Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku,
Yang
dimaksud dengan jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh dalam menegakkan
agama Islam dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada dalam diri kita, yang
kesemuanya itu dilakukan semata-mata hanya karena mengharapkan keridhaan Allah
SWT. Demikian pendapat Prof. Dr. KH. M. Roem Rowi, MA.2 yang beliau sampaikan saat
memberi kajian rutin Kitab Riyadhush Sholihin di Masjid Al Falah Surabaya pada
tanggal 20 Januari 2013.
Sedangkan
bentuk jihad itu bisa beragam. Dalam situasi perang, maka berjihad adalah berjuang
menegakkan agama Islam dengan berperang melawan musuh-musuh Islam yang telah
memerangi Islam. Sedangkan dalam situasi damai,
maka berjihad adalah berjuang menegakkan agama Islam sesuai dengan keahlian
masing-masing. Misalnya: berdakwah/menyeru kepada kebajikan (menyuruh kepada
yang ma`ruf) serta mencegah dari yang munkar lewat tulisan melalui media
cetak/blog/facebook/internet/WhatsApp (bagi yang memiliki kemampuan/keahlian
menulis), berdakwah dengan memberi contoh nyata dengan tidak mengurangi
timbangan serta memberi informasi yang benar terhadap kualitas/kondisi barang
dagangannya (bagi yang berprofesi sebagai pedagang), dst., dll.
Adalah
sangat tidak dibenarkan berjihad melalui jalan kekerasan dalam situasi damai,
apalagi sampai memakan korban jiwa. Seperti adanya tindakan pengeboman di
tempat-tempat keramaian umum, tempat-tempat hiburan, dll., termasuk
tempat-tempat peribadatan agama lain.
Saudaraku,
Bagaimana
mungkin bisa dibenarkan adanya tindakan pengeboman di tempat-tempat keramaian
umum, tempat-tempat hiburan, dll., termasuk tempat-tempat peribadatan agama
lain, sedangkan berdebat dengan Ahli Kitab saja, Islam telah memerintahkan kita kaum
muslimin untuk melakukannya dengan cara yang paling baik?
Ya,
Islam telah melarang kita kaum muslimin untuk berdebat dengan Ahli Kitab,
melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim di antara mereka. Demikian penjelasan Al Qur'an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 46 yang
artinya adalah sebagai berikut:
وَلَا تُجَـــٰـدِلُوا أَهْلَ الْكِتَـــٰبِ إِلَّا
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا ءَامَنَّا
بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَـــٰـهُنَا وَإِلَــٰهُكُمْ
وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿٤٦﴾
”Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab3, melainkan dengan cara yang paling baik4, kecuali dengan orang-orang zalim5 di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya
berserah diri". (QS. Al ‘Ankabuut. 46).
Bahkan
Al Qur’an secara tegas juga melarang kita yang beragama Islam untuk memaki
sembahan-sembahan pemeluk agama lain. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam
surat Al An’aam ayat 108 berikut ini:
وَلَا تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ
فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ...﴿١٠٨﴾
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan...”
(QS. Al An’aam: 108).
Sekali
lagi kusampaikan,
Jika berdebat dengan Ahli Kitab saja, Islam telah melarang kita kaum muslimin
untuk melakukannya kecuali dengan cara yang paling baik, bahkan hanya sekedar
mencaci-maki/menghujat/menghina/mengolok-olok sembahan-sembahan pemeluk agama
lain saja sudah merupakan perbuatan yang sangat dilarang, apalagi jika sampai
melakukan tindakan pengeboman tempat-tempat peribadatan mereka? Termasuk
tindakan pengeboman tempat-tempat hiburan maupun tempat-tempat keramaian umum
lainnya yang banyak memakan korban jiwa.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalan surat Al-Maa-idah ayat 32
berikut ini:
مِنْ أَجْلِ
ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا
بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ
جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ
جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَـــٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ
ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ ﴿٣٢﴾
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya
telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami
dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di
antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi. (QS. Al Maa-idah. 32).
Tafsir Ibnu Katsir:
Allah SWT. Berfirman: “Karena anak Adam pernah
membunuh saudaranya secara aniaya dan permusuhan”.
{كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ}
(maka) Kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil. (QS. Al Maa-idah. 32)
Yakni Kami syariatkan kepada mereka dan Kami
berlakukan terhadap mereka,
{أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ
فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا
فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا}
“bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”. (QS. Al
Maa-idah. 32)
Yakni barang siapa yang membunuh seorang manusia
tanpa sebab – seperti qishash atau membuat kerusakan di muka bumi, dan ia
menghalalkan membunuh jiwa tanpa sebab dan tanpa dosa – maka seakan-akan ia
membunuh manusia seluruhnya, karena menurut Allah tidak ada bedanya antara satu
jiwa dengan jiwa yang lainnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, yakni mengharamkan membunuhnya dan meyakini keharaman tersebut,
berarti selamatlah seluruh manusia darinya berdasarkan pertimbangan ini. Untuk
itulah Allah SWT. berfirman:
{فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا}
“maka seolah-olah dia memelihara kehidupan manusia
semuanya”. (QS. Al Maa-idah. 32)
Al-A'masy dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari
Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pada hari Khalifah
Usman dikepung, Abu Hurairah masuk menemuinya, lalu berkata, "Aku datang
untuk menolongmu, dan sesungguhnya situasi sekarang ini benar-benar telah
serius, wahai Amirul Mu’minin." Maka Usman ibnu Affan r.a. berkata,
"Hai Abu Hurairah, apakah kamu senang bila kamu membunuh seluruh manusia,
sedangkan aku termasuk dari mereka?" Abu Hurairah menjawab,
"Tidak." Usman r.a. berkata, "Karena sesungguhnya bila kamu
membunuh seseorang lelaki, maka seolah-olah kamu telah membunuh manusia
seluruhnya. Maka pergilah kamu dengan seizinku seraya membawa pahala, bukan dosa."
Abu Hurairah melanjutkan kisahnya.”Lalu aku pergi dan tidak ikut
berperang."
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa hal itu sama dengan makna firman-Nya yang mengatakan: barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. (Al-Maidah: 32); Memelihara kehidupan artinya "tidak
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya", demikianlah
pengertian orang yang memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Dengan kata
lain, barang siapa yang mengharamkan membunuh jiwa, kecuali dengan alasan yang
benar, berarti kelestarian hidup manusia terpelihara darinya; demikianlah seterusnya.
Mujahid mengatakan bahwa barang siapa yang
memelihara kehidupan jiwa seseorang, yakni menahan diri tidak membunuhnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan firman-Nya: maka seolah-olah dia telah membunuh manusia
seluruhnya. (Al-Maidah: QS. Al Maa-idah. 32); Ibnu Abbas mengatakan bahwa
barang siapa yang membunuh jiwa seseorang yang diharamkan oleh Allah
membunuhnya, maka perumpamaannya sama dengan membunuh seluruh manusia.
Said ibnu Jubair telah mengatakan, "Barang
siapa yang menghalalkan darah seorang muslim, maka seakan-akan dia
menghalalkan darah manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang mengharamkan darah
seorang muslim, maka seolah-olah dia mengharamkan darah manusia seluruhnya."
Ini merupakan suatu pendapat, tetapi pendapat inilah yang terkuat.
Ikrimah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa barang siapa yang membunuh seorang nabi atau seorang imam yang
adil, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa
yang mendukung sepenuhnya seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka
seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Demikianlah menurut
apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Mujahid menurut riwayat lain yang bersumberkan
darinya mengatakan, "Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan
karena telah membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Demikian itu karena barang siapa yang membunuh seseorang, maka
baginya neraka, dan perihalnya sama seandainya dia membunuh manusia
seluruhnya."
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Al-A'raj, dari
Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: maka seolah-olah dia telah membunuh
manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Bahwa barang siapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja, maka Allah menyediakan neraka Jahannam sebagai
balasannya, dan Allah murka terhadapnya serta melaknatinya dan menyiapkan
baginya azab yang besar. Dikatakan bahwa seandainya dia membunuh manusia
seluruhnya, maka siksaannya tidak melebihi dari siksaan tersebut (karena sudah
maksimal).
Ibnu Juraij telah meriwayatkan bahwa Mujahid pernah
mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya. (QS. Al Maa-idah. 32); Bahwa barang siapa yang tidak
pernah membunuh seseorang pun, berarti manusia selamat darinya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan,
"Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya, yakni diwajibkan atas dirinya menjalani hukum qishash (pembalasan), tidak ada bedanya antara yang dibunuh
adalah seorang manusia ataupun sejumlah orang. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan, yakni pihak wali darah memaafkan si pembunuh, maka seakan-akan dia
memelihara kehidupan manusia seluruhnya." Hal yang sama telah diriwayatkan
pula oleh ayahnya (yakni Juraij) menurut Mujahid mengatakan dalam suatu
riwayat, "Barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni menyelamatkan
(orang lain) dari tenggelam atau kebakaran atau kebinasaan."
Al-Hasan dan Qatadah telah mengatakan sehubungan
dengan firman-Nya: Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (QS. Al
Maa-idah. 32); Di dalam makna ayat ini terkandung pengertian bahwa melakukan
tindak pidana pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Lalu Qatadah
mengatakan, "Demi Allah, dosanya amat besar; demi Allah, pembalasannya
sangat besar."
Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Salam ibnu
Miskin, dari Sulaiman ibnu Ali Ar-Rab'i yang telah menceritakan bahwa ia pernah
bertanya kepada Al-Hasan, "Ayat ini bagi kita, hai Abu Sa'id, sama dengan
apa yang diberlakukan atas kaum Bani Israil." Al-Hasan menjawab,
"Memang benar, demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sama seperti yang
diberlakukan atas kaum Bani Israil, dan tiadalah Allah menjadikan darah kaum
Bani Israil lebih mulia daripada darah kita.
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan
firman-Nya: maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (QS.
Al Maa-idah. 32); Yaitu dalam hal dosanya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara
kehidupan manusia seluruhnya. (QS. Al Maa-idah. 32); Yakni dalam hal
pahalanya.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَة، حَدَّثَنَا
حُيَي بْنُ عَبْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلي، عَنْ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: جَاءَ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِلَى رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْنِي
عَلَى شَيْءٍ أَعِيشُ بِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "يَا حَمْزَةُ، نَفْسٌ تُحْيِيهَا أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ نَفْسٌ
تُمِيتُهَا؟ " قَالَ: بَلْ نَفْسٌ أُحْيِيهَا: قَالَ: "عَلَيْكَ
بِنَفْسِكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan
kepada kami Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah
ibnu Amr yang telah mengatakan bahwa Hamzah ibnu Abdul Muttalib datang kepada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: Wahai
Rasulullah, berikanlah kepadaku sesuatu pegangan untuk kehidupanku.” Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, "Hai
Hamzah, jiwa seseorang yang kamu pelihara kehidupannya lebih kamu sukai ataukah
jiwa seseorang yang kamu matikan?" Hamzah menjawab, "Tidak,
bahkan jiwa yang aku pelihara kehidupannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Peliharalah dirimu.”
_____
Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelaslah
sekarang bahwa berjihad melalui jalan kekerasan dalam situasi damai, bukanlah
ajaran Islam.Ya, Islam sama sekali tidak identik dengan kekerasan.
Islam
adalah agama yang indah dan penuh keadilan. Perhatikan penjelasan Allah SWT. Dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 8 berikut ini:
لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـــٰــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al
Mumtahanah. 8).
Saudaraku,
Dalam
ayat di atas, bahkan Allah mengakhirinya dengan kalimat:
... إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
“...
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah.
8).
“Hendaklah (kamu) berbuat
baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil, kepada non-muslim
yang tidak memerangi kalian”. Demikian pendapat Ibnu Katsir rahimahullah.
Demikian
penjelasan yang bisa kusampaikan. Mohon
maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena
keterbatasan ilmuku.
Semoga
bermanfaat.
NB.
1) Artikel ini ditulis terkait peristiwa bom Surabaya pada hari Ahad, 13
Mei 2018.
2) Prof.
Dr. KH. M. Roem Rowi, MA. (salah satu
guru ngajiku) adalah seorang ahli tafsir Al Qur’an; S1 Universitas Islam
Madinah, S2 – S3 Universitas Al-Azhar.
3) Ahli
Kitab أهل الكتــاب )
( adalah
sebutan untuk kaum Yahudi dan Nasrani (menurut Al Qur’an). Sebab Yahudi dan
Nasrani disebut sebagai Ahli Kitab karena Allah mengutus ditengah-tengah mereka
nabi-nabi yang membawa kitab suci masing-masing.
4) Berdebat
dengan cara yang paling baik, antara lain dengan menyertakan hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi)
yang kuat disertai dengan dalil-dalil
yang mendasarinya (tidak hanya berdasarkan emosi semata).
5) Yang
dimaksud dengan ”orang-orang dzalim”
ialah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan
penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, namun mereka tetap
membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar