Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman
alumni SMAN 1 Blitar/staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi negeri
terkemuka di Surabaya) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Bung Imron, ada pertanyaan penting. Apa hak-hak wanita yang telah
ditalak satu oleh suaminya? Ini dari temanku. Mohon dijawab yang Bung”.
Saudaraku,
Wanita
yang ditalak raj'i*) dan sedang menjalani masa iddahnya masih berhak mendapat
nafkah dari suaminya berupa tempat tinggal, pakaian, makan dan kebutuhan hidupnya yang lain. Sehingga
haram bagi suami untuk mengusir istri yang sedang menjalani masa iddah dari
rumahnya.
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i berikut ini:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَزِيدَ الْأَحْمَسِيُّ قَالَ
حَدَّثَنَا الشَّعْبِيُّ قَالَ حَدَّثَتْنِي فَاطِمَةُ بِنْتُ قَيْسٍ قَالَتْ
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ أَنَا بِنْتُ آلِ
خَالِدٍ وَإِنَّ زَوْجِي فُلَانًا أَرْسَلَ إِلَيَّ بِطَلَاقِي وَإِنِّي سَأَلْتُ
أَهْلَهُ النَّفَقَةَ وَالسُّكْنَى فَأَبَوْا عَلَيَّ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ قَدْ أَرْسَلَ إِلَيْهَا بِثَلَاثِ تَطْلِيقَاتٍ قَالَتْ فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى
لِلْمَرْأَةِ إِذَا كَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ
Telah
mengabarkan kepada kami Ahmad bin Yahya, ia berkata; telah menceritakan kepada
kami Abu Nu'aim, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Yazid Al
Ahmasi, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Asy Sya'bi, ia berkata;
telah menceritakan kepadaku Fathimah binti Qais, ia berkata; saya datang kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; saya adalah anak Ali Khalid, dan
suamiku Fulan telah mengirimkan utusan kepadaku untuk menceraikanku, dan saya
meminta nafkah dan tempat tinggal kepada keluarganya. Kemudian mereka menolak.
Mereka berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya ia telah mengirimkan utusan
kepadanya untuk mencerainya tiga kali. Fathimah berkata; kemudian Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya nafkah dan tempat
tinggal untuk seorang wanita apabila suaminya memiliki hak untuk kembali
kepadanya." (HR. An-Nasa’i, no. 3351).
Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath
Thalaaq pada bagian tengah ayat 1 berikut ini:
...
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ
فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ... ﴿١﴾
“... Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. ...”. (QS. Ath Thalaaq. 1).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “... (Janganlah kalian keluarkan mereka dari
rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar) dari rumahnya sebelum
idahnya habis (kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji) yakni zina
(yang terang) dapat dibaca mubayyinah, artinya terang, juga dapat dibaca
mubayyanah, artinya dapat dibuktikan. Maka bila ia melakukan hal tersebut
dengan dapat dibuktikan atau ia melakukannya secara jelas, maka ia harus
dikeluarkan untuk menjalani hukuman hudud. (Itulah) yakni hal-hal yang telah
disebutkan itu (hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri).
... “.
Tafsir Ibnu Katsir:
{لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ}
Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) keluar. (Ath-Thalaq: 1)
Artinya,
dalam masa idahnya ia berhak mendapatkan tempat tinggal yang dibebankan kepada
pihak suami selama istrinya masih menjalani iddah darinya, si suami tidak boleh
mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan si istri tidak boleh pula keluar
darinya, karena terikat dengan hak suaminya juga.
{إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ}
kecuali
kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. (Ath-Thalaq:
1)
Yakni
mereka tidak boleh diizinkan keluar dari rumah tempat tinggal mereka terkecuali
jika wanita yang bersangkutan melakukan perbuatan keji yang terang (yakni
terbukti perbuatan kejinya). Maka dia baru boleh diusir dari tempat tinggalnya.
Yang
dimaksud dengan perbuatan fahisyah ialah mencakup perbuatan zina. Ini menurut
pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'idibnul Musayyab,
Asy-Sya'bi, Al-Hasan, ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu
Qilabah, Abu Saleh, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ata Al-Khurrasani, As-Sadi,
Sa'id ibnu Abu Hilal, dan lain-lainnya. Juga mencakup bilamana wanita yang
bersangkutan bersikap membangkang atau bersikap menghina keluarga suami dan
menyakiti mereka dengan lisannya dan juga dengan perbuatannya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ubay ibnu Ka'b, Ibnu Abbas, Ikrimah, dan ulama Salaf lainnya.
{وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ}
Itulah
hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1). Yakni hukum-hukum syariat:Nya
dan batasan-batasan haram-Nya.
{وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ}
dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah. (Ath-Thalaq: 1). Maksudnya,
keluar dan menyimpang darinya ke jalan lain dan tidak mau mengikutinya.
{فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ}
maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (Ath-Thalaq:
1) dengan perbuatannya itu.
_____
Saudaraku,
Wanita
yang ditalak raj'i*) dan sedang menjalani masa iddahnya juga berhak untuk
dirujuk kembali.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq
pada bagian awal ayat 2 berikut ini:
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ... ﴿٢﴾
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik ...”.
(QS. Ath Thalaaq. 2).
Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Al
Baqarah pada bagian awal ayat 228 serta pada bagian awal ayat 229 berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَــٰـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَـــٰــثَةَ قُرُوَءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلَـــٰحًا ... ﴿٢٢٨﴾
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. ...”. (QS. Al Baqarah. 228).
الطَّـــلَـــٰقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـــٰنٍ ... ﴿٢٢٩﴾
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. ...”.
(QS. Al Baqarah. 229).
HAK-HAK WANITA YANG DITALAK RAJ’I YANG TELAH HABIS MASA
IDDAHNYA
Saudaraku,
Apabila Allah berikan rasa
ingin rujuk pada hati sang suami dalam masa iddah,
maka sang istri wajib menerimanya walaupun ia tidak suka.
...
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلَـــٰحًا ... ﴿٢٢٨﴾
“... Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. ...”. (QS. Al
Baqarah. 228).
Namun bila tidak ada rujuk
sampai habis masa iddah-nya,
maka sang istri menjadi wanita bebas dan tidak ada keterikatan lagi dengan
suaminya.
Dan karena sang istri sudah menjadi wanita bebas dan
tidak ada keterikatan lagi dengan suaminya, maka sudah tidak ada lagi haknya (dari
mantan suaminya) untuk mendapatkan nafkah dari berupa
tempat tinggal, pakaian, makan dan kebutuhan
hidupnya yang lain.
PENJELASAN TAMBAHAN TENTANG MASA IDDAH
Saudaraku,
Wanita
yang menjalani masa iddah, bisa dibedakan menjadi 6 macam:
1. Wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil
2. Wanita yang ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil
3. Wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil
4. Wanita yang dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul
suami-istri, dan sudah/masih haid
5. Wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul
suami-istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid (menopouse)
6. Wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri.
Berikut ini bahasan secara lebih terperinci tentang
ke-enam wanita ber-iddah tersebut:
1. Wanita yang ditinggal
wafat suami dan dalam keadaan hamil
Wanita
yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah hingga melahirkan. Misalnya, 10 hari setelah ditinggal wafat suami, sang wanita melahirkan. Maka masa iddah wanita
tersebut telah habis bersamaan dengan lahirnya bayi yang
dikandungnya, meskipun baru 10 hari ditinggal wafat suami.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq
pada bagian tengah ayat 4 berikut ini:
... وَأُوْلَـــٰتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ... ﴿٤﴾
... Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ... (QS. Ath
Thalaaq. 4).
2. Wanita yang ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil
Wanita yang ditinggal wafat
suaminya dan tidak dalam keadaan hamil, maka masa idahnya adalah 4 bulan 10
hari. Tidak ada perbedaan antara wanita yang belum haid,
masih mengalami haid, atau sudah berhenti haid (menapouse). Juga tidak ada bedanya apakah sudah pernah bergaul
suami-istri atau belum.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah pada ayat
234 berikut ini:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al Baqarah.
234).
3. Wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil
Wanita yang
dicerai suami dalam keadaan hamil, maka masa
iddahnya adalah hingga
melahirkan, sebagaimana wanita dalam
keadaan hamil yang ditinggal wafat oleh
suaminya.
... وَأُوْلَـــٰتُ
الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ... ﴿٤﴾
... Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. ... (QS. Ath
Thalaaq. 4).
Dan karena wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil masa iddahnya hingga melahirkan, maka wajib
bagi suami untuk terus memberinya nafkah (biaya kehidupan sehar-hari) hingga
istrinya melahirkan. Bila istrinya telah melahirkan, maka tidak wajib lagi baginya untuk memberinya
nafkah, karena masa ‘iddahnya telah selesai
dan yang bersangkutan sudah bukan
lagi berpredikat sebagai istrinya.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq
pada ayat 6 berikut ini:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُوْلَـــٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ
حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ
أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ
وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ ﴿٦﴾
Tempatkanlah mereka (para isteri)
di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)-mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
(QS. Ath Thalaaq. 6).
4. Wanita yang dicerai suami,
tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih
haid
Wanita yang
dicerai suami, tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan
sudah/masih haid, maka iddahnya adalah tiga kali quru’.
وَالْمُطَلَّقَــٰـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَـــٰــثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
... ﴿٢٢٨﴾
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. ...”. (QS. Al Baqarah. 228).
Para ulama berbeda pendapat
tentang makna quru’. Terkait hal ini, berikut ini aku kutibkan penjelasan dalam
Kitab Ibnu Katsir:
Ulama
Salaf dan Khalaf serta para imam berbeda pendapat tentang makna yang dimaksud
dari istilah quru'. Apakah makna yang sebenarnya? Ada dua pendapat
mengenainya, yaitu:
Pendapat
pertama:
Yang
dimaksud dengan istilah quru' ialah masa suci.
Imam
Malik mengatakan di dalam kitab Muwatta'-nya, dari Ibnu Syihab, dari Urwah, dari
Siti Aisyah, bahwa Hafsah binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pindah ketika
memasuki darah haid-nya yang ketiga kali (yakni pindah ke rumah suaminya).
Ketika hal tersebut diceritakan kepada Umrah binti Abdur Rahman, ia mengatakan
bahwa Urwah benar dalam kisahnya. Akan tetapi, ada sejumlah ulama yang
membantah; mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam
Kitab-Nya: tiga kali quru'. (Al-Baqarah: 228) Maka Aisyah berkata,
"Kalian memang benar, tetapi tahukah kalian apa yang dimaksud dengan
quru" Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah quru' ialah masa
suci."
Imam
Malik meriwayatkan pula dari Ibnu Syihab, bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar
ibnu Abdur Rahman mengatakan, "Aku belum pernah menjumpai seorang pun dari
kalangan ahli fiqih kami melainkan ia mengatakan hal yang sama (yakni quru'
adalah masa suci)." Yang dimaksud ialah sama dengan apa yang dikatakan
oleh Aisyah.
Imam
Malik meriwayatkan pula dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, bahwa ia pernah
mengatakan, "Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya, lalu si istri
memasuki masa haidnya yang ketiga, berarti dia telah terlepas dari suaminya dan
suaminya terlepas darinya." Selanjutnya Imam Malik mengatakan,
"Memang demikianlah yang berlaku di kalangan kami."
Hal
yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Zaid ibnu Sabit, Salim,
Al-Qasim, Urwah, Sulaiman ibnu Yasar, Abu Bakar ibnu Abdur Rahman, Aban ibnu
Usman, Ata ibnu Abu Rabah, Qatadah, dan Az-Zuhri serta tujuh orang ahli fiqih
lainnya. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, mazhab Syafii, dan
lain-lainnya yang bukan hanya seorang, serta Daud dan Abu Saur. Pendapat ini
sama dengan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Mereka
mengatakan demikian berdalilkan firman-Nya:
{فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ}
Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
idahnya (yang wajar). (At-Talaq: 1)
Yakni
di masa sucinya. Juga karena mengingat masa suci waktu si suami menjatuhkan
talak padanya terhitung, maka hal ini menunjukkan bahwa masa suci merupakan
salah satu quru' yang tiga yang d-perintahkan bagi si istri untuk menjalaninya.
Karena itulah mereka mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang ada dalam
idahnya, masa idahnya habis dan terpisah dari suaminya bila ia memasuki masa
haidnya yang ketiga.
Batas
minimal masa yang di jalani oleh seorang istri hingga masa idahnya habis ialah
tiga puluh dua hari dan dua lahzah. Abu Ubaidah dan lain-lainnya mengatakan
demikian dengan berpegang kepada perkataan seorang penyair, yaitu Al-A'sya:
فَفِي كُلِّ عَامٍ أَنْتَ جَاشِمُ
غَزْوَةٍ ... تَشُدُّ لأقصاها عزيم عزائكا
مورثة مالا وفي الذكر
رِفْعَةٌ ... لَمَّا ضَاعَ فِيهَا مِنْ قُرُوءِ نِسَائِكَا
Setiap
tahun kamu selalu menggeluti perang, sekalipun jauh, tekad dan semangatmu tetap
menyala, banyak harta benda (ganimah) yang kamu peroleh, dan kamu dari
keturunan yang terhormat, sekalipun tersia-siakan di dalamnya masa suci
istri-istrimu.
Penyair
memuji seorang Amir Arab yang lebih senang memilih berperang daripada tinggal
di rumah, hingga terlewatkanlah masa-masa suci istri-istrinya; ia tidak
menyetubuhi mereka di masa-masa tersebut.
Pendapat
kedua:
Yang
dimaksud dengan quru' ialah masa haid.
Karena
itu, menurut pendapat ini seorang istri masih belum habis masa idahnya sebelum
bersuci dari haid yang ketiga kalinya. Ulama lainnya menambahkan harus mandi
terlebih dahulu dari haidnya.
Batas
minimal waktu yang di jalani oleh seorang wanita hingga sampai habis masa
idahnya adalah tiga puluh tiga hari dan satu lahzah.
As-Sauri
meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, dari Alqamah yang menceritakan,
"Kami pernah berada di hadapan Khalifah Umar ibnu Khattabr.a. Lalu datang
kepadanya seorang wanita dan berkata kepadanya, 'Sesungguhnya suamiku telah
menceraikan aku selama sekali atau dua kali haid. Lalu ia datang kepadaku,
sedangkan aku telah melepaskan bajuku dan pintuku telah kututup.' Maka Umar
berkata kepada Abdullah ibnu Mas'ud, 'Menurut pendapatku, dia telah menjadi
istrinya, hanya salat masih belum dihalalkan baginya.' Ibnu Mas'ud berkata,
'Aku pun berpendapat demikian'."
Demikian
pula hal yang diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Umar, Usman, Ali, Abu
Darda, UbadahibnusSamit, Anas ibnu Malik, Ibnu Mas'ud, Mu'az, Ubay ibnu Ka'b,
Abu Musa Al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Sa'idibnul Musayyab, Alqamah, Al-Aswad, Ibrahim,
Mujahid, Ata, Tawus, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, Al-Hasan,
Qatadah, Asy-Sya'bi, Ar-Rabi', Muqatil ibnu Hayyan, As-Saddi, Makhul,
Ad-Dahhak, dan Ata Al-Khurrasani. Mereka semua mengatakan bahwa quru' artinya
haid.
Pendapat
ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, dan sebuah riwayat
dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang paling sahih di antara kedua riwayatnya.
Al-Asram meriwayatkan darinya, bahwa ia (Imam Ahmad) pernah mengatakan,
"Para pembesar sahabat Rasulullah Saw. mengatakan bahwa quru' artinya
haid."
Pendapat
inilah yang dipegang oleh mazhab As-Sauri, Al-Auza'i, ibnu Abu Laila, Ibnu
Syabramah, Al-Hasan ibnu Saleh ibnu Hay, Abu Ubaid, dan Ishaq Ibnu Rahawaih.
Pendapat
ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam
Nasai melalui jalur Al-Munzir ibnulMugirah, dari Urwahibnuz Zubair, dari
Fatimah binti Abu Hubaisy, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda kepadanya:
«دَعِي الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ»
Tinggalkanlah
salat dalam hari-hari quru'-mu (haidmu).
Seandainya
disebutkan dengan jelas bahwa quru' artinya haid, maka hal ini lebih sahih,
tetapi Al-Munzir (salah seorang perawinya) disebutkan oleh Ibnu Abu Hatim
sebagai perawi yang majhul (tak dikenal) lagi tidak masyhur. Ibnu Hibban
menyebutkannya di dalam kitab As-Siqat.
Ibnu
Jarir mengatakan bahwa asal quru' di dalam percakapan orang-orang Arab
menunjukkan pengertian waktu bagi kedatangan suatu hal yang telah menjadi
kebiasaan kedatangannya, lagi dalam waktu yang telah dimaklumi, juga kepada
kepergian sesuatu hal yang biasa kepergiannya dalam waktu yang telah dimaklumi.
Ungkapan ini menunjukkan pengertian yang bersekutu antara haid dan suci.
Pendapat inilah yang dipegang oleh sebagian ulama Usul.
Menurut
Al-Asmu'i, quru' artinya waktu. Abu Amr ibnul Ala mengatakan bahwa orang-orang
Arab menamakan haid dengan sebutan quru', begitu pula masa suci. Dengan kata
lain, haid dan suci dinamakan quru'.
Syekh
Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan, tidak ada perselisihan pendapat di
kalangan ulama bahasa dan ahli fiqih, bahwa yang dimaksud dengan quru' ialah
haid dan suci; dan sesungguhnya mereka hanya berselisih pendapat tentang makna
yang dimaksud dari ayat ini, yaitu terdiri atas dua pendapat.
5. Wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul
suami-istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid (menopouse)
Wanita yang
dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan belum
haid atau sudah menopouse, maka iddahnya adalah selama tiga bulan. Sebagai catatan, bulan yang menjadi patokan penghitungan adalah bulan
Hijriah.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq
pada bagian awal ayat 4 berikut ini:
وَالَّــٰـئِي
يَــئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَــٰــثَةُ
أَشْهُرٍ وَالَّــٰـئِي لَـمْ يَحِضْنَ ... ﴿٤﴾
Dan perempuan-perempuan yang
tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. ... (QS. Ath Thalaaq. 4).
6. Wanita yang dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri.
Wanita yang
dicerai namun belum pernah bergaul dengan suaminya, maka tidak ada masa iddah
baginya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Ahzaab ayat 49 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَـــٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا ﴿٤٩﴾
Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka
`iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka mut`ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya. (QS. Al Ahzaab. 49).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Hai orang-orang yang beriman!
Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian
ceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya) menurut suatu qiraat lafal
Tamassuuhunna dibaca Tumaassuuhunna, artinya sebelum kalian menyetubuhi mereka
(maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagi kalian yang kalian
minta menyempurnakannya) yaitu yang kalian hitung dengan quru' atau bilangan
yang lainnya. (Maka berilah mereka mutah) artinya berilah mereka uang mutah
sebagai pesangon dengan jumlah yang secukupnya. Demikian itu apabila pihak
lelaki belum mengucapkan jumlah maharnya kepada mereka, apabila ternyata ia
telah mengucapkan jumlahnya, maka uang mutah itu adalah separuh dari mahar yang
telah diucapkannya. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas kemudian
pendapatnya itu dijadikan pegangan oleh Imam Syafii (dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya) yaitu dengan tanpa menimbulkan kemudaratan
pada dirinya.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan. Hal
ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Talak
raj'i (yaitu talak 1 dan talak 2) adalah talak
yang suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja selama masa
iddah istri belum habis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar