Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (staf
pengajar/dosen di Jawa Barat) telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut:
Apa kabarnya Pak Imron? Mudah-mudahan selalu sehat wal afiat, ya Pak. Nyuwun
sewu ada yang ingin saya tanyakan, boleh kan Pak? Ada seorang anak yang
membenci bapaknya oleh karena bapaknya selama ini tidak menafkahinya karena bapak
dan ibunya bercerai 5 tahun yang lalu.
Nah pada saat anak ini (perempuan) akan menikah, dia tidak
mau yang menjadi walinya adalah bapaķnya. Dia ingin diwalikan oleh wali
hakim. Apakah
pernikahan si anak ini sah atau tidak ya, Pak Imron? Apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan
bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh wali hakim? Siapa saja
yang bisa menjadi wali hakim, Pak Imron? Matursuwun atas perkenan jawaban dari Pak
Imron.
Tanggapan
Alhamdulillah, keadaanku sehat wal afiat. Tentunya hal
ini juga karena do’a saudaraku yang in sya Allah telah dikabulkan oleh Allah
SWT.
Saudaraku,
Agar lebih mudah dalam pembahasannya, pesan/pertanyaan
yang telah saudaraku sampaikan tersebut aku bagi menjadi 4 bagian, yaitu: (1) Ada
seorang anak yang membenci bapaknya oleh karena bapaknya selama ini tidak
menafkahinya karena bapak dan ibunya bercerai 5 tahun yang lalu, (2) Pada saat
anak ini (perempuan) akan menikah, dia tidak mau yang menjadi walinya adalah
bapaķnya. Dia
ingin diwalikan oleh wali hakim. Apakah
pernikahan si anak ini sah atau tidak ya, Pak Imron?, (3) Apakah ada dalil yang
menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si
anak ini boleh diwalikan oleh wali hakim? dan (4) Siapa saja yang bisa menjadi
wali hakim?
1. Ada seorang anak yang membenci
bapaknya oleh karena bapaknya selama ini tidak menafkahinya karena bapak dan
ibunya bercerai 5 tahun yang lalu.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu
dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib
menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta surat Al Baqarah ayat 233 berikut ini:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. ...”. (QS. An Nisaa’. 34).
... وَعلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
Adapun
dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ
أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ
أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه
البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada
kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah
radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit.
Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?”.
Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ
عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ
لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. (رواه
البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia
berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah
berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia
tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil
dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya”. Maka beliau bersabda: “Ambillah
dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu”.
(HR. Bukhari).
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan
suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan
anaknya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada
istri dan anaknya.
Sedangkan ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai,
maka wanita
yang dulunya berstatus
istri,
kini berubah statusnya
menjadi mantan istri (kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan
suaminya).
Nah karena kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan suaminya, maka
sang mantan suami sudah tidak lagi wajib memberi nafkah kepada mantan istrinya.
Namun hak nafkah bagi anak
tidaklah terputus, karena
perceraian tersebut tidak akan pernah memutuskan hubungan orangtua dengan
anaknya. Tidak ada istilah mantan anak bagi pasangan yang sudah bercerai (tidak
seperti hubungan suami-istri yang terputus akibat perceraian sehingga statusnya
menjadi mantan suami/mantan istri).
Nah karena perceraian tersebut tidak akan pernah
memutuskan hubungan orangtua dengan anaknya, maka ayah tetap berkewajiban untuk
memberi nafkah/menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal
bersama mantan istrinya. Sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa seorang bapak
yang tidak menafkahi anaknya karena sang bapak telah bercerai dengan sang ibu,
jelas hal ini adalah perbuatan dosa.
Pertanyaannya adalah: “Bolehkah seorang anak membenci
bapaknya karena sang bapak selama ini tidak menafkahinya karena sang bapak telah
bercerai dengan ibunya?”.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, marilah kita
perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 dan dalam
surat Luqman ayat 15 berikut ini:
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan Kami wajibkan manusia
(berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut.
8).
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman. 15).
Dari dua ayat di atas, diperoleh penjelasan bahwa sekalipun
kedua orang tua memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah, ternyata Allah
tetap memerintahkan sang anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli
keduanya di dunia ini dengan baik. Padahal perbuatan syirik (mempersekutukan
Allah) adalah dosa terbesar dari semua dosa, hingga Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik tersebut.
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا ﴿٤٨﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.
(QS. An Nisaa’. 48).
Nah, jika
keduanya memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah saja ternyata Allah
tetap memerintahkan sang anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli
keduanya di dunia ini dengan baik, lalu bagaimanakah jika keduanya hanya
melakukan kekhilafan yang bahkan nilainya tidak sebanding dengan dosa syirik?
Oleh karena itu, mulai saat ini anak tersebut jangan
pernah lagi membenci ayahnya (apalagi sampai tidak mau menikah dengan
berwalikan ayah kandungnya). Anak tersebut harus tetap berbakti kepadanya/tetap
berbuat baik kepada ayahnya selagi beliau masih hidup di dunia ini, meski
beliau telah berbuat salah kepadanya, sebesar apapun kesalahannya.
2. Pada saat anak ini (perempuan)
akan menikah, dia tidak mau yang menjadi walinya adalah bapaķnya. Dia ingin diwalikan
oleh wali hakim. Apakah pernikahan si anak ini sah atau tidak ya, Pak Imron?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak sah
suatu pernikahan, kecuali dengan wali. Demikian
penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR.
At-Tirmidzi).
Dan ketahuilah pula bahwa yang berhak menikahkan seorang wanita
adalah ayah kandung dari wanita tersebut. Siapa pun tidak pernah punya
hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun
dilakukan juga, maka pernikahan itu menjadi tidak
sah. Tidak sah artinya jika pasangan tersebut nekad nikah juga bahkan melakukan
kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan
zina.
Sehingga siapapun yang mengangkat diri menjadi wali tanpa
adanya izin dari ayah kandung, lalu menikahkannya, maka dia akan masuk neraka
karena telah menghalalkan perzinaan yang secara nyata dilarang oleh agama.
Dari Aisyah radhiallahu anha
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah
tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal,
nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan yang lainnya).
Lalu apakah
kedudukan ayah kandung sebagai wali nikah tersebut tidak tergantikan?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ayah kandung tidak akan pernah
tergantikan kedudukannya sebagai wali nikah hingga kapanpun, meski ayah kandung
tersebut tidak pernah memberi nafkah sama sekali. Kecuali jika
terdapat tiga hal berikut ini (posisi ayah kandung sebagai wali nikah bisa
gugur jika terdapat tiga hal berikut ini):
√ Adanya pemberian wewenang/hak
perwalian
Apabila ayah kandung
bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang
(mewakilkan kepada orang lain),
baik orang itu masih famili atau bukan,
maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan dengan
ketentuan orang
tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai wali nikah,
yaitu: muslim,
aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka.
√ Tidak terpenuhinya syarat sebagai wali nikah
Bila
syarat-syarat sebagai wali nikah (yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil
dan merdeka) tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah hak ayah kandung sebagai wali
nikah. Misalnya,
seorang
ayah kandung tidak beragama Islam (baik
karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad), maka haknya
sebagai wali nikah
gugur dengan sendirinya. Atau misalnya ayah kandung menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat
sebagai ‘aqil tidak terpenuhi sehingga
gugurlah haknya untuk menjadi wali nikah.
√ Dengan meninggalnya ayah kandung
Bila ayah kandung telah
wafat, maka
status ayah kandung sebagai wali nikah akan digantikan oleh orang lain (sesuai
dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau ayah dari ayah
dan seterusnya ke atas, 3. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah dan seibu, 4. saudara
(kakak/adik laki-laki) seayah saja, 5. anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah
saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara laki-laki
ayah/sepupu).
Saudaraku menyampaikan bahwa dia tidak mau yang menjadi
wali nikahnya adalah bapaķnya. Dia
ingin diwalikan oleh wali hakim. Apakah
pernikahan si anak ini sah atau tidak?
Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa tidak ada
sedikitpun alasan untuk menggantikan status ayah kandungnya sebagai wali nikah
karena memang tidak ada hal-hal yang bisa menggugurkan statusnya sebagai wali
nikah.
Saudaraku,
Siapa pun tidak pernah punya
hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun
dilakukan juga, maka pernikahan itu tidak sah. Artinya jika pasangan tersebut
nekad kawin juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya
dihukumi telah melakukan perbuatan zina.
3. Apakah ada dalil yang menyebutkan
jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh
diwalikan oleh wali hakim?
Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa persengketaan
antara anak dengan bapak karena sang bapak tidak pernah memberi nafkah
kepadanya adalah sama sekali tidak bisa menggugurkan status ayah kandung
sebagai wali nikah sehingga pernikahan si anak ini tidak boleh diwalikan oleh
wali hakim.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak semua orang bisa menjadi wali nikah. Allah menghargai
hubungan kekeluargaan/kekerabatan manusia. Oleh karena
itu, keluarga
lebih berhak untuk mengatur daripada orang lain yang bukan kerabat. Perhatikan
penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat Al Anfaal pada bagian akhir ayat 75
berikut ini:
... وَأُوْلُواْ الْأَرْحَامِ
بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي
كِتَــــٰبِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
“... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al
Anfaal. 75).
Bagian dari hak “mengatur” tersebut adalah hak
perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang
bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada
urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita,
dia lebih berhak untuk menjadi wali nikah bagi
si wanita itu. Tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah
sementara masih ada kerabat yang lebih dekat, karena hal semacam ini sama saja
dengan merampas hak perwalian sehingga nikahnya menjadi tidak sah.
4. Siapa saja yang bisa menjadi wali
hakim?
Saudaraku,
Apabila seorang wanita tidak punya wali (anak dari hasil
hubungan zina) atau memiliki wali tetapi tidak berhak untuk menikahkannya
karena tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai wali nikah, atau semua walinya
menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (tidak
mau menikahkan tanpa alasan yang syar’i), maka hakim boleh menikahkannya. Perhatikan
penjelasan hadits berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو داود)
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang
menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila
ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas
kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).
Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini
pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali
nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali
khusus (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau
karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan
laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa
alasan yang syar’i).
Sebagai contoh: anak dari hasil hubungan zina tidak
memiliki bapak nasab (anak hasil hubungan zina tidak boleh dinasabkan ke bapak
biologisnya) dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Untuk kasus seperti
ini, maka wali nikahnya
adalah wali hakim.
Selanjutnya, siapakah wali hakim itu?
Dalam hadits Siti A’isyah di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa
wali hakim dengan Sulthan (
السُّلْطَانُ ), yang artinya penguasa. Sedangkan
sulthon
dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi (diserahi
tugas)
untuk menangani masalah pernikahan.
Di negara kita, pemerintah
telah membentuk KUA sebagai petugas resmi yang menangani masalah pernikahan.
Sehingga dalam hal ini pejabat resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi
wali pernikahan, ketika calon mempelai wanita tidak
mempunyai wali atau wali khusus (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi
syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya
menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya
tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).
Dengan demikian, siapapun yang tidak
berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau yang sepadan dengannya dalam hirarki
pemerintahan, maka dia
tidak bisa disebut sebagai wali hakim.
Kiyai, ustad, guru ngaji,
apalagi teman, jelas tidak
bisa menjadi
wali hakim. Termasuk juga pejabat KUA yang datang atas nama pribadi (bukan dalam kapasitasnya sebagai pejabat resmi
KUA),
juga tidak
bisa disebut sebagai wali hakim. Karena yang berstatus sebagai wali hakim adalah
pejabat terkait yang datang resmi atas nama lembaga dan bukan atas nama
pribadi.
Jika mereka-mereka
itu
tetap nekat mengajukan/menjadikan diri menjadi wali hakim, maka statusnya adalah wali palsu
alias wali gadungan dan tidak
sah menjadi wali. Dengan demikian, pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan
tanpa wali dan itu status pernikahannya tidak sah.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 3
tulisan }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar