Assalamu’alaikum wr. wb.
Salah seorang jama’ah Kuliah
Subuh di Kota Blitar telah menyampaikan pertanyaan sebagai beikut: “Pak Imron,
bagaimana dengan harta warisan yang saya tinggalkan? Anak saya 3 orang
laki-laki semua, yang muslim hanya 1 orang, yaitu anak mbarep (anak yang
pertama). Terimakasih ya Pak, salam untuk Bu Imron”.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Agama
Islam, ahli waris lain agama, misalnya yang meninggal dunia adalah orang Yahudi
(atau beragama lain/selain Agama Islam) sedangkan ahli warisnya beragama Islam,
maka ahli waris yang muslim tersebut tidak boleh mewarisi hartanya. Demikian pula
sebaliknya, yaitu ketika yang meninggal adalah seorang muslim sedangkan ahli
warisnya beragama lain (non-muslim), maka ahli waris yang non-muslim tersebut
juga tidak boleh mewarisi hartanya.
Perhatikan penjelasan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam beberapa hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا سَعْدَانُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي
حَفْصَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ
أَنَّهُ قَالَ زَمَنَ الْفَتْحِ يَا رَسُولَ اللهِ أَيْنَ تَنْزِلُ غَدًا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيلٌ مِنْ مَنْزِلٍ ثُمَّ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُؤْمِنُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ
الْمُؤْمِنَ قِيلَ لِلزُّهْرِيِّ وَمَنْ وَرِثَ أَبَا طَالِبٍ قَالَ وَرِثَهُ عَقِيلٌ وَطَالِبٌ قَالَ مَعْمَرٌ عَنْ
الزُّهْرِيِّ أَيْنَ تَنْزِلُ غَدًا فِي حَجَّتِهِ وَلَمْ يَقُلْ يُونُسُ حَجَّتِهِ وَلَا زَمَنَ الْفَتْحِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Sulaiman bin Abdurrahman Telah menceritakan kepada kami Sa'dan bin Yahya Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abu Hafsah dari Azzuhri dari Ali bin
Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid, katanya; "Sekarang telah
tiba penaklukan ya Rasulullah, dimana engkau singgah esok?" Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: Apakah Aqil meninggalkan persinggahan untuk kita?
Lantas beliau sabdakan "Seorang mukmin tidak mewarisi orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi orang mukmin." Ditanyakan kepada Az Zuhri;
Lantas siapa yang mewarisi Abu Thalib? Nabi menjawab: "Yang mewarisinya
'Aqil dan Thalib." Kata Ma'mar dari Az Zuhri dengan redaksi; 'Dimana
engkau singgah esok – maksudnya ketika hajinya – sedang Yunus tidak mengatakan
lafadz "Dalam hajinya" tidak pula ada redaksi "Jaman penaklukan
Makkah." (HR. Bukhari, no. 3946).
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى
قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ
عَنْ
عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ. (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Yahya dan Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dan ini
adalah lafadz Yahya, Yahya berkata; telah mengabarkan kepada kami, sedangkan
yang dua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Uyainah dari Az Zuhri
dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang Muslim tidak boleh
mewarisi dari orang kafir dan orang kafir tidak dapat mewarisi dari orang
Muslim." (HR. Muslim, no. 3027).
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ
عُثْمَانَ عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ.
(رواه ابو داود)
Telah menceritakan kepada kami
Musaddad, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Ali bin
Husain dari 'Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan
orang kafir tidak mewarisi orang muslim." (HR. Abu Daud, no. 2521).
Saudaraku,
Berdasarkan beberapa hadits di
atas, diperoleh penjelasan bahwa orang muslim itu tidak boleh mewarisi orang non-muslim.
Demikian pula sebaliknya, orang non-muslim itu juga tidak boleh mewarisi orang
muslim.
Karena pada saat ini saudaraku
sudah tidak mempunyai orang tua serta suami (kedua orang tua serta suami sudah
wafat), sedangkan saudaraku mempunyai 3 orang anak laki-laki yang terdiri dari
1 orang anak yang muslim (anak mbarep/anak yang pertama) dan 2 orang anak yang
beragama lain, jika suatu saat nanti saudaraku dipanggil Allah SWT., maka yang
berhak mewarisi harta yang saudaraku tinggalkan hanyalah anak pertama yang
muslim. Artinya, jika suatu saat nanti saudaraku dipanggil Allah, maka semua
harta yang saudaraku tinggalkan akan diwarisi oleh anak pertama yang muslim
(semua harta yang saudaraku tinggalkan, akan menjadi milik anak pertama yang
muslim). Sedangkan kedua anak lainnya yang non-muslim, tidak berhak sama sekali
atas harta yang saudaraku tinggalkan.
Kedua orang anak lainnya yang
masih beragama lain, mereka tidak mendapatkan harta waris karena antara saudaraku
dengan kedua anak tersebut putus hubungan secara syar’i. Terkait hal ini, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada Nabi Nuh AS terkait anaknya yang
kafir, dengan firman-Nya dalam Al Qur’an berikut ini:
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ... ﴿٤٦﴾
Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya
dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatannya) perbuatan yang tidak baik …”. (QS. Huud. 46).
Berikut ini surat Huud ayat 45
– 46 selengkapnya:
وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ ﴿٤٥﴾ قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَـــٰهِلِينَ ﴿٤٦﴾
(45)
Dan Nuh berseru (memohon) kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang
benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”. (46) Allah
berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan
akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab
itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya
Aku memperingatkan kepadamu (menasehatimu) supaya kamu jangan termasuk orang-orang
yang bodoh (yang tidak berpengetahuan)”. (QS. Huud. 45-46).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, bahwa
karena pada saat ini saudaraku sudah tidak mempunyai orang tua serta suami
(karena kedua orang tua serta suami sudah wafat), sedangkan saudaraku mempunyai
3 orang anak laki-laki yang terdiri dari 1 orang anak yang muslim (anak
mbarep/anak yang pertama) dan 2 orang anak yang beragama lain, jika suatu saat
nanti saudaraku dipanggil Allah, maka yang berhak mewarisi harta yang saudaraku
tinggalkan hanyalah anak pertama yang muslim. Artinya, jika suatu saat nanti
saudaraku dipanggil Allah, maka semua harta yang saudaraku tinggalkan akan
diwarisi oleh anak pertama saja yang muslim (semua harta yang saudaraku
tinggalkan, akan menjadi milik anak pertama yang muslim). Dalam kasus ini, anak pertama yang muslim tersebut menjadi
‘ashabah.
Saudaraku,
‘Ashabah
( اَلْعَصَبَةُ ) adalah orang yang diberikan kepadanya sisa
(tarikah) setelah para ash-haabul furudh (pemilik bagian pasti) mengambil
bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa sedikit-pun dari mereka, maka mereka
(‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun kecuali jika yang mendapatkan
‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena sesungguhnya ia tidak terhalang
dalam keadaan apa pun. ‘Ashabah juga berarti orang-orang yang berhak
mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada seorang-pun dari ash-haabul
furudh.
Nah, karena tidak
ada ahli waris lain selain anak pertama yang muslim tersebut, maka dialah yang
akan mewarisi seluruh harta yang akan saudaraku tinggalkan pada saat saudaraku
dipanggil Allah suatu saat nanti. Perhatikan firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an
surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176 berikut ini:
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا
وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
Saudaraku,
Dalam ayat di atas, Allah telah
memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan
‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
Kecuali jika kedua anak yang lain yang saat ini masih non-muslim,
kemudian masuk Islam sebelum saudaraku dipanggil Allah, maka kedua anak
tersebut juga berhak untuk mendapatkan warisan dari harta yang saudaraku
tinggalkan dengan ketentuan: dibagi sama rata dengan semua anak yang sudah
masuk Islam sebelum saudaraku dipanggil Allah (karena anak saudaraku semuanya
laki-laki).
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
syarat agar anak saudaraku bisa mendapatkan hak waris atas harta yang saudaraku
tinggalkan adalah: anak-anak tersebut harus sudah masuk Islam sebelum saudaraku
dipanggil Allah (anak yang memiliki hak waris atas harta yang saudaraku
tinggalkan hanyalah anak-anak yang sudah beragama Islam sebelum saudaraku
dipanggil Allah).
Lalu bagaimana jika saudaraku juga berkeinginan agar
kedua anak lainnya yang saat
ini masih non-muslim
juga bisa
mendapatkan bagian dari harta yang saudaraku miliki? Sedangkan saudaraku
tidak bisa memastikan apakah sebelum saudaraku dipanggil Allah, kedua anak
tersebut bisa mendapat hidayah/masuk Islam? Apakah tidak ada solusinya?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam kasus ini jawabannya adalah:
selama kedua anak tersebut belum masuk Islam sebelum saudaraku dipanggil Allah,
berdasarkan hukum waris dalam Islam, maka keduanya tetap tidak bisa mewarisi
harta yang saudaraku tinggalkan pada saat saudaraku dipanggil Allah. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita
berhati-hati terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah
Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Meskipun demikian, jika memang saudara berkeinginan agar
kedua anak lainnya yang saat ini masih non-muslim juga bisa mendapatkan bagian
dari harta yang saudaraku miliki (meskipun kedua anak tersebut belum masuk
Islam pada saat saudaraku dipanggil Allah), maka hal ini bisa diselesaikan
dengan memakai hukum hibah. Artinya,
saudaraku bisa menghibahkan sebagian dari harta yang saudaraku miliki kepada
kedua anak yang non-muslim tersebut, sebelum saudara dipanggil Allah.
Saudaraku,
Berbeda dengan hadiah dan
sedekah, dalam berhibah (memberikan/menyerahkan sesuatu) tidak ada unsur-unsur
atau tujuan lain, artinya memberikan sesuatu dengan tidak ada tukarannya dan
tidak ada sebabnya. Sedangkan yang dimaksud dengan hadiah, adalah memberikan
sesuatu kepada orang lain sebagai bentuk penghormatan atas prestasi yang
dicapainya. Adapun sedekah, ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jadi
dasar sedekah adalah semangat keagamaan (atau untuk mendekatkan diri kepada
Allah), sedangkan hibah tidak berdasarkan semangat keagamaan, tetapi hanya berdasar
kehendak dan keinginan sendiri.
Mungkin saudaraku bertanya,
bolehkah berhibah (memberikan/menyerahkan sesuatu) kepada non-muslim? Jawabnya:
boleh. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam
surat Al Insaan
ayat 8 berikut ini:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾
Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al
Insaan. 8)
Saudaraku,
Ayat tersebut (surat Al Insaan
ayat 8) adalah mutlak dan orang yang ditawan pada saat itu masih beragama
dengan agamanya yang bukan Islam (non-muslim). Untuk lebih jelasnya,
perhatikan penjelasan dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir berikut ini:
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾
Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al
Insaan. 8)
Orang miskin dan
anak yatim telah diterangkan definisi dan sifat-sifat keduanya. Adapun yang
dimaksud dengan tawanan, maka menurut Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan
Ad-Dahhak, maksudnya tawanan dari ahli kiblat.
Ibnu Abbas
mengatakan bahwa tawanan mereka pada masa itu adalah orang-orang musyrik. Hal
ini diperkuat dengan adanya anjuran Rasulullah yang memerintahkan kepada para
sahabatnya untuk memperlakukan para tawanan Perang Badar dengan perlakuan yang
baik. Tersebutlah pula bahwa kaum muslimin saat itu mendahulukan para tawanan untuk makan daripada diri
mereka sendiri.
Saudaraku,
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa diperbolehkan bagi kita kaum muslimin untuk berhibah
(memberikan/menyerahkan sesuatu) kepada non-muslim.
Tentunya yang dimaksud dengan
non-muslim di sini adalah non-muslim yang tidak memerangi Islam dan tidak pula membenci
kaum muslimin dan senantiasa menyatakan perdamaiannya kepada kaum muslimin (artinya non-muslim
yang bersikap baik kepada kita kaum muslimin), sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 berikut ini:
لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ فِي
الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـــٰــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al
Mumtahanah. 8).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Beliau adalah seorang ibu (suaminya sudah
wafat) yang beberapa tahun yang lalu telah menjadi muallafah, sementara dari 3
orang anaknya (semuanya laki-laki), 2 orang diantaranya masih non-muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar