بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Selasa, 03 Agustus 2021

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DARI SEORANG SUAMI YANG MENINGGAL DUNIA (I)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (teman sekolah di SMP 1 Blitar dan di SMA 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, mau tanya kasus hak waris yang kemarin. Seorang ibu menikah terus bercerai punya 1 anak. Kemudian menikah lagi dan dengan suami yang baru mempunyai 3 anak (terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), sedangkan saat menikah suami yang baru membawa 2 orang anak laki-laki. Suami yang baru tersebut kemudian meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini, bagaimana pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh suami yang baru tersebut? Terimakasih sebelumnya”.

Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.

Sebelum membahas pertanyaan yang saudaraku sampaikan di atas, ada baiknya jika kita pahami terlebih dahulu beberapa hal terkait pembagian harta warisan berikut ini.

Pengertian harta warisan

Saudaraku,
Yang dimaksud dengan harta warisan (harta pusaka) adalah harta yang ditinggalkan oleh orang yang wafat secara mutlak. Artinya hanya harta yang secara mutlak dimiliki oleh orang yang wafat saja yang dibagikan sebagai harta warisan atau harta pusaka.

Berikut ini kusampaikan beberapa ayat yang mendasarinya, yang menisbatkan harta dengan orang yang wafat:

... فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ ... ﴿١١﴾
“... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, ...” (QS. An Nisaa’. 11).

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).

Status harta dalam sebuah keluarga


Saudaraku,
Dalam Islam, status harta dalam sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:

a. Harta milik suami saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh suami tanpa ada sedikit-pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta suami sebelum menikah, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.

b. Harta milik istri saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan sebagainya.

c. Harta milik bersama
Yaitu harta yang dimiliki oleh suami-istri secara bersama-sama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah dan suami serta istri sama-sama bekerja yang menghasilkan pendapatan dan sebagainya. Jenis harta yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan harta gono-gini.

Hukum syar’i tentang harta gono-gini


Saudaraku,
Syariat Islam tidak membagi harta gono-gini ini (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan pernikahan) dengan bagian masing-masing secara pasti (artinya tidak ada dalil khusus baik dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta gono-gini secara pasti), misalnya istri 50% dan suami 50%.

Tidak ada dalil khusus baik dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta gono-gini secara pasti, artinya tidak ada nash yang mewajibkan pembagian sama rata antara suami - isteri. Meskipun demikian, pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan berikut ini:

a. Jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.

b. Jika tidak diketahui dengan pasti perhitungan harta suami istri
Bagi suami istri yang sama-sama bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Dalam kondisi seperti ini, berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri menjadi tidak jelas. Kondisi seperti ini banyak terjadi dalam keluarga di negeri kita Indonesia.

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono-gini, khususnya jika perhitungan harta suami istri tidak diketahui dengan pasti. Dalam hal ini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam menyelesaikan masalah bersama, yaitu berdasarkan kesepakatan antara suami dan istri.

Kesepakatan ini dalam Al Qur’an serta Al Hadits disebut dengan istilah “ash-shulhu ( الصُّلْحُ ) yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih. Dengan kata lain, ash-shulh adalah kesepakatan antara suami istri berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha.

Allah SWT. berfirman dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 128:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ... ﴿١٢٨﴾
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) ...”. (QS.  An Nisaa’. 128).

Saudaraku,
Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya. Pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.

Hal ini diperkuat dengan penjelasan hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ زَادَ أَحْمَدُ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. (رواه ابو داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian antara kaum muslim dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram dan perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal”. (HR. Abu Daud).

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رواه الترمذى)
Hasan bin Ali Al Khallal menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan kepada kami. Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf Al Muzani menceritakan kepada kami dari bapaknya, dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian antara kaum muslimin adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat yang mereka tetapkan. kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (HR. At-Tirmidzi).

Saudaraku,
Para ulama telah membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam:
~   perdamaian antara muslim dan kafir,
~   perdamaian antara suami dan istri,
~   perdamaian antara kelompok yang bughat (dzalim) dan kelompok yang adil,
~   perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim,
~   perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan
~   perdamaian untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak.

Dengan demikian, jika suami istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, maka dapat ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan mengenai harta bersama.

Memang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97 KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Namun ketentuan dalam KHI ini bukanlah suatu putusan hukum yang mutlak. Artinya jika suami istri sepakat membagi harta dengan persentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.

Harta gono-gini jika hanya suami yang bekerja


Saudaraku,
Jika istri di rumah (tidak bekerja) dan hanya suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam). Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah  Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com

Karena tidak terdapat harta gono-gini (jika hanya suami yang bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli waris.

Meskipun demikian, jika kasus seperti ini diselesaikan di pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia, dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).

Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.

Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun isteri tidak bekerja). Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.

Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam syariat Islam.

Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan warisan lebih sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka solusinya mudah saja. Toh selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.

   Pembagian harta warisan dari suami yang meninggal dunia

Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada saat suami meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta warisan (harta pusaka) hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup, diantaranya: harta suami yang dibawa sebelum menikah dengan ibu tersebut, harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus, serta harta yang diwariskan kepada suami.

Sedangkan harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu seperti harta milik istri sebelum menikah dengannya, atau mahar suami kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, serta harta yang diwariskan kepada istri, maka harta yang seperti ini akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atas harta jenis ini).

Adapun terkait harta gono-gini (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan pernikahan), jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut. Dalam hal seperti ini, maka hanya harta gono-gini yang menjadi bagian suami saja yang dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian dari harta istri tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya).

Sedangkan jika harta gono-gini tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri karena suami istri yang sama-sama bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan harta suami bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) yang telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.

Misalnya berdasarkan musyawarah antara suami istri (semasa keduanya masih hidup), suami mendapat 40% dan istri 60% (boleh pula pembagian dengan nisbah/persentase yang lain). Maka dalam hal ini hanya 40% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan sisanya yang 60% tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (tidak termasuk harta warisan) sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.

Sedangkan apabila semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini bisa memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan pernikahan) dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Jika hal ini yang terjadi, maka hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.

Namun jika jika hanya suami yang bekerja, maka semua harta yang diperoleh selama masa pernikahan adalah milik suami sehingga pada saat suami wafat, harta tersebut (yaitu harta yang diperoleh selama masa pernikahan) sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli waris.

1. Bagian isteri

Selanjutnya dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih hidup ditambah dengan harta gono-gini yang menjadi haknya suami semasa hidup), maka istri mendapat 1/8 dari total harta warisan karena suami mempunyai anak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 12 berikut ini:

... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).

2. Bagian dari anak yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami yang wafat (suami kedua)

Saudaraku,
Anak tiri adalah anak yang didapat dari pernikahan seseorang dengan pasangannya yang telah memiliki anak di masa lalu atau anak yang diperoleh dari pernikahannya terdahulu. Anak tiri ini bisa merupakan anak dari sang wanita (istri) ataupun anak dari sang pria (suami). Biasanya pernikahan yang menimbulkan anak tiri adalah pernikahan dengan janda atau duda yang sudah memiliki anak. Anak tiri juga merupakan hasil dari perceraian orangtua terdahulunya karena ayahnya menjatuhkan talak pada ibunya atau salah satu dari keduanya meninggal.

Anak tiri (yaitu anak yang didapatkan dari pernikahan terdahulu) sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan karena anak tiri tidak berstatus sebagai ahli waris (anak tiri tidak disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al Qur’an dan Hadits). Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya.

Saudaraku,
Ada 3 sebab seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Ketiga sebab itu adalah hubungan kekerabatan atau nasab, pernikahan yang sah, dan kekerabatan karena memerdekakan budak.
1.  Hubungan kekerabatan atau nasab, hal ini menyangkut anak kandung atau orang yang terkait nasab dengan sang pemilik harta atau disebut juga sebagai sebab garis keturunan atau yang lebih dikenal dengan garis nasab. Orang yang bisa mendapatkan warisan dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah kedua orang tua dan orang-orang yang merupakan turunan keduanya seperti saudara laki-laki atau perempuan serta anak-anak dari para saudara tersebut baik sekandung maupun seayah.
2.  Hubungan pernikahan yang sah, yaitu adanya hubungan antara orang yang mewarisi tersebut dengan seseorang akibat adanya pernikahan yang sah. Sedangkan pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan yang fasid (rusak), seperti pernikahan tanpa adanya wali atau dua orang saksi, keduanya tidak bisa saling mewarisi. Demikian pula pasangan suami istri yang menikah dengan nikah mut’ah.
3.  Dikarenakan memerdekakan budak. Orang yang memerdekakan budak lalu suatu hari budaknya tersebut memiliki harta dan meninggal maka orang yang memerdekakan tersebut berhak mendapatkan harta warisan dari budak yang telah dimerdekakannya tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakannya.

Saudaraku,
Dengan melihat ke-3 sebab waris diatas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa anak tiri tidak berhak atau tidak dapat mewarisi harta orang tua tirinya. Dia hanya bisa mendapatkan waris dari orangtua yang sedarah dengannya (baik ibu maupun ayah). Adapun anak tiri tidak berhak mendapatkan harta warisan adalah berdasarkan dalil dalam Al Qur’an yang menjadi dasar hukum waris berikut ini:

√ Surat An Nisaa’ ayat 7

لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An Nisaa’. 7).

√ Surat An Nisaa’ ayat 11

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿١١﴾
Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa’. 11).

√ Surat An Nisaa’ ayat 12

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).

3. Bagian dari orang-tuanya suami

Jika pada saat suami wafat, suami masih mempunyai orang tua, maka ayah dan ibunya suami masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan.

... وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ...”. (QS. An Nisaa’. 11).

Sedangkan jika keduanya sudah wafat sebelum suami wafat (orang-tuanya suami wafat terlebih dahulu sebelum suami wafat), maka ketahuilah bahwa dalam hukum waris, ada sebuah aturan bahwa yang memberi warisan harus meninggal terlebih dahulu dan yang menerima warisan harus masih hidup pada saat pemberi warisan meninggal.

Saudaraku,
Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa seseorang tidak bisa dikatakan sebagai “pemberi warisan” kecuali jika ia sudah meninggal dunia. Karena seseorang tidak bisa memberi warisan kecuali jika sudah meninggal.

Dan tidak bisa seseorang disebut “ahli waris” kecuali jika ia masih hidup ketika orang yang memberi warisan meninggal. Karena ahli waris itu artinya orang yang menerima warisan, bagaimana mungkin bisa menjadi ahli waris kalau ia sudah meninggal dan tidak ada? Sehingga karena tidak dapat warisan (jika sudah meninggal terlebih dahulu sebelum yang memberi warisan meninggal), maka jatahnya-pun tidak ada dan tidak bisa diwakilkan atau digantikan oleh siapapun.

4. Bagian dari anak yang dibawa suami sebelum menikah dengan ibu tersebut

Saudaraku,
Anak yang dibawa suami sebelum menikah dengan ibu tersebut memang merupakan anak tiri bagi ibu tersebut, namun merupakan anak kandung dari suami. Dan karena yang meninggal adalah suami, maka anak tersebut mempunyai hak waris sebagaimana anak kandung suami yang lainnya dari pernikahannya dengan ibu tersebut. Artinya, anak yang dibawa suami dari pernikahan sebelumnya maupun anak dari pernikahan dengan ibu tersebut, mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan.

5. Bagian dari anak dari pernikahan suami dengan ibu tersebut

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semua anak suami baik dari pernikahan sebelumnya maupun dari pernikahannya dengan ibu tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan. Dan karena suami mempunyai anak laki-laki, maka anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah (anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menghabiskan semua harta warisan yang tersisa setelah dibagikan kepada para ash-haabul furudh).

‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan kerabatnya dari jalur ayah.

‘Ashabah sendiri adalah orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh (pemilik bagian pasti) mengambil bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa sedikit-pun dari mereka, maka mereka (‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun kecuali jika yang mendapatkan ‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena sesungguhnya anak laki-laki tidak terhalang dalam keadaan apa pun. ‘Ashabah juga berarti orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada seorang-pun dari ash-haabul furudh.

Firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176:

... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).

Dalam ayat di atas, Allah telah memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan ‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.

Selanjutnya dari sisa harta warisan tersebut dibagi dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1.

يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).

Sedangkan yang dimaksud dengan ash-haabul furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian yang pasti dari harta warisan. Contohnya: ayah dan ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan jika yang meninggal mempunyai anak, isteri mendapatkan ¼ bagian dari total harta warisan jika suami yang wafat tidak mempunyai anak atau mendapatkan 1/8 bagian dari total harta warisan jika suami yang wafat mempunyai anak, suami mendapatkan ½ bagian dari total harta warisan jika isteri yang wafat tidak mempunyai anak atau mendapatkan ¼ bagian dari total harta warisan jika isteri yang wafat mempunyai anak, dst.

6. Kesimpulan.

Dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami (harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih hidup ditambah dengan harta gono-gini yang menjadi haknya suami semasa hidup), pembagiannya adalah sebagai berikut:
   Istri mendapat 1/8 dari total harta warisan karena suami mempunyai anak.
   Anak yang dibawa ibu tersebut dari pernikahan sebelumnya tidak mendapatkan jatah warisan karena memang tidak berstatus sebagai ahli waris.
   Ayah dan ibu dari suami (jika keduanya masih hidup saat suami wafat) masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan.
   Jika ayah dan ibu dari suami masih hidup saat suami wafat, maka sisanya:
= 1 – (1/8 + 1/6 + 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24 + 4/24)
= 1 – 11/24
= 13/24 bagian (atau 54,17% dari total harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 5 anak (2 anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 3 anak dari pernikahannya dengan ibu tersebut yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
   Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/8 dari 54,17% = 13,54% dari harta warisan.
   Setiap satu orang anak perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/8 dari 54,17% = 6,77% dari harta warisan.

   Jika salah satu oang-tuanya suami (ayahnya saja atau ibunya saja) yang masih hidup saat suami wafat, maka sisanya:
= 1 – (1/8 + 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24)
= 1 – 7/24
= 17/24 bagian (atau 70,83% dari total harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 5 anak (2 anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 3 anak dari pernikahannya dengan ibu tersebut yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
   Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/8 dari 70,83% = 17,71% dari harta warisan.
   Setiap satu orang anak perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/8 dari 70,83% = 8,85% dari harta warisan.

   Jika suami tidak mempunyai orang tua (ayah dan ibu dari suami sudah wafat sebelum suami wafat), maka sisanya:
= 1 – 1/8
= 7/8 bagian (atau 87,5% dari total harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 5 anak (2 anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 3 anak dari pernikahannya dengan ibu tersebut yang terdiri dari 2 perempuan dan 1 laki-laki), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
   Setiap satu orang anak laki-laki mendapat bagian warisan masing-masing sebesar 2/8 dari 87,5% = 21,88% dari harta warisan.
   Setiap satu orang anak perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/8 dari 87,5% = 10,94% dari harta warisan.

Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah Ta’ala:

تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An Nisaa’. 13 – 14).

Demikian yang bisa kusampaikan, mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
                            
Semoga bermanfaat.

NB.
Bagaimanapun sampai saat ini aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞