Assalamu’alaikum wr. wb.
Terkait artikel “Tentang Pembagian Harta Warisan”, seorang sahabat (teman kuliah di ITS) telah
menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Hibah orang tua
semasa hidup kepada anak perempuan (sebut saja A) yang sudah punya suami dan
anak, tetapi suatu hari A meninggal lebih dulu daripada ibunya. Apakah si ibu tetap
dapat warisan dari A yang dulunya semasa hidup pemberian ibunya? Termasuk saudara
laki-laki
atau saudara perempuan A kalau si A tidak punya anak laki-laki?”.
Saudaraku,
Data tambahan yang diperlukan
untuk membahas pertanyaan panjenengan adalah sebagai berikut:
♦ Jumlah anak
perempuannya A berapa?
♦ Jumlah saudaranya A
berapa? Yang laki-laki
berapa, yang perempuan berapa? Berapa pula yang seibu, seayah, seibu-seayah?
♦ Apakah suaminya A
masih hidup saat A meninggal?
♦ Apakah kedua orang
tua A masih hidup saat A meninggal? Atau hanya ibunya saja/ayahnya saja yang
masih hidup?
Jawaban beliau: “Jumlah anak perempuan A sebanyak 2 orang dan tidak ada anak laki-laki. Ayah
A sudah meninggal lebih dulu,
ibunya
masih hidup. Saudara
A yang masih hidup seibu
seayah 1 perempuan,
1 laki-laki, saudara
perempuan yang
meninggal lebih dulu 1. Suami A masih hidup ketika A meninggal”.
Tanggapan
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk
membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
1. Pengertian harta warisan
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa yang
dimaksud dengan harta
warisan (harta
pusaka) adalah harta yang
ditinggalkan oleh orang yang wafat secara mutlak. Artinya hanya harta yang secara
mutlak dimiliki oleh orang yang wafat
saja
yang dibagikan sebagai harta warisan atau harta pusaka.
Saudaraku,
Ada satu hal yang harus kita ketahui bersama, bahwa yang
paling utama dalam pembagian harta warisan adalah siapa yang wafat dan apakah
orang yang wafat itu mempunyai harta milik pribadi ketika masih hidup. Sebab yang akan dihitung sebagai harta warisan hanyalah sebatas harta milik
almarhum/almarhumah saja.
2. Pembagian warisan
Saudaraku,
Berdasarkan informasi yang
saudaraku berikan di atas, maka semua harta yang secara mutlak dimiliki A
semasa hidupnya, menjadi harta warisan (harta pusaka) dan menjadi hak para ahli
waris, dengan pembagian sebagai berikut:
♦ Suami almarhumah mendapatkan
warisan sebesar 1/4 bagian dari total harta almarhumah semasa hidupnya.
♦ Ibu almarhumah mendapatkan 1/6 bagian dari
total harta warisan.
♦ Anak-anak almarhumah, karena
ada 2 anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki, maka kedua anak perempuan
tersebut mendapatkan 2/3 bagian dari total harta warisan.
Dalil yang mendasari pembagian di atas adalah sebagai
berikut:
♦ Suami almarhumah mendapatkan
warisan sebesar 1/4 bagian dari total harta warisan.
...
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya ...”. (QS.
An Nisaa’. 12).
♦ Ibu almarhumah mendapatkan 1/6 bagian dari
total harta warisan.
...
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
...”. (QS. An Nisaa’. 11).
♦ Anak-anak almarhumah, karena
ada 2 anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki, maka kedua anak perempuan
tersebut mendapatkan 2/3 bagian dari total harta warisan.
...
فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ... ﴿١١﴾
“... jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ...”. (QS.
An Nisaa’. 11).
Saudaraku,
Berikut ini kusampaikan ringkasan dari perhitungan di
atas:
Ahli waris
|
Bagian
|
Ashlul Masalah = 24
|
Suami
|
1/4
|
6
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
2 anak wanita
|
2/3
|
16
|
Jumlah
|
26
|
Dari hasil perhitungan di atas, nampak bahwa jumlah
seluruhnya 26,
artinya kelebihan 2. Kasus
seperti ini dapat diselesaikan dengan cara ‘aul, yaitu dengan menaikkan angka
asal masalah sebesar angka jumlah bagian yang diterima oleh para ahli waris
semula.
Ahli waris
|
Bagian
|
Ashlul Masalah
= 24
|
Di-‘aul-kan
26
|
Penerimaan
|
Suami
|
1/4
|
6
|
6/24
|
6/26
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
4/24
|
4/26
|
2 anak wanita
|
2/3
|
16
|
16/24
|
16/26
|
Jumlah
|
26
|
26/24
|
26/26
|
Sehingga setelah diselesaikan dengan cara ‘aul, maka para
ahli waris akan mendapatkan
pembagian sebagai berikut:
♦ Suami almarhumah mendapatkan
warisan sebesar 6/26 bagian
(atau 23,1%) dari total harta warisan.
♦ Ibu almarhumah mendapatkan 4/26 bagian (atau 15,4%) dari
total harta warisan.
♦ Kedua anak perempuan almarhumah
mendapatkan 16/26 bagian (atau 61,5%) dari
total harta warisan (dibagi sama rata, sehingga masing-masing
mendapatkan separo dari 61,5%).
Saudaraku,
Kasus ‘aul pertama kali muncul ketika sahabat Umar bin
Khattab ditanya oleh seorang sahabat tentang penyelesaian pembagian warisan,
dimana ahli warisnya terdiri dari suami (menerima ½ bagian) dan 2 orang saudara
perempuan sekandung (menerima 2/3 bagian).
Jika asal masalahnya 6, berarti suami
menerima ½ bagian
(atau
½ x 6 = 3)
dan 2 saudara perempuan sekandung menerima 2/3 bagian (atau 2/3 x 6 = 4). Jadi jumlah
seluruhnya 7,
artinya kelebihan 1.
Menghadapi pertanyaan tersebut,
sahabat Umar bimbang. Beliau tidak mengetahui siapa diantara mereka yang harus
didahulukan. Sebab, sekiranya beliau telah mengetahuinya, beliau tentu tidak
akan menemui kebimbangan.
Kemudian disampaikanlah masalah
ini kepada Zaid ibnu Tsabit dan Abbas ibnu Abdul Muthalib seraya beliau berkata: “Sekiranya aku
memulai dengan memberikan bagian kepada suami, maka bagian 2 saudara perempuan
sekandung tentu
tidak sempurna baginya, atau sekiranya aku mulai memberikan bagian kepada 2
saudara perempuan sekandung tentu suami tidak sempurna bagiannya”.
Atas dasar pendapat sahabat Abbas bin Abdul Muthalib tersebut dan
disaksikan oleh Zaid ibnu Tsabit, beliau menyelesaikan kasus diatas dengan cara
‘aul, yaitu menaikkan angka asal masalah sebesar angka jumlah bagian yang
diterima ahli waris semula.
Ahli waris
|
Bagian
|
Ashlul
Masalah = 6
|
Di-‘aul-kan
7
|
Penerimaan
|
Suami
|
1/2
|
3
|
3/6
|
3/7
|
2 saudara
wanita
sekandung
|
2/3
|
4
|
4/6
|
4/7
|
Jumlah
|
7
|
7/6
|
7/7
|
3. ‘Ashabah
Saudaraku,
Sebagaimana sudah
dijelaskan dalam artikel sebelumnya, bahwa ‘ashabah adalah orang yang diberikan
kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh (pemilik bagian pasti)
mengambil bagian-bagiannya.
Karena pada kasus
di atas seluruh harta warisan sudah habis dibagikan kepada para ash-haabul
furudh (tidak tersisa sedikit-pun), maka mereka 1 orang saudara laki-laki
beserta semua saudara perempuan A tidak mengambil bagian sedikit-pun (artinya
tidak mendapatkan harta warisan sedikit-pun karena sudah habis dibagikan kepada
para ash-haabul furudh).
4. Harta hibah
Saudaraku,
Hibah orang tuanya A semasa hidup kepada A menjadi milik
siapa? Jawabnya tergantung akad-nya:
♦ Jika
orang tuanya A menghibahkannya khusus untuk A, maka harta hibah tersebut
sepenuhnya menjadi milik A. Dengan demikian, harta hibah tersebut sepenuhnya
bisa dibagikan kepada para ahli waris.
♦ Jika orang tuanya A menghibahkannya untuk A berdua bersama
suaminya, maka harta hibah tersebut termasuk harta gono-gini. Jika hal ini yang
terjadi, maka sebelum dibagi waris, harus dipisahkan terlebih dahulu bagian harta
gono-gini yang menjadi haknya A semasa hidup (cara pembagiannya sudah
dijelaskan dalam artikel sebelumnya). Selanjutnya hanya bagian inilah yang bisa
dibagikan kepada para ahli waris.
Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati
terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah
Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.