakah wali hakim itu?

Dalam hadits Siti A’isyah di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa wali hakim dengan Sulthan ( السُّلْطَانُ ), yang artinya penguasa. Sedangkan sulthon dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi (diserahi tugas) untuk menangani masalah pernikahan.

Di negara kita, pemerintah telah membentuk KUA sebagai petugas resmi yang menangani masalah pernikahan. Sehingga dalam hal ini pejabat resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali khusus (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).

Dengan demikian, siapapun yang tidak berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau yang sepadan dengannya dalam hirarki pemerintahan, maka dia tidak bisa disebut sebagai wali hakim.

Kiyai, ustad, guru ngaji, apalagi teman, jelas tidak bisa menjadi wali hakim. Termasuk juga pejabat KUA yang datang atas nama pribadi (bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi KUA), juga tidak bisa disebut sebagai wali hakim. Karena yang berstatus sebagai wali hakim adalah pejabat terkait yang datang resmi atas nama lembaga dan bukan atas nama pribadi.

Jika mereka-mereka itu tetap nekat mengajukan/menjadikan diri menjadi wali hakim, maka statusnya adalah wali palsu alias wali gadungan dan tidak sah menjadi wali. Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan tanpa wali dan itu status pernikahannya tidak sah.

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 3 tulisan }

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞