Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (dosen senior sebuah
perguruan tinggi negeri terkemuka di Pontianak)
telah menyampaikan pertanyaan di sebuah grup WhatsApp sebagai berikut:
Mohon pencerahan Bapak-Ibu tentang postingan dan respon saya dari group yang walaupun Islam, namun ternyata cenderung
sekuler-liberal (special attention Pak Imron Kuswandi M.):
“Wahai Kyai, manakah yang lebih baik, seorang beragama yang
ibadahnya banyak tetapi kelakuannya buruk ataukah seorang yang tidak beribadah
tapi kelakuannya baik pada sesama?”, tanya seorang santri kepada kyainya.
“Maha
Suci Allah, keduanya baik”,
ujar sang kyai sambil tersenyum.
“Lho,
kok bisa?”,
desak sang santri.
“Karena
orang yang
tekun beribadah itu boleh jadi akan dibimbing Allah SWT untuk berkelakuan mulia
melalui ibadahnya. Sedangkan orang yang baik kelakuannya itu, boleh jadi
akan dibimbing Allah SWT melalui rahmat-Nya untuk semakin taat kepada-Nya”.
“Terus,
siapa yang
lebih buruk?”,
desak sang santri penasaran.
Air mata mengalir di pipi sang
kyai. “Kita
nak”, ujar
beliau dengan suara tersendat. “Kitalah
yang
layak disebut buruk, sebab gemar menghabiskan waktu untuk menilai orang lain,
melupakan diri sendiri”, tangis
beliau sambil terisak. “Kelak
di hadapan Allah, kita ditanya tentang diri kita, bukan tentang orang lain”.
Tanggapan
Hati-hati dengan pola pemikiran orang-orang liberal1), saudaraku.
Karena jika kita tidak berhati-hati, hal ini bisa sangat membahayakan aqidah
kita!
اَللّٰهُّمَ
أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai
kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu
sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya”.
Terkait postingan yang saudaraku
sampaikan di atas, marilah kita perhatikan uraian berikut ini.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pelaksanaan ibadah-ibadah mahdhah2),
seperti: shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain, bukanlah sekedar rangkaian
kewajiban yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat
dosa. Namun (semua ibadah yang diperintahkan Allah tersebut), juga mengandung
ajaran akhlak yang mulia, jika saja setiap orang yang mengerjakannya mau dan
mampu menghayati setiap rangkaiannya.
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut
ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ
بْنُ مُعَاذٍ الصَّنْعَانِيُّ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ
عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَصْبَحْتُ يَوْمًا قَرِيبًا مِنْهُ
وَنَحْنُ نَسِيرُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي
الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي عَنْ النَّارِ قَالَ لَقَدْ سَأَلْتَنِي عَنْ عَظِيمٍ
وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيْهِ تَعْبُدُ اللهَ وَلَا
تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصُومُ
رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ ثُمَّ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ
الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ
الْمَاءُ النَّارَ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ قَالَ ثُمَّ تَلَا
{
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنْ الْمَضَاجِعِ حَتَّى بَلَغَ يَعْمَلُونَ }
ثُمَّ قَالَ
أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ
قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ
الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ ثُمَّ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ
ذَلِكَ كُلِّهِ قُلْتُ بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ
عَلَيْكَ هَذَا فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا
نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ
فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ
أَلْسِنَتِهِمْ. (رواه الترمذى)
Ibnu Abu Umar menceritakan
kepada kami, Abdullah bin Mu'adz Ash-Shan'ani menceritakan kepada kami, dari
Ma'mar, dari Ashim bin Abu An-Najud, dari Abu Wail, dari Mu'adz bin Jabal. Ia
berkata: Aku bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Pada suatu hari
aku berada di dekat beliau, sedangkan kami sedang berjalan. Aku berkata: “Wahai
Rasulullah, beritahukan kepadaku amal perbuatan yang dapat membuatku masuk
surga dan menjauhkanku dari api neraka”. Beliau bersabda: “Kamu telah menanyakan persoalan
yang besar kepadaku. Hal itu mudah bagi orang yang diberikan kemudahan oleh
Allah, yaitu kamu hendaknya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain, mendirikan shalat, menunaikan zakat. berpuasa di bulan Ramadhan, dan
melaksanakan haji di baitullah”. Beliau
melanjutkan: “Maukah
kuberitahukan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, shadaqah itu
dapat menghapuskan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, dan shalat yang
dilakukan oleh seseorang di tengah malam”. Dia
berkata: “Rasulullah kemudian membaca firman Allah: “Lambung-lambung mereka jauh dan
tempat tidur mereka, hingga pada lafaz [apa yang mereka kerjakan]”. Beliau lalu bersabda: “Maukah kamu aku beritahukan tentang pangkal, tiang,
dan sekaligus puncak segala urusan?” Aku
menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Pangkal segala urusan adalah
Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad”. Beliau kembali bersabda: “Maukah kamu aku beritahukan hal yang dapat menjaga
itu semua?”. Aku menjawab: “Tentu, wahai
Rasulullah”. Beliau lalu meraih lisan beliau dan bersabda: “Tahanlah lisanmu ini”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami akan diberikan siksa
akan apa yang kami ucapkan?”. Beliau menjawab: “Celaka kamu wahai Mu'adz, tidaklah manusia dibenamkan
wajah – atau hidung mereka –ke dalam api
neraka melainkan karena hasil perbuatan lisan mereka”. (HR.
At-Tirmidzi). Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Saudaraku,
Dalam Al Qur’an surat Al ‘Ankabuut ayat 45 berikut ini,
Allah juga telah menyampaikan kepada kita bahwa shalat itu adalah suatu ibadah
yang akan membentuk manusia agar memiliki akhlak yang mulia.
اُتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَـــٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
“Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
‘Ankabuut. 45).
Tafsir Ibnu Katsir:
... وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ... ﴿٤٥﴾
“...
dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. ...”. (Al-'Ankabut: 45)
Shalat
itu mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan
keji dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi pengekang diri dari
kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya dapat
menghindarinya. Di dalam sebuah hadis melalui riwayat Imran dan Ibnu Abbas
secara marfu' 3) telah disebutkan:
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، لَمْ تَزِدْهُ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
Barang
siapa yang shalatnya masih belum dapat mencegah dirinya dari mengerjakan
perbuatan keji dan munkar, maka tiada lain ia makin bertambah jauh dari Allah.
Banyak
atsar4) yang menerangkan masalah ini, antara lain dikatakan oleh
Ibnu Abu Hatim:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ هَارُونَ
الْمُخَرِّمِيُّ الْفَلَّاسُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ نَافِعٍ أَبُو
زِيَادٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، عَنْ
عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: سُئِل النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ قَوْلِ اللهِ: {إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}
قَالَ: "مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الفحشاء والمنكر، فلا صلاة
له"
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harun Al-Makhrami Al-Fallas, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Nafi' Abu Ziyad, telah menceritakan
kepada kami Umar ibnu Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan dari
Imran ibnu Husain yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah ditanya (seseorang) tentang makna firman-Nya: [Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar]. (Al-'Ankabut:
45). Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya: “Barang
siapa yang tidak dapat dicegah oleh shalatnya dari mengerjakan perbuatan keji
dan munkar, maka tiada (pahala) shalat baginya”.
. .
. dst., ada beberapa hadits lainnya yang dikutip dalam Kitab Tafsir Ibnu
Katsir, yang isinya hampir sama dengan kedua hadits di atas. (Mohon maaf,
hadits-hadits tersebut tidak aku kutib semuanya di sini agar artikel ini tidak
terlalu panjang).
... وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ... ﴿٤٥﴾
“...
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar, ...”. (Al-'Ankabut:
45). Yakni lebih besar pahalanya daripada yang pertama (yakni ibadah-ibadah
yang lainnya).
... وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
“...
Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-'Ankabut: 45).
Allah mengetahui semua perbuatan dan apa yang diucapkan kalian.
Abul
Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. (Al
'Ankabut: 45). Sesungguhnya di dalam shalat itu terkandung tiga pekerti, setiap
shalat yang tidak mengandung salah satu dari ketiga pekerti tersebut bukan shalat
namanya; yaitu ikhlas, khusyuk, dan zikrullah (mengingat Allah). Ikhlas
akan mendorongnya untuk mengerjakan perkara yang baik, khusyuk akan mencegahnya
dari mengerjakan perbuatan munkar, dan dzikrullah yakni membaca Al Qur'an
menggerakkannya untuk amar makruf dan nahi munkar. . . . . .
Ali
ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih
besar. (Al-'Ankabut: 45) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah
sesungguhnya ingatan Allah kepada hamba-hamba-Nya lebih besar apabila mereka
mengingatNya daripada ingatan mereka kepada-Nya. Hal yang sama telah
diriwayatkan oleh perawi lainnya yang bukan hanya seorang dari Ibnu Abbas, dan
hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.
Ibnu
Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim, telah
menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu
Khalid Al-Ahmar, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari seorang lelaki, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya mengingat Allah(shalat) adalah
lebih besar. (Al-'Ankabut: 45) Zikrullah di saat kamu hendak
makan dan hendak tidur. Lelaki itu berkata, "Sesungguhnya seorang temanku
di rumah mengatakan hal yang lain dengan apa yang kamu katakan itu." Ibnu
Abbas bertanya, "Apakah yang telah dikatakannya?" Aku menceritakan,
"Temanku telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena
itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku
ingat (pula) kepadamu. (Al-Baqarah: 152) bahwa ingatan Allah
kepada kita jauh lebih besar daripada ingatan kita kepada-Nya. Ibnu Abbas
menjawab, "Temanmu itu benar."
. .
. . .
Oleh karena itu, orang yang
benar-benar melakukan shalat dengan penuh penghayatan terhadap apa yang
dilakukannya, pastilah dia tidak akan pernah melakukan suatu pelanggaran, baik
terhadap aturan Allah maupun aturan masyarakat. Orang yang melaksanakan shalat dengan
benar, pasti tidak akan pernah
melakukan perbuatan yang membuat orang lain risih, tersinggung atau terusik.
Saudaraku,
Bagaimana mungkin, orang yang
melaksanakan shalat dengan benar
berani melanggar aturan Allah? Bukankah di
awal shalatnya dia telah mengakui Kemahabesaran Allah melalui ucapan takbir?
Begitu juga, bagaimana mungkin orang yang melaksanakan shalat dengan
benar akan melakukan sesuatu yang akan mengganggu dan mengusik ketenangan
orang lain?
Bukankah di akhir shalatnya dia menebarkan kedamaian,
keselamatan dan ketenangan bagi orang di sekitarnya melalui salam?
Saudaraku,
Orang yang benar dalam shalatnya, sudah
pasti
akan menjadi manusia yang memiliki
akhlak mulia,
karena didasarkan kepada tujuan pelaksanaan shalat itu sendiri. Perhatikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat Thaahaa ayat 14 berikut ini:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَـــٰــهَ إِلَّا أَنَاْ فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(QS. Thaahaa. 14).
Saudaraku,
Berdasarkan surat Thaahaa ayat 14 di atas, diperoleh
penjelasan bahwa tujuan shalat
adalah
agar manusia selalu ingat kepada Allah.
Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya,
bagaimana mungkin akan berani melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa?
Bukankah ketika seseorang berani
berbuat dosa dan pelanggaran, hal ini karena pada saat itu dia tidak
menyadari kehadiran dan kebersamaan Allah dengannya? Karena pada
saat itu dia telah menanggalkan iman yang sebelumnya ada dalam genggamannya?
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ وَابْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولَانِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي
الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ
يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ
يُحَدِّثُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَقُولُ كَانَ أَبُو بَكْرٍ يُلْحِقُ
مَعَهُنَّ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ
أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.
(رواه البخارى)
“Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dia berkata;
telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; saya mendengar
Abu Salamah bin Abdurrahman dan Ibnu Musayyab keduanya berkata, Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata; sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Tidaklah seseorang itu berzina, ketika sedang berzina dia dalam keadaan mukmin. Tidak pula seseorang
itu minum khamer ketika sedang minum khamer ia dalam keadaan mukmin. Dan tidak
pula seseorang itu mencuri ketika sedang mencuri ia dalam keadaan mukmin."
Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku pula Abdul Malik bin Abu Bakr
bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam bahwa Abu Bakr pernah menceritakan
kepadanya dari Abu Hurairah, lalu dia berkata; "Abu Bakar menambahkan
dalam hadits tersebut dengan redaksi; "Dan tidaklah seseorang merampas
harta orang lain yang karenanya orang-orang memandangnya sebagai orang yang
terpandang, ketika dia merampas harta tersebut dalam keadaan mukmin". (HR. Bukhari).
Sehingga dari uraian di atas dengan mudah dapat
disimpulkan bahwa orang yang baik ibadahnya, sudah pasti baik pula akhlaknya
kepada sesama.
Sedangkan dalam postingan di atas, tertulis: “... seorang
beragama yang ibadahnya banyak, tetapi kelakuannya buruk (kepada sesama) ...”.
Saudaraku,
Orang yang ibadahnya banyak tetapi kelakuannya buruk
kepada sesama, hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam beribadah hanya
mementingkan kuantitasnya saja yang banyak, namun secara kualitas masih belum
baik/belum benar.
Karena bagi siapa saja yang benar dalam shalatnya (serta
ibadah yang lainnya), sudah pasti akan menjadi manusia yang memiliki akhlak
mulia, karena dia akan selalu ingat kepada-Nya. Dan jika seseorang selalu
mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, maka tak mungkin berani
melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa, termasuk berperilaku buruk
kepada sesama. (Baca kembali uraian di atas terkait hal ini).
Dengan demikian, pendapat sang kyai dalam postingan di
atas yang menyatakan bahwa orang beragama yang ibadahnya banyak tetapi
kelakuannya buruk kepada sesama adalah orang yang baik, adalah salah besar.
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2
tulisan }
NB.
1) Yang
dimaksud dengan liberal atau liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan
filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan
dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh “kebebasan berpikir
bagi para individu”.
“Kebebasan berpikir bagi para individu” ini bisa sangat berbahaya jika
diterapkan dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman, untuk kemudian dijadikan
sebagai literatur ilmiah dalam konsep pemikiran mereka. Sehingga jika mereka
temukan dalam ajaran Islam hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran
mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk mengkritik dan menyanggahnya.
Terkait hal ini, Allah telah memberikan peringatan yang sangat keras:
وَلَوِ اتَّبَعَ
الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ
أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ ﴿٧١﴾
“Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada
mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. Al
Mu’minuun. 71).
2) Ibadah dalam Islam, ada yang
disebut sebagai ibadah mahdhah (ibadah yang murni hubungan antara manusia
dengan Allah), ada juga yang disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang
bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah).
ü
Ibadah mahdhah adalah ibadah
yang tata caranya, tempatnya, waktunya, berapa banyaknya, dst. sudah ada
ketetapan dari Al Qur’an maupun Hadits sehingga tidak ada celah kreatifitas
bagi kita dalam melaksanakannya. Contoh: wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, i’tikaf
di masjid, puasa, haji, umrah, dll.
ü
Ibadah ghairu mahdhah adalah
ibadah yang ada perintahnya, namun tentang tata caranya, tempatnya, waktunya,
berapa banyaknya, dst. tidak ada ketetapan dari Al Qur’an maupun Hadits
sehingga terbuka kesempatan bagi kita untuk berkreasi dalam pelaksanaannya
(biasanya terkait muammalah). Contoh: menuntut ilmu dan menyebarkannya,
berdakwah/amar ma’ruf nahi munkar, dll.
3) Hadis
marfu adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan atau taqrir beliau.
4) ) Atsar adalah
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sahabat, serta
tabi’in.