Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat yang
suaminya tidak bekerja, telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
“Pak Imron, aku mau tanya. Karena suamiku sudah meninggal dan tidak ada anak, apakah ipar-iparnya
juga berhak mendapatkan harta yang jelas-jelas jerih payahnya istri karena
istri yang bekerja?”.
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk
membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
Sebelum membahas pertanyaan yang saudaraku sampaikan di
atas, ada baiknya jika kita pahami terlebih dahulu beberapa hal terkait
pembagian harta
warisan berikut ini.
√ Pengertian harta
warisan
Saudaraku,
Yang dimaksud dengan harta warisan (harta pusaka) adalah harta yang ditinggalkan
oleh orang yang wafat
secara mutlak. Artinya hanya harta
yang secara mutlak dimiliki oleh orang yang wafat
saja
yang dibagikan sebagai harta warisan atau harta pusaka.
Berikut ini kusampaikan beberapa ayat yang mendasarinya, yang menisbatkan
harta dengan orang yang wafat:
...
فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن
كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ ... ﴿١١﴾
“... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, ...” (QS. An Nisaa’. 11).
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).
√ Status harta dalam sebuah
keluarga
Saudaraku,
Dalam Islam, status harta dalam
sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
a.
Harta milik suami saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami tanpa ada sedikit-pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta
suami sebelum menikah, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami
secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
b. Harta milik istri saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya
harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami
kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa
harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang
lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan sebagainya.
c. Harta milik bersama
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami-istri secara bersama-sama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang
kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang
dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah
dan suami serta istri sama-sama bekerja yang menghasilkan pendapatan dan
sebagainya. Jenis harta yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan
harta gono-gini.
√ Hukum syar’i tentang harta gono-gini
Saudaraku,
Syariat Islam tidak membagi
harta gono-gini ini (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan
berada dalam ikatan pernikahan) dengan bagian masing-masing secara pasti
(artinya tidak ada dalil khusus baik dari Al Qur’an maupun Hadits yang
menjelaskan pembagian harta gono-gini secara pasti), misalnya istri 50% dan
suami 50%.
Tidak ada dalil khusus baik
dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta gono-gini secara
pasti, artinya tidak ada nash yang mewajibkan pembagian sama rata antara suami
- isteri. Meskipun demikian, pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa
kemungkinan berikut ini:
a. Jika diketahui secara pasti
perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami diketahui
secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja
istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas,
yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
b. Jika tidak diketahui dengan
pasti perhitungan harta suami istri
Bagi suami istri yang sama-sama
bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan
keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Dalam kondisi seperti
ini, berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri menjadi
tidak jelas. Kondisi seperti ini banyak terjadi dalam keluarga di negeri kita
Indonesia.
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi
harta gono-gini,
khususnya jika perhitungan harta suami istri tidak diketahui dengan pasti.
Dalam hal ini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam
menyelesaikan masalah bersama, yaitu berdasarkan kesepakatan antara suami dan
istri.
Kesepakatan ini dalam Al Qur’an
serta Al Hadits disebut dengan istilah “ash-shulhu” ( الصُّلْحُ ) yaitu
perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri)
setelah mereka berselisih. Dengan kata lain, ash-shulh adalah kesepakatan antara suami istri
berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha.
Allah SWT. berfirman dalam Al
Qur’an surat An Nisaa’ ayat 128:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ... ﴿١٢٨﴾
Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) ...”. (QS. An Nisaa’. 128).
Saudaraku,
Ayat di atas menerangkan
tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih.
Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya. Pada ayat
di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan
hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ زَادَ أَحْمَدُ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا
أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. (رواه ابو
داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian antara kaum
muslim dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram dan
perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal”. (HR. Abu Daud).
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رواه الترمذى)
Hasan bin Ali Al Khallal
menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan kepada kami. Katsir
bin Abdullah bin Amr bin Auf Al Muzani menceritakan kepada kami dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian
antara kaum muslimin adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat
yang mereka tetapkan. kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”. (HR. At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Para ulama telah
membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam:
~ perdamaian antara muslim dan kafir,
~ perdamaian antara suami dan istri,
~ perdamaian antara kelompok yang bughat
(dzalim) dan kelompok yang adil,
~ perdamaian antara dua orang yang
mengadukan permasalahan kepada hakim,
~ perdamaian dalam masalah tindak
pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan
~ perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik
bersama dan hak-hak.
Dengan demikian, jika suami
istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, maka dapat
ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian
adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan
mengenai harta bersama.
Memang dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar
suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97
KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Namun ketentuan dalam KHI ini
bukanlah suatu putusan hukum yang mutlak. Artinya
jika suami istri sepakat membagi harta dengan persentase tertentu, maka
kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
c. Harta gono-gini jika hanya suami yang bekerja
Saudaraku,
Jika istri di rumah (tidak
bekerja) dan hanya suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam).
Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan
Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan
Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah
Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
Karena tidak
terdapat harta gono-gini (jika hanya suami yang bekerja)
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, maka saat
suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli waris.
Meskipun demikian, jika kasus seperti ini diselesaikan di
pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia,
dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda
cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh
selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari
suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal
dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai
berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang
bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan
(musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal
ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini
antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun
isteri tidak bekerja). Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami
meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atasnya.
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam.
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan warisan lebih
sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka solusinya mudah
saja. Toh
selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu
kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.
d. Harta gono-gini jika hanya isteri yang bekerja
Saudaraku,
Sebelum membahas kasus ini (yaitu jika suami di rumah/tidak
bekerja dan hanya istri yang bekerja), ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban
untuk memberi nafkah kepada keluarga hanya dibebankan Allah kepada suami, bukan
kepada isteri. Sedangkan besaran nafkah yang harus
diberikan kepada keluarga, disesuaikan
dengan kadar kemampuan suami (tidak ada ketentuan harus sekian rupiah per bulan,
dll).
...
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ...﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. ...” (QS. Al Baqarah. 233)
...
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“...
dan karena mereka (laki-laki/suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”
(QS. An Nisaa’. 34).
Saudaraku,
Karena Islam hanya membebankan pemberian nafkah keluarga kepada
suami (bukan kepada isteri), maka menjadi tuntutan bagi suami untuk bekerja/keluar
rumah mencari karunia Allah demi memenuhi kewajiban tersebut. Sedangkan pihak
isteri, dikarenakan tidak ada kewajiban padanya untuk memberikan nafkah kepada
keluarganya, maka tidak ada kewajiban pula baginya untuk bekerja mencari
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Saudaraku,
Berdasarkan keterangan di atas,
dapat disimpulkan
bahwa dari setiap penghasilan yang diperoleh suami, di sana ada jatah nafkah
istri yang harus ditunaikan. Ini berbeda dengan penghasilan isteri.
Terkait penghasilan istri, maka
penghasilan tersebut adalah milik dirinya sendiri/milik pribadi (bukan milik
suaminya) sebagaimana harta-harta pribadi lainnya seperti harta warisan,
maskawin (mahar), hibah dari orang lain, dll. Murni menjadi miliknya, artinya tidak ada
seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan isteri. Kesimpulan ini bisa kita
sandarkan pada ayat
tentang mahar:
وَءَاتُواْ النِّسَاءَ صَدُقَـــٰــتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَّرِيئًا ﴿٤﴾
“Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (QS. An Nisaa’. 4).
Nah, jika harta mahar saja (yang
asalnya dari suami diberikan kepada isteri) tidak boleh dinikmati suami kecuali
atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang murni dimiliki istri
seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang tuanya, tentunya
juga tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri*).
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, jika
suami di rumah (tidak bekerja) dan hanya istri yang bekerja, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini
karena pada dasarnya semua penghasilan isteri adalah milik isteri, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada suami maka menjadi milik suami (wallahu a’lam).
Dan karena tidak terdapat harta gono-gini (jika
hanya isteri yang bekerja) karena pada dasarnya semua penghasilan isteri adalah
milik isteri, maka saat suami wafat, semua harta yang diperoleh selama masa
pernikahan sepenuhnya tidak bisa dibagikan kepada para ahli waris.
♦ Pembagian harta warisan dari suami yang meninggal dunia
Saudaraku,
Berdasarkan uraian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada saat suami
meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta
warisan (harta pusaka) hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup, diantaranya: harta yang dibawa suami sebelum menikah, harta yang
dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, serta harta yang diwariskan
kepada suami.
Sedangkan harta yang dimiliki
oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu seperti
harta milik istri sebelum menikah dengannya, atau mahar
suami kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri
tanpa mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang
lain khusus untuknya, serta harta yang diwariskan kepada istri, maka harta yang
seperti ini akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak
termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak
berhak atas harta jenis ini).
Adapun terkait harta gono-gini
(yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan
pernikahan), karena suami di rumah (tidak bekerja) dan hanya istri yang
bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini karena pada
dasarnya semua penghasilan isteri adalah milik isteri, kecuali barang-barang
yang telah dihibahkan kepada suami maka menjadi milik suami.
Saudaraku,
Dengan
tidak terdapatnya
harta gono-gini,
maka saat suami wafat, semua harta yang diperoleh selama masa pernikahan
sepenuhnya tidak bisa dibagikan kepada para ahli waris. Mengapa demikian?
Karena pada dasarnya semua penghasilan isteri adalah milik isteri dan karena
hanya istri yang bekerja maka semua harta yang diperoleh selama masa pernikahan
sepenuhnya adalah milik isteri.
Meskipun demikian, jika kasus seperti ini diselesaikan di
pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia,
dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda
cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono-gini) adalah semua harta yang diperoleh
selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari
suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal
dari suami saja (karena isteri tidak bekerja) atau hanya berasal dari isteri
saja (karena suami tidak bekerja).
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai
berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya isteri yang
bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan
(musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal
ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini
antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun
suami tidak bekerja). Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal/tidak
termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak
berhak atasnya.
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam.
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena dalam kasus seperti ini ahli waris yang lain [selain isteri]
akan mendapatkan warisan lebih sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat
Islam), maka solusinya mudah saja. Toh selain pembagian warisan masih ada cara-cara
lain untuk bisa memberi sesuatu kepada ahli waris yang lain. Misalnya
dengan sedekah dari isteri.
♦ Bagian
isteri
Jika diselesaikan sesuai dengan
Syariat Islam, dari total harta warisan yang ditinggalkan oleh suami, yaitu seluruh
harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih hidup tanpa harta
gono-gini (karena dalam hal ini memang tidak ada harta milik bersama/harta
gono-gini), maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
♦ Istri mendapat 1/4
dari harta warisan tersebut karena suami tidak punya anak.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat
An-Nisaa’ ayat 12.
♦ Sisanya sebesar 3/4 dari harta warisan tersebut menjadi hak ahli waris yang lainnya, yaitu ahli
waris dari pihak keluarga suami (seperti: orang-tuanya suami,
saudara-saudaranya suami, dll).
...
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن
كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
Sedangkan jika diselesaikan di
Pengadilan Agama, dari total harta warisan yang ditinggalkan oleh suami, yaitu seluruh
harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih hidup ditambah dengan 50% harta
gono-gini yang menjadi haknya suami semasa hidup, maka pembagiannya adalah
sebagai berikut:
♦ Istri mendapat 1/4
dari harta warisan tersebut karena suami tidak punya anak.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat
An-Nisaa’ ayat 12.
♦ Sisanya sebesar 3/4 dari harta warisan tersebut menjadi hak ahli waris yang lainnya, yaitu ahli
waris dari pihak keluarga suami (seperti: orang-tuanya suami,
saudara-saudaranya suami, dll).
...
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن
كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku**).
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Meskipun demikian karena waktu yang digunakan
isteri untuk bekerja pada dasarnya adalah hak suaminya juga, maka yang terbaik
adalah bahwa hendaknya sang isteri (bagi isteri yang bekerja) juga ikut
berkontribusi didalam nafkah keluarganya. (Wallahu a'lam).
**) Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.