Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Tentang Pembagian Harta Warisan (I)”:
5.
Ahli waris yang telah meninggal
Saudaraku,
Terkait ahli
waris yang telah meninggal, bisa dibedakan menjadi 2 macam:
√ Ahli waris meninggal setelah pemberi warisan meninggal
Jika ahli waris meninggal terlebih dahulu sebelum harta
warisan dibagi namun ahli waris tersebut meninggal setelah pemberi warisan
meninggal, maka dalam hal ini ahli waris tersebut tetap mendapatkan warisan
karena walaupun
pembagian warisan belum dilakukan,
namun haknya atas harta benda peninggalan pewaris
sudah pasti.
Hal seperti ini terjadi barangkali ada kendala tertentu
sehingga pembagian warisan belum terlaksana, dan hal seperti ini wajar saja dan kasus
seperti ini sering
terjadi. Namun
begitu sang pemberi warisan wafat, maka secara otomatis sudah jelas hak
masing-masing ahli waris. Tinggal menghitung berapa hutang almarhum, piutang,
wasiat, dan penetapan hak-hak lainnya atas harta almarhum.
Sehingga jika ada seorang di
antara ahli waris yang kemudian wafat sebelum dilakukan pembagian warisan,
haknya tidak akan hangus. Meski belum ada di tangan, namun haknya akan tetap
ada dan tidak hilang.
√ Ahli waris meninggal sebelum pemberi warisan meninggal
Jika ahli waris meninggal terlebih dahulu sebelum pemberi
warisan meninggal, maka hukumnya jadi terbalik. Bukan yang bersangkutan yang
menerima warisan, tetapi malah justru dia yang memberikan warisan.
Dan memang dalam hukum waris,
ada sebuah aturan bahwa yang memberi warisan harus meninggal terlebih dahulu
dan yang menerima warisan harus masih hidup pada saat pemberi warisan meninggal.
Saudaraku,
Yang perlu ditekankan di sini
adalah bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai “pemberi warisan” kecuali
ia sudah meninggal dunia. Karena seseorang tidak bisa memberi warisan kecuali jika
sudah meninggal.
Dan tidak bisa seseorang
disebut “ahli waris” kecuali jika ia hidup ketika orang yang memberi warisan
meninggal. Karena ahli waris itu artinya orang yang menerima warisan, bagaimana
mungkin bisa menjadi ahli waris kalau ia sudah meninggal dan tidak ada? Sehingga
karena tidak dapat warisan (jika sudah meninggal terlebih dahulu sebelum yang
memberi warisan meninggal), maka jatahnya-pun tidak ada dan tidak bisa
diwakilkan atau digantikan oleh anaknya.
Meskipun demikian jika kasus
seperti ini diselesaikan di pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang menjadi “kitab suci” bagi seluruh Pengadilan Agama di
negara kita Indonesia, dimana dalam pasal 185 dinyatakan adanya ahli waris
pengganti.
Berikut ini pasal 185 KHI (yang
berisi 2 ayat):
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam
Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam. Yaitu jika yang bersangkutan sudah meninggal terlebih dahulu
sebelum yang memberi warisan meninggal, maka jatahnya-pun tidak ada dan tidak
bisa diwakilkan atau digantikan oleh anaknya.
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena anak-anaknya tidak mendapatkan warisan), maka solusinya mudah
saja. Toh
selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu
kepada mereka. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.
6. Bagian saudara
seibu
Saudaraku,
Dalam ilmu waris,
saudara seibu disebut juga waladul um (anak ibu). Dia akan mendapatkan bagian
harta waris dengan syarat:
√ Orang
yang meninggal dunia tidak memiliki far’un wârits, yaitu
anak laki atau perempuan, cucu laki atau perempuan dari jalur anak laki,
anaknya cucu yang dari jalur laki-laki yang berhak mendapatkan harta waris.
√ Orang yang
meninggal dunia tidak memiliki ayah atau kakek (ayahnya ayah) atau ayahnya
kakek dan terus ke atas dari jalur ayah yang berhak mendapatkan harta waris.
Jika salah satu
dari orang-orang yang disebutkan pada dua poin di atas masih ada, maka saudara
seibu tidak berhak mendapatkan bagian harta waris, atau dalam istilah ilmu
waris, dia mahjûb (terhalang dari harta waris).
Sedangkan saudara
sebapak, mereka juga berhak mendapatkan harta waris jika:
√ Orang yang
meninggal dunia tidak memiliki anak laki atau cucu laki dari anak laki atau anak
laki dari cucu laki dari jalur laki yang berhak mendapatkan harta waris.
√ Orang yang
meninggal dunia tidak memiliki ayah atau kakek atau ayah dari kakek yang semuanya
dari jalur laki-laki
Jika salah satu
dari orang-orang yang disebutkan pada dua poin di atas masih ada, maka saudara seayah tidak berhak mendapatkan bagian harta waris, atau mahjûb (terhalang
dari harta waris).
Sedangkan mengenai
besaran bagian, maka bagian saudara seibu tidak sama dengan bagian saudara
sebapak. Tentang bagian saudara seibu, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian
akhir ayat 12:
...
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَـــٰــــلَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
السُّدُسُ فَإِن كَانُواْ أَكْثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ
يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَآرٍّ وَصِيَّةً مِّنَ اللهِ
وَاللهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ ﴿١٢﴾
“... Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu
saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun”.
(QS. An Nisaa’.
12).
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, maka saudaranya
suami yang seibu tersebut akan mendapat bagian 1/6 (atau 16,67%) dari harta waris (karena hanya satu orang, baik
laki maupun perempuan).
7. ‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ )
‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk
jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan
kerabatnya dari jalur ayah.
‘Ashabah sendiri adalah
orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh
(pemilik bagian pasti) mengambil bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa
sedikit-pun dari mereka, maka mereka (‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun
kecuali jika yang mendapatkan ‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena
sesungguhnya ia tidak terhalang dalam keadaan apa pun. ‘Ashabah juga berarti
orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada seorang-pun
dari ash-haabul furudh.
Firman Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176:
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
Dalam ayat di atas, Allah telah
memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan
‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
8. Kesimpulan.
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh suami (harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih
hidup ditambah dengan harta gono-gini yang menjadi haknya suami semasa hidup),
pembagiannya adalah sebagai berikut:
♦ Istri mendapat 1/4 (atau 25%) dari harta warisan karena suami tidak punya anak.
♦ Satu orang saudara wanita (yang seibu) mendapat bagian 1/6 (atau 16,67%) dari harta warisan.
♦ Sisanya sebesar:
= 1 – (1/4 + 1/6)
= 1 – (6/24 + 4/24)
= 1 – 10/24
= 14/24 bagian (atau 58,33%) dari harta
warisan tersebut menjadi hak saudaranya suami yang
seibu-seayah.
Selanjutnya dari saudaranya suami yang
seibu-seayah tersebut, jika semuanya masih hidup ketika suami meninggal, maka
masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
♦ Satu orang saudara laki-laki mendapat
bagian warisan sebesar 2/5 dari 58,33% = 23,33% dari harta warisan.
♦ Setiap satu orang saudara wanita mendapat
bagian warisan masing-masing sebesar 1/5 dari 58,33% = 11,67% dari harta warisan.
Sedangkan apabila salah seorang dari saudaranya
suami yang seibu-seayah sudah meninggal terlebih dahulu ketika suami meninggal,
maka yang bersangkutan tidak mendapatkan hak waris (warisan hanya dibagikan
kepada tiga sisanya yang masih hidup) dengan pembagian sebagai berikut:
♦ Satu orang saudara laki-laki mendapat
bagian warisan sebesar 2/4 dari 58,33% = 29,17% dari harta warisan.
♦ Setiap satu orang saudara wanita mendapat
bagian warisan masing-masing sebesar 1/4 dari 58,33% = 14,58% dari harta warisan.
... وَإِن كَانُوا إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka
bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…”.
(QS. An-Nisaa’. 176).
Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati
terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah
Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ
جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ
حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{Tulisan ke-2 dari 2
tulisan}
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar