Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Dikala Suami Tak Terima Gugatan Cerai Dari
Isteri (I)”
Tanggapan beliau:
Inggih maturnuwun Pak Imron, atas
atensi dan pencerahannya. Sebetulnya
masalah (yang saya hadapi) bukan hanya soal statement mantan (suami) tentang
perceraian kami (saja),
(namun) juga masalah anak. Hingga kini karena hubungan belum baik, soal anak
saya juga harus sabar. Saya bisa menemui (anak-anak) di sekolah kalau sekiranya aman (saat)
tidak ada ayahnya.
Lebaran, Ramadhan, mau(pun)
liburan, tidak ada kesempatan saya bersama anak. Jangan dikira (saya) tidak berusaha
mengambil atau mengajak anak, tapi semua memang sulit situasinya dan saya
mengalah.
Apalagi saya pergi (dari rumah)
dan hanya tinggal di tempat kost. Orang tua sudah meninggal dan saya belum bisa
memberi tempat berteduh yang nyaman dan permanen buat anak-anak. Jadi saya (hanya)
pasrah saja.
Kalau hingga saat ini anak
dijadikan bagian alat intimidasi mantan suami pada saya, saya nrimo saja. Pasrah
dan tawakal hanya pada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Tanggapan
Saudaraku yang dicintai Allah,
Membaca pesan yang saudaraku
sampaikan di atas,
seolah tak percaya akan kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam menghadapi
cobaan yang teramat berat ini. Semoga kesabaran dan ketabahan saudaraku
tersebut, dilihat oleh Allah SWT. sebagai
amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya
rabbal ‘alamin!
Saudaraku,
Dalam
surat Al ‘Ankabuut ayat 2 – 3, diperoleh penjelasan bahwa tidaklah
seseorang itu menyatakan telah beriman, kecuali akan Allah berikan ujian
kepadanya sehingga bisa dibedakan antara orang-orang yang benar dalam
keimanan mereka dengan orang-orang yang dusta dalam keimanannya (dan Allah
adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui).
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿٣﴾
(2) Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (3) Dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS.
Al ‘Ankabuut. 2 – 3).
Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(2) (Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
saja mengatakan) mengenai ucapan mereka yang mengatakan, ("Kami telah
beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?) diuji lebih dulu dengan
hal-hal yang akan menampakkan hakikat keimanan mereka. Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang-orang yang masuk Islam, kemudian mereka disiksa oleh
orang-orang musyrik.
(3) (Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar) di dalam
keimanan mereka dengan pengetahuan yang menyaksikan (dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta) di dalam keimanannya. (QS. Al
‘Ankabuut. 2 – 3).
Bahkan beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul,
orang-orang yang shiddiq (jujur keimanannya), para syuhada (yang mati
syahid), serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan yang beriman, yang mulia
disisi-Nya.
أَمْ حَسِبْتُمْ
أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن
قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَآءُ وَالضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللهِ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ ﴿٢١٤﴾
“Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. Al Baqarah. 214).
Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
Ayat berikut
diturunkan mengenai susah payah yang menimpa kaum muslimin: (Ataukah),
maksudnya apakah (kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga. Padahal belum)
maksudnya belum (datang kepadamu seperti) yang datang (kepada orang-orang yang
terdahulu sebelum kamu) di antara orang-orang beriman berupa bermacam-macam
cobaan, lalu kamu bersabar sebagaimana mereka bersabar? (Mereka ditimpa oleh);
kalimat ini menjelaskan perkataan yang sebelumnya (malapetaka), maksudnya
kemiskinan yang memuncak, (kesengsaraan) maksudnya penyakit, (dan mereka
diguncang) atau dikejutkan oleh bermacam-macam bala, (hingga berkatalah) baris
di atas atau di depan artinya telah bersabda (Rasul dan orang-orang yang
beriman yang bersamanya) yang menganggap terlambatnya datang bantuan disebabkan
memuncaknya kesengsaraan yang menimpa mereka, ("Bilakah) datangnya
(pertolongan Allah) yang telah dijanjikan kepada kami?" Lalu mereka
mendapat jawaban dari Allah, ("Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat") kedatangannya. (QS. Al Baqarah. 214).
Saudaraku,
Nampaklah sekarang, bahwa ternyata saudaraku tidaklah
sendiri. Karena ternyata beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul,
orang-orang yang shiddiq, para syuhada, serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan
yang beriman, yang bahkan jika kita mau jujur,
beragam cobaan yang menimpa saudaraku (dan juga kita semua) tidaklah bisa
dibandingkan dengan ujian yang menimpa mereka orang-orang yang mulia disisi-Nya.
Jika sudah demikian (dengan
melihat fakta-fakta di atas), semoga saudaraku akan bisa lebih tegar dalam menghadapi
cobaan yang teramat berat ini, sehingga semangat hidup-pun dapat
tumbuh kembali.
Lebih dari itu, ketahuilah bahwa adanya cobaan yang
teramat berat yang menimpa saudaraku tersebut, hal ini justru menunjukkan betapa Allah teramat sayang kepada saudaraku
karena Allah telah menghendaki kebaikan
bagi saudaraku.
Saudaraku,
Adakah yang lebih beruntung
daripada orang yang Allah kehendaki kebaikan bagi dirinya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ. (رواه البخارى)
“Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR.
Al
Bukhari(.
Disamping itu semua, jika pada saat ini saudaraku ditimpa
cobaan yang teramat berat, maka ketahuilah bahwa hal ini sekaligus juga
menunjukkan betapa kuatnya agama saudaraku. Mengapa demikian?
Karena seseorang itu akan diberi cobaan oleh Allah SWT. sesuai
dengan keadaan agamanya. Jika
agamanya kuat, Allah SWT. akan berikan kepadanya cobaan yang berat. Sedangkan jika agamanya masih
lemah, ia juga akan
diuji sesuai dengan agamanya. Sehingga jika pada saat ini saudaraku ditimpa cobaan yang
teramat berat, hal ini sekaligus juga menunjukkan betapa kuatnya agama
saudaraku.
وَأَيُّ
النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ
فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ
صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ
عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ
يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah
orang yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang
semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan keadaan
agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika agamanya masih lemah,
ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah cobaan itu senantiasa menimpa
seorang hamba sampai ia meninggalkan si hamba berjalan di muka bumi tanpa ada
dosa padanya.” (HR. At-Tirmidzi,
hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya).
Berbahagialah engkau wahai saudaraku, karena dalam hal
ini bukan aku yang menilai, namun yang menilai adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (baca kembali hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di
atas).
Sedangkan segala yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (termasuk dalam hal ini), tidak lain adalah wahyu semata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkata-kata tidaklah mengikuti
hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ
الصُّمُّ الدُّعَاءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang
yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al
Anbiyaa’. 45).
Saudaraku,
Terkait cobaan yang teramat berat yang menimpa saudaraku
tersebut, perhatikan pula penjelasan Allah dalam surat Al Baqarah ayat 286 berikut ini:
لَا يُكَلِّفُ
اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”.
(QS. Al Baqarah ayat 286).
Berdasarkan ayat tersebut,
sebenarnya kita juga bisa berpikir dari arah sebaliknya. Artinya, ayat tersebut
sebenarnya juga menunjukkan bahwa seberat apapun
beban hidup yang saat ini sedang mendera kita, pasti Allah telah siapkan bekal
kepada kita untuk menghadapinya. Bukankah: ”Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya?”
Dengan demikian, jika pada
saat ini saudaraku sedang mendapati adanya cobaan yang teramat berat, masalah
demi masalah yang datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan yang seolah datang tiada henti,
maka tidak sepantasnya bagi saudaraku (dan juga bagi kita semua)
untuk mengeluhkannya. Karena dalam hal ini, pasti Allah telah siapkan bekal
kepada kita untuk menghadapinya.
Dengan kata lain, jika pada
saat ini saudaraku sedang mendapati adanya cobaan yang teramat berat, masalah
demi masalah yang datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan yang seolah datang tiada henti,
maka hal itu semua justru sebagai pertanda bahwa Allah SWT.
hendak memberikan kebaikan/nikmat/kekuatan/kemudahan/rezeki kepada saudaraku.
Jadi, ketika cobaan datang secara
bertubi-tubi, masalah demi masalah juga datang
silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan seolah datang tiada henti, maka
seharusnya kita justru bertanya:
√ Ya
Allah, nikmat apa lagi yang hendak Engkau berikan kepada kami, sedangkan
tanda-tandanya sudah nampak jelas di depan mata?
√ Ya
Allah, kemudahan apa lagi yang hendak Engkau berikan kepada kami, sedangkan
tanda-tandanya sudah begitu jelas di depan mata?
√ Ya
Allah, rezeki apa lagi yang hendak Engkau anugerahkan kepada kami, sedangkan
tanda-tandanya sudah sangat jelas di depan mata?
√ Ya
Allah, ..., dst.
Saudaraku,
Jika cara berpikir kita
seperti ini, tentunya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk mengeluh,
bagaimanapun situasi/kondisi yang sedang kita hadapi. Yang terjadi justru
sebaliknya. Apalagi jika hal ini kita kaitkan dengan salah satu hadits qudsi dimana Ahmad, Ibn Majah dan Albaihaqi meriwayatkan,
bahwa Allah berfirman: “Aku selalu mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.
Jika ia berprasangka baik, maka untung baginya. Dan jika berprasangka buruk,
maka ia akan terkena bahayanya”.
Oleh
karena itu, jadilah mukmin yang kuat (dalam menjalani beragam ujian yang sedang
menimpa), karena mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih disukai oleh
Allah daripada orang mukmin yang lemah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَلَا تَعْجِزْ فَإِنْ غَلَبَكَ أَمْرٌ فَقُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا
شَاءَ فَعَلَ وَإِيَّاكَ وَاللَّوْ فَإِنَّ اللَّوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
(رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu sampai kepadanya berita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada
orang mukmin yang lemah. Dan dalam masing-masing (sifat itu) terdapat kebaikan.
Maka bersungguh-sungguhlah kamu terhadap sesuatu yang bermanfaat, dan janganlah
merasa lemah. Jika suatu perkara mengalahkanmu, maka katakanlah, 'Ketentuan
(qadar) Allah (telah menentukan), dan apa yang Allah kehendaki, tentu Dia akan
melaksanakannya.' Dan jauhkanlah ucapan, "Seandainya." Karena ucapan,
"Seandainya," membuka (peluang) pekerjaan syetan." (HR. Ibnu Majah(.
وَاصْبِرْ
نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ
وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ
أَمْرُهُ فُرُطًا ﴿٢٨﴾
“Dan
bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”.
(QS. Al Kahfi. 28).
Sedangkan terkait sikap mantan suami yang tidak memberi
kesempatan kepada saudaraku untuk menemui/bersama dengan anak-anak tercinta,
ketahuilah bahwa ini adalah sebuah kedholiman yang teramat sangat. Perhatikan
penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut
ini:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي سَفَرٍ فَانْطَلَقَ لِحَاجَتِهِ فَرَأَيْنَا حُمَّرَةً مَعَهَا فَرْخَانِ
فَأَخَذْنَا فَرْخَيْهَا فَجَاءَتْ الْحُمَرَةُ فَجَعَلَتْ تُفَرِّشُ فَجَاءَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ فَجَعَ هَذِهِ
بِوَلَدِهَا رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا وَرَأَى قَرْيَةَ نَمْلٍ قَدْ
حَرَّقْنَاهَا فَقَالَ مَنْ حَرَّقَ هَذِهِ قُلْنَا نَحْنُ قَالَ إِنَّهُ لَا
يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ. (رواه ابو داود)
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia
berkata, "Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
satu perjalanan, lalu beliau pergi untuk melaksanakan hajatnya, kemudian kami
melihat seekor burung yang berbulu merah dengan dua telurnya dan langsung kami
mengambil kedua telurnya, kemudian datanglah burung itu dan membentangkan
sayapnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda,
'Siapakah yang telah menyakiti burung ini demi anaknya? Kembalikanlah anak
tersebut kepadanya.' Beliau melihat sarang semut yang telah kami bakar, lalu
beliau bersabda, 'Siapakah yang membakar ini?' Kami berkata, 'Kami.' Maka
beliau bersabda, 'Sesungguhnya tidak layak bagi siapapun untuk menyiksa dengan
api, kecuali Dzat yang memiliki api." (HR. Abu Dawud).
Saudaraku,
Jika
memisahkan anak burung dengan induknya saja adalah perbuatan terlarang, apalagi
memisahkan seorang anak manusia dengan ibunya? Dari hadits tersebut, diperoleh
informasi bahwa induk burung saja merasa susah dan khawatir dengan keadaan
anaknya, lantas bagaimana lagi dengan seorang ibu terhadap anaknya?
Sehingga
pantaslah jika tindakan/sikap mantan suami yang tidak memberi kesempatan kepada
saudaraku untuk menemui/bersama dengan anak-anak tercinta, merupakan sebuah
kedholiman yang teramat sangat, sehingga pelakunya diancam dengan ancaman yang
sangat berat oleh Allah SWT. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Abu Dawud berikut ini:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الشَّيْبَانِيُّ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ
الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ. (رواه الترمذى)
Umar bin Hafsh Asy-Syaibani
menceritakan kepada kami. Abdullah bin Wahab mengabarkan kepada kami, ia
berkata, Huyay bin Abdullah mengabarkan kepada saya, dari Abu Abdurrahman Al
Hubuli, dari Abu Ayyub, ia berkata. "Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya,
niscaya Allah akan memisahkan antara ia dan para kekasihnya pada hari Kiamat
nanti." (HR. At-Tirmidzi).
Mengapa mantan suami tetap bersikeras untuk tidak memberi
kesempatan kepada saudaraku untuk menemui/bersama dengan anak-anak tercinta?
Bisa jadi mantan suami lupa, bahwa di atas kita semua masih ada Allah SWT. yang
selalu mengawasi setiap gerak langkah kita.
...إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
“… Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’. 1).
Saudaraku,
Menghadapi situasi yang
demikian sulit ini, jika saudaraku
mempunyai kemampuan untuk memberantas semua kedholiman ini, maka saudaraku harus lakukan
semaksimal mungkin.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـــٰــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf1 dan mencegah
dari yang munkar2 merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali
’Imran. 104).
Namun jika kebetulan saudaraku berada pada pihak yang lemah, sehingga saudaraku tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi situasi yang demikian sulit
ini, maka saudaraku tidak perlu berkecil hati. Karena sesungguhnya,
Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil.
اللهُ الَّذِي أَنزَلَ الْكِتَـــٰبَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ ... ﴿١٧﴾
”Allah-lah yang menurunkan
kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan) ...”
(QS. Asy Syuura. 17).
Dan cepat atau lambat, Allah
pasti akan menunjukkan keadilan-Nya. Karena sesungguhnya janji-janji Allah
adalah “pasti”. Dan Allah lebih mengetahui kapan saat yang tepat untuk
melaksanakan janji-janji-Nya.
... وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ ...﴿١١١﴾
"... Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? ...” (QS. At Taubah.
111).
Sebagai penutup,
Teruslah berdo’a, memohon kepada Allah SWT. agar semua
permasalahan yang demikian pelik ini, segera ada jalan keluarnya.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ
الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
﴿٦٠﴾
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan
diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina
dina". (QS. Ghafir. 60)
Dan bersabarlah dalam berdo’a/jangan tergesa-gesa, agar
do’a dikabulkan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُسْتَجَابُ
لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ فَيَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي.
(رواه ابو داود)
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan
dikabulkan (doa) seseorang dari kamu selama dia tidak tergesa-gesa, yaitu
berkata, Aku telah berdoa, tapi juga belum dikabulkan bagiku”. (HR. Abu Daud no. 1484).
Yang
dimaksudkan dengan tergesa-desa di sini adalah, ketika seseorang telah berdo’a
dan berdo’a, namun kemudian dia berkata: “Aku telah berdoa, aku telah berdoa,
tetapi mengapa aku tidak melihat tanda-tanda do’aku dikabulkan? Sehingga dia
lelah dalam berdo’a dan akhirnya meninggalkan do’anya tersebut.
Serta tetaplah bertaqwa kepada-Nya.
Karena selama saudaraku tetap
bertaqwa kepada-Nya, maka saudaraku tidak
perlu merasa bimbang akan kelanjutan masa-masa yang akan datang. Mengapa
demikian? Karena Allah akan memberi jalan keluar bagi
hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka,
sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Ath
Thalaaq berikut ini:
... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”...
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللهَ بَـــٰـلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
﴿٣﴾
”Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).
Ya Tuhan kami,
Berilah kekuatan kepada kami,
sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang telah Engkau berikan
kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami hanya berharap kepada
Engkau. Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوْاْ مَا ءَاتَــــٰـهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللهُ
سَيُؤْتِينَا اللهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللهِ رَاغِبُونَ ﴿٥٩﴾
“Jikalau mereka
sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada
mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan
kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah",
(tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At
Taubah. 59).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Yang dimaksud dengan ma’ruf
adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah.
2) Sedangkan
yang dimaksud dengan munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari
pada-Nya.