Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman sekolah di
SMP 1 Blitar dan di SMA 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
“Pak Imron, mau tanya
kasus hak waris yang
kemarin. Seorang ibu menikah terus bercerai punya 1 anak. Kemudian
menikah lagi dan dengan suami yang baru mempunyai 3 anak (terdiri dari 2
perempuan dan 1 laki-laki), sedangkan saat menikah suami yang baru membawa 2
orang anak laki-laki. Suami yang baru tersebut kemudian meninggal dunia. Dalam
kasus seperti ini, bagaimana pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh
suami yang baru tersebut? Terimakasih sebelumnya”.
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk
membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
Sebelum membahas pertanyaan yang saudaraku sampaikan di
atas, ada baiknya jika kita pahami terlebih dahulu beberapa hal terkait pembagian
harta warisan berikut
ini.
√ Pengertian harta
warisan
Saudaraku,
Yang dimaksud dengan harta warisan (harta pusaka) adalah harta yang ditinggalkan
oleh orang yang wafat
secara mutlak. Artinya hanya harta
yang secara mutlak dimiliki oleh orang yang wafat
saja
yang dibagikan sebagai harta warisan atau harta pusaka.
Berikut ini kusampaikan beberapa ayat yang mendasarinya, yang menisbatkan
harta dengan orang yang wafat:
... فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ ...
﴿١١﴾
“... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, ...” (QS. An Nisaa’. 11).
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).
√ Status harta dalam sebuah
keluarga
Saudaraku,
Dalam Islam, status harta dalam
sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
a.
Harta milik suami saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami tanpa ada sedikit-pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta
suami sebelum menikah, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami
secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
b. Harta milik istri saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya
harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami
kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa
harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang
lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan sebagainya.
c. Harta milik bersama
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami-istri secara bersama-sama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang
kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang
dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah
dan suami serta istri sama-sama bekerja yang menghasilkan pendapatan dan
sebagainya. Jenis harta yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan
harta gono-gini.
√ Hukum syar’i tentang harta gono-gini
Saudaraku,
Syariat Islam tidak membagi
harta gono-gini ini (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan
berada dalam ikatan pernikahan) dengan bagian masing-masing secara pasti
(artinya tidak ada dalil khusus baik dari Al Qur’an maupun Hadits yang
menjelaskan pembagian harta gono-gini secara pasti), misalnya istri 50% dan
suami 50%.
Tidak ada dalil khusus baik
dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta gono-gini secara
pasti, artinya tidak ada nash yang mewajibkan pembagian sama rata antara suami
- isteri. Meskipun demikian, pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa
kemungkinan berikut ini:
a. Jika diketahui secara pasti
perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami
diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil
kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat
jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
b. Jika tidak diketahui dengan
pasti perhitungan harta suami istri
Bagi suami istri yang sama-sama
bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan
keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Dalam kondisi seperti
ini, berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri menjadi
tidak jelas. Kondisi seperti ini banyak terjadi dalam keluarga di negeri kita
Indonesia.
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi
harta gono-gini,
khususnya jika perhitungan harta suami istri tidak diketahui dengan pasti.
Dalam hal ini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam
menyelesaikan masalah bersama, yaitu berdasarkan kesepakatan antara suami dan
istri.
Kesepakatan ini dalam Al Qur’an
serta Al Hadits disebut dengan istilah “ash-shulhu” ( الصُّلْحُ ) yaitu perjanjian untuk
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka
berselisih. Dengan kata lain, ash-shulh adalah kesepakatan antara suami istri
berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha.
Allah SWT. berfirman dalam Al
Qur’an surat An Nisaa’ ayat 128:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ... ﴿١٢٨﴾
Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) ...”. (QS. An Nisaa’. 128).
Saudaraku,
Ayat di atas menerangkan
tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih.
Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya. Pada ayat
di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan
hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ زَادَ أَحْمَدُ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا
أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. (رواه ابو
داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian antara kaum
muslim dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram dan
perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal”. (HR. Abu Daud).
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رواه الترمذى)
Hasan bin Ali Al Khallal
menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan kepada kami. Katsir
bin Abdullah bin Amr bin Auf Al Muzani menceritakan kepada kami dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian
antara kaum muslimin adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat
yang mereka tetapkan. kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”. (HR. At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Para ulama telah
membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam:
~ perdamaian antara muslim dan kafir,
~ perdamaian antara suami dan istri,
~ perdamaian antara kelompok yang bughat
(dzalim) dan kelompok yang adil,
~ perdamaian antara dua orang yang
mengadukan permasalahan kepada hakim,
~ perdamaian dalam masalah tindak
pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan
~ perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik
bersama dan hak-hak.
Dengan demikian, jika suami
istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, maka dapat
ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian
adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan
mengenai harta bersama.
Memang dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar
suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97
KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Namun ketentuan dalam KHI ini
bukanlah suatu putusan hukum yang mutlak. Artinya
jika suami istri sepakat membagi harta dengan persentase tertentu, maka
kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
√ Harta gono-gini jika hanya suami yang bekerja
Saudaraku,
Jika istri di rumah (tidak
bekerja) dan hanya suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam).
Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan
Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan
Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah
Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
Karena tidak
terdapat harta gono-gini (jika hanya suami yang bekerja)
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, maka saat
suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli waris.
Meskipun demikian, jika kasus seperti ini diselesaikan di
pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia,
dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda
cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak
ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh
selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari
suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal
dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai
berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang
bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan
(musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal
ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini
antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun
isteri tidak bekerja). Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami
meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atasnya.
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam.
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan warisan lebih
sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka solusinya mudah
saja. Toh
selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu
kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.
♦ Pembagian harta warisan dari suami yang meninggal dunia
Saudaraku,
Berdasarkan uraian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada saat suami
meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta
warisan (harta pusaka) hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup, diantaranya: harta suami yang dibawa sebelum menikah dengan ibu
tersebut, harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, serta harta
yang diwariskan kepada suami.
Sedangkan harta yang dimiliki
oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu seperti
harta milik istri sebelum menikah dengannya, atau mahar
suami kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri
tanpa mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang
lain khusus untuknya, serta harta yang diwariskan kepada istri, maka harta yang
seperti ini akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak
termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak
berhak atas harta jenis ini).
Adapun terkait harta gono-gini
(yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan
pernikahan), jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu
hasil kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya,
demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta
gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut. Dalam hal
seperti ini, maka hanya harta gono-gini yang menjadi bagian suami saja yang
dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian
dari harta istri tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak
termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak
berhak atasnya).
Sedangkan jika harta gono-gini
tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri
karena suami istri yang sama-sama bekerja atau saling bekerja sama dalam
membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari
hasil kerja mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan
harta suami bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling
ridha) yang telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.
Misalnya berdasarkan musyawarah antara suami istri (semasa keduanya masih
hidup), suami mendapat 40% dan istri 60% (boleh pula pembagian dengan nisbah/persentase
yang lain). Maka dalam hal ini hanya 40% saja dari harta gono-gini yang bisa
dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan sisanya yang 60% tetap menjadi hak
isteri saat suami meninggal (tidak termasuk harta warisan) sehingga para ahli
waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
Sedangkan apabila
semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas
dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini bisa memakai
KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri (yaitu
harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan
pernikahan) dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Jika hal ini
yang terjadi, maka hanya 50% saja dari harta
gono-gini yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50%
sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal/tidak termasuk harta
warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
Namun jika jika hanya
suami yang bekerja, maka semua harta yang diperoleh selama masa pernikahan
adalah milik suami sehingga pada saat suami wafat, harta tersebut (yaitu harta yang
diperoleh selama masa pernikahan) sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli
waris.
1. Bagian isteri
Selanjutnya dari
seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang menjadi milik suami saja
saat suami masih hidup ditambah dengan harta gono-gini yang menjadi haknya
suami semasa hidup), maka istri mendapat 1/8 dari total
harta warisan karena suami mempunyai anak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 12 berikut ini:
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
2. Bagian dari anak
yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami yang wafat (suami kedua)
Saudaraku,
Anak
tiri adalah anak yang didapat dari pernikahan seseorang dengan pasangannya yang
telah memiliki anak di masa lalu atau anak yang diperoleh dari pernikahannya terdahulu.
Anak tiri ini bisa merupakan anak dari sang wanita (istri) ataupun anak dari sang pria (suami). Biasanya pernikahan yang menimbulkan anak tiri
adalah pernikahan dengan janda atau duda yang sudah memiliki anak. Anak tiri
juga merupakan hasil dari perceraian orangtua terdahulunya karena ayahnya
menjatuhkan talak pada
ibunya atau salah satu dari keduanya meninggal.
Anak tiri (yaitu anak yang
didapatkan dari pernikahan terdahulu) sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan karena anak tiri tidak berstatus sebagai ahli waris (anak tiri tidak disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al Qur’an
dan Hadits). Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki
hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya.
Saudaraku,
Ada 3
sebab seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Ketiga sebab itu adalah hubungan kekerabatan atau nasab, pernikahan yang sah, dan kekerabatan karena
memerdekakan budak.
1. Hubungan
kekerabatan atau nasab, hal ini menyangkut anak kandung atau orang yang terkait
nasab dengan sang pemilik harta atau disebut juga sebagai sebab garis keturunan
atau yang lebih dikenal dengan garis nasab. Orang yang bisa mendapatkan warisan
dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah kedua orang tua dan orang-orang yang
merupakan turunan keduanya seperti saudara laki-laki atau perempuan serta
anak-anak dari para saudara tersebut baik sekandung maupun seayah.
2. Hubungan pernikahan
yang sah, yaitu adanya hubungan antara
orang yang mewarisi tersebut dengan seseorang akibat adanya pernikahan yang sah.
Sedangkan pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan yang fasid
(rusak), seperti pernikahan tanpa adanya wali atau dua orang saksi, keduanya
tidak bisa saling mewarisi. Demikian pula pasangan suami istri yang menikah
dengan nikah mut’ah.
3. Dikarenakan
memerdekakan budak. Orang yang memerdekakan budak lalu suatu hari budaknya
tersebut memiliki harta dan meninggal maka orang yang memerdekakan tersebut
berhak mendapatkan harta warisan dari budak yang telah dimerdekakannya
tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah
dimerdekakan tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakannya.
Saudaraku,
Dengan
melihat ke-3 sebab
waris diatas, maka
kita dapat menyimpulkan bahwa anak tiri tidak berhak atau tidak dapat mewarisi
harta orang tua tirinya. Dia hanya bisa mendapatkan waris dari orangtua yang
sedarah dengannya (baik
ibu maupun ayah). Adapun
anak tiri tidak berhak mendapatkan harta warisan adalah berdasarkan dalil dalam
Al Qur’an yang
menjadi dasar hukum waris berikut ini:
√ Surat An Nisaa’ ayat 7
لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا
تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا
مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An Nisaa’. 7).
√ Surat An Nisaa’ ayat 11
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن
كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ
وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ
لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ
كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿١١﴾
Allah mensyari`atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa’. 11).
√ Surat An Nisaa’ ayat 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).
3. Bagian dari orang-tuanya suami
Jika pada saat suami wafat,
suami masih mempunyai orang tua, maka ayah dan ibunya suami masing-masing mendapatkan
1/6 bagian dari total harta warisan.
... وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
...”. (QS. An Nisaa’. 11).
Sedangkan jika keduanya sudah wafat sebelum suami wafat
(orang-tuanya suami wafat terlebih dahulu sebelum suami wafat), maka ketahuilah
bahwa dalam hukum waris, ada sebuah aturan bahwa yang memberi
warisan harus meninggal terlebih dahulu dan yang menerima warisan harus masih
hidup pada saat pemberi warisan meninggal.
Saudaraku,
Yang perlu ditekankan di sini
adalah bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai “pemberi warisan” kecuali jika
ia sudah meninggal dunia. Karena seseorang tidak bisa memberi warisan kecuali jika
sudah meninggal.
Dan tidak bisa seseorang
disebut “ahli waris” kecuali jika ia masih hidup ketika orang yang memberi
warisan meninggal. Karena ahli waris itu artinya orang yang menerima warisan,
bagaimana mungkin bisa menjadi ahli waris kalau ia sudah meninggal dan tidak
ada? Sehingga karena tidak dapat warisan (jika sudah meninggal terlebih dahulu
sebelum yang memberi warisan meninggal), maka jatahnya-pun tidak ada dan tidak
bisa diwakilkan atau digantikan oleh siapapun.
4. Bagian dari anak
yang dibawa suami sebelum menikah dengan ibu tersebut
Saudaraku,
Anak yang dibawa
suami sebelum menikah dengan ibu tersebut memang merupakan anak tiri bagi ibu tersebut, namun
merupakan anak kandung dari suami. Dan karena yang meninggal adalah suami, maka anak tersebut mempunyai hak waris sebagaimana anak kandung
suami yang lainnya dari pernikahannya dengan ibu tersebut. Artinya, anak yang
dibawa suami dari pernikahan sebelumnya maupun anak dari pernikahan dengan ibu
tersebut, mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan.
5. Bagian dari anak
dari pernikahan suami dengan ibu tersebut
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semua anak
suami baik dari pernikahan sebelumnya maupun dari pernikahannya dengan ibu
tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam hal
pembagian harta warisan. Dan karena suami mempunyai anak laki-laki, maka anak
laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah (anak laki-laki
bersatu dengan anak perempuan menghabiskan semua harta warisan yang tersisa
setelah dibagikan kepada para ash-haabul furudh).
‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan
kerabatnya dari jalur ayah.
‘Ashabah sendiri adalah
orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh
(pemilik bagian pasti) mengambil bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa
sedikit-pun dari mereka, maka mereka (‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun
kecuali jika yang mendapatkan ‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena
sesungguhnya anak laki-laki tidak terhalang dalam keadaan apa pun. ‘Ashabah
juga berarti orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak
ada seorang-pun dari ash-haabul furudh.
Firman Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176:
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن
لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
Dalam ayat di atas, Allah telah
memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan
‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
Selanjutnya dari sisa harta
warisan tersebut dibagi dengan perbandingan anak lelaki : anak
perempuan = 2 : 1.
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
Sedangkan yang
dimaksud dengan ash-haabul furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian yang
pasti dari harta warisan. Contohnya: ayah
dan ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan jika yang meninggal mempunyai anak, isteri mendapatkan ¼ bagian dari total harta warisan jika suami yang wafat tidak mempunyai anak atau
mendapatkan 1/8 bagian dari total harta warisan
jika suami yang wafat mempunyai anak, suami
mendapatkan ½ bagian dari total harta warisan
jika isteri yang wafat tidak mempunyai anak atau mendapatkan ¼ bagian
dari total harta warisan jika isteri yang wafat
mempunyai anak, dst.
6. Kesimpulan.
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh suami (harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih
hidup ditambah dengan harta gono-gini yang menjadi haknya suami semasa hidup),
pembagiannya adalah sebagai berikut:
♦ Istri mendapat 1/8
dari total harta warisan karena suami mempunyai anak.
♦ Anak yang dibawa ibu tersebut dari pernikahan sebelumnya
tidak mendapatkan jatah warisan karena memang tidak berstatus sebagai ahli
waris.
♦ Ayah dan ibu
dari suami (jika keduanya masih hidup saat suami wafat) masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari
total harta warisan.
♦ Jika ayah dan ibu dari suami
masih hidup saat suami wafat, maka sisanya:
= 1 – (1/8 + 1/6 + 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24 + 4/24)
= 1 – 11/24
= 13/24 bagian (atau 54,17% dari total
harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak
lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 5 anak (2 anak
laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 3 anak dari pernikahannya dengan ibu
tersebut yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/8 dari 54,17% = 13,54% dari harta warisan.
√ Setiap satu orang anak
perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/8 dari 54,17% = 6,77% dari harta warisan.
♦ Jika salah satu oang-tuanya
suami (ayahnya saja atau ibunya saja) yang masih hidup saat suami wafat, maka sisanya:
= 1 – (1/8 + 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24)
= 1 – 7/24
= 17/24 bagian (atau 70,83% dari total
harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak
lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 5 anak (2 anak
laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 3 anak dari pernikahannya dengan ibu
tersebut yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/8 dari 70,83% = 17,71% dari harta warisan.
√ Setiap satu orang anak
perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/8 dari 70,83% = 8,85% dari harta warisan.
♦ Jika suami tidak mempunyai orang tua (ayah dan ibu dari suami
sudah wafat sebelum suami wafat), maka sisanya:
= 1 – 1/8
= 7/8 bagian (atau 87,5% dari total harta
warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak
lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 5 anak (2 anak
laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 3 anak dari pernikahannya dengan ibu
tersebut yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/8 dari 87,5% = 21,88% dari harta warisan.
√ Setiap satu orang anak
perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/8 dari 87,5% = 10,94% dari harta warisan.
Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati
terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah
Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan
dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang
mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (14) Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar