Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru, Riau)
telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
Ada pertanyaan dari
temanku (namanya tidak mau disebut). Beliau
ada permasalahan dalam
hubungan dengan
istrinya. Beliau
khilaf telah mengucapkan talak pada istrinya. Beliau
ragu sudah 3 x atau belum, kalau
mentalak selalu dalam
kondisi emosional/marah-marah.
Nah, beliau pernah baca
katanya kalau
talak dalam
keadaan emosional tetap sah. Apa
benar, Pak Imron?
Sementara beliau ingin sekali mempertahankan keluarganya karena
punya 2 orang anak yang
kecil-kecil. Ditambah lagi
isterinya nggak
punya pekerjaan. Dia nggak
ingin perceraian yang pada
akhirnya akan membuat anak dan istrinya
menderita.
Saat ini dia sudah
rujuk kembali sebelum habis
masa iddahnya. Beliau yakin kalau
dia rujuk nggak
apa-apa karena
pernah dengar ceramah kalau
talak dalam
keadaan marah tidak sah atau
tidak jatuh talak.
Tanggapan
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada perceraian yang dilakukan oleh
suami kepada istri (ini
adalah perceraian/talak yang paling umum), status
perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu
suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan
terjadi. Sedangkan keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas belaka.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika suami mengatakan:
“Cerai, kita cerai” atau “Kamu aku cerai” atau “Aku menceraikanmu” atau
mengatakan perkataan lain yang semacam itu, maka pada saat
itu juga sudah
jatuh talak (sudah
terjadi talak) tanpa harus menunggu keputusan Pengadilan Agama.
Mengapa demikian?
Karena bagi siapa saja yang mengucapkan kata “talak”
(cerai) walau dalam keadaan bercanda atau main-main asalkan lafadz talak
tersebut keluar shorih (tegas), maka talak tersebut jatuh jika orang yang
mengucapkan talak tersebut adalah suami yang sah, baligh (dewasa), berakal dan
dengan kemauan sendiri (tidak terpaksa).
Dengan demikian tidak ada alasan jika ada yang berucap: “Saya kan hanya
bergurau” atau “Saya kan hanya main-main saja”.
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At
Tirmidzi dan Ibnu Majah berikut ini:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
(رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan
bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no.
2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa terdapat dua
pihak
dalam perceraian yaitu suami dan istri, dimana
pada masing-masing pihak ada syarat sahnya talak/perceraian. Para
‘ulama’ telah membagi syarat
sahnya talak menjadi tiga, yaitu:
(1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang
ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak.
1. Berkaitan dengan suami yang mentalak
a.
Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa antara pasangan
tersebut memiliki hubungan pernikahan
yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa jika ada dua orang laki-laki
dan wanita yang belum menikah kemudian lelaki tersebut mengatakan: “Saya
mentalakmu”, maka ucapan seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau dua orang
laki-laki dan wanita
yang belum
menikah lalu lelaki tersebut mengatakan:
“Jika nanti aku menikahimu, aku akan mentalakmu”. Karena pada
saat itu
belum menikah,
maka yang seperti
ini adalah talak yang tidak sah.
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad serta
penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Al-Hakim berikut
ini:
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا
طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ. (رواه الترمذى وأحمد)
“Tidak ada nadzar bagi anak
Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak
yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada
sesuatu yang bukan miliknya”. (HR.
Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190).
Abu Ya’la dan Al-Hakim
meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَا
طَلَاقَ اِلَّا بَعْدَ نِكَاحٍ وَلَاعِتْقَ اِلَّابَعْدَ مِلْكً.
Tidak ada talak kecuali setelah
akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan.
Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Ahzaab ayat 49 berikut
ini:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَـــٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ
... ﴿٤٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka ….” (QS. Al Ahzaab: 49).
Saudaraku,
Dalam surat Al Ahzaab ayat 49 di atas, disebut kata talak
setelah sebelumnya disebutkan pernikahan. Hal ini menunjukkan
bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan.
Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria-wanita yang hidup
bersama tanpa adanya ikatan
pernikahan) lalu si pria
mengajukan cerai, maka hal seperti
ini adalah talak yang tidak sah (artinya tidak
jatuh talak sama sekali).
b.
Yang mengucapkan talak telah baligh.
Mayoritas ‘ulama’ berpandangan bahwa
jika anak kecil/belum baligh (terjadi pada pasangan yang menikah pada
usia belum baligh)
menjatuhkan talak, maka talaknya
dinilai tidak sah. Hal ini didasarkan pada penjelasan hadits yang
diriwayatkan oleh
Abu Daud, At Tirmidzi serta
Ibnu Majah berikut ini:
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى
حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ. (رواه ابو داود والترمذى وابن
ماجه)
“Pena diangkat dari tiga orang:
orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali
ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa”. (HR. Abu Daud no. 4398, At
Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041).
c.
Yang melakukan talak adalah berakal.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak sah talak yang dilakukan
oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Hal ini didasarkan pada
penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah di atas.
d. Dengan kemauan sendiri
Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa orang yang
mengucapkan talak tersebut telah mengucapkannya atas kehendak sendiri/tanpa ada
paksaan. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah serta
hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud berikut ini:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.
(رواه ابن ماجه)
“Sesungguhnya Allah memaafkan
dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”. (HR. Ibnu Majah no.
2045).
Dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِى غَلَاقٍ. (رواه ابو داود)
“Tidak jatuh talak dan tidak
pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”. (HR. Abu Daud no.
2193).
2. Berkaitan dengan istri yang ditalak
a.
Akad nikahnya
sah
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dan Imam Ahmad serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan
Al-Hakim, juga surat Al Ahzaab ayat 49 (lihat kembali pembahasan pada bagian
awal syarat sahnya talak yang berkaitan dengan suami yang mentalak).
Berdasarkan ketiga dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak hanya terjadi
jika keduanya memiliki hubungan pernikahan yang sah.
b.
Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya
Saudaraku,
Jika setelah talak pertama dan kedua masih boleh rujuk,
maka setelah talak yang ketiga suami tidak bisa langsung menikahi mantan
istrinya kembali sampai mantan istrinya tersebut menikah lagi dengan pria lain
kemudian keduanya telah cerai dengan cara yang wajar (bukan direkayasa). Baru
setelah itu suami yang pertama tadi boleh menikahi lagi.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin tali pernikahan
tersebut tersambung kembali setelah talak ketiga, kecuali jika mantan istrinya
menikah lagi dengan pria lain kemudian keduanya telah bercerai secara wajar.
Nah karena tidak ada tali pernikahan diantara keduanya setelah talak ketiga,
maka talak yang seperti
ini adalah talak yang tidak sah.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi dan Imam Ahmad serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan
Al-Hakim, serta surat Al Ahzaab ayat 49 (lihat kembali pembahasan pada bagian
awal syarat sahnya talak yang berkaitan dengan suami yang mentalak).
Berdasarkan ketiga dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak hanya terjadi
jika keduanya berada dalam tali pernikahan yang sah.
Saudaraku,
Ketika istri sudah ditalak tiga
kali, maka haram bagi mantan suaminya untuk rujuk kembali sampai mantan
istrinya menikah dengan pria lain dengan pernikahan yang sah. Allah
Ta’ala telah berfirman dalam
surat
Al Baqarah ayat
230:
فَإِن
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ... ﴿٢٣٠﴾
“Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain ...” (QS. Al Baqarah: 230).
Kemudian jika suami yang lain
tersebut telah menceraikannya, maka suami yang pertama tadi boleh menikahi
kembali mantan isterinya yang sudah bercerai dengan pria yang lain tersebut.
... فَإِن طَلَّقَهَا
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٢٣٠﴾
“... Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 230).
Saudaraku,
Pada pernikahan yang kedua tersebut, disyaratkan bahwa
suami kedua telah menyetubuhi istrinya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits
‘Aisyah berikut ini:
أَنَّ
امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلَاقِى، وَإِنِّى نَكَحْتُ
بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ
الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ،
لَا، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ . (رواه
البخارى ومسلم)
Suatu ketika istri Rifaa’ah Al
Qurozhiy menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia
menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman
bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti
hudbatuts-tsaub*
(ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum
mendengarnya, lantas beliau bersabda: “Apakah kamu ingin kembali kepada
Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan
madumu”. (HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433).
3. Lafadz/ucapan talak
Lafadz (ucapan) talak bisa dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: (1) talak dengan lafadz shorih (tegas) dan (2) talak dengan lafadz
kinayah (kiasan).
a. Talak
dengan lafadz shorih
(tegas)
Artinya tidak mengandung makna
lain ketika diucapkan dan langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak/cerai. Contohnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Saya talak kamu”, atau “Saya ceraikan
kamu”, dst.
Lafadz-lafadz seperti ini tidak bisa
dipahami selain makna cerai atau talak.
Jika lafadz-lafadz seperti ini diucapkan oleh suami, maka
jatuhlah talak dengan sendirinya, baik lafadz tersebut diucapkan dengan serius
maupun dengan bercanda. Hal ini menunjukkan bahwa jika lafadz talak diucapkan
dengan tegas, maka jatuhlah talak selama lafazh tersebut diucapkan atas pilihan
sendiri (tidak dalam keadaan terpaksa), meskipun diucapkan dengan serius maupun
dengan bercanda.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
(رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan
bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no.
2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).
b. Talak
dengan lafazh kinayah (kiasan)
Artinya tidak
diucapkan dengan kata talak atau cerai secara khusus, namun diucapkan dengan
kata yang bisa mengandung makna yang lain.
Contohnya, suami
mengatakan:
“Pulang saja kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat seperti ini bisa mengandung
makna lain selain cerai. Bisa saja karena telah terjadi pertengkaran hebat dan
suami memandang isterinya berakhlak buruk, kemudian suami meminta isterinya
untuk pulang ke rumah orang tuanya agar mendapat nasehat dari orangtuanya
sehingga akhlak buruknya tersebut bisa diperbaiki.
Contoh lainnya, suami
mengatakan: “Sekarang kita berpisah saja”. Lafazh seperti ini tidak selamanya
dimaksudkan untuk talak.
Bisa jadi ketika suami hendak melanjutkan studi S2 atau S3 ke luar
negeri atau ketika suami hendak merantau di tempat yang jauh sehingga memakan
waktu cukup lama, kemudian menjelang keberangkatannya, suami mengatakan hal itu
kepada isterinya.
Saudaraku,
Untuk kasus-kasus seperti ini, diperlukan adanya niat. Jika ucapan-ucapan
seperti ini diniatkan
untuk maksud talak, maka jatuhlah
talak. Namun jika
tidak diniatkan untuk talak, maka tidak jatuh talak. Karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya setiap amal itu
tergantung dari niatnya”. (HR. Bukhari no. 1
dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob).
Adapun jika
talaknya hanya dengan niat dalam hati (tidak
sampai diucapkan),
maka talaknya tidak jatuh. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut
ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ
أَوْ تَتَكَلَّمْ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya Allah memaafkan
pada umatku sesuatu yang terbetik dalam hatinya selama tidak diamalkan atau
tidak diucapkan”. (HR.
Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127).
Saudaraku
mengatakan: “Beliau ragu,
sudah 3 x atau belum”.
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ketika suami
mengucapkan kata talak/cerai secara shorih/tegas, seperti mengatakan: “Kamu aku
cerai” atau “Aku menceraikanmu” atau mengatakan perkataan lain yang semacam itu,
maka pada saat itu juga sudah jatuh talak/sudah terjadi talak tanpa harus
menunggu keputusan Pengadilan Agama, tidak peduli apakah hal itu diucapkan
dengan serius atau hanya bercanda.
Jika setelah suami mengucapkan kata talak/cerai secara
shorih/tegas kemudian sebelum habis masa ‘iddah, suami mengatakan kepada
saudaraku: "Aku rujuk" atau “Aku kembali kepadamu” atau berkata pada
orang lain: “Aku rujuk pada istriku” atau “Aku kembali ke istriku”, atau suami berkumpul
kembali dengan isterinya (melakukan hubungan suami-isteri) dengan diniati
rujuk, maka tali pernikahan tersambung kembali. Artinya semenjak saat itu,
kembali berstatus sebagai suami-isteri yang sah. (http://pa-kedirikab.go.id/index.php/492-talak-dan-gugat-cerai-dalam-syariat-islam).
Jika setelah itu (setelah rujuk) kemudian suami kembali
mengucapkan kata talak/cerai secara shorih/tegas, maka pada saat itu sudah
jatuh talak untuk kedua kalinya/sudah terjadi talak untuk kedua kalinya tanpa
harus menunggu keputusan Pengadilan Agama, tidak peduli apakah hal itu
diucapkan dengan serius atau hanya bercanda. Namun jika sebelum rujuk suami
kembali mengucapkan kata talak/cerai secara shorih/tegas, maka talak seperti
ini tidak sah disebabkan tidak adanya hubungan suami-istri sama sekali,
sehingga tidak jatuh talak untuk kedua kalinya/tidak terjadi talak untuk kedua
kalinya (artinya tetap dihitung talak satu).
Sedangkan jika setelah terjadi talak untuk kedua kalinya
kemudian sebelum habis masa ‘iddah suami kembali mengatakan kepada saudaraku:
"Aku rujuk" atau “Aku kembali kepadamu” atau berkata pada orang lain:
“Aku rujuk pada istriku” atau “Aku kembali ke istriku”, atau melakukan hubungan
suami-isteri dengan diniati rujuk, maka tali pernikahan tersambung kembali.
Dan jika setelah rujuk untuk kedua kalinya suami kembali
mengucapkan kata talak/cerai secara shorih/tegas, maka pada saat itu sudah
jatuh talak untuk ketiga kalinya/sudah terjadi talak untuk ketiga kalinya tanpa
harus menunggu keputusan Pengadilan Agama, tidak peduli apakah hal itu
diucapkan dengan serius atau hanya bercanda.
Saudaraku,
Jika hal ini sampai terjadi (jika sampai terjadi talak
untuk ketiga kalinya), maka haram bagi mantan suami untuk rujuk kembali sampai sang
isteri menikah dengan pria lain dengan pernikahan yang sah lalu sudah melakukan
hubungan suami-isteri, kemudian bercerai secara wajar (sebagaimana sudah
dijelaskan pada uraian di atas). Talak seperti ini dikenal dengan talak ba-in
kubro.
Tanggapan
balik dari sahabat tersebut (staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru, Riau): “Berarti
kalau mentalak dalam kondisi emosional yang nggak terkontrol nggak sah ya
talaknya, Pak Imron?”.
Tetap sah saudaraku,
jika menggunakan kata-kata yang jelas/dengan lafadz shorih (tegas), artinya
tidak mengandung makna lain ketika diucapkan dan langsung dipahami bahwa
maknanya adalah talak/cerai. Contohnya seorang suami
mengatakan kepada istrinya: “Saya talak kamu”, atau “Saya ceraikan kamu”, dst.
Lafadz-lafadz seperti ini tidak bisa dipahami selain makna cerai atau talak.
Jika lafadz-lafadz seperti ini diucapkan oleh suami, maka
jatuhlah talak dengan sendirinya, baik lafadz tersebut diucapkan dengan serius
maupun dengan bercanda. Hal ini menunjukkan bahwa jika lafadz talak diucapkan
dengan tegas, maka jatuhlah talak selama lafazh tersebut diucapkan atas pilihan
sendiri (tidak dalam keadaan terpaksa), meskipun diucapkan dengan serius maupun
dengan bercanda.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
(رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan
bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no.
2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).
In sya Allah uraian pada artikel di atas sudah cukup jelas.
Sahabat
tersebut (staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru,
Riau) menanggapi kembali dengan tanggapan sebagai berikut: “Hwaduhh,
bagaimana caraku menyampaikan ke temanku tersebut. Karena
dia sudah kembali lagi
bersama istrinya dan tambah sayang dan akur serta
anak-anaknya jadi bersemangat
lagi”.
Saudaraku,
Ust. Drs.
H. Sahmin Hidayat (alumnus Ponpes Gontor/salah satu guru ngajiku) malah bertanya
dengan pertanyaan kurang lebih sebagai berikut: "Apakah ada, seorang suami
yang bilang cerai kepada isterinya dengan kata-kata yang lemah lembut/dalam
keadaan baik-baik saja?".
Tanggapan beliau (staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru, Riau): “Iya
Pak Imron. Mungkin aku
suruh saja dia menyimpulkan sendiri. Karena takut
dia jadi
syok”.
Tanggapanku: “Lho, kan beliau sudah
rujuk? Rujuk tidak
memerlukan saksi, ijab kabul, dll.
sebagaimana orang menikah. In
sya Allah uraian di atas sudah cukup jelas. Coba
dibaca lagi dengan seksama”.
Tanggapan beliau (staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru, Riau): “Tapi
kata beliau, dia ragu apa sudah 3 x”.
Tanggapanku: “Tidak semua orang (suami) yang telah mengatakan cerai
sebanyak 3 x dihukumi talak 3, saudaraku. Coba dibaca lagi dengan seksama”.
Tanggapan
beliau (staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Pekanbaru,
Riau): “Kata beliau pernah talak rujuk, talak rujuk lagi dalam
waktu yang bertahun-tahun dan talak lagi. Begitu, katanya. Aku sudah jelaskan,
tapi takut salah”.
Tanggapanku: “Semoga beliau bisa memahaminya”.
Demikian
dialog ini,
Semoga bermanfaat.