Assalamu’alaikum wr. wb.
Tanggapan beliau (staf pengajar/dosen di Jawa
Barat) terhadap artikel “Menikah
Dengan Wali Hakim Karena Benci Kepada Ayah (I)”:
Inggih Pak Imron, matursuwun penjelasannya sangat jelas
dan dimengerti. Sebenarnya ini terjadi pada diri saya dan anak saya. Kami benci
mantan suami karena dia berperilaku buruk dan mengkhianati kami. Kami
terbengkalaikan, yang akhirnya belum bisa memaafkan perbuatannya hingga kini.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Membaca tanggapan yang saudaraku
sampaikan, seolah
tak percaya bahwa ternyata kasus yang saudaraku tanyakan tersebut
adalah kasus yang terjadi pada diri saudaraku sendiri beserta ananda tercinta. Do’aku:
semoga Allah memberi kekuatan kepada saudaraku beserta ananda tercinta sehingga
saudaraku bisa sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang teramat berat ini.
Amin, ya rabbal ‘alamin!
Saudaraku,
Sudah sewajarnya
jika seorang isteri beserta anak-anaknya berharap kepada suami agar sang suami
bisa menjadi pemimpin bagi keluarga yang oleh karenanya diharapkan suami dapat bertanggung jawab akan baik-buruknya isteri
beserta anak-anaknya. Dan sebagai konsekuensi
logis dari hal ini, maka suami diharapkan bisa menyadari akan kewajibannya untuk
membimbing/mengarahkan isteri beserta anak-anaknya untuk menggapai ridho-Nya sehingga (atas rahmat-Nya) bisa menggapai
surga yang dipenuhi dengan kenikmatan abadi serta terhindar dari api neraka
Jahannam.
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, dimana sang
suami malah berperilaku buruk dan mengkhianati isteri beserta anak-anaknya, tentunya
juga sangat manusiawi jika kemudian timbul rasa benci kepada sang suami.
Apalagi jika perilaku suami semakin memburuk hingga isteri beserta anak-anaknya
terbengkalai sehingga menyebabkan suasana kehidupan rumah tangga kian hari
justru kian memburuk hingga keutuhan rumah tangga tidak bisa dipertahankan
lagi.
Saudaraku,
Terkait hal ini, ada satu hal yang harus kita perhatikan.
Bahwa boleh saja saudaraku tidak suka (benci) terhadap perbuatan mantan suami, namun
saudaraku harus tetap berlaku adil kepadanya.
Perhatikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian tengah ayat 2 berikut
ini:
... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ
قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ ... ﴿٢﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). ...”. (QS. Al Maa-idah. 2).
Tafsir Ibnu Katsir: “... Jangan sekali-kali kebencian
kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian
untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah
mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan
balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus
tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu
bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun. ...”.
Saudaraku,
Dari surat Al Maa-idah ayat 2 di atas, diperoleh
penjelasan bahwa kebencian kaum muslimin kepada orang-orang yang dahulunya
pernah menghalang-halangi kaum muslimin untuk sampai ke Masjidil Haram, tidak
boleh mendorong kaum muslimin untuk melanggar hukum Allah terhadap mereka orang-orang
yang menghalangi pelaksanaan agama tersebut hingga hal ini bisa menjadi sebab kaum
muslimin mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Yang
benar adalah bahwa kaum muslimin harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan
oleh Allah kepada mereka, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap
siapapun.
Saudaraku,
Pesan keadilan di atas begitu
pentingnya,
sehingga ditegaskan kembali dalam surat yang sama (yakni surat Al
Maa-idah) pada ayat
8 berikut ini:
... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ
قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
﴿٨﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maa-idah. 8).
Saudaraku dapat mengambil pelajaran dari uraian di atas. Bahwa
boleh saja saudaraku tidak suka (benci) kepada mantan suami yang telah
berperilaku buruk dan mengkhianati saudaraku beserta ananda tercinta, namun
saudaraku harus tetap berlaku adil kepadanya. Salah satu diantaranya adalah
terkait haknya sebagai wali nikah bagi ananda tercinta.
Saudaraku,
Tidak mau menikahkan ananda tercinta dengan wali nikah
sang bapaķ tanpa alasan yang syar’i, hal ini sama saja dengan merampas hak
perwaliannya. Dan jika ini yang dilakukan, maka itu artinya saudaraku beserta
ananda tercinta telah berlaku dzolim kepada mantan suami.
Saudaraku,
Janganlah kebencian saudaraku beserta ananda tercinta
kepada mantan suami mendorong saudaraku melanggar hukum Allah. Saudaraku tidak
perlu khawatir jika mantan suami ternyata punya itikad buruk dengan bersikukuh
untuk tidak merestui pernikahan ananda tercinta tanpa alasan yang jelas,
setelah saudaraku beserta ananda tercinta berupaya untuk berlaku adil kepada
mantan suami dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. Santai saja wahai
saudaraku, karena Islam telah memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan
terburuk seperti ini.
Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو
داود)
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang
menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila
ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin).
Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka
yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).
Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini
pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali
nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali
khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali
nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk
menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau
menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).
Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan, maka harus dilihat dahulu
alasannya apakah alasannya syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah
alasan yang dibenarkan oleh agama, misalnya anak gadisnya sudah dilamar orang
lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (non-muslim),
atau orang fasik (misalnya pezina atau pemabok), atau mempunyai cacat tubuh
yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak
menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali (dalam
hal ini mantan suami/ayah kandung dari ananda tercinta) wajib ditaati dan
kewaliannya tidak bisa berpindah kepada pihak lain (wali hakim).
Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah
dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya jelas tidak sah alias batil.
Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan ayah kandungnya,
tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa
wali, sehingga
nikahnya batil.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR.
At-Tirmidzi).
Namun adakalanya wali menolak menikahkan putrinya dengan
alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan oleh agama. Misalnya calon
suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajahnya tidak rupawan, dan
sebagainya. Termasuk jika penolakannya hanya dilandasi balas dendam
dari wali nikah terkait masa lalu hingga beliau bersikukuh untuk tidak merestui
pernikahan ananda tercinta tanpa alasan yang jelas.
Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan
alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali yang seperti ini disebut wali
‘adhol. Makna ‘adhol adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya tanpa
alasan yang syar’i, jika perempuan itu telah menuntut nikah.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم
بِالْمَعْرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ
بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٢٣٢﴾
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah. 232).
Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini,
maka hak kewaliannya akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga saudaraku tidak
perlu khawatir seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa saudaraku
setelah saudaraku beserta ananda tercinta berupaya untuk berlaku adil kepada
mantan suami dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. (Doaku: semoga hal
seperti ini tidak sampai terjadi pada saudaraku beserta ananda tercinta. Amin,
ya rabbal ‘alamin).
Dan seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa
saudaraku dan saudaraku beserta ananda tercinta berkeinginan untuk mendapatkan
wali hakim, maka saudaraku bisa datang ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon
mempelai perempuan (ananda tercinta) tinggal. Nantinya ada beberapa persyaratan
serta serangkaian prosedur yang harus dilalui. Untuk lebih jelasnya, saudaraku beserta
ananda tercinta bisa bertanya langsung di KUA setempat.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{ Bersambung; tulisan ke-2 dari 3
tulisan }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar