Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Mengkaji Pemikiran
Orang Liberal Tentang Seputar Masalah Menutup Aurat Bagi
Wanita (III)”:
Lalu bagaimana hukum jilbab itu sendiri? Kata jilbab itu
sendiri baru muncul di Indonesia pada tahun 80-an, ada yang bilang perintah
Tuhan hukumnya wajib dan ada yang bilang hukumnya tidak wajib, secara singkat
akan saya uraikan pendapat pribadi saya dan jika tidak sependapat tidak masalah
dan tidak perlu diperdebatkan, sebab sampai kiamat juga nggak bakalan ketemu.
√ Secara jujur orang/ulama Islam tidak bisa mengklaim
bahwa jilbab/kerudung kepala itu asli milik Agama Islam, sebab jauh sebelum
Agama Islam itu datang, (sudah ada) agama-agama seperti Zoroaster, Shabiin,
Hindu, Budha, Yahudi, Nasrani. Jadi jauh sebelum Agama Islam itu datang, agama-agama
tersebut para wanitanya
telah memakai kerudung.
Jadi jilbab itu bukan asli milik Islam. Sebelumnya saya
sudah pernah menulis panjang lebar tentang ini.
Saudaraku,
Pernyataan tersebut justru semakin menunjukkan
ketidakpahaman penulis artikel di atas terhadap syari’at Islam. Yang benar
adalah bahwa Islam telah mewajibkan ummatnya untuk menutup aurat. Sedangkan
masalah bentuk/desain pakaian sebagai penutup aurat tersebut tidak ada
ketentuan khusus dari Al Qur’an maupun Hadits. Jadi bentuk/desain pakaian sebagai
penutup aurat tersebut bebas saja. Mau mengadopsi pakaian adat setempat atau
membuat desain sendiri atau yang lainnya, itu tidak menjadi soal. Yang penting
syarat tertutupinya aurat tersebut bisa terpenuhi dengan baik.
Pada artikel tersebut, penulis juga menyatakan bahwa
“kata jilbab itu sendiri baru muncul di Indonesia pada tahun 80-an”.
Saudaraku,
Untuk kesekian kalinya, pernyataan tersebut justru
semakin menunjukkan keserampangan/kecerobohan penulis dalam menyampaikan
informasi dengan tanpa melihat terlebih dahulu fakta-fakta yang ada.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa terkait hal ini, kita bisa melihat
penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Ahzaab pada
bagian tengah ayat
59 berikut ini:
... يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن
جَلَـــٰــبِيبِهِنَّ ... ﴿٥٩﴾
“... Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ...”.
(QS. Al Ahzaab. 59).
Lafal jalaabiib (جَلَـــٰــبِيب)
adalah bentuk jamak dari lafal jilbaab, yaitu kain yang dipakai oleh seorang
wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Nah, karena kata tersebut ternyata
terdapat dalam Al Qur’an, tepatnya dalam surat Al Ahzaab pada bagian tengah ayat 59, maka secara
logika kata jilbab itu sudah muncul di Indonesia bersamaan dengan masuknya Agama
Islam di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kata jilbab itu sendiri sudah
muncul di Indonesia jauh sebelum tahun 80-an.
√ Q.S. Al Ahzaab. 59 dan An Nuur. 31, coba pelajari ayat
Al Qur'an tersebut beserta Asbaabun Nuzulnya dengan baik. Asbabun Nuzulnya
sendiri setahu saya mayoritas tidak pernah dibahas ‘ulama’ di media. Asbabun
Nuzul surat tersebut wanita memakai kerudung pada waktu itu hanya untuk
membedakan diri dari Budak.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَـــٰــبِيبِهِنَّ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ
فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٥٩﴾
“Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”. (QS. Al Ahzaab. 59).
Saudaraku,
Untuk bisa memahami ayat di atas, berikut ini kusampaikan
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad
Al-Mahalliy):
(Hai Nabi! Katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin,
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka")
lafal Jalaabiib adalah bentuk jamak dari lafal Jilbaab, yaitu kain yang dipakai
oleh seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Maksudnya hendaknya mereka
mengulurkan sebagian daripada kain jilbabnya itu untuk menutupi muka mereka,
jika mereka hendak keluar karena suatu keperluan, kecuali hanya bagian yang
cukup untuk satu mata. (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah) lebih
gampang (untuk dikenal) bahwasanya mereka adalah wanita-wanita yang merdeka
(karena itu mereka tidak diganggu) maksudnya tidak ada orang yang berani
mengganggunya, berbeda halnya dengan hamba sahaya wanita, mereka tidak diperintahkan
untuk menutupi mukanya, sehingga orang-orang munafik selalu mengganggu mereka.
(Dan adalah Allah Maha Pengampun) terhadap hal-hal yang telah lalu pada kaum
wanita Mukmin yang merdeka, yaitu tidak menutupi wajah mereka (lagi Maha
Penyayang) kepada mereka jika mereka mau menutupinya.
Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan dalam Kitab Tafsir Jalalain
tersebut, memang benar bahwa penggunaan jilbab tersebut adalah agar mereka lebih mudah/lebih gampang untuk dikenal bahwasanya
mereka adalah wanita-wanita yang merdeka yang mana hal ini berbeda dengan hamba
sahaya wanita yang tidak diperintahkan untuk menutupi mukanya.
Namun pemakaian jilbab
tersebut tidaklah semata-mata hanya untuk membedakan antara wanita merdeka
dengan hamba sahaya wanita (sebagaimana tuduhan yang dilontarkan oleh penulis
artikel di atas), namun juga merupakan kewajiban bagi setiap wanita merdeka
sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Karena secara umum,
hamba sahaya memang hanya dibebani kewajiban untuk menjalankan syari’at Islam separuh dari orang
merdeka.
Sebagai contohnya, berikut ini aku kutipkan surat An
Nisaa’ ayat 25, dimana didalamnya terdapat penjelasan bahwa bagi hamba sahaya
yang mengerjakan perbuatan zina, maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka.
... فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ
أَتَيْنَ بِفَــٰـحِشَةٍ
فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَـــٰتِ مِنَ الْعَذَابِ... ﴿٢٥﴾
“... dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin,
kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo
hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami ...” (QS. An Nisaa’.
25).
Dengan demikian, dengan mudah dapat dipahami bahwa
kesimpulan penulis artikel di atas yang menyatakan bahwa wanita memakai
kerudung pada waktu itu semata-mata hanya untuk membedakan diri dari budak, adalah
sama sekali tidak benar.
Tidak ada satupun ayat Al Qur'an yang menyatakan bahwa
rambut perempuan itu adalah aurat dan harus ditutup dan jika tidak ditutup maka
berdosa. Jujur tidak pernah ada ayat Al Qur'an yang seperti itu.
Saudaraku,
Lagi-lagi, penulis artikel tersebut telah membuat
kesimpulan sesuka hatinya sendiri. Padahal telah jelas adanya ayat-ayat Al
Qur’an serta beberapa Hadits yang menyatakan bahwa rambut perempuan itu adalah
aurat dan harus ditutup dan jika tidak ditutup maka berdosa (sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini).
√ Tidak ada
satupun ayat Al Qur'an dan Hadits yang mengatur batas-batas cara berpakaian
wanita secara jelas dan tegas. Mohon maaf jika berbeda pendapat, tetapi coba
pelajari dengan baik surah Al Ahzaab 59 dan An Nuur 31 kata perkata, dan tidak
ada satupun Hadits yang Sahih yang mengatur tata cara berpakaian wanita,
sedangkan Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah tentang Asma Binti Abu Bakar itu
bukanlah Hadis Shahih, adapun hadits itu adalah hadits yang sangat dha'if,
tetapi tetap dipaksakan ‘ulama’ untuk menjadi dalil, sedangkan menurut Bukhari
dan Muslim Hadits dha'if tidak boleh dijadikan dalil hukum.
Saudaraku,
Untuk kesekian kalinya, penulis artikel tersebut telah
membuat kesimpulan sesuka hatinya sendiri. Sebagaimana telah kujelaskan
sebelumnya, bahwa memang benar di
dalam Al Qur'an
dan Hadits,
definisi/batasan
aurat bagi wanita itu ada
bermacam-macam.
Namun hal ini bukan berarti “tidak ada satupun ayat Al Qur'an dan Hadits yang
mengatur batas-batas cara berpakaian wanita secara jelas dan tegas” sebagaimana
tuduhan yang dilontarkan oleh penulis artikel di atas.
Yang benar adalah bahwa menurut Al Qur'an dan Hadits,
batasan aurat bagi wanita itu berbeda-beda, tergantung situasi/kondisinya (saat
mengerjakan ibadah shalat, saat berada di depan suaminya, saat sendirian, saat
berada di tempat umum, saat di lingkungan mahramnya, saat berada
ditengah-tengah wanita muslimah, saat berada dihadapan wanita non-muslimah,
dll).
√ Mayoritas ‘ulama’ klasik menyatakan perempuan memakai
jilbab itu hukumnya wajib, sedangkan banyak ulama kontemporer yang jujur banyak
yang menyatakan jilbab itu tidak wajib.
Kita tidak boleh taklid buta dengan ‘ulama’ klasik, kita
menghormati mereka, tetapi mereka sendiri bilang bahwa jika ada pendapat mereka
yang salah maka tinggalkanlah. Cobalah kita ini banyak belajar dan tidak hanya
sekedar jadi pengikut saja, bacalah buku dari mereka yang berani menulis secara
kritis tapi jujur.
Saudaraku,
Bagi kita, tidaklah penting untuk menilai apakah
pernyataan penulis artikel di atas benar-benar didasarkan pada data yang bisa
dipercaya atau hanya karangan beliau semata (sebagaimana tuduhan-tuduhan secara
membabi buta dari penulis artikel tersebut yang telah banyak dibahas dalam
artikel ini).
Bagi kita, cukuplah menilai pernyataan di atas dengan merujuk
kepada penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 59, dimana kita
diperintahkan untuk menta’ati Allah dan menta’ati Rasul-Nya serta para ‘ulama’.
Kemudian jika mereka para ‘ulama’ itu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul-Nya (Hadits).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ
وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَـــٰــزَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan
ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri5) di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS. An Nisaa’. 59).
5) Menurut Dr. Zakir Naik (seorang
ahli perbandingan agama dari India), yang dimaksud dengan ulil amri
(pemegang-pemegang urusan) adalah orang-orang yang berpengetahuan agama, para
‘ulama’. Sedangkan menurut Prof. HM. Roem Rowi
(ahli tafsir Al Qur’an/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Surabaya; S1 Universitas Islam Madinah, S2 – S3 Universitas Al-Azhar) maknanya
lebih luas. Bisa para ‘ulama’, orang tua kita, pimpinan di kantor tempat kita
bekerja, pimpinan negara, dst.
Sekali lagi, jika memang benar bahwa mereka para ‘ulama’
itu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul-Nya (Hadits), sebagaimana telah dijelaskan Al Qur’an dalam
surat An Nisaa’ ayat 59 di atas.
{ Bersambung; tulisan ke-4 dari 6
tulisan }
Tidak ada komentar:
Posting Komentar