Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat telah menyampaikan
pesan via WhatsApp sebagai berikut:
Pak Imron, bagaimana kabarnya? Semoga selalu dalam
keadaan sehat wal afiat, nggih Pak. Mau bertanya Pak Imron, setelah 4 tahun
berlalu dalam kesendirian saya, sekarang ini saya merasa ingin ada yang
menasehati saya, melindungi, mengayomi, ada yang bisa diajak diskusi atau
sekedar ngobrol, Pak Imron. Tetapi tentunya yang saya inginkan adalah yang
agamanya faham, akhlak dan budi pekertinya bagus, Pak Imron. Nah untuk itu
kiranya Pak Imron berkenan memberikan doa yang bisa saya amalkan agar apa yang
saya inginkan (calon suami yang sholeh) dikabulkan Allah, Pak Imron. Jazakallah
khairan katsir.
Pak Imron, maaf sudah mengganggu waktunya. Saya sudah bercerai dari mantan suami empat
tahun yang lalu
di kantor pengadilan agama.
Saya ada 3 anak, atas keputusan
hakim karena mantan suami saat
itu sudah menikah lagi secara diam-diam dengan janda beranak 2 yang semuanya laki-laki sementara anak-anak saya perempuan semua, maka saya mohon kepada majelis hakim untuk membawa semua anak-anak saya. Anak
yang
pertama sedang proses skripsi di
UI, anak yang
kedua kuliah di Telkom University semester 1 dan anak yang ketiga kelas XII
SMA.
Sekarang kami menempati rumah hasil gono-gini dari keputusan hakim. Usaha
kami juga habis untuk foya-foya mantan suami yang hobby selingkuh. Makanya saya masih ada trauma kalau menikah nanti dapat suami yang ahklak dan akidahnya minim, Pak Imron.
Tanggapan
Alhamdulillah, kabarku baik-baik saja di Surabaya/sehat
wal afiat. Tentunya hal ini juga karena do'a saudaraku yang (in sya Allah) telah
dikabulkan Allah. Semoga saudaraku juga demikian keadaannya. Amin, ya rabbal
‘alamin!
Saudaraku menyampaikan bahwa setelah 4 tahun berlalu dalam
kesendirian (karena telah bercerai), sekarang ini saudaraku merasa ingin ada yang
menasehati, melindungi, mengayomi, serta ada yang bisa diajak diskusi atau
sekedar ngobrol.
Tentunya keinginan seperti itu adalah sesuatu yang wajar.
Apalagi Islam memang memperbolehkan hal itu. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat Al Baqarah ayat 234 berikut ini:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al
Baqarah. 234).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Orang-orang yang wafat) atau meninggal
dunia (di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, maka mereka
menangguhkan), artinya hendaklah para isteri itu menahan (diri mereka) untuk
kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh),
maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai
yang hamil, maka iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat
At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu,
menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya,
(mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada
diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan
(secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa
yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin”.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Dari penjelasan surat Al Baqarah ayat 234 di atas,
nampaklah bahwa tidak ada larangan bagi saudaraku jika saudaraku memang
berkeinginan untuk menikah lagi. Yang ada justru sebaliknya. Perhatikan
penjelasan berikut ini:
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Islam telah menyampaikan
kepada kita semua agar saudara-saudara kita (baik laki-laki maupun
wanita-wanita) yang sendirian (artinya yang tidak beristeri/bersuami, baik yang
masih gadis atau janda/yang masih bujang maupun duda), dibantu agar mereka
dapat segera menikah. Demikian
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur pada bagian awal ayat 32 berikut ini:
وَأَنكِحُوا الْأَيَـــٰـمَىٰ مِنكُمْ ... ﴿٣٢﴾
“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu, …” (QS. An Nuur. 32).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian) lafal Ayaama adalah
bentuk jamak dari lafal Ayyimun artinya wanita yang tidak mempunyai suami, baik
perawan atau janda, dan laki-laki yang tidak mempunyai istri; ....”.
Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan penjelasan sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim berikut ini:
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
(رواه البخارى و مسلم)
“Hai para pemuda, siapa yang sanggup menunaikan kewajiban
perkawinan, maka hendaklah kawin. Karena kawin itu dapat menundukkan
penglihatan dan menjaga kemaluan dari yang haram. Dan siapa yang belum dapat,
maka hendaklah berpuasa (menjaga diri dari zina) karena puasa itu sebagai
pencegahnya”. (HR.
Bukhari, Muslim).
Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa Islam
telah menyampaikan kepada kita agar saudara-saudara kita yang masih sendirian
(artinya yang tidak beristeri/bersuami, baik yang masih gadis atau janda/yang
masih bujang maupun duda), sebaiknya disarankan untuk segera menikah karena
menikah itu dapat menundukkan penglihatan dan menjaga kemaluan
dari yang haram.
Saudaraku mengatakan bahwa yang saudaraku inginkan adalah
yang faham agama, akhlak dan budi pekertinya bagus.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Ketahuilah bahwa apa yang telah saudaraku sampaikan
tersebut sangatlah bersesuaian dengan petunjuk agama, bahwa
terkait laki-laki yang akan dinikahi, sebaiknya dipilih laki-laki
yang agamanya baik. Karena bila tidak, maka saudaraku akan celaka. Demikian
penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim berikut
ini:
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita
itu (menurut kebiasaan) dinikahi karena empat hal: Bisa jadi karena hartanya,
karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah
olehmu wanita yang memiliki agama. Karena bila tidak, engkau akan celaka”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim
berikut ini semakin menegaskan hal itu:
اَلدُّنْيَا كُلُّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا
الْمَرْأَةُالصَّالِحَةُ (رواه أحمد ومسلم)
“Dunia ini semuanya sebagai hiburan, dan sebaik-baik
hiburannya ialah wanita (istri) yang shalihah”. (H. R. Ahmad, Muslim).
Sebagai catatan, kedua hadits di atas tidak hanya
ditujukan bagi para laki-laki saja, namun juga ditujukan bagi wanita (artinya
ditujukan kepada semuanya, baik laki-laki maupun wanita).
Sehingga jika dalam hadits yang pertama tertulis “Wanita
itu (menurut kebiasaan) dinikahi karena empat hal, ... dst”, maka untuk para
wanita tentunya berlaku juga bahwa “Laki-laki itu (menurut kebiasaan) dinikahi
karena empat hal, ... dst”. Demikian juga untuk hadits yang kedua, jika dalam
hadits tersebut tertulis “Dunia ini semuanya sebagai hiburan, dan sebaik-baik
hiburannya ialah wanita (istri) yang shalihah”, maka untuk para wanita tentunya
berlaku juga bahwa “Dunia ini semuanya sebagai hiburan, dan sebaik-baik
hiburannya ialah laki-laki (suami) yang shalih”.
Saudaraku bertanya tentang do’a yang bisa saudaraku amalkan
agar apa yang saudaraku inginkan (calon suami yang sholeh) dikabulkan Allah?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa do’a itu sendiri adalah salah satu
bentuk ibadah ghairu mahdhah. Sedangkan perintah untuk berdo’a itu telah Allah SWT. bebankan atas setiap muslim, sebagaimana penjelasan Al Qur’an
dalam surat Al Mu'min ayat 60 berikut ini:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ
الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
﴿٦٠﴾
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina". (QS. Al Mu'min. 60).
Saudaraku,
Karena do’a termasuk ibadah ghairu mahdhah, maka do’a
bisa disampaikan dalam bahasa apa saja (tidak harus dalam Bahasa Arab seperti
halnya ibadah sholat), bisa dilakukan kapan saja (tidak harus dalam bulan
Ramadhan seperti halnya ibadah puasa wajib Ramadhan/tidak harus di malam hari
sebagaimana sholat tahajjud), bisa dilakukan dimana saja (tidak harus di tanah
suci seperti halnya ibadah haji atau umrah), juga bisa dilakukan dalam jumlah
berapa saja yaitu bisa banyak/lama maupun sedikit/pendek (tidak seperti sholat
fardhu yang hanya lima waktu dalam sehari semalam/tidak seperti sholat ied yang
hanya dua kali setahun), dst.
Saudaraku,
Meskipun do’a adalah salah satu bentuk ibadah ghairu
mahdhah sehingga karenanya terbuka kesempatan bagi kita untuk berkreasi dalam
pelaksanaannya, namun bukan berarti kita bisa sebebasnya/sesuka hati dalam
berkreasi. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al A’raaf ayat 55
berikut ini:
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا
يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥﴾
Berdo`alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara
yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (QS. Al A’raaf. 55).
Saudaraku,
Disamping harus dilakukan dengan berendah diri dan suara
yang lembut pada saat berdo’a sebagaimana penjelasan pada bagian awal ayat 55
dari surat Al A’raaf, perhatikan pula bagian akhir ayat 55 dari surat Al A’raaf
tersebut:
...
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٥٥﴾
“... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas”. (QS. Al A’raaf. 55).
Di bagian akhir ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia tidak
menyukai orang-orang yang berbuat i’tida‘ (melampaui
batas). Maknanya
adalah melewati
batasan syariat dan pedoman-pedoman yang semestinya harus dipatuhi.
Dalam surat Al Baqarah ayat 229, Allah SWT berfirman:
...
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿٢٢٩﴾
“... Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah
orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqarah. 229).
Larangan berbuat melampaui batas tersebut berlaku umum,
artinya mencakup seluruh perbuatan, termasuk larangan berbuat melampaui batas dalam
berdoa.
Dari ‘Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu
‘anhu,
ia berkata:
إنَّهُ
سَيَكُونُ فِي هَذِهِ اْلأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ
Sesungguhnya aku pernah
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh akan muncul
kaum dari umat ini yang akan berbuat melampaui batas dalam berdoa dan bersuci”. (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Maajah.
Dishahîhkan oleh al Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dawud).
Berikut ini beberapa contoh perbuatan melampaui
batas (i’tida‘) dalam berdo’a:
1. Berdo’a
kepada selain Allah SWT.
Ini adalah jenis i’tida’ yang paling parah. Tidak ada i’tida’
yang lebih besar dan lebih
parah daripada orang yang berdo’a kepada selain
Allah atau mempersekutukan sesuatu dengan-Nya dalam berdo’a. Perhatikan
firman Allah dalam surat Al Ahqaaf ayat 5 berikut ini:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّن يَدْعُو مِن دُونِ اللهِ مَن لَّا
يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَىٰ يَومِ الْقِيَـــٰمَةِ وَهُمْ عَن دُعَائِهِمْ غَـــٰــفِلُونَ ﴿٥﴾
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do`a)
nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) do`a mereka? (QS.
Al Ahqaaf. 5).
2. Berdo’a kepada Allah untuk perkara
yang haram
Berdo’a kepada Allah untuk perkara yang haram (perkara
yang tidak diperbolehkan), seperti memohon pertolongan untuk melakukan
perbuatan haram dan mengerjakan kemaksiatan.
...
فَقَدْ سَأَلُواْ مُوسَىٰ أَكْبَرَ مِن ذَٰلِكَ فَقَالُواْ
أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّـــٰـعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ ... ﴿١٥٣﴾
“...
Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu.
Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata". Maka
mereka disambar petir karena kezalimannya, ...”. (QS. An Nisaa’. 153).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لا يُقبَلَ إِلَّا طَيِّبًا ... (رواه مسلم)
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala
adalah Maha Baik, (Allah) tidak menerima kecuali yang baik, ...” (HR. Muslim).
3. Memohon kepada Allah sesuatu
yang tidak mungkin dikabulkan
oleh Allah karena bertentangan dengan sifat hikmah-Nya.
Seperti berdo’a/memohon kepada Allah agar hidup
terus-menerus hingga ke alam akhirat (tanpa mengalami kematian). Hal
seperti ini mustahil
dikabulkan oleh Allah, karena
Allah telah berjanji dalam Al Qur’an surat Ali ’Imran ayat 185:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ... ﴿١٨٥﴾
”Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. ...”. (QS. Ali ‘Imran. 185).
Adalah mustahil bagi Allah untuk menghidupkan seorang manusia
terus menerus hingga ke alam akhirat (tidak mengalami kematian), meskipun Allah
bisa melakukannya. Karena Allah adalah Tuhan Yang
Maha Menepati Janji.
... لَا يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
“... Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum. 6).
Atau berdo’a/memohon sesuatu yang mestinya ditempuh
dengan sebab-sebab namun yang bersangkutan enggan untuk melaksanakannya,
seperti berdo’a/memohon agar dapat memperoleh anak tanpa menikah, berdo’a/memohon
agar dapat hidup sehat tanpa makan dan minum, dst.
Atau berdo’a/memohon sesuatu yang tidak selayaknya, yang menjadi keistimewaan
para nabi padahal dia bukan seorang nabi atau memohon sesuatu yang menjadi
keistimewaan Allah subhanahu wa ta’ala seperti memohon agar diberi kemampuan untuk bisa mengetahui
segala sesuatu atau berkuasa atas segala sesuatu atau memohon agar
diperlihatkan sesuatu yang ghaib, dst.
4. Memohon derajat dan martabat
yang tidak layak, sementara sunnatullah tidak memungkinkanya untuk dapat meraih
hal tersebut. Seperti berdo’a/memohon menjadi malaikat, berdo’a/memohon menjadi nabi dan
rasul. Atau berdo’a/memohon supaya menjadi muda kembali setelah memasuki usia
tua, dst.
5. Berdoa kepada Allah tidak
dengan tadharru’.
Saudaraku,
Tadharru’ berarti ketundukan diri yang sangat. Untuk
menggambarkan hal ini, bayangkan seseorang yang tenggelam di tengah lautan dan
yang dimilikinya hanyalah sebatang kayu agar tetap terapung. Ia menjadi semakin
lemah dan semakin dekat pada kematian. Maka bisa dibayangkan bagaimana tatapan
matanya yang penuh harapan menatap ke arah langit sambil berdo’a: Ya
Robbi/wahai Tuhanku, Ya Robbi/wahai Tuhanku! Dalam kondisi seperti ini, bisa
dibayangkan betapa
putus-asanya
dan betapa tulusnya ia berdo’a/memohon pertolongan kepada Allah.
Saudaraku,
Seperti itulah
yang disebut dengan tadharru
di hadapan Allah. Adapun
lawan dari tadharru’ adalah
sikap angkuh atau menyombongkan diri.
وَلَقَدْ أَرْسَلنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَـــٰــهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ
يَتَضَرَّعُونَ ﴿٤٢﴾
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada
umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan)
kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan
tunduk merendahkan diri. (QS. Al An ‘aam. 42).
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا ... ﴿٥٥﴾
“Berdo`alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri ...”.
(QS. Al A’raaf. 55).
Saudaraku,
Demikianlah uraian singkat tentang seputar do’a, dimana
karena do’a adalah salah satu bentuk ibadah ghairu mahdhah, maka terbuka kesempatan
bagi kita untuk berkreasi dalam pelaksanaannya.
Meskipun demikian, bukan berarti kita bisa
sebebasnya/sesuka hati dalam berkreasi. Dalam berdo’a, disamping harus
dilakukan dengan berendah diri dan suara yang lembut, juga tidak boleh melampaui
batas (melewati
batasan syariat dan pedoman-pedoman yang semestinya harus dipatuhi),
sebagaimana uraian di atas.
Sedangkan terkait tentang do’a yang bisa saudaraku amalkan
agar apa yang saudaraku inginkan (calon suami yang sholeh) dikabulkan Allah,
sebenarnya tidak masalah do’a itu berasal dari siapa saja, apakah dari karangan
sendiri atau karangan ulama atau orang lain, selama kandungannya masih sesuai
dengan uraian di atas.
Meskipun demikian, ketahuilah bahwa sesungguhnya do’a
yang terbaik adalah do’a-do’a yang telah diajarkan/dicontohkan oleh Allah serta
Rasul-Nya, yaitu do’a-do’a yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Berikut
ini
lafadz do’a
yang bisa saudaraku lakukan agar segera mendapatkan jodoh yang baik seperti yang saudaraku dambakan:
♦ Do’a untuk laki-laki
yang ingin segera mendapatkan jodoh:
رَبِّ
هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ زَوْجَةً طَيِّبَةً أَخْطُبُهَا وَأَتَزَوَّجُ بِهَا
وَتَكُوْنُ صَاحِبَةً لِى فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأٰخِرَةِ
Robbi hablii milladunka
zaujatan thoyyibatan akhtubuhaa wa atazawwaju bihaa watakuunu shoohibatan lii
fiddiini waddunyaa wal aakhiroh.
Artinya: “Ya Tuhanku, berikanlah
kepadaku isteri
yang terbaik dari sisi-Mu, isteri
yang aku lamar dan nikahi dan istri yang menjadi sahabatku dalam urusan agama,
urusan dunia dan akhirat”.
♦ Do’a untuk wanita yang
ingin segera mendapatkan jodoh:
رَبِّ
هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ زَوْجًا طَيِّبًا وَيَكُوْنُ صَاحِبًا لِى فِى الدِّيْنِ
وَالدُّنْيَا وَالْأٰخِرَةِ
Robbi hablii milladunka zaujan
thoyyiban wayakuunu shoohiban lii fiddiini
waddunyaa wal aakhiroh.
Artinya: “Ya Tuhanku, berikanlah
kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku
dalam urusan agama, urusan dunia & akhirat”.
Selain do’a tersebut diatas,
untuk mendapatkan jodoh secara islami, saudaraku juga dapat mengamalkan do’a berikut ini:
رَبِّ
لَا تَذَرْنِى فَرْدًا وَأَنتَ خَيْرُ ٱلْوَٰرِثِينَ
Robbi laa tadzarnii fardan wa
anta khoirul waaritsiin.
Artinya: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau
membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik”.
...
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّــــٰــتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
﴿٧٤﴾
Rabbanaa hablanaa min azwaajinaa, wa dzurriyyaatinaa
qurrata a'yunin waj'alnaa lil muttaqiina imaamaa.
Artinya: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Furqaan. 74).
Surat Al Furqaan ayat 74 selengkapnya adalah sebagai berikut:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ
أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّــــٰــتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا ﴿٧٤﴾
Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
(QS. Al Furqaan. 74).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Dan orang-orang yang berkata, "Ya Rabb kami!
Anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami) ia dapat dibaca
secara jamak sehingga menjadi Dzurriyyaatinaa, dapat pula dibaca secara Mufrad,
yakni Dzurriyyatinaa (sebagai penyenang hati kami) artinya kami melihat mereka
selalu taat kepada-Mu (dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.") yakni pemimpin dalam kebaikan.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Disamping melakukan do’a sebagaimana uraian di atas, perhatikan
pula penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 26 berikut ini:
الْخَبِيثَـــٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَـــٰتِ وَالطَّـــيِّــبَـــٰتُ لِلطَّـــيِّـبِينَ وَالطَّـــيِّـبُونَ لِلطَّـــيِّــبَـــٰتِ أُوْلَـــٰــئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٢٦﴾
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji,
dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka
ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An Nuur. 26).
Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “
(Wanita-wanita yang keji) baik perbuatannya maupun
perkataannya (adalah untuk laki-laki yang keji) pula (dan laki-laki yang keji)
di antara manusia (adalah buat wanita-wanita yang keji pula) sebagaimana yang
sebelumnya tadi (dan wanita-wanita yang baik) baik perbuatan maupun perkataannya
(adalah untuk laki-laki yang baik) di antara manusia (dan laki-laki yang baik)
di antara mereka (adalah untuk wanita-wanita yang baik pula) baik perbuatan
maupun perkataannya. Maksudnya, hal yang layak adalah orang yang keji
berpasangan dengan orang yang keji, dan orang baik berpasangan dengan orang
yang baik. (Mereka itu) yaitu kaum laki-laki yang baik dan kaum wanita yang
baik, antara lain ialah Siti Aisyah dan Sofwan (bersih dari apa yang dituduhkan
oleh mereka) yang keji dari kalangan kaum laki-laki dan wanita. (Bagi mereka)
yakni laki-laki yang baik dan wanita yang baik itu (ampunan dan rezeki yang
mulia) di surga. Siti Aisyah merasa puas dan bangga dengan beberapa hal yang ia
peroleh, antara lain, ia diciptakan dalam keadaan baik, dan dijanjikan mendapat
ampunan dari Allah, serta diberi rezeki yang mulia.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Berdasarkan surat An Nuur ayat 26 di atas, maka apabila
memang saudaraku benar-benar ingin mendapatkan jodoh yang baik,
saudaraku juga harus demikian pula. Artinya saudaraku juga harus berupaya untuk
menjadi orang yang baik pula.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Dengan upaya yang saudaraku lakukan untuk semakin
memperbaiki diri/menghiasi diri dengan amal perbuatan yang mulia (dengan
menjaga sholat, menjaga lisan, menjaga aurat dari pandangan orang lain yang
tidak berhak, dst), semoga nantinya Allah akan mempertemukan saudaraku dengan
suami yang sholih juga, sebagaimana janji Allah dalam surat An Nuur ayat 26 di
atas. Dan semoga pengalaman buruk di masa lalu, tidak akan pernah terulang
kembali. Amin, ya rabbal ‘alamin! (Do’aku mengiringi perjuangan saudaraku).
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku.
Tanggapan beliau:
Amin ya robbal' alamin. In sya Allah kiranya dapat dimengerti dan dapat kami fahami
pemaparan Pak Imron di atas.
Alhamdulillah,
telah diberi ilmu yang
amat bermanfaat, in sya Allah kami amalkan
Pak Imron.
Jazakallahu khosiron katsir, Pak Imron. Terimakasih juga telah mendapatkan nasehat
yang
amat sangat bermanfaat
sebagai introspeksi diri
kami yang
penuh keterbatasan ini.
Semalam saya merenung, saya harus perbaiki diri, mungkin selama ini saya banyak kekeliruan akibat
ketidakfahaman. Saya ingin hijrah dulu, karena untuk mendapatkan laki-laki
(yang)
baik, mungkin dari diri sendiri dulu harus baik, nggih Pak
Imron?
Uraian Pak Imron
membuat saya terhenyak dan saya mencoba untuk flashback
akan diri saya selama ini.
Demikian dialog ini,
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar