Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (teman sekolah di SMPN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
“Pak Imron,
sering kita dengar kalau kita bantu anak-anak
yatim/piatu atau
dua-duanya (anak
yatim dan anak piatu) atau
orang tua yang miskin,
maka kita akan mendapat pahala yang
besar. Yang saya tanyakan adalah,
apakah sedekah tersebut
hanya khusus bagi yang seiman
atau
termasuk yang
tidak seiman dengan kita? Maksudnya
bila yang
kita bantu bukan
seiman dengan kita bagaimana?”.
Saudaraku,
Jika yang dimaksud di sini adalah memberi bantuan kepada
non-muslim* dengan bantuan yang berasal dari dana zakat, maka ini adalah
perbuatan yang terlarang (haram hukumnya), kecuali kepada muallaf qulubuhum (وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ(.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat At Taubah
ayat 60 berikut ini:
إِنَّمَا الصَّدَقَــــٰتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَـــٰــكِينِ وَالْعَـــٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَـــٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ وَاللهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿٦٠﴾
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan
yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At
Taubah. 60).
Saudaraku,
Siapakah yang dimaksud dengan muallaf qulubuhum )وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ( itu? Perhatikan penjelasan dalam Kitab Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy)
serta Kitab Tafsir Ibnu Katsir berikut ini:
Tafsir Jalalain:
(para mualaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam
atau untuk memantapkan keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam
orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum
Muslimin. Mualaf itu bermacam-macam jenisnya; menurut pendapat Imam Syafii
jenis mualaf yang pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (zaman Imam
Syafii) tidak berhak lagi untuk mendapatkan bagiannya, karena Islam telah kuat.
Berbeda dengan dua jenis mualaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk
diberi bagian. Demikianlah menurut pendapat yang sahih.
Tafsir Ibnu Katsir:
Adapun mengenai “muallafah qulubuhum” atau
orang-orang yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam, mereka terdiri atas
berbagai golongan. Antara lain ialah orang yang diberi agar mau masuk Islam,
seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Safwan ibnu Umayyah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya bagian dari ganimah Perang Hunain, padahal Safwan ibnu
Umayyah ikut dalam Perang Hunain dalam keadaan masih musyrik. Safwan ibnu Umayyah
mengatakan, "Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam terus-menerus memberiku,"
sehingga beliau menjadi orang yang paling ia sukai, padahal sebelumnya
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling ia benci.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu
Addi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus, dari Az-Zuhri,
dari Sa'id ibnu Musayyab, dari Safwan ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberinya bagian dalam Perang Hunain.
Dan bahwa saat itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling tidak
disukai olehnya. Tetapi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam terus-menerus memberinya hingga
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadi orang yang paling dia sukai.
Imam Muslim dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Yunus,
dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama.
Di antara mereka ada orang yang diberi agar Islamnya bertambah
baik dan imannya bertambah mantap dalam hatinya, seperti apa yang dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam Perang Hunain kepada sejumlah
orang dari kalangan pemimpin-pemimpin dan orang-orang terhormat Mekah yang
dibebaskan. Kepada setiap orang dari mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya seratus ekor unta. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ
مِنْهُ، مَخَافَةَ أَنْ يَكُبَّه اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ"
“Sesungguhnya aku benar-benar memberi kepada seorang lelaki,
padahal ada orang lain yang lebih aku sukai daripadanya, karena aku takut bila
Allah menyeretnya dengan muka di bawah ke dalam neraka Jahannam”.
Di dalam kitab “Sahihain” disebutkan melalui Abu
Sa'id, bahwa Ali r.a. mengirimkan bongkahan emas yang masih ada tanahnya dari
negeri Yaman kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi-bagikannya di antara empat orang, yaitu Al-Aqra' ibnu
Habis, Uyaynah ibnu Badar, Alqamah ibnu Ilasah, dan Zaid Al-Khair, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"أَتَأَلَّفُهُمْ"
“(Aku memberi mereka untuk) aku jinakkan hati mereka (kepada
Islam)”.
Di antara mereka ada orang yang diberi dengan harapan agar
orang-orang yang semisal dengannya mau masuk Islam pula. Dan di antara mereka
terdapat orang yang diberi agar dia memungut zakat dari orang-orang yang
berdekatan dengannya, atau agar dia mau membela negeri kaum muslim dari segala
marabahaya yang datang dari perbatasan. Perincian keterangan mengenai hal ini
disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Apakah kaum “muallafah qulubuhum” tetap diberi
sesudah masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam? Hal ini masih diperselisihkan. Telah
diriwayatkan dari Umar, Amir, Asy-Sya’bi. dan sejumlah ulama, bahwa mereka
tidak pernah memberi kaum “muallafah qulubuhum” sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah menguatkan Islam dan para pemeluknya serta
menjadikan mereka berkuasa penuh di negerinya dengan mantap dan stabil, serta
semua hamba tunduk kepada mereka.
Ulama lainnya mengatakan, "Bahkan mereka masih tetap diberi,
karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam masih tetap memberi mereka sesudah
kemenangan atas Mekah dan sesudah kalahnya orang-orang Hawazin. Hal ini
merupakan suatu perkara yang terkadang diperlukan, maka sebagian dari harta
zakat diberikan kepada mereka yang masih dijinakkan hatinya untuk memeluk
Islam."
Saudaraku,
Terkait ayat di atas, dalam Kitab Tafsir Jalalain
diperoleh penjelasan sebagai berikut: “... (sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan) lafal fariidhatan dinashabkan oleh fi'il yang keberadaannya
diperkirakan (Allah; dan Allah Maha Mengetahui) makhluk-Nya (lagi Maha
Bijaksana) dalam penciptaan-Nya. Ayat ini menyatakan bahwa zakat tidak boleh
diberikan kepada orang-orang selain mereka, dan tidak boleh pula mencegah zakat
dari sebagian golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada
...”. (Tafsir Jalalain surat At Taubah ayat 60).
Saudaraku,
Jika memberi bantuan kepada non-muslim dengan bantuan
yang berasal dari dana zakat adalah perbuatan yang terlarang/haram hukumnya
(kecuali kepada muallaf qulubuhum sebagaimana uraian di atas), namun tidak
demikian halnya pada sedekah sunnah.
Sedekah sunnah diperbolehkan untuk diberikan kepada
non-muslim sebagaimana pembolehan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Asma binti Abu Bakar untuk berbuat baik kepada
ibunya yang masih musyrik dan mengatakan kepadanya: “Sambungkanlah ibumu”. Hal ini diperkuat lagi
dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 berikut ini:
لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـــٰــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al
Mumtahanah. 8).
Serta firman Allah Ta’ala dalam surat Al
Insaan
ayat 8 berikut ini:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ
مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾
Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al
Insaan. 8)
Saudaraku,
Ayat tersebut (surat Al Insaan
ayat 8) adalah mutlak dan orang yang ditawan pada saat itu masih beragama
dengan agamanya yang bukan Islam (non-muslim). Untuk lebih jelasnya, perhatikan penjelasan
dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir berikut ini:
وَيُطْعِمُونَ
الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ
مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾
Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al
Insaan. 8)
Orang miskin dan
anak yatim telah diterangkan definisi dan sifat-sifat keduanya. Adapun yang
dimaksud dengan tawanan, maka menurut Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan
Ad-Dahhak, maksudnya tawanan dari ahli kiblat.
Ibnu Abbas
mengatakan bahwa tawanan mereka pada masa itu adalah orang-orang musyrik. Hal
ini diperkuat dengan adanya anjuran Rasulullah yang memerintahkan kepada para
sahabatnya untuk memperlakukan para tawanan Perang Badar dengan perlakuan yang
baik. Tersebutlah pula bahwa kaum muslim saat itu mendahulukan para tawanan
untuk makan daripada diri mereka sendiri.
Ikrimah mengatakan
bahwa mereka adalah budak-budak belian, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu
Jarir, mengingat makna ayat umum menyangkut orang muslim dan juga orang
musyrik. Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, dan
Qatadah. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menganjurkan agar para budak
diperlakukan dengan perlakuan yang baik. Hal ini ditegaskan oleh beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bukan hanya melalui satu hadis
saja, bahkan di akhir wasiat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:
﴿الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ﴾
“Peliharalah salat
dan (perlakukanlah dengan baik) budak-budak yang dimiliki olehmu”.
Saudaraku,
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya diperbolehkan bagi kita untuk memberikan
sedekah selain zakat kepada orang-orang non-muslim. Akan tetapi ada baiknya jika
kita membuat skala prioritas dalam menentukan para penerima sedekah kita
tersebut, yaitu:
1. Orang-orang/saudara sesama muslim, tentunya mereka lebih berhak
daripada orang-orang/mereka yang non-muslim.
2. Orang-orang non-muslim yang tidak memerangi Islam dan tidak pula membenci
kaum muslimin dan senantiasa menyatakan perdamaiannya kepada kaum muslimin (non-muslim
yang bersikap baik), sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Mumtahanah ayat
8 berikut ini:
لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـــٰــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al
Mumtahanah. 8).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Sebenarnya
dalam Al Qur’an, tidak dikenal istilah non-muslim (atau Bahasa Arab-nya: ghairu
muslim). Dalam Al Qur’an, selain Islam itu kafir (termasuk
mereka kaum Yahudi dan Nasrani).
Ini prinsip akidah yang harus
dipahami oleh setiap muslim. Cukup banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa selain Islam itu
kafir, termasuk mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Dan karena mereka itu kafir
(termasuk kaum Yahudi dan Nasrani) maka tempatnya adalah neraka Jahannam.
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَــــٰبِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَـــٰـلِدِينَ فِيهَا أُوْلَـــٰـــئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ ﴿٦﴾
“Sesungguhnya
orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk”. (QS. Al Bayyinah. 6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar