Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Mengkaji Pemikiran
Orang Liberal Tentang Seputar Masalah Menutup Aurat Bagi
Wanita (I)”:
♦ YW: “Di Indonesia masih ada yang membully
cara saya berkerudung,
padahal di konferensi
perdamaian ini muslimah dari negara Islam nggak ada yang pakai jilbab. Di Al Qur'an dan Hadits, definisi menutup
aurat ada macam-macam, Nabi saja memberitahu batasan aurat ke Fatimah dan Asma beda-beda. Imam Syafii saja
punya 2 pendapat dalam menetapkan batasan
aurat: qaul jadid dan qaul qodim (Tribunnews)”.
Saudaraku,
Setiap muslim harus berpegang pada Al Qur’an dan Hadits. Siapapun,
bahkan ‘ulama’ sekalipun, jika mereka mengatakan sesuatu yang tidak
sesuai/bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, silahkan ditinggalkan.
Sedangkan jika sesuai/tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits, silahkan
diikuti (baca kembali penjelasan Al Qur’an dalam surat Ibrahim ayat
52 berikut ini:
هَـــٰـذَا بَلَـــٰغٌ لِّلنَّاسِ
وَلِيُنذَرُواْ بِهِ وَلِيَعْلَمُواْ أَنَّمَا هُوَ إِلَــــٰـهٌ وَاحِدٌ وَلِيَذَّكَّرَ أُوْلُواْ الْأَلْبَابِ ﴿٥٢﴾
“(Al Qur'an) ini adalah
penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan
dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha
Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran”. (QS. Ibrahim. 52).
Saudaraku,
Sebagai orang yang
beriman, maka kita harus lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain. Lebih
mendahulukan hukum Allah daripada yang lain, artinya jika kita menemui adanya
pertentangan antara syari’ah Islam dengan budaya masyarakat atau lainnya, maka
syari’ah Islam-lah yang harus kita ikuti.
ثُمَّ جَعَلْنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah.
18).
Sehingga jika dalam tulisan di atas tertulis pernyataan
dari YW, yang menyatakan di konferensi perdamaian yang beliau hadiri, didapati
muslimah dari negara Islam nggak ada yang pakai jilbab, maka hal ini tidak
dapat dijadikan sebagai pembenaran bagi setiap wanita muslimah untuk tidak
memakai jilbab. Karena Allah telah menjadikan kita kaum muslimin berada di atas
syari’at Islam, dan kita diperintahkan untuk mengikuti syariat itu serta
dilarang untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Saudaraku,
Dalam tulisan tersebut juga terdapat keterangan bahwa: “Di Al Qur'an dan Hadits, definisi menutup
aurat ada macam-macam”. Dan memang demikianlah faktanya. Namun hal ini
bukan berarti bisa disimpulkan bahwa batasan aurat itu menjadi tidak jelas,
apalagi sampai menuduh bahwa Al Qur'an dan Hadits tidak konsisten alias
plin-plan dalam menentukan batasan aurat bagi wanita muslimah. (Rabbana Ya
Tuhan kami, sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari
tuduhan seperti ini).
Saudaraku,
Benar bahwa di dalam Al Qur'an dan Hadits, definisi/batasan
aurat bagi wanita muslimah
itu ada
macam-macam. Namun hal ini bukan berarti bisa disimpulkan bahwa batasan aurat bagi
wanita itu menjadi tidak jelas. Yang benar adalah hal ini menunjukkan bahwa batasan
aurat bagi wanita itu berbeda-beda, tergantung situasi/kondisinya (saat
mengerjakan ibadah shalat, saat berada di depan suaminya, saat sendirian, saat
berada di tempat umum, saat di lingkungan mahramnya, saat berada
ditengah-tengah wanita muslimah, saat berada dihadapan wanita non-muslimah,
dll).
√ Saat mengerjakan ibadah shalat
عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَا يَقْبَلُ
اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ. (رواه ابو داود)
Dari Aisyah RA, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda,
"Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haid (baligh), kecuali
dengan memakai tutup kepala. " (HR. Abu Dawud).
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا
قَبِيصَةُ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ
صَفِيَّةَ ابْنَةِ الْحَارِثِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ الْحَائِضِ إِلَّا بِخِمَارٍ.
(رواه الترمذى)
Hannad menceritakan kepada kami.
Qabishah memberitahukan kepada kami dari Hammad bin Salamah, dari Qatadah, dari
Ibnu Sirin. dari Shafiyah binti Al Harits, dari Aisyah, ia berkata,
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Tidak sah shalat seorang
wanita yang telah baligh kecuali dengan memakai kerudung'." (HR. At-Tirmidzi).
Berikut ini penjelasan tentang
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di atas, yang aku kutibkan dari
Kitab Shahih Sunan Tirmidzi:
Dalam bab ini terdapat hadits
dari Abdullah bin Ibnu Amr. Abu Isa berkata, "Hadits Aisyah adalah hadits
hasan." Berdasarkan hadits ini, para ulama berpendapat bahwa seorang
wanita yang telah baligh melakukan shalat dan rambutnya terbuka walau sedikit, maka
shalatnya tidak sah. Ini pendapat Asy-Syafi'i, dia berkata, "Tidak sah
shalat seorang wanita jika anggota tubuhnya terbuka, walaupun sedikit"
Asy-Syafi'i berkata, "Dikatakan, bahwa kalau kedua telapak kaki bagian
luar tampak terbuka, maka shalatnya sah."
√ Saat berada di depan suaminya serta saat sendirian
عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا
وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ
يَمِينُكَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي
بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَيَنَّهَا
قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ اللهُ
أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنْ النَّاسِ. (رواه ابو داود)
Dari Mu'awiyah bin Haidah, ia
berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, apa yang harus
kami perbuat dengan aurat kami?" Beliau berkata, "Jagalah aurat kamu,
kecuali kepada isterimu atau budak yang ada dalam kekuasaanmu (milikmu) Saya
bertanya, "Wahai Rasulullah! Bagaimana jika diantara kami?" Beliau
berkata, "Jika kalian bisa untuk tidak memperlihatkanya maka janganlah
kamu perlihatkan," Saya bertanya lagi, "Bagaimana jika kami
sendirian?" beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk
malu kepada Allah daripada manusia" (HR. Abu Dawud).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ
جَدِّي قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ عَوْرَاتُنَا مَا نَأْتِي مِنْهَا
وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ
يَمِينُكَ فَقَالَ الرَّجُلُ يَكُونُ مَعَ الرَّجُلِ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ
لَا يَرَاهَا أَحَدٌ فَافْعَلْ قُلْتُ وَالرَّجُلُ يَكُونُ خَالِيًا قَالَ فَاللهُ
أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ. (رواه الترمذى)
Muhammad bin Basyar
menceritakan kepada kami, Yahya bin SaMd menceritakan kepada kami, Bahz bin
Hakim menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepada kami, dari kakekku,
ia berkata: aku berkata, "Wahai Rasulullah, aurat kami, bagian mana yang
harus ditutupi dan mana yang boleh dibiarkan?" Beliau bersabda,
"Jagalah auratmu kecuali terhadap istri dan hamba sahaya yang telah
menjadi milikmu. " Orang itu bertanya, "Bagaimana jika seorang lelaki
sedang bersama dengan lelaki lain?" Beliau menjawab, "Jika kamu mampu
agar aurat itu tidak dilihat oleh seorang pun, maka lakukanlah." Aku
berkata, "Bagaimana jika dalam kesendirian?" Beliau menjawab,
"Kalian seharusnya lebih malu dari Allah. " (HR. At-Tirmidzi).
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُبَاشِرُ
الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ حَتَّى تَصِفَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّمَا يَنْظُرُ
إِلَيْهَا.
(رواه الترمذى)
Hannad menceritakan kepada kami,
Abu Muawiyah menceritakan kepada kami, dari Al A'masy, dari Syaqiq bin Salamah,
dari Abdullah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah seorang
wanita membuka (auratnya) langsung di hadapan wanita lain, hingga wanita itu
menceritakan kepada suaminya, seolah-oleh suaminya itu melihat (aurat) wanita
itu. " (HR. At-Tirmidzi).
√ Saat berada di tempat umum
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـــٰــبِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ
فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾
“Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya4) ke
seluruh tubuh mereka". Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. Al Ahzaab. 59).
4) Yang dimaksud dengan jilbab adalah sejenis baju
kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada (catatan
kaki no. 1233, Al Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia).
√ Saat di lingkungan mahramnya serta saat berada
ditengah-tengah wanita muslimah
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـــٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـــٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَــــٰـــنُهُنَّ أَوِ التَّـــٰبِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ
الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا
أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An Nuur. 31).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy) surat An Nuur ayat
31:
(Dan katakanlah kepada wanita yang beriman,
"Hendaklah mereka menahan pandangannya) daripada hal-hal yang tidak dihalalkan
bagi mereka melihatnya (dan memelihara kemaluannya) dari hal-hal yang tidak
dihalalkan untuknya (dan janganlah mereka menampakkan) memperlihatkan
(perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) yaitu wajah dan dua
telapak tangannya, maka kedua perhiasannya itu boleh dilihat oleh lelaki lain,
jika tidak dikhawatirkan adanya fitnah. Demikianlah menurut pendapat yang
membolehkannya. Akan tetapi menurut pendapat yang lain hal itu diharamkan
secara mutlak, sebab merupakan sumber terjadinya fitnah. Pendapat yang kedua
ini lebih kuat demi untuk menutup pintu fitnah. (Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudung ke dadanya) hendaknya mereka menutupi kepala, leher
dan dada mereka dengan kerudung atau jilbabnya (dan janganlah menampakkan
perhiasannya) perhiasan yang tersembunyi, yaitu selain dari wajah dan dua
telapak tangan (kecuali kepada suami mereka) bentuk jamak dari lafal Ba'lun
artinya suami (atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau
putra-putra saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki)
diperbolehkan bagi mereka melihatnya kecuali anggota tubuh antara pusar dan lututnya,
anggota tersebut haram untuk dilihat oleh mereka selain dari suaminya sendiri.
Dikecualikan dari lafal Nisaaihinna, yaitu perempuan-perempuan yang kafir, bagi
wanita Muslimat tidak boleh membuka aurat di hadapan mereka. Termasuk pula ke
dalam pengertian Maa Malakat Aymaanuhunna, yaitu hamba sahaya laki-laki
miliknya (atau pelayan-pelayan laki-laki) yakni pembantu-pembantu laki-laki
(yang tidak) kalau dibaca Ghairi berarti menjadi sifat dan kalau dibaca Ghaira
berarti menjadi Istitsna (mempunyai keinginan) terhadap wanita (dari kalangan
kaum laki-laki) seumpamanya penis masing-masing tidak dapat bereaksi (atau
anak-anak) lafal Ath-Thifl bermakna jamak sekalipun bentuk lafalnya tunggal
(yang masih belum mengerti) belum memahami (tentang aurat wanita) belum
mengerti persetubuhan, maka kaum wanita boleh menampakkan aurat mereka terhadap
orang-orang tersebut selain antara pusar dan lututnya. (Dan janganlah mereka
memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan) yaitu
berupa gelang kaki, sehingga menimbulkan suara gemerincing. (Dan bertobatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman) dari apa yang telah
kalian kerjakan, yaitu sehubungan dengan pandangan yang dilarang ini dan
hal-hal lainnya yang dilarang (supaya kalian beruntung") maksudnya selamat
dari hal tersebut karena tobat kalian diterima. Pada ayat ini ungkapan
Mudzakkar mendominasi atas Muannats.
Penjelasan tambahan tentang pengertian qaul qadim dan qaul
jaded
Qaul artinya
perkataan, pendapat atau pandangan. Sedangkan qadim artinya masa sebelumnya
atau masa lalu. Jadi makna istilah qaul qadim adalah pandangan fiqih Al-Imam
Asy-Syafi'i versi masa lalu. Sedangkan kebalikan dari istilah itu adalah qaul jadid.
Jadid artinya baru. Sehingga yang dimaksud dengan qaul jadid adalah pandangan
fiqih Al-Imam Asy-syafi'i menurut versi yang terbaru.
Saudaraku,
Setelah tinggal di
Iraq beberapa lama, Al-Imam As-syafi'i kemudian pindah ke Mesir. Di negeri yang
pertama kali dibebaskan oleh Amr bin Al-Ash itu, beliau menemukan banyak
hal baru yang belum pernah ditemukannya selama ini. Baik tambahan jumlah hadits
ataupun logika fiqih.
Maka saat di Mesir
itu, beliau melakukan revisi ulang atas pendapat-pendapatnya selama di Iraq.
Revisinya begitu banyak sesuai dengan perkembangan terakhir ilmu dan informasi
yang beliau dapatkan di Mesir, sehingga terkumpul menjadi semacam kumpulan
fatwa baru. Kemudian orang-orang menyebutnya dengan istilah qaul jadid. Artinya
pendapat yang baru. Sedangkan yang di Iraq disebut dengan qaul qadim.
Artinya pendapat yang lama. Berikut ini salah satu contoh perbedaan atau hasil
revisi ulang pendapat beliau tentang air
musta'mal:
Selama di Iraq,
Asy-syafi'i berpandangan bahwa air yang menetes dari sisa air wudhu' seseorang
hukumnya suci dan mensucikan. Sehingga boleh digunakan untuk berwudhu' lagi.
Atau seandainya tetesan bekas wudhu' itu jatuh ke dalam bejana yang kurang dari
2 qullah, maka tidak merusak apapun.
Namun saat beliau di
Mesir, beliau menemukan bahwa dalil-dalil pendapatnya itu kurang kuat untuk
dijadikan landasan. Sementara beliau menemukan dalil yang sangat beliau yakini
lebih kuat dari dalil pendapat sebelumnya, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat tidak berwudhu' dengan air
bekas wudhu'. Sehingga pendapat beliau dalam qaul jadid adalah sisa air wudhu'
itu air musta'mal yang hukumnya suci (bukan air najis) namun tidak sah kalau
dipakai berwudhu' (tidak mensucikan). (http://rumahfiqih.com/x.php?id=1173012377&=qaul-qadim-dan-qaul-jadid.htm)
{ Bersambung; tulisan ke-2 dari 6
tulisan }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar