Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (kakak
kelas di SMAN 1 Blitar sekaligus juga kakak kelas di ITS)
telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp terkait
artikel yang berjudul “Meniatkan Pahala Membaca Al Qur'an Untuk Orang Tua Yang Sudah Wafat
(I)” dengan pertanyaan sebagai berikut: “Dengan analogi yang sama bahwa
ibadah harus dikerjakan sendiri, terus hukum untuk badal haji sah apa tidak? Bagaimana
menurut Mas Imron? Matur nuwun pencerahannya”.
Saudaraku,
Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Najm
ayat 38 – 41 berikut ini:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ﴿٣٨﴾ وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(38) (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain, (39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak
akan diperlihatkan (kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna, (QS. An Najm. 38 – 41).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(38) ("Yaitu bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain) dan seterusnya. Lafal An adalah bentuk
Mukhaffafah dari Anna; artinya bahwa setiap diri itu tidak dapat menanggung
dosa orang lain. (39) (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang sesungguhnya itu
ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya)
yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia tidak akan
memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang lain. (40)
(Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di akhirat.
(41) (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling
sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata,
Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan
terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan
kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il
Lazim. (QS. An Najm. 38 – 41).
Tafsir Ibnu Katsir:
Kemudian Allah SWT menjelaskan
apa yang telah Dia wahyukan kepada Ibrahim dan Musa yang termaktub di dalam
lembaran-lembaran masing-masingnya. Untuk itu Allah SWT berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ
أُخْرَىٰ ﴿٣٨﴾
(yaitu) bahwasanya seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm: 38)
Yakni tiap-tiap diri yang
berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri karena melakukan kekufuran atau suatu
dosa, maka sesungguhnya yang menanggung dosanya adalah dirinya sendiri, tiada
seorang pun yang dapat menggantikannya sebagai penanggungnya. Semakna dengan
apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
... وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا
قُرْبَىٰ ... ﴿١٨﴾
“... Dan jika seseorang yang berat dosanya
memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan
dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum
kerabatnya ...”. (Fathir: 18)
Adapun firman Allah SWT:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا
مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (An-Najm: 39)
Yaitu sebagaimana tidak
dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh
pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan ayat ini Imam
Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur'an yang
dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal perbuatannya
dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal ini, tidak
memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka petunjuk
kepadanya, baik melalui nash hadits maupun makna yang tersirat darinya. Hal ini
tidak pernah pula dinukil dari seseorang dari para sahabat yang melakukannya.
Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur’an untuk mayat) merupakan hal yang baik,
tentulah kita pun menggalakkannya dan berlomba melakukannya.
Pembahasan mengenai amal
taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang digariskan oleh nash-nash
syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam hukum analogi dan
pendapat manapun. Akan tetapi, berkenaan dengan do’a dan sedekah (yang
pahalanya dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para
ulama, bahwa pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nash dari
syariat yang menyatakannya.
Adapun mengenai hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda:
"إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ"
Apabila manusia mati, maka
terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakannya,
atau sedekah jariyah sesudah kepergiannya atau ilmu yang bermanfaat.
Ketiga macam amal ini pada
hakikatnya dari hasil jerih payah yang bersangkutan dan merupakan buah dari
kerjanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:
"إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ
مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ"
Sesungguhnya sesuatu yang
paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil upayanya dan
sesungguhnya anaknya merupakan hasil dari upayanya.
Sedekah jariyah, seperti wakaf
dan lain sebagainya yang sejenis, juga merupakan hasil upaya amal dan wakafnya.
Allah SWT telah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ ... ﴿١٢﴾
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang
mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan ...”. (Yasin: 12)
Ilmu yang dia sebarkan di
kalangan manusia, lalu diikuti oleh mereka sepeninggalnya, hal ini pun termasuk
dari jerih payah dan amalnya. Di dalam kitab sahih disebutkan:
"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ
مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْئًا".
Barang siapa yang menyeru
kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi-pahala mereka barang sedikit
pun.
Firman Allah SWT:
وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾
Dan bahwasanya usahanya itu
kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (An-Najm: 40). Yakni kelak di hari
kiamat, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ
عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـــٰــلِمِ
الْغَيْبِ وَالشَّهَـــٰـدَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون ﴿١٠٥﴾
Dan katakanlah,
"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(At-Taubah: 105)
Yaitu kelak Dia akan memberitahukan
kepada kalian amal perbuatan kalian dan membalaskannya terhadap kalian dengan
pembalasan yang sempurna. Jika baik, maka balasannya baik; dan jika buruk,
balasannya buruk. Demikian pula yang disebutkan dalam surat ini melalui
firman-Nya:
ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ
﴿٤١﴾
Kemudian akan diberi balasan
kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 41). Maksudnya,
balasan yang penuh.
_____
Saudaraku,
Berdasarkan surat An Najm ayat 38 – 41 di atas, diperoleh
penjelasan bahwa secara umum seseorang tidak memperoleh pahala kecuali dari apa
yang diupayakan oleh dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa secara
umum/pada dasarnya semua ibadah/semua
perkara yang menjadi kewajiban seseorang itu,
harus dia sendiri yang melaksanakannya.
Terkait hal ini, ketahuilah bahwa apabila ada dalil umum
yang menunjukkan hukum suatu amalan, maka seluruh bagian amalan tersebut masuk
ke dalam keumuman dalil tersebut dan tidak boleh dikeluarkan sebagiannya
kecuali dengan dalil khusus. Artinya apabila dalil umum menunjukkan anjuran, maka tidak
boleh dilarang kecuali dengan dalil khusus yang melarangnya. Begitu juga
sebaliknya, apabila dalil umum menunjukkan larangan, maka tidak boleh
dianjurkan kecuali ada dalil khusus yang menganjurkannya.
Saudaraku,
Sebelum melangkah lebih jauh, kita
perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan seorang hamba, ibadah
dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
♦ Ibadah murni badaniyah, yaitu semua ibadah yang modal utamanya
adalah gerakan fisik. Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca Al Qur’an,
dst.
♦ Ibadah murni maliyah, yaitu semua ibadah yang pengorbanan utamanya
adalah harta. Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
♦ Ibadah badaniyah maliyah. Ini merupakan gabungan antara ibadah
fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah, dst.
Saudaraku,
Jika kita merujuk kembali kepada penjelasan Al Qur’an
dalam surat An Najm ayat 38 – 41 di atas (bahwa secara umum seseorang tidak
memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri, yang
mana hal ini juga menunjukkan bahwa secara umum/pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang
menjadi kewajiban kita itu harus kita sendiri yang melaksanakannya), maka
ketiga macam ibadah tersebut masuk ke dalam keumuman dalil di atas (artinya
ketiga macam ibadah tersebut juga harus kita sendiri yang
melaksanakannya) dan tidak boleh dikeluarkan sebagiannya (artinya tidak
bisa diwakilkan/tidak bisa diwakili oleh orang lain/tidak
bisa dikerjakan oleh orang lain), kecuali dengan dalil khusus yang membolehkannya.
Terkait hal ini, karena untuk ibadah maliyah (seperti
membayar hutang, sedekah, dst) atau ibadah yang dominan maliyah (seperti ibadah
haji atau umrah) ternyata ada dalil khusus yang membolehkannya, maka
ibadah-ibadah tersebut bisa diwakilkan/bisa diwakili oleh orang lain/bisa
dikerjakan oleh orang lain.
Bisa diwakilkan/bisa diwakili
oleh orang lain/bisa dikerjakan oleh orang lain, artinya
ketika ibadah-ibadah tersebut telah diwakili oleh orang lain, maka
ibadah-ibadah tersebut sah (artinya diterima oleh Allah) dan tentu saja
pahalanya akan sampai kepada orang yang diwakili. Perhatikan dalil khusus yang
membolehkannya pada beberapa Hadits berikut ini:
♦ Membayar hutang
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ
مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً
فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus
dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu
Hurairahradliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka
sendiri, maka barangsiapa meninggal sedang ia mempunyai hutang dan tidak
meninggalkan harta untuk melunasinya, kewajiban kamilah untuk melunasinya, dan
barangsiapa meninggalkan harta, maka itu bagi ahli warisnya." (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا
فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ
بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ
صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ
اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ. (رواه البخارى)
22.7/2131.
Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Yazid bin Abi 'Ubaid dari
Salamah bin Al Akwa' radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dihadirkan kepada Beliau satu jenazah agar dishalatkan. Maka Beliau bertanya:
Apakah orang ini punya hutang? Mereka berkata: Tidak. Maka Beliau menyolatkan
jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, maka
Beliau bertanya kembali: Apakah orang ini punya hutang? Mereka menjawab: Ya.
Maka Beliau bersabda: Shalatilah saudaramu ini. Berkata Abu Qatadah: Biar nanti
aku yang menanggung hutangnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam
menyolatkan jenazah itu. (HR. Bukhari).
♦ Sedekah
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي
مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.
(رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan
kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq
memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan
kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki
bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah
bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang
itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan
kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu
Daud
dan At-Tirmidzi).
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا
وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara
mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu,
maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq
'Alaih).
♦ Haji atau
umrah
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ
تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ
عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللهَ
الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. (رواه البخاري)
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abbas r.a., bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar
untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah
saya harus menghajikannya? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki
tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? Ia menjawab: Ya. Lalu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tunaikanlah hutang (janji) kepada
Allah SWT. karena sesungguhnya hutang kepada Allah SWT. lebih berhak untuk dipenuhi”. (HR. Bukhari).
أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ
عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ
عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَحُجِّي عَنْهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Bahwasanya seorang wanita dari Khos’am berkata kepada Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulallah sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah SWT. dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas
punggung onta. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Hajikanlah dia”. (HR. Muslim).
جَاءَ
رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا
يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ
قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى
أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ
قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ. (رواه أحمد)
Artinya: “Seorang laki - laki dari bani Khos’am menghadap kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada
waktu ia telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan,
bolehkan aku menghajikannya? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Apakah kamu anak tertua? Orang itu menjawab: Ya. Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu engkau
membayar hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab:
Ya. Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Hajikanlah dia”. (HR. Ahmad).
Demikian yang bisa kusampaikan.
Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan
ilmuku.
Semoga bermanfaat.