Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Mengkaji Pemikiran
Orang Liberal Tentang Seputar Masalah Menutup Aurat Bagi
Wanita (V)”:
√ Kata
Wajib, kata wajib itu sendiri berarti bila tidak dikerjakan akan mendapat dosa
dan bila dikerjakan akan mendapat pahala.
- Apakah perempuan yang pakai jilbab
pahalanya mengalir terus setiap hari?
- Apakah perempuan yang tidak pakai jilbab
dosanya mengalir terus setiap hari?
- Apakah perempuan yang pakai jilbab itu
sudah pasti masuk surga?
- Apakah seorang perempuan yang rajin
beribadah: sholat, puasa, zakat, sedekah dan ikhlas berbuat baik kepada orang
lain, tetapi ia tidak memakai jilbab dan hanya berpakaian sopan maka perempuan
ini akan masuk neraka?
Jika seandainya memang benar begitu hukumnya, maka saya
akan bilang kepada istri dan anak perempuan saya bahwa tidak perlu sholat lagi,
tidak perlu puasa lagi, tidak perlu zakat lagi dan tidak perlu bersedekah lagi,
sebab cukup dengan memakai jilbab saja maka sudah pasti masuk surga.
● Apakah perempuan yang pakai jilbab
pahalanya mengalir terus setiap hari?
● Apakah perempuan yang tidak pakai jilbab
dosanya mengalir terus setiap hari?
Terkait hal ini, alhamdulillah sudah dijelaskan dalam
artikel ini (baca kembali pada bagian sebelumnya dalam artikel ini). Dasarnya
adalah penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا
يَنْقُصُ مِن أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ
مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَٰلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ
شَيْئًا. (رواه مسلم)
“Barangsiapa
menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana pahala orang
yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka sedikitpun”. (HR.
Muslim).
● Apakah perempuan yang pakai jilbab itu
sudah pasti masuk surga?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ada dua kunci utama agar semua ibadah
yang kita lakukan diterima Allah SWT., yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berarti
melakukannya semata-mata karena Allah, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti cara
peribadatan yang Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan.
قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهُ دِينِي ﴿١٤﴾
”Katakanlah: "Hanya
Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku". (QS. Az Zumar. 14).
Sedangkan dalam rangkaian ittiba’ kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, mari kita mengkaji firman Allah SWT. pada bagian akhir ayat
7 dari surat Al Hasyr berikut ini:
...
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS Al Hasyr. 7).
Sehingga jika ada seorang wanita yang pada saat memakai
jilbab benar-benar ikhlas/melakukannya semata-mata karena Allah serta ittiba’
(sesuai dengan tuntunan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka sudah pasti
amal kebajikannya akan diterima oleh Allah. Sedangkan terhadap setiap amalan
yang diterima, Allah akan berikan pahala kepada yang bersangkutan. Pahala itu
artinya surga, sedangkan dosa itu artinya neraka.
الَّذِينَ تَتَوَفَّـــٰـهُمُ الْمَلَـــٰــئِكَةُ طَيِّبِينَ يَقُولُونَ سَلَـــٰمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُواْ الْجَنَّةَ بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ ﴿٣٢﴾
“(Yaitu) orang-orang yang
diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada
mereka): "Salaamun`alaikum6), masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang
telah kamu kerjakan". (QS. An Nahl. 32).
6) Artinya
adalah: selamat sejahtera bagimu.
Adapun jika wanita pemakai jilbab tersebut ternyata juga
melakukan pelanggaran terhadap syari’at Islam di bidang yang lainnya (mencuri,
memfitnah, dll), jika yang bersangkutan belum sempat bertaubat selama masa
hidupnya di dunia ini namun meninggal dalam keadaan beriman kepada Allah (yaitu
meninggal dalam keadaan tidak menyekutukan Allah
dengan sesuatupun), maka dosa-dosanya tersebut pada akhirnya akan diampuni
semuanya oleh Allah setelah sebelumnya dihukum di neraka terlebih dahulu sesuai
dengan kadar kesalahan yang telah diperbuat selama masa hidupnya.
Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat An
Nisaa’ ayat 48 serta surat Al An’aam ayat 160 berikut ini:
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا
دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا ﴿٤٨﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik,
dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisaa’. 48).
مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن
جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ﴿١٦٠﴾
Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala)
sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat
maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang
mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (QS. Al An’aam. 160)
Nah, karena pada akhirnya Allah akan mengampuni segala
dosa bagi setiap orang yang wafat dalam keadaan beriman kepada-Nya, maka itu
artinya bagi siapa saja yang wafat dalam keadaan beriman kepada-Nya (wafat
dalam keadaan beragama Islam), pasti masuk surga.
Perhatikan penjelasan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
berkut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الْأَعْمَشِ
عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَنْجَابِرٍ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ مَا الْمُوجِبَتَانِ قَالَ مَنْ مَاتَ
لَا يُشْرِكُ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ مَاتَ
يُشْرِكُ بِاللهِ دَخَلَ النَّارَ. (رواه أحمد)
Telah bercerita kepada kami Abu
Mu'awiyah dari Al 'A'masy dari Abu Sufyan dari Jabir berkata; ada seseorang
menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata; Wahai
Rasulullah, apa dua hal yang pasti itu? Beliau bersabda: “Barangsiapa yang meninggal
dengan tidak menyekutukan Allah ‘Azza Wa Jalla
dengan sesuatupun pasti masuk surga, sebaliknya siapa yang meninggal dalam
keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu pasti masuk neraka”. (HR.
Ahmad).
Penjelasan selengkapnya terkait hal ini bisa dibaca dalam
buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” Jilid
4, Bab 2, Sub-Bab 2.4. Apakah
Semua Dosa Itu Akan Diampuni Oleh Allah?, halaman 103 – 120.
● Apakah seorang perempuan yang rajin
beribadah: sholat, puasa, zakat, sedekah dan ikhlas berbuat baik kepada orang
lain, tetapi ia tidak memakai jilbab dan hanya berpakaian sopan maka perempuan
ini akan masuk neraka?
Saudaraku,
Wanita yang seperti ini dan belum sempat bertaubat selama
masa hidupnya di dunia ini, maka jelas dia akan masuk neraka disebabkan dosanya
dalam melanggar larangan Allah, yaitu karena tidak memakai jilbab. (Penjelasan
selengkapnya, bisa dibaca kembali uraian dalam artikel ini/persis di atas
bahasan pada point ini).
Pada artikel di atas, penulis juga mengatakan: “Jika
seandainya memang benar begitu hukumnya, maka saya akan bilang kepada istri dan
anak perempuan saya bahwa tidak perlu sholat lagi, tidak perlu puasa lagi,
tidak perlu zakat lagi dan tidak perlu bersedekah lagi, sebab cukup dengan
memakai jilbab saja maka sudah pasti masuk surga”.
Saudaraku,
Lagi-lagi, untuk kesekian kalinya hal ini semakin
menunjukkan ketidakpahaman yang bersangkutan terhadap Islam. (Penjelasan
selengkapnya, bisa dibaca kembali uraian dalam artikel ini/persis di atas
bahasan pada point ini).
√ Jadi tentang jilbab menurut saya tidak ada masalah
halal atau haram dan tidak ada masalah pahala atau dosa, daripada ributkan soal
jilbab lebih baik kerja sosial membantu orang lain yang sedang kesusahan dan
itu yang diperintahkan oleh agama.
Saudaraku,
Seolah sudah tak terhitung lagi, berapa kali penulis
artikel di atas membuat pernyataan-pernyataan ngawur/tidak berdasar seperti
ini. Karena jilbab adalah perintah agama, jelas hal ini sangat berkaitan dengan
masalah halal/haram serta masalah pahala atau dosa. (Rabbana Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami berlindung kepada Engkau dari
membuat pernyataan-pernyataan seperti ini).
Penulis artikel di atas juga membuat pernyataan: “Daripada
ributkan soal jilbab lebih baik kerja sosial membantu orang lain yang sedang
kesusahan dan itu yang diperintahkan oleh agama”.
Saudaraku,
Siapa yang membuat ribut? Apakah itu artinya kita tidak
perlu membahas masalah jilbab? Apakah kita harus tinggalkan saja seputar
masalah jilbab ini? Padahal Allah telah
berfirman dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ
ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).
Dari Al Qur'an surat
Al Baqarah ayat 208 tersebut, diperoleh penjelasan bahwa kita diperintahkan
untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya. Artinya kita tidak boleh
mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu
hukum-hukum yang kita senangi saja. Sementara hukum-hukum yang lain yang tidak
kita senangi kita buang begitu saja.
Jika hal
ini yang kita lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan membuang
sebagian yang lainnya), maka tanpa kita sadari, kita telah memperturutkan
langkah-langkah syaitan. Padahal,
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kita. Na’udzubillahi
mindzalika!
... أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ
بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا
اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
“...
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka
dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang
kamu perbuat”. (QS. Al Baqarah. 85).
Saudaraku,
Jika kita hanya mengambil Islam sebagian saja, atau
bahkan ingin sepenuhnya mengambil hukum-hukum lain (selain yang ditetapkan oleh
Allah), lalu apakah hukum Jahiliyah yang kita kehendaki? Dan
hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang
yakin?
أَفَحُكْمَ الْجَـــٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
“Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maa-idah. 50).
Kehidupan Perempuan, milik perempuan itu sendiri. ‘Ulama’ tidak boleh
terlalu banyak mengatur kehidupan perempuan dengan memakai hadits misigonis
yang tidak benar dan jangan mendoktrin. Di dalam sejarah dan Hadits Nabi
Muhammad menyayangi dan menghormati perempuan, tidak pernah melecehkan atau
mencela perempuan. Jadi tentang Hadits-hadits kebencian terhadap perempuan itu
saya meyakini datangnya bukan dari Nabi dan tidak mungkin Nabi Muhammad yang
sifatnya disebutkan di dalam Al Qur'an “berbudi pekerti yang agung”
mengeluarkan Hadits-hadits misigonis yang jelas-jelas bertentangan dengan Al
Qur'an.
Saudaraku,
Membuat pernyataan seperti ini (seperti pada bagian awal
alinea di atas), sama saja dengan melarang ‘ulama’ (serta melarang kita semua)
untuk berdakwah7). Padahal kewajiban untuk berdakwah itu telah Allah
bebankan atas setiap muslim, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat
Luqman ayat 17 berikut ini:
يَــــٰــبُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ ﴿١٧﴾
”Hai anakku, dirikanlah
shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.
(QS. Luqman. 17).
7) Berdakwah bermakna
menghimbau/menyeru kepada umat manusia untuk melaksanakan segala apa yang Allah
Ta’ala perintahkan dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya.
Sedangkan terkait pernyataan yang bersangkutan pada
bagian berikutnya dari alinea di atas, sudah dijelaskan secara panjang lebar
pada bagian sebelumnya dalam artikel ini.
Silakan yang mau pakai jilbab, tetapi tidak boleh
menghina yang tidak pakai jilbab dan begitu juga sebaliknya dan saya
berkeyakinan bahwa Allah bukan hanya menilai sekedar jilbabnya saja, tetapi
yang dinilai Allah adalah perbuatan baiknya kepada sesama.
Saudaraku,
Tentu saja kita tidak boleh menghina pihak lain hanya
karena yang bersangkutan tidak/belum mengenakan jilbab, sebagaimana kita juga
tidak boleh menghina saudara kita yang belum tergerak hatinya untuk bersedekah,
berpuasa, dll.
Karena pada saat kita sedang menghina orang lain, maka pada saat
itu pula (tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih mulia dari padanya. Demikian
juga pada saat kita sedang menjelekkan
orang lain, maka pada saat itu pula kita telah merasa lebih baik
dari padanya. Pada saat kita sedang memandang rendah orang lain, maka pada saat
itu pulalah kita telah merasa lebih tinggi dari padanya. Dan pada
saat kita sedang meremehkan orang lain, maka pada saat itu pula kita telah
merasa lebih hebat dari padanya. Demikian seterusnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَظَّمَ فِى نَفْسِهِ وَاَجْتَالَ فِى مِشْيَتِهِ
لَقِىَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ (رواه أحمد)
“Siapa yang merasa dirinya besar, lalu sombong dalam
jalannya, maka ia akan menghadap pada Allah, sedang Allah murka padanya”. (HR.
Ahmad).
Salam cerdas beragama.
Cerdas apanya? Dari rangkaian uraian di atas,
pernyataan-pernyataannya justru telah menunjukkan kebodohan yang bersangkutan
dalam beragama.
Mengapa demikian?
Karena penulis artikel di atas tidak mau
mengambil pelajaran dari Al Qur’an, karena penulis artikel di atas lebih
mengedepankan kemampuan sendiri (tanpa menyandarkan kepada Al Qur’an) dalam
menilai suatu perkara (sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya
dalam artikel ini).
... وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُوْلُواْ الأَلْبَـــٰبِ ﴿٢٦٩﴾
“... Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS. Al Baqarah. 269).
Wallahu a’lam,
Semoga bermanfaat.
{Tulisan ke-6 dari 6
tulisan}