Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat telah menyampaikan
pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, anakku telah menikah
dengan orang yang salah. Penjudi, hutangnya buanyak. Duhhh, aku ikut nanggung,
ini”.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Agama Islam,
mencari nafkah itu adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami dan tidak bisa
dialihkan kepada yang lain selama suami masih mampu mencari nafkah. Demikian
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ pada bagian awal ayat
34 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”.
(QS. An Nisaa’. 34).
Sekali lagi, bahwa mencari
nafkah itu adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami dan tidak bisa dialihkan
kepada pihak lain selama suami masih mampu mencari nafkah. Terkecuali jika
suami sudah tidak mampu lagi untuk mencari nafkah, seperti ketika suami terkena
stroke sehingga dia hanya bisa berbaring di tempat tidur saja atau
karena usianya yang sudah sangat renta sehingga tidak
mampu lagi untuk mencari nafkah, dll.
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَاهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا
مَا ءَاتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
”Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath
Thalaaq. 7).
Adapun besaran nafkah yang harus
diberikan kepada keluarga, disesuaikan
dengan kadar kemampuan suami (tidak ada ketentuan harus sekian rupiah per bulan,
dll).
...
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“...
dan karena mereka (laki-laki/suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”
(QS. An Nisaa’. 34).
...
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ...﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. ...” (QS. Al Baqarah. 233)
Saudaraku,
Kita tidak boleh membantah
ketetapan Allah tersebut. Kita tidak boleh
mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu
hukum-hukum yang kita senangi saja, sementara hukum-hukum yang lain yang tidak
kita senangi kita buang begitu saja. Karena Allah telah berfirman dalam Al
Qur'an surat Al Baqarah ayat 208, yang artinya adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ
كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah.
208).
Jika
hal ini yang kita lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan
membuang sebagian yang lainnya), maka tanpa kita sadari kita telah memperturutkan
langkah-langkah syaitan. Padahal, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kita. Na’udzubillahi mindzalika!
Saudaraku,
Karena Islam hanya membebankan pemberian nafkah keluarga
kepada suami (bukan kepada isteri), maka menjadi tuntutan bagi suami untuk
bekerja/keluar rumah mencari karunia Allah demi memenuhi kewajiban tersebut.
Sedangkan pihak isteri, dikarenakan tidak ada kewajiban padanya untuk
memberikan nafkah kepada keluarganya, maka tidak ada kewajiban pula baginya
untuk bekerja mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Saudaraku,
Berdasarkan keterangan di atas,
dapat disimpulkan
bahwa dari setiap penghasilan yang diperoleh suami, di sana ada jatah nafkah
istri yang harus ditunaikan. Ini berbeda dengan penghasilan isteri.
Terkait penghasilan istri, maka
penghasilan tersebut adalah milik dirinya sendiri/milik pribadi (bukan milik
suaminya) sebagaimana harta-harta pribadi lainnya seperti harta warisan,
maskawin (mahar), hibah dari orang lain, dll. Murni menjadi miliknya, artinya
tidak ada seorangpun (termasuk suaminya) yang boleh mengambilnya kecuali dengan
kerelaan isteri. Kesimpulan ini bisa kita sandarkan pada ayat tentang mahar:
وَءَاتُواْ النِّسَاءَ صَدُقَـــٰــتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَّرِيئًا ﴿٤﴾
“Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (QS. An Nisaa’. 4).
Nah, jika harta mahar saja
(yang asalnya dari suami diberikan kepada isteri) tidak boleh dinikmati suami
kecuali atas kerelaan hati sang istri, apalagi harta lainnya yang murni
dimiliki istri (seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang
tuanya), tentunya juga tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan
istri*).
Dengan
demikian, hukum asalnya adalah istri tidak wajib menanggung hutang suami. Harta
istri adalah miliknya sendiri dan dia bebas menggunakannya tanpa campur tangan
orang lain, termasuk suaminya. Istri boleh menolak pembayaran hutang itu jika
suami memaksa. Sebab tanpa kerelaan istri, haram hukumnya seorang suami
mengambil dan menikmati harta istri (termasuk jika digunakan untuk membayar
hutang-hutangnya).
Namun
jika pembayaran hutang suami oleh istri adalah pemberian yang ikhlas tanpa paksaan,
tanda cinta istri kepada suami setelah mempertimbangkan kemampuan
masing-masing, juga upaya istri meraih amal shalih yang lebih banyak, tentu
saja diperbolehkan.
Dalam
hal ini, bahkan isteri (yang bersedekah kepada suaminya, salah satu diantaranya
adalah dengan pemberian yang ikhlas tanpa paksaan kepada suaminya untuk
keperluan membayar hutang-hutang sang suami) akan mendapatkan dua pahala, yaitu pahala menyambung karib
kerabat dan pahala karena sedekah. Demikian penjelasan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ حَدَّثَنَا أَبُو
الْأَحْوَصِ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ
قَالَتْ فَرَجَعْتُ إِلَى عَبْدِ اللهِ فَقُلْتُ إِنَّكَ رَجُلٌ خَفِيفُ ذَاتِ
الْيَدِ وَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَنَا
بِالصَّدَقَةِ فَأْتِهِ فَاسْأَلْهُ فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يَجْزِي عَنِّي وَإِلَّا
صَرَفْتُهَا إِلَى غَيْرِكُمْ قَالَتْ فَقَالَ لِي عَبْدُ اللهِ بَلْ ائْتِيهِ
أَنْتِ قَالَتْ فَانْطَلَقْتُ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ بِبَابِ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَتِي حَاجَتُهَا قَالَتْ
وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُلْقِيَتْ عَلَيْهِ
الْمَهَابَةُ قَالَتْ فَخَرَجَ عَلَيْنَا بِلَالٌ فَقُلْنَا لَهُ ائْتِ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبِرْهُ أَنَّ امْرَأَتَيْنِ
بِالْبَابِ تَسْأَلَانِكَ أَتُجْزِئُ الصَّدَقَةُ عَنْهُمَا عَلَى أَزْوَاجِهِمَا
وَعَلَى أَيْتَامٍ فِي حُجُورِهِمَا وَلَا تُخْبِرْهُ مَنْ نَحْنُ قَالَتْ
فَدَخَلَ بِلَالٌ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ هُمَا فَقَالَ
امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَزَيْنَبُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الزَّيَانِبِ قَالَ امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ فَقَالَ لَهُ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ
الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ يُوسُفَ الْأَزْدِيُّ
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشُ حَدَّثَنِي شَقِيقٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ زَيْنَبَ
امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَ فَذَكَرْتُ لِإِبْرَاهِيمَ فَحَدَّثَنِي عَنْ أَبِي
عُبَيْدَةَ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ
بِمِثْلِهِ سَوَاءً قَالَ قَالَتْ كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَرَآنِي النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ وَسَاقَ
الْحَدِيثَ بِنَحْوِ حَدِيثِ أَبِي الْأَحْوَصِ. (رواه مسلم)
13.43/1667.
Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Rabi' Telah menceritakan kepada kami
Abul Ahwash dari Al A'masy dari Abu Wa`il dari Amru bin Harits dari Zainab
isteri dari Abdullah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Bersedekahlah wahai kaum wanita! Bersedekahlah sekalipun dengan
perhiasanmu. Zainab berkata; Mendengar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tersebut, lalu aku pulang menemui Abdullah -suamiku- seraya berkata
kepadanya, Anda adalah seorang laki-laki yang miskin. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam memerintahkan kepada kami kaum wanita agar bersedekah. Cobalah
datangi beliau dan tanyakan bolehkah jika aku bersedekah kepada keluarga? Jika
tidak akan aku kualihkan kepada yang lain. Abdullah menjawab, Sebaiknya kamu
sajalah yang mendatangi beliau. Maka pergilah aku. Lalu di pintu rumah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kudapati wanita Anshar yang bermaksud sama
denganku. Sebagaimana biasa, orang-orang yang ingin bertemu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam selalu diliputi rasa gentar. Kebetulan Bilal
keluar mendapatkan kami. Kata kami kepada Bilal, Tolonglah kamu sampaikan
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa dua wanita sedang berdiri
di pintu hendak bertanya, 'Apakah dianggap cukup, jikalau kami berdua
bersedekah kepada suami kami masing-masing dan kepada anak-anak yatim yang
berada dalam pemeliharaan kami? Dan sekali-kali jangan engkau beritahukan siapa
kami.' Maka masuklah Bilal menanyakan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, tetapi beliau balik bertanya: Siapa kedua wanita itu? Bilal menjawab,
Seorang wanita Anshar bersama-sama dengan Zainab. Beliau bertanya, Zainab yang
mana? Bial menjawab, Zainab isterinya Abdullah. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: Masing-masing mereka mendapat dua pahala. Yaitu pahala
(menyambung) karib kerabat dan pahala karena sedekah. Telah menceritakan
kepadaku Ahmad bin Yusuf Al Azdi Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh
bin Ghiyats Telah menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada
kami Al A'masy telah menceritakan kepadaku Syaqiq dari Amru bin Harits dari
Zainab isteri Abdullah. Ia berkata; lalu saya menyebutkannya kepada Ibrahim,
maka ia pun menceritakan kepadaku dari Abu Ubaidah dari Amru bin Harits dari
Zainab isteri Abdullah dengan hadits semisalnya. Zainab berkata; Suatu ketika
saya berada di masjid, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihatku dan
bersabda: Bersedekahlah, meskipun dengan perhiasan kalian. Ia pun menuturkan
hadits sebagaimana hadits Abul Ahwash. (HR. Muslim).
Saudaraku,
Jika
istri saja tidak wajib menanggung hutang suami, apalagi panjenengan selaku ibu
mertuanya. Tentunya lebih-lebih lagi tidak wajib untuk ikut menanggung
hutangnya. Dan jika istri saja boleh menolak pembayaran hutang itu jika
suaminya memaksa, apalagi panjenengan selaku ibu mertuanya. Tentunya
lebih-lebih lagi boleh menolak pembayaran hutang itu jika yang bersangkutan memaksa.
MENYIKAPI
PERILAKU BURUK SUAMI YANG SUKA BERJUDI
Saudaraku,
Sebagai
istri yang baik, tentunya akan lebih bijak jika berupaya terlebih dahulu
(berusaha semaksimal mungkin) untuk mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Karena Allah Ta’ala telah berfirman
dalam Al Qur’an surat At Tahriim ayat 6 berikut ini:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَـــٰــئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا
يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahriim.
6).
Meskipun demikian, dalam berdakwah tentunya tidak harus
mentargetkan sedemikian rupa sehingga sang istri (dalam hal ini adalah anak
panjenengan) sukses membawa suaminya untuk kembali ke dalam jalan-Nya yang
lurus. Karena
kewajiban kita hanyalah menyampaikan ayat-ayat-Nya. Demikian penjelasan Al
Qur’an dalam surat Ali ‘Imran ayat 20 berikut ini:
فَإنْ حَآجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلّٰهِ وَمَنِ اتَّبَعَنِ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَـــٰبَ وَالْأُمِّيِّينَ ءَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُواْ
فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَـــٰغُ وَاللهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ ﴿٢٠﴾
“Kemudian jika mereka mendebat
kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku
kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang
yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 20).
Apalagi jika hal ini kita
kaitkan dengan penjelasan Allah dalam surat Al An’aam ayat 162, yang artinya
adalah:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰـــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (QS. Al An’aam.
162).
Jadi, sebaiknya apapun yang dilakukan istri (termasuk
dalam berdakwah), harus diniatkan hanya karena Allah semata, bukan karena yang
lain. Jika
sang istri
sudah berusaha secara maksimal, maka apapun hasilnya, semuanya itu sudah
menjadi urusan Allah. Karena hak Allah-lah untuk memberi petunjuk kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya. Jika seseorang diberi petunjuk oleh-Nya, niscaya dia
akan memilih jalan yang lurus. Demikianlah penjelasan Al Qur’an dalam surat Al
Baqarah ayat 142:
...
قُل لِّلّٰهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
“... Katakanlah: "Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”. (Wallahu
ta'ala a'lam). (QS. Al
Baqarah.
142).
Saudaraku,
Bisa jadi
sang istri (dalam hal ini adalah anak panjenengan) mengatakan:
“Aku menyadari kalau aku juga belum sempurna menjadi istri yang baik. Masih
banyak kekurangan”.
Jika memang demikian, maka sebaiknya disikapi dengan santai
saja. Karena kewajiban kita hanyalah berupaya semaksimal mungkin untuk
menjalankan semua perintah-Nya, semampu yang kita bisa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى)
“Apabila aku melarangmu dari
sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka
tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)
Dan Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya.
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ...
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”.
(QS. Al Baqarah ayat 286).
Jika sang istri
(dalam hal ini adalah anak panjenengan) sudah berupaya semaksimal
mungkin dalam menjalankan peran sebagai seorang istri, maka cukuplah hal itu.
Setelah sang istri (dalam hal ini adalah anak panjenengan) berupaya
sebaik mungkin dalam menjalankan peran sebagai seorang istri, selanjutnya
bacalah istighfar kepada-Nya. Mohonlah ampun kepada-Nya, barangkali masih ada
kekurangan/kekhilafan/sesuatu yang luput dalam menjalankan kewajiban saudaraku
sebagai seorang istri. Semoga Allah meridhoi niatan baik saudaraku.
Saudaraku,
Bisa jadi
pula sang istri (dalam hal ini adalah anak panjenengan) mengatakan bahwa karena selalu memaafkan kelakuan suami saya, akhirnya membuat suaminya “tuman”
melakukan perbuatan maksiatnya (berjudi). Bisa jadi
sang istri juga selalu mendo’akan suami agar bisa
segera menyadari segala perbuatannya.
Jika
memang demikian halnya, apa yang harus istri lakukan, apa harus terus bersabar menghadapi perbuatan suaminya?
Terus memaafkan suaminya, terus berdo’a untuk kebaikannya?
Atau lebih baik ditinggalkan saja suaminya?
Saudaraku,
Adalah hak
seorang istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari suaminya,
mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin dari suami serta mendapatkan
bimbingan dari suami dalam menggapai ridho-Nya agar selamat dari siksa api
neraka. Sebaliknya, adalah kewajiban suami untuk memberikan perlakuan yang baik
kepada sang istri, memberikan nafkah baik lahir maupun batin serta
memberikan bimbingan kepada sang istri dalam menggapai ridho-Nya agar
selamat dari siksa api neraka.
Jika
melihat kembali pada apa yang telah saudaraku sampaikan, nampaknya suami memiliki
perilaku yang buruk (suka berjudi) serta tidak bisa memenuhi
dengan baik segala hak istri. Terkait hal ini, keputusan sepenuhnya ada pada sang istri
(dalam hal ini adalah anak panjenengan). Karena penggunaan hak itu
diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang mempunyai hak. Seseorang yang mempunyai
hak atas sesuatu, maka dia boleh mengambil haknya tersebut, boleh juga tidak.
Jika sang istri
(dalam hal ini adalah anak panjenengan) ridho dengan perilaku
buruk suami, sementara sang istri juga sudah berupaya untuk tetap sabar dan juga sudah
berupaya untuk mengingatkan sang suami agar segera kembali ke dalam jalan-Nya
yang lurus, maka sebagai saudara seiman seagama, aku hanya bisa mendo’akan
semoga kelapangan dada sang istri (dalam hal ini adalah anak panjenengan) dalam
menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah sebagai
amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya.
Namun jika
ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk)
sehingga sang istri sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahannya,
maka sudah saatnya bagi sang istri untuk memikirkan kembali akan keberlangsungan pernikahan
ini.
Saudaraku,
Perhatikanlah
kisah perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disaat-saat awal kenabiannya, Rasulullah melaksanakan dakwahnya dengan
sembunyi-sembunyi (secara rahasia) karena saat itu jumlah umat Islam masih sedikit.
Hingga ketika jumlah umat Islam semakin bertambah banyak, Rasulullah
melaksanakan dakwahnya secara terang-terangan.
فَاصْدَعْ بِمَا
تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿٩٤﴾
”Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS. Al Hijr. 94).
Selanjutnya
dalam perkembangan dakwahnya, ternyata Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam beserta kaum muslimin menemui banyak rintangan. Pada
awalnya, mereka berusaha menghentikan dakwah Rasulullah dengan cara ”halus”. Mereka
mencoba menawarkan tiga hal (harta, tahta dan wanita) kepada Rasulullah agar
berhenti mendakwahkan Islam.
Setelah
cara “halus” tak berhasil, mereka mulai menebar teror dengan siksaan terhadap
Rasulullah dan kaum muslimin. Dan ketika siksaan dari kaum Quraisy telah sampai
pada titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (beserta
kaum muslimin) hijrah ke Madinah.
Saudaraku,
Kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah perjalanan dakwah Rasulullah tersebut. Ketika
rintangan yang dihadapi masih dalam batas-batas tertentu, Rasulullah tetap
berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan dakwahnya di kalangan penduduk
Makkah. Namun ketika rintangan/siksaan dari kaum Quraisy telah sampai pada
titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya
Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.
Demikian
pula dengan apa yang dialami sang istri (dalam hal ini adalah anak panjenengan).
Ketika rintangan yang dihadapi sang istri masih dalam batas-batas tertentu, maka sebaiknya
sang istri tetap berupaya semaksimal mungkin untuk mengingatkan sang
suami agar segera kembali ke dalam jalan-Nya yang lurus. Namun ketika rintangan
yang dihadapi sang istri telah sampai pada titik puncak yang tak bisa ditanggung
lagi, mungkin sudah saatnya bagi sang istri untuk berhijrah/untuk memikirkan kembali akan
keberlangsungan pernikahan ini.
Jika
langkah terakhir yang dipertimbangkan oleh sang istri, selama sang istri tetap bertaqwa kepada-Nya, maka sang istri tidak perlu merasa bimbang akan kelanjutan masa-masa setelahnya/setelah
sang istri meninggalkannya. Karena sesungguhnya Allah
akan memberi jalan keluar bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. (Do'aku menyertai perjuangan putrimu,
wahai saudaraku!).
... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”...
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللهَ بَـــٰــلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
﴿٣﴾
”Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).
Saudaraku,
Satu hal yang
harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim/muslimah yang
baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata.
Kalaupun
kita mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua, anak,
saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah Allah
semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya). Dan jika suatu ketika Allah
memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita, maka (karena cinta
kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal: ketika tiba-tiba sang
istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus berupaya semaksimal
mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang istri (suami) tetap
tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia (karena dengan murtadnya sang istri/suami, maka ikatan
tali perkawinan otomatis terputus). Sekalipun kecantikannya masih membuat kita terpesona,
juga kelembutan sikapnya, dll.
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena
keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Meskipun demikian karena waktu yang digunakan
isteri untuk bekerja pada dasarnya adalah hak suaminya juga, maka yang terbaik
adalah bahwa hendaknya sang isteri (bagi isteri yang bekerja) juga ikut
berkontribusi didalam nafkah keluarganya. (Wallahu a'lam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar