Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman
alumni SMAN 1 Blitar/staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka
di Surabaya) telah menyampaikan bahwa telah terjadi perdebatan diantara
teman-teman kerjanya terkait apakah Yahudi itu dilaknat Allah atau tidak. Beliau
menyampaikan via WhatsApp sebagai berikut: “Ini lho Pak Imron, (ayat) yang
mengundang perdebatan”.
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَـــٰــرَىٰ وَالصَّـــٰـبِئِينَ مَنْ ءَامَنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَـــٰـلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi-in, siapa
saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al
Baqarah. 62).
Beliau mengatakan: “Katanya kalau melihat ayat tersebut,
Yahudi itu tidak dilaknat Allah”.
Tanggapan
Tidak ada yang perlu diperdebatkan, wahai saudaraku.
Pihak-pihak yang memperdebatkan itu karena mereka memahami ayat secara
sepotong-sepotong, sehingga hal ini bisa menyebabkan mereka salah paham.
Untuk bisa memahami ayat di atas, berikut ini kusampaikan
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy)
serta Tafsir Ibnu Katsir.
Tafsir Jalalain surat Al Baqarah ayat 62:
(إِنَّ
الذين ءامَنُواْ) بالأنبياء من قبل (والذين
هَادُواْ) هم اليهود (والنصارى والصابئين) طائفة
من اليهود أو النصارى (مَنْ ءَامَنَ) منهم (بالله واليوم الأخر) في زمن نبينا (وَعَمِلَ صالحا) بشريعته (فَلَهُمْ
أَجْرُهُمْ) أي ثواب أعمالهم (عِندَ رَبّهِمْ وَلَا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ) روعي في ضمير {آمن} و {عمل} لفظ
{من} وفيما بعده معناها
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman) kepada para nabi
di masa lalu (dan orang-orang Yahudi) (orang-orang Kristen dan orang-orang
Shabi-in) yakni segolongan dari orang-orang Yahudi atau Nasrani (siapa saja
yang beriman) di antara mereka (kepada Allah dan hari akhir) di masa nabi kita
(serta mengerjakan amal saleh) yaitu syariatnya (mereka akan memperoleh pahala)
sebagai ganjaran dari amal perbuatan mereka itu (di sisi Tuhan mereka, tak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka berduka cita). Dhamir atau
kata ganti orang pada 'aamana', 'amila' dan sesudahnya hendaklah diartikan
secara umum atau siapa saja.
Tafsir Ibnu Katsir surat Al Baqarah ayat 62:
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَـــٰــرَىٰ وَالصَّـــٰـبِئِينَ مَنْ ءَامَنَ
بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَـــٰـلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi-in, siapa
saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al
Baqarah. 62).
Setelah Allah SWT. menyebutkan
keadaan orang-orang yang menentang perintah-perintah-Nya, melanggar
larangan-larangan-Nya, berlaku kelewat batas melebihi dari apa yang diizinkan, serta
berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang menimpa
mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa yang
berbuat baik dari kalangan umat-umat terdahulu dan taat, baginya pahala yang
baik. Demikianlah kaidah tetapnya sampai hari kiamat nanti, yakni setiap orang
yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi1), maka baginya kebahagiaan
yang abadi. Tiada ketakutan bagi mereka dalam menghadapi masa mendatang, tidak
pula mereka bersedih hati atas apa yang telah mereka lewatkan dan tinggalkan.
Makna ayat ini sama dengan firman lainnya, yaitu:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾
Ingatlah, sesungguhnya
kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (QS. Yunus. 62).
Seperti yang dikatakan oleh
para malaikat kepada kaum mukmin di saat menghadapi kematiannya yang disitir
oleh firman-Nya seperti berikut:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ
ثُمَّ اسْتَقَـــٰمُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَـــٰــئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا
وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah,'" kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan),
"Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan
bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian." (QS.
Fushshilat. 30).
قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ العَدني، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: قَالَ سَلْمَانُ: سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِ دِينٍ كُنْتُ مَعَهُمْ،
فذكرتُ مِنْ صَلَاتِهِمْ وَعِبَادَتِهِمْ، فَنَزَلَتْ: {إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan,
telah menceritakan kepada kami Bapakku, telah menceritakan kepada kami Umar
ibnu Abu Umar Al-Adawi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ibnu Abu
Nujaih, dari Mujahid yang mengatakan bahwa Salman r.a. pernah menceritakan hadits
berikut: Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pemeluk agama yang dahulunya aku salah seorang dari mereka, maka aku
menceritakan kepada beliau tentang cara shalat dan ibadah mereka. Lalu turunlah
firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian”, hingga akhir ayat.
As-Saddi mengatakan bahwa
firman-Nya yang mengatakan: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara
mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh....
(Al-Baqarah: 62) diturunkan berkenaan dengan teman-teman Salman Al-Farisi.
Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .,
lalu ia menyebutkan perihal teman-teman yang seagamanya di masa lalu, ia
menceritakan kepada Nabi berita tentang mereka. Untuk itu ia mengatakan: “Mereka
shalat, puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan
diutus sebagai seorang nabi”. Setelah Salman selesai bicaranya yang mengandung
pujian kepada mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya: “Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka”. Maka hal ini terasa amat
berat bagi Salman. Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Iman orang-orang Yahudi itu
ialah barang siapa yang berpegang kepada kitab Taurat dan sunnah Nabi Musa
A.S., maka imannya diterima hingga Nabi Isa A.S. datang. Apabila Nabi Isa A.S.
telah datang, sedangkan orang yang tadinya berpegang kepada kitab Taurat dan
sunnah Nabi Musa A.S. tidak meninggalkannya dan tidak mau mengikut kepada
syariat Nabi Isa A.S., maka ia termasuk orang yang binasa.
Iman orang-orang Nasrani ialah
barang siapa yang berpegang kepada kitab Injil dari kalangan mereka dan
syariat-syariat Nabi Isa A.S., maka dia termasuk orang yang mukmin lagi
diterima imannya hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang.
Barang siapa dari kalangan mereka yang tidak mau mengikut kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tidak mau meninggalkan sunnah Nabi Isa A.S. serta ajaran
Injilnya sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, maka dia
termasuk orang yang binasa.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal
yang semisal telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair.
Menurut kami, riwayat ini tidak
bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di
antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian...”, hingga
akhir ayat (Al-Baqarah: 62). Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa sesudah itu
diturunkan oleh Allah firman berikut:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَـــٰمِ
دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَـــٰـسِرِينَ ﴿٨٥﴾
Barang siapa mencari agama
selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan
dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85).
Sesungguhnya apa yang dikatakan
oleh Ibnu Abbas ini merupakan suatu pemberitahuan bahwa tidak akan diterima
dari seseorang suatu cara dan tidak pula suatu amal-pun, kecuali apa yang
bersesuaian dengan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah
beliau diutus membawa risalah yang diembannya. Adapun sebelum itu, setiap orang
yang mengikuti rasul di zamannya, dia berada dalam jalan petunjuk dan jalan
keselamatan.
Orang-orang Yahudi adalah
pengikut Nabi Musa A.S., yaitu mereka yang berpegang kepada kitab Taurat di
zamannya. Kata al-yahud diambil dari kata al-hawadah yang
artinya kasih sayang, atau berasal dari kata at-tahawwud yang artinya
tobat, seperti yang dikatakan oleh Musa A.S. dalam firman-Nya:
... إِنَّا هُدْنَـا إِلَيْكَ ... ﴿١٥٦﴾
“... Sesungguhnya kami kembali
(bertaubat) kepada Engkau. ...”. (Al-A'raaf: 156)
Maksudnya, kami bertobat kepada
Engkau. Seakan-akan mereka dinamakan demikian pada asal mulanya karena tobat
dan kasih sayang sebagian mereka kepada sebagian yang lain.
Menurut pendapat yang lain,
nama Yahudi itu dinisbatkan (dikaitkan) dengan Yahuda, nama anak tertua Ya'qub.
Abu Amr ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka selalu bergerak di
kala membaca kitab Taurat.
Ketika Nabi Isa A.S. diutus,
kaum Bani Israil diwajibkan untuk mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat
Nabi Isa A.S. dan pemeluk agamanya dinamakan Nasrani karena mereka saling
menolong di antara sesama mereka. Mereka disebut pula Ansar, seperti yang
dikatakan oleh Nabi Isa A.S. dalam firman-Nya:
... مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ
اللهِ ... ﴿٥٢﴾
... “Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin
(sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah”. ...”.
(Ali ‘Imraan: 52).
Menurut pendapat yang lain,
mereka dinamakan demikian karena pernah bertempat tinggal di suatu daerah yang
dikenal dengan nama Nasirah. Demikian menurut Qatadah dan Ibnu Juraij, serta
diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas.
Nasara adalah bentuk jamak dari
nasran, sama halnya dengan lafaz nasyawa bentuk jamak dari lafaz nasywan, dan sukara bentuk jamak dari lafaz sakran. Dikatakan Nasranah untuk seorang wanita Nasrani. Salah
seorang penyair mengatakan, "Dan seorang wanita Nasranah yang tidak pernah
ibadah."
Ketika Allah SWT. mengutus Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemungkas para nabi dan rasul
kepada semua anak Adam secara mutlak, maka diwajibkan bagi mereka percaya
kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya, dan mencegah diri dari
apa yang dilarangnya. Mereka adalah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya.
Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dinamakan kaum mukmin karena
banyaknya keimanan mereka dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat
mereka beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara gaib yang
akan datang.
Mengenai orang-orang Shabi-in, para ulama berbeda pendapat
mengenai hakikat mereka. Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Lais ibnu Abu
Sulaim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa mereka (yakni orang-orang Shabi-in) adalah suatu kaum antara
Majusi, Yahudi, dan Nasrani; pada hakikatnya mereka tidak mempunyai agama. Hal
yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid.
Telah diriwayatkan dari Ata dan
Sa'id ibnu Jubair hal yang semisal dengan pendapat di atas.
Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu
Anas, As-Saddi, AbusySya'sa (yakni Jabir ibnu Zaid), Ad-Dahhak, dan Ishaq ibnu
Rahawaih mengatakan bahwa Shabi-in adalah suatu sekte dari kalangan ahli kitab,
mereka mengakui kitab Zabur. Karena itu, Imam Abu Hanifah dan Ishaq mengatakan
bahwa tidak mengapa dengan sembelihan mereka dan menikah dengan mereka.
Hasyim meriwayatkan dari
Mutarrif: “Ketika kami sedang bersama Al-Hakam ibnu Atabah, lalu ada seorang
lelaki dari kalangan penduduk Basrah bercerita kepadanya, dari Al-Hasan yang
mengatakan tentang orang-orang Shabi-in, bahwa sesungguhnya mereka itu sama dengan
orang-orang Majusi”. Kemudian Al-Hakam berkata: “Bukankah akupun telah
mengatakan hal yang sama kepada kalian?”.
Abdur Rahman ibnu Mahdi
meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar
Al-Hasan menceritakan tentang orang-orang Shabi-in. Dia mengatakan bahwa mereka adalah suatu kaum
yang menyembah malaikat.
Ibnu Jarir meriwayatkan, telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada
kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-Hasan yang menceritakan:
“Diberitakan kepada Ziad bahwa orang-orang Shabi-in shalat menghadap ke arah kiblat, mereka shalat
lima waktu. Ziad bermaksud membebaskan mereka dari pungutan jizyah, tetapi
sesudah itu dia mendapat berita bahwa mereka menyembah malaikat”.
Abu Ja'far Ar-Razi mengatakan,
telah sampai berita kepadanya bahwa orang-orang Shabi-in adalah suatu kaum yang menyembah malaikat,
percaya kepada kitab Zabur, dan shalat menghadap ke arah kiblat. Hal yang sama
dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan,
telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu AbuzZanad, dari ayahnya yang
mengatakan bahwa orang-orang Shabi-in adalah suatu kaum yang tinggal di sebelah
negeri Irak. Mereka kaum yang suka menangis, beriman kepada semua nabi serta
puasa selama tiga puluh hari setiap tahunnya, dan mereka shalat menghadap
negeri Yaman setiap harinya sebanyak lima kali.
Wahb ibnu Munabbih pernah
ditanya mengenai Shabi-in.
Ia menjawab bahwa mereka hanya mengenal Allah semata, tidak mempunyai syariat
yang diamalkan, tidak pula berbuat kekufuran.
Abdullah ibnu Wahb mengatakan
bahwa Abdur Rahman ibnu Zaid pernah berkata: “Shabi-in adalah pemeluk suatu
agama yang tinggal di Mausul. Mereka mengatakan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah, tetapi mereka tidak mempunyai amal, kitab, dan nabi kecuali hanya ucapan:
tidak ada Tuhan selain Allah”.
Abdur Rahman ibnu Zaid
mengatakan pula bahwa mereka tidak beriman kepada rasul. Karena itulah
orang-orang musyrik mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya adalah
orang-orang Shabi-in. Orang-orang musyrik menyerupakan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya dengan mereka dalam hal ucapan: “tidak ada Tuhan
selain Allah”.
Al-Khalil mengatakan bahwa Shabi-in
adalah suatu kaum yang agamanya menyerupai agama Nasrani, hanya kiblat mereka
mengarah kepada datangnya angin selatan; mereka menduga bahwa dirinya berada
dalam agama Nabi Nuh A.S.
Al-Qurtubi meriwayatkan dari
Mujahid, Al-Hasan, dan Ibnu Abu Nujaih, bahwa mereka adalah suatu kaum yang
agamanya merupakan campuran antara agama Yahudi dan agama Majusi; sembelihan
mereka tidak boleh dimakan, dan kaum wanitanya tidak boleh dinikahi.
Al-Qurtubi mengatakan, yang
tersimpul dari pendapat mereka menurut apa yang disebut oleh sebagian ulama
yaitu mereka adalah orang-orang yang mengesakan Tuhan dan meyakini akan
pengaruh bintang-bintang, bahwa bintang-bintang tersebutlah yang melakukannya.
Karena itulah Abu Sa'id Al Astakhri mengeluarkan fatwa bahwa mereka adalah
orang kafir. Ia katakan demikian ketika Al-Qadir Billah menanyakan kepadanya
tentang hakikat mereka.
Ar-Razi memilih pendapat yang
mengatakan bahwa Shabi-in adalah suatu kaum yang menyembah bintang-bintang,
dengan pengertian bahwa Allah telah menjadikannya sebagai kiblat untuk ibadah
dan do’a, yakni Allah menyerahkan pengaturan urusan alam ini kepada
bintang-bintang tersebut. Selanjutnya Ar-Razi mengatakan bahwa pendapat ini
dinisbatkan kepada orang-orang Kasyrani yang didatangi oleh Nabi Ibrahim A.S.
untuk membatalkan pendapat mereka dan memenangkan perkara yang hak.
Pendapat Mujahid dan para
pengikutnya serta pendapat Wahb ibnu Munabbih menyatakan bahwa Shabi-in adalah
suatu kaum bukan pemeluk agama Yahudi, bukan Nasrani, bukan Majusi, bukan pula
kaum musyrik. Sesungguhnya mereka adalah suatu kaum yang hanya tetap pada
fitrah mereka, tiada agama tetap yang menjadi panutan dan pegangan mereka.
Karena itulah maka kaum musyrik memperolok-olokkan orang yang masuk Islam
dengan sebutan Shabi, dengan maksud bahwa dia telah menyimpang dari semua agama
penduduk bumi di saat itu.
Sebagian ulama mengatakan, Shabi-in
adalah orang-orang yang belum sampai kepada mereka dakwah seorang nabi pun. Pendapat
yang paling kuat di antara semuanya hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 3
tulisan }