Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman sekolah di
SMAN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
“Pak Imron, bagaimana ya hukumnya dalam Islam bila istri yang merasa teraniaya terus minggat/keluar dari rumah?”.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya tujuan utama dalam
pernikahan adalah terbentuknya keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah,
sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ar-Ruum ayat 21 berikut ini:
وَمِنْ ءَايَـــــٰــتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَــــٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٢١﴾
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.
(QS. Ar-Ruum.
21)
Kata Sakinah terambil dari Bahasa Arab yang teridiri dari
huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan atau kebalikan
dari kegoncangan dan pergolakan.
Mawaddah adalah
perasaan cinta yang membara. Seorang suami atau istri yang hatinya
dipenuhi oleh mawaddah, maka dia
tidak akan rela pasangan hidupnya disentuh oleh
sesuatu yang buruk. Dia bahkan bersedia menampung keburukan itu atau
mengorbankan diri demi pasangan hidupnya.
Rahmah dalam Bahasa Indonesia berarti rasa sayang. Rasa sayang
kepada pasangan hidupnya merupakan bentuk kesetiaan dan kebahagiaan yang
dihasilkannya.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Islam telah berpesan agar
kasih sayang dan rasa cinta selalu menghiasi kehidupan rumah tangga, kebaikan
dan kebersamaan mengiringi suami istri. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam
surat An Nisaa’ ayat 19 berikut ini:
... وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا
كَثِيرًا ﴿١٩﴾
“... Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (QS. An Nisaa’. 19).
Saudaraku,
Sudah
menjadi sesuatu yang wajar jika dalam membina rumah tangga, kita
berharap agar semuanya berjalan baik-baik saja sebagaimana uraian di atas.
Namun jika dalam perjalanan waktu kemudian ada kekhilafan dari suami tercinta,
maka sebaiknya sang istri mengingatkan suami akan kekhilafannya sambil berdo’a
kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya sehingga
bisa segera belajar dari kesalahannya untuk kemudian segera bisa berubah ke
arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat dipertahankan untuk
selamanya.
Dan jika
pada akhirnya sang suami menyadari kesalahannya kemudian mulai belajar untuk
berubah ke arah yang lebih baik, sebaiknya istri juga bisa memaafkan
kesalahannya/jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Semoga kelapangan dada sang istri dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat
dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan
kita kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin!
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّـــٰـلِحَـــٰتُ قَـــٰـنِتَـــٰتٌ حَـــٰــفِظَـــٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَالَّــــٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُواْ
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا ﴿٣٤﴾
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya*, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah** mereka.
Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An Nisaa’.
34).
Namun jika
ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk)
sehingga istri merasa teraniaya, maka sebaiknya istri tidak lantas minggat/keluar dari rumah sebagaimana ditempuh orang-orang yang dilanda kebuntuan
pikiran dan hati, tergesa-gesa, tanpa mempertimbangkan dampak buruknya di
keesokan hari.
Ingat! Bahwa sesungguhnya tergesa-gesa itu adalah
perbuatan syaitan, sedangkan syaitan itu benar-benar musuh yang nyata bagi kita. Oleh karena itu, janganlah kita
mengikuti langkah-langkah mereka.
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
رَضِيَ اَللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللهِ صلى الله عليه وسلم اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ . أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَسَنٌ
Dari Sahal Ibnu Sa'ad Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: “Tergesa-gesa adalah termasuk perbuatan setan”. Riwayat Tirmidzi.
Dia berkata bahwa hadits tersebut hasan.
... وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“... dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).
Terus bagaimana solusinya jika terjadi pertikaian dalam
rumah tangga sehingga istri merasa teraniaya?
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat
35 berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ
أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَـــٰحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا ﴿٣٥﴾
Dan jika
kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. An Nisaa’. 35).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan jika kamu khawatir timbulnya
persengketaan di antara keduanya) maksudnya di antara suami dengan istri
terjadi pertengkaran (maka utuslah) kepada mereka atas kerelaan kedua belah
pihak (seorang penengah) yakni seorang laki-laki yang adil (dari keluarga
laki-laki) atau kaum kerabatnya (dan seorang penengah dari keluarga wanita)
yang masing-masingnya mewakili pihak suami tentang putusannya untuk menjatuhkan
talak atau menerima khuluk/tebusan dari pihak istri dalam putusannya untuk
menyetujui khuluk. Kedua mereka akan berusaha sungguh-sungguh dan menyuruh
pihak yang aniaya supaya sadar dan kembali, atau kalau dianggap perlu buat
memisahkan antara suami istri itu. Firman-Nya: (jika mereka berdua bermaksud)
maksudnya kedua penengah itu (mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan
taufik kepada mereka) artinya suami istri sehingga ditakdirkan-Nyalah mana-mana
yang sesuai untuk keduanya, apakah perbaikan ataukah perceraian. (Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (lagi Maha Mengenali) yang batin seperti
halnya yang lahir”.
Pertanyaannya adalah: apakah suami-istri itu
masing-masing telah menjalankan kewajibannya? Apakah sudah menempuh jalan
penyelesaian, yaitu mendatangkan dua penengah dari pihak keluarga masing-masing
untuk ikut membahas dan memberikan solusi yang tepat bagi masing-masing suami
istri itu sebagaimana penjelasan surat An Nisaa’ ayat 35 di atas? Atau lantaran
tidak ingin berbelit-belit, maka aturan-aturan Allah di atas dikesampingkan begitu
saja?
Saudaraku,
Bila masih dimungkinkan untuk
menyatukan, maka seorang wanita tidak boleh menempuh jalur memutuskan tali
pernikahan dengan meminta (menggugat) cerai dari suaminya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta
perceraian dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma
surga”. (Hadits
riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dari sahabat
Tsaubân).
Saudaraku,
Dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 128, diperoleh
penjelasan sebagai berikut:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ
إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ
وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿١٢٨﴾
Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya
kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. An Nisaa’.
128).
Namun apabila perbedaan sudah sedemikian meruncing/sulit
untuk dijembatani lagi sehingga menyebabkan suasana kehidupan rumah tangga kian
hari justru tidak semakin baik, maka Islam memberi keluasan.
Islam telah memberikan solusi dan jalan bagi mereka yang
tidak mampu lagi menemukan kebahagiaan dalam berumah tangga dengan cara yang
halal (meskipun hal tersebut dibenci), yaitu cerai. Perhatikan penjelasan Allah
dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 130 berikut ini:
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلًّا مِّن سَعَتِهِ
وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا ﴿١٣٠﴾
Jika
keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari
limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Bijaksana. (QS. An Nisaa’. 130).
Saudaraku,
Sebagaimana
uraian di atas, bahwa
jika seorang istri mengajukan gugat cerai tanpa alasan yang jelas, maka hal ini
termasuk dosa besar. Peringatan ini mendapat ancaman keras sebagaimana penjelasan hadits di atas.
Sebuah
gugatan cerai dapat disahkan oleh agama (artinya dibenarkan/dibolehkan sehingga bukan merupakan
perbuatan dosa) bila
ada alasan syar’i. Misalnya karena kurangnya agama (seperti tidak mau
melaksanakan
shalat, tidak mau melaksanakan puasa, dll),
akhlak buruk pada diri suami yang suka bertindak sewenang-wenang hingga
menyebabkan istri sangat tertekan dan tidak mampu lagi memenuhi hak suami
dengan baik, dst.
Meski demikian, keputusan atas
gugatan istri
ini tetap berada di tangan suami, kecuali bila perkaranya sudah masuk kepada
hakim, maka hakim dapat memaksa sang suami tersebut untuk menceraikan istrinya.
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut
ini:
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ
فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ
قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ
الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Azhar bin Jamil Telah menceritakan kepada
kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi Telah menceritakan kepada kami Khalid dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwasanya; Isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, Wahai Rasulullah, tidaklah aku
mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir
kekufuran dalam Islam. Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apakah kamu mau mengembalikan
kebun miliknya itu? Ia menjawab, Ya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu. (HR. Bukhari). (Wallahu
a'lam).
Semoga Allah menganugerahi
keutuhan rumah tangga bagi kita semua kaum muslimin. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Nusyuz (meninggalkan kewajiban
bersuami isteri): merupakan kesombongan istri, seperti menolak suaminya
dari jima’ atau menyentuh badannya atau menolak pindah bersama suaminya atau
menutupi pintu terhadap suaminya yang mau masuk atau minta cerai atau keluar
dari rumah tanpa ijin dari suaminya (tentunya semuanya itu jika tanpa disertai dengan
alasan yang dibenarkan agama).
**) Memukul di sini adalah
memukul dengan pukulan yang tidak sampai melukai fisik sang istri, ditujukan
agar sang istri segera menghentikan perbuatannya tersebut.