Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (tinggal di
Jatiwangi, Kab. Majalengka, Jawa Barat) telah menyampaikan
pertanyaan sebagai berikut: “Pak Imron, sebelumnya saya minta
maaf, ada hal yang saya mau tanyakan. Mengenai perceraian antara nikah siri dan
nikah resmi, apa itu semuanya ada masa ‘iddah-nya?”.
Saudaraku,
Sebenarnya yang membedakan antara pernikahan siri dengan
pernikahan resmi adalah terletak pada dicatat atau tidaknya pernikahan tersebut
oleh negara.
Jika sebuah pernikahan dicatat
oleh negara, maka pernikahan seperti ini disebut sebagai pernikahan resmi. Bagi yang beragama Islam, dicatat oleh negara berarti pernikahan tersebut
dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan jika sebuah pernikahan tidak dicatat oleh negara (selama syarat
dan rukun nikahnya terpenuhi), maka pernikahan seperti ini dikatakan sebagai
pernikahan siri.
Saudaraku,
Sebuah pernikahan yang tidak
dicatat oleh negara, selama syarat dan rukun nikahnya terpenuhi, maka
pernikahan seperti ini sah menurut Agama Islam.
Namun karena tidak dicatat oleh negara, maka pernikahan tersebut tidak diakui
oleh negara. Dan karena pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara, maka
pernikahan tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum (hukum negara, bukan hukum agama).
Saudaraku,
Selama suami bertanggung-jawab
dan memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga, maka pernikahan siri sah
dan halal secara agama. Namun bila terjadi sebaliknya (suami tidak bertanggung-jawab
dan tidak memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga), maka pihak istri
maupun anak dari hasil pernikahan tersebut berpotensi menjadi pihak yang
dirugikan, karena tidak bisa menuntut suami atau ayahnya di depan pengadilan karena
tidak ada bukti pernikahan (tidak ada bukti catatan pernikahan di KUA). Dengan tidak
adanya bukti nikah, berarti istri dan anaknya tidak punya kekuatan hukum. Hal inilah kelemahan pernikahan siri.
Saudaraku,
Meskipun pernikahan siri tidak diakui oleh
negara sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (hukum negara), namun pernikahan
tersebut sah menurut Agama Islam (selama syarat dan rukun nikahnya terpenuhi).
Sah menurut Agama Islam, artinya pernikahan tersebut diakui sebagai pernikahan
yang sah oleh Agama Islam.
Dan karena pernikahan siri tersebut
diakui sebagai pernikahan yang sah oleh Agama Islam, maka hukum-hukum terkait
masalah pernikahan dalam Agama Islam juga berlaku padanya (pada pernikahan siri),
termasuk masalah ‘iddah. Tidak ada perbedaan masa ‘iddah antara
pernikahan siri dengan pernikahan resmi, karena di hadapan Agama Islam, kedua
jenis pernikahan tersebut sama-sama sah/sama-sama diakui oleh Agama Islam.
Sedangkan terkait lama-nya masa ‘iddah, bisa
bervariasi, tergantung kondisinya. Berikut ini kusampaikan 3 ayat yang membahas
tentang masa ‘iddah pada berbagai kondisi:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ لَا
تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَـــٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن
يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللهَ
يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا ﴿١﴾
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu
tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.
(QS. Ath Thalaaq. 1).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Hai Nabi!) makna yang dimaksud ialah umatnya, pengertian
ini disimpulkan dari ayat selanjutnya. Atau makna yang dimaksud ialah,
katakanlah kepada mereka (apabila kalian menceraikan istri-istri kalian) apabila
kalian hendak menjatuhkan talak kepada mereka (maka hendaklah kalian ceraikan
mereka pada waktu mereka menghadapi ‘iddahnya) yaitu pada permulaan ‘iddah,
seumpamanya kamu menjatuhkan talak kepadanya sewaktu ia dalam keadaan suci dan
kamu belum menggaulinya. Pengertian ini berdasarkan penafsiran dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri menyangkut masalah ini; demikianlah menurut hadis
yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (dan hitunglah waktu ‘iddahnya)
artinya jagalah waktu ‘iddahnya supaya kalian dapat merujukinya sebelum waktu ‘iddah
itu habis (serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian) taatlah kalian kepada
perintah-Nya dan larangan-Nya. (Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar) dari rumahnya sebelum ‘iddahnya
habis (kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji) yakni zina (yang
terang) dapat dibaca mubayyinah, artinya terang, juga dapat dibaca mubayyanah,
artinya dapat dibuktikan. Maka bila ia melakukan hal tersebut dengan dapat
dibuktikan atau ia melakukannya secara jelas, maka ia harus dikeluarkan untuk
menjalani hukuman hudud. (Itulah) yakni hal-hal yang telah disebutkan itu
(hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu) sesudah perceraian itu
(sesuatu hal yang baru) yaitu rujuk kembali dengan istri yang telah dicerainya,
jika talak yang dijatuhkannya itu baru sekali atau dua kali. (QS. Ath Thalaaq.
1).
وَالَّــــٰـــئِي يَــــئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ
ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَــــٰــــثَةُ أَشْهُرٍ وَالَّــــٰـــئِي لَـمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَـــٰتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا ﴿٤﴾
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya)
maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS.
Ath Thalaaq. 4).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Dan perempuan-perempuan) dibaca wallaa'iy dan wallaa'i,
dengan memakai hamzah dan ya atau tanpa memakai ya, demikian pula lafal yang
sama sesudahnya (yang putus asa dari haid) lafal al-mahidh di sini bermakna
haid (di antara perempuan-perempuan kalian jika kalian ragu-ragu) tentang masa ‘iddahnya
(maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang
tidak haid) karena mengingat mereka masih di bawah umur, maka ‘iddah mereka tiga
bulan pula. Kedua kasus ini menyangkut wanita-wanita atau istri-istri yang
tidak ditinggal mati oleh suaminya. Adapun istri-istri yang ditinggal mati oleh
suaminya, ‘iddah mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya berikut
ini, yaitu, "Hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari." (Q.S. Al-Baqarah 234) (Dan perempuan-perempuan
yang hamil masa idahnya) baik mereka itu karena ditalak atau karena ditinggal
mati oleh suaminya, maka batas masa ‘iddah mereka ialah (sampai mereka
melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya) baik di dunia maupun di
akhirat. (QS. Ath Thalaaq. 4).
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al
Baqarah. 234).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Orang-orang yang wafat) atau meninggal dunia (di antara
kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka mereka menangguhkan), artinya
hendaklah para istri itu menahan (diri mereka) untuk kawin setelah suami mereka
yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh), maksudnya hari. Ini adalah
mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai yang hamil, maka ‘iddah
mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat At-Thalaq, sedangkan
bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu, menurut hadis.
(Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa ‘iddahnya, (mereka
tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada diri
mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan (secara
baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu
lakukan), baik yang lahir maupun yang batin. (QS. Al Baqarah. 234).
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar