بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Rabu, 03 Oktober 2018

MENIKAH DENGAN WALI HAKIM KARENA BENCI KEPADA AYAH (II)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Tanggapan beliau (staf pengajar/dosen di Jawa Barat) terhadap artikel “Menikah Dengan Wali Hakim Karena Benci Kepada Ayah (I)”:

Inggih Pak Imron, matursuwun penjelasannya sangat jelas dan dimengerti. Sebenarnya ini terjadi pada diri saya dan anak saya. Kami benci mantan suami karena dia berperilaku buruk dan mengkhianati kami. Kami terbengkalaikan, yang akhirnya belum bisa memaafkan perbuatannya hingga kini.

Saudaraku yang dicintai Allah,
Membaca tanggapan yang saudaraku sampaikan, seolah tak percaya bahwa ternyata kasus yang saudaraku tanyakan tersebut adalah kasus yang terjadi pada diri saudaraku sendiri beserta ananda tercinta. Do’aku: semoga Allah memberi kekuatan kepada saudaraku beserta ananda tercinta sehingga saudaraku bisa sabar dan tabah dalam menghadapi cobaan yang teramat berat ini. Amin, ya rabbal ‘alamin!

Saudaraku,
Sudah sewajarnya jika seorang isteri beserta anak-anaknya berharap kepada suami agar sang suami bisa menjadi pemimpin bagi keluarga yang oleh karenanya diharapkan suami dapat bertanggung jawab akan baik-buruknya isteri beserta anak-anaknya. Dan sebagai konsekuensi logis dari hal ini, maka suami diharapkan bisa menyadari akan kewajibannya untuk membimbing/mengarahkan isteri beserta anak-anaknya untuk menggapai ridho-Nya sehingga (atas rahmat-Nya) bisa menggapai surga yang dipenuhi dengan kenikmatan abadi serta terhindar dari api neraka Jahannam.

Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, dimana sang suami malah berperilaku buruk dan mengkhianati isteri beserta anak-anaknya, tentunya juga sangat manusiawi jika kemudian timbul rasa benci kepada sang suami. Apalagi jika perilaku suami semakin memburuk hingga isteri beserta anak-anaknya terbengkalai sehingga menyebabkan suasana kehidupan rumah tangga kian hari justru kian memburuk hingga keutuhan rumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi.

Saudaraku,
Terkait hal ini, ada satu hal yang harus kita perhatikan. Bahwa boleh saja saudaraku tidak suka (benci) terhadap perbuatan mantan suami, namun saudaraku harus tetap berlaku adil kepadanya.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian tengah ayat 2 berikut ini:

... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ ... ﴿٢﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). ...”. (QS. Al Maa-idah. 2).

Tafsir Ibnu Katsir: “... Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun. ...”.

Saudaraku,
Dari surat Al Maa-idah ayat 2 di atas, diperoleh penjelasan bahwa kebencian kaum muslimin kepada orang-orang yang dahulunya pernah menghalang-halangi kaum muslimin untuk sampai ke Masjidil Haram, tidak boleh mendorong kaum muslimin untuk melanggar hukum Allah terhadap mereka orang-orang yang menghalangi pelaksanaan agama tersebut hingga hal ini bisa menjadi sebab kaum muslimin mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Yang benar adalah bahwa kaum muslimin harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun.

Saudaraku,
Pesan keadilan di atas begitu pentingnya, sehingga ditegaskan kembali dalam surat yang sama (yakni surat Al Maa-idah) pada ayat 8 berikut ini:

... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maa-idah. 8).

Saudaraku dapat mengambil pelajaran dari uraian di atas. Bahwa boleh saja saudaraku tidak suka (benci) kepada mantan suami yang telah berperilaku buruk dan mengkhianati saudaraku beserta ananda tercinta, namun saudaraku harus tetap berlaku adil kepadanya. Salah satu diantaranya adalah terkait haknya sebagai wali nikah bagi ananda tercinta.

Saudaraku,
Tidak mau menikahkan ananda tercinta dengan wali nikah sang bapaķ tanpa alasan yang syar’i, hal ini sama saja dengan merampas hak perwaliannya. Dan jika ini yang dilakukan, maka itu artinya saudaraku beserta ananda tercinta telah berlaku dzolim kepada mantan suami.

Saudaraku,
Janganlah kebencian saudaraku beserta ananda tercinta kepada mantan suami mendorong saudaraku melanggar hukum Allah. Saudaraku tidak perlu khawatir jika mantan suami ternyata punya itikad buruk dengan bersikukuh untuk tidak merestui pernikahan ananda tercinta tanpa alasan yang jelas, setelah saudaraku beserta ananda tercinta berupaya untuk berlaku adil kepada mantan suami dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. Santai saja wahai saudaraku, karena Islam telah memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan terburuk seperti ini.

Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو داود)   
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).

Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan, maka harus dilihat dahulu alasannya apakah alasannya syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh agama, misalnya anak gadisnya sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (non-muslim), atau orang fasik (misalnya pezina atau pemabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali (dalam hal ini mantan suami/ayah kandung dari ananda tercinta) wajib ditaati dan kewaliannya tidak bisa berpindah kepada pihak lain (wali hakim).

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya jelas tidak sah alias batil. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan ayah kandungnya, tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, sehingga nikahnya batil.

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan putrinya dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan oleh agama. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajahnya tidak rupawan, dan sebagainya. Termasuk jika penolakannya hanya dilandasi balas dendam dari wali nikah terkait masa lalu hingga beliau bersikukuh untuk tidak merestui pernikahan ananda tercinta tanpa alasan yang jelas.

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali yang seperti ini disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya tanpa alasan yang syar’i, jika perempuan itu telah menuntut nikah.

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٢٣٢﴾
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah. 232).

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga saudaraku tidak perlu khawatir seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa saudaraku setelah saudaraku beserta ananda tercinta berupaya untuk berlaku adil kepada mantan suami dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. (Doaku: semoga hal seperti ini tidak sampai terjadi pada saudaraku beserta ananda tercinta. Amin, ya rabbal ‘alamin).

Dan seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa saudaraku dan saudaraku beserta ananda tercinta berkeinginan untuk mendapatkan wali hakim, maka saudaraku bisa datang ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai perempuan (ananda tercinta) tinggal. Nantinya ada beberapa persyaratan serta serangkaian prosedur yang harus dilalui. Untuk lebih jelasnya, saudaraku beserta ananda tercinta bisa bertanya langsung di KUA setempat.

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

{ Bersambung; tulisan ke-2 dari 3 tulisan }

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞