بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Senin, 01 November 2021

MENYIKAPI SUAMI YANG MENTALAK SATU KARENA TELAH MENUDUH ISTERI SELINGKUH


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (teman alumni SMAN 1 Blitar/staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Surabaya) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:

Bung Imron, ada pertanyaan penting tentang kasus yang dialami temanku. Singkatnya suaminya mentalak 1 istrinya karena menyangka istrinya berselingkuh dengan teman semasa SMP. Buktinya pas foto reuni ada pose greeting sambil memeluk. Padahal kata istrinya ya karena temannya hobinya meluk-meluk dan bersumpah tidak melakukan apa-apa. Pertanyaannya: “Apakah ini bisa masuk kategori zina karena sudah didaftarkan oleh suami di PA? Terimakasih ya Bung Imron. Aku sih berharap semoga mereka nggak berpisah karena anaknya sudah lulus kuliah semua”.

Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.

Saudaraku mengatakan bahwa suaminya mentalak 1 istrinya karena menyangka istrinya berselingkuh dengan teman semasa SMP. Buktinya pas foto reuni ada pose greeting sambil memeluk. Padahal kata istrinya ya karena temannya hobinya meluk-meluk dan bersumpah tidak melakukan apa-apa.

Saudaraku,
Jika memang demikian keadaannya, maka jelas sekali bahwa sang suami benar-benar termasuk golongan orang-orang yang fasik. Dalam Islam, ini adalah tuduhan yang sangat berat konsekuensinya, saudaraku.

Saudaraku,
Dalam Islam, tuduhan seperti ini harus disertai minimal empat orang saksi. Yang artinya adalah bahwa dalam hal ini suami harus bisa mendatangkan minimal 4 orang saksi yang benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang isteri memang benar-benar telah berselingkuh.

Selain dihukumi oleh Allah sebagai orang fasiq, sang suami (jika tidak bisa mendatangkan minimal 4 orang saksi yang benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang isteri memang benar-benar telah berselingkuh), juga tidak akan diterima kesaksiannya dalam perkara apapun buat selama-lamanya. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 4 berikut ini:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَـــٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَـمَـــٰــنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَـــٰـدَةً أَبَدًا وَأُوْلَـــٰــئِكَ هُمُ الْفَــٰسِقُونَ ﴿٤﴾
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik*.” (QS. An Nuur. 4).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

“(Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik) menuduh berzina wanita-wanita yang memelihara dirinya dari perbuatan zina (dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi) yang menyaksikan perbuatan zina mereka dengan mata kepala sendiri (maka deralah mereka) bagi masing-masing dari mereka (delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka) dalam suatu perkara pun (buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik) karena mereka telah melakukan dosa besar”.

Tafsir Ibnu Katsir:

Di dalam ayat ini diterangkan hukum dera bagi orang yang menuduh wanita yang baik-baik berbuat zina. Yang dimaksud dengan istilah muhsanah dalam ayat ini ialah wanita merdeka yang sudah balig lagi memelihara kehormatan dirinya. Jika yang dituduh melakukan zina itu adalah seorang lelaki yang terpelihara kehormatan dirinya, maka begitu pula ketentuan hukumnya, yakni si penuduh dikenai hukuman dera.

Tiada seorang pun dari kalangan ulama yang memperselisihkan masalah hukum ini. Jika si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah dirinya dari hukuman had (dan yang dikenai hukuman had adalah si tertuduhnya). Karena itulah Allah SWT. menyebutkan dalam firman-Nya:

... ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَـمَـــٰــنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَـــٰـدَةً أَبَدًا وَأُوْلَـــٰــئِكَ هُمُ الْفَــٰسِقُونَ ﴿٤﴾
“... dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur. 4).

Ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya, yaitu:
1.  dikenai hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.
2.  kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.
3.  dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun menurut manusia.

_____

Kecuali jika sang suami bertaubat sesudah itu dan memperbaiki amal perbuatannya. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 5 berikut berikut ini:

إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٥﴾
kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An Nuur. 5).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

(Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki) amal perbuatan mereka (maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun) terhadap dosa tuduhan mereka itu (lagi Maha Penyayang) kepada mereka, yaitu dengan memberikan inspirasi untuk bertobat kepada mereka, yang dengan taubat itu terhapuslah julukan fasik dari diri mereka, kemudian kesaksian mereka dapat diterima kembali. Akan tetapi menurut suatu pendapat bahwa kesaksian mereka tetap tidak dapat diterima. Pendapat ini beranggapan bahwa pengertian istitsna atau pengecualian di sini hanya kembali kepada kalimat terakhir dari ayat sebelumnya tadi, yaitu, "Dan mereka itulah orang-orang yang fasik". Maksudnya hanya status fasik saja yang dihapus dari mereka, sedangkan ketiadagunaan kesaksiannya masih tetap.

Sebagai informasi tambahan terkait tuduhan suami tersebut, bahwa menurut para ‘ulama’, ada tiga cara yang bisa dilakukan dalam qadzaf** ( قذف ).

1. Tuduhan secara jelas (sharih)
Yakni menyebutkan tuduhan dengan perkataan yang jelas jika ia menuding seseorang melakukan zina. Ia paham konsekuensi dari tuduhannya tersebut.

2. Tuduhan secara kinayah atau kiasan.
Tuduhannya dengan menggunakan perkataan yang tidak langsung bermakna menuding zina. Namun, bisa diartikan jika ucapannya tersebut adalah tudingan seseorang melakukan perbuatan zina. 

3. Tuduhan dengan sindiran (ta'ridh).
Dengan ucapan yang amat bias yang belum tentu menuding seseorang melakukan zina. Jika niatnya adalah menuding zina, hukum qazaf bisa diberlakukan. Namun, jika niatnya tidak menuding zina, hukumannya cukup ta’zir.

Secara bahasa, kata ta’zir ( تعزير ) berasal dari kata az-zara (عزَّر) yang bermakna ar-raddu ( الرَّد ) yang bermakna menolak, dan juga al-man’u ( المنع ) yang bermakna mencegah.

Dan disebut hukuman ta’zir, karena intinya adalah menolak pelaku dan mencegahnya dari mengerjakan jarimah.

Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, kata ta’zir itu bermakna:

عُقُوبَةٌ غَيْرُ مُقَدَّرَةٍ شَرْعًا تَجِبُ حَقًّا لِلّٰهِ أَوْ لِآدَمِيٍّ فِي كُل مَعْصِيَةٍ لَيْسَ فِيهَا حَدٌّ وَلاَ كَفَّارَةَ غَالِبًا
Hukuman yang tidak ditetapkan ketentuannya secara syar’i, baik terkait hak Allah atau hak adami, umumnya berlaku pada setiap maksiat yang tidak ada hukum hudud atau kaffarah. Dalam hal ini, hakim diberi wewenang khusus untuk menentukan jenis hukuman dan kadarnya, bahkan termasuk untuk membatalkan hukuman itu.

Saudaraku,
Terkait empat orang saksi dalam tudingan zina, juga memiliki syarat yang cukup detail. Saksi tersebut harus memenuhi kriteria, laki-laki, baligh, berakal, adil, beragama Islam. Kemudian keempatnya haruslah melihat perbuatan zina dengan mata kepala sendiri dan dalam waktu dan tempat yang sama. Keterangan saksi haruslah jelas.

Salah satu hikmah di balik keharusan ada empat orang saksi dalam kasus tuduhan zina adalah beratnya dosa menuduh zina. Serta, kewajiban untuk berhusnuzan dan menutupi aib orang lain dalam sistem masyarakat Islam.

Sebab, bila tuduhan itu benar benar-benar bisa dibuktikan, ancaman hukumannya juga tidak main-main, yaitu penghilangan nyawa kedua pelakunya. Hukuman cambuk 100 kali di depan umum dan diasingkan selama setahun bila pelaku zina itu belum pernah menikah sebelumnya.

Gugurnya Had Qadzaf.

Saudaraku,
Penuduh zina bisa terbebas dari ad*** (hukuman) qadzaf apabila terjadi salah satu dari keadaan di bawah ini:
1)  Penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, bahwa tertuduh benar-benar berbuat zina.
2)  Dengan li’an.
3)  Tertuduh membenarkan tuduhan.
4)  Penuduh dimaafkan oleh tertuduh.

Berikut ini bahasan secara lebih terperinci dari ke-empat keadaan di atas:

1)  Penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, bahwa tertuduh benar-benar berbuat zina.

Empat orang saksi tersebut harus semuanya laki-laki, adil, memberikan kesaksian yang sama tentang tempat berzina, waktu dan cara melakukannya (sebagaimana yang terdapat dalam kesaksian zina). Selengkapnya, lihat kembali penjelasan Al Qur’an surat An Nuur ayat 4 di atas.

2)  Dengan li’an.

Terkait hal ini (terkait tuduhan dari suami bahwa istrinya telah berselingkuh dengan teman semasa SMP padahal isterinya bersumpah tidak melakukan apa-apa, sedangkan sang suami tidak bisa mendatangkan minimal 4 orang saksi yang benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang isteri memang benar-benar telah berselingkuh), maka Al Qur’an telah memberikan solusinya. Perhatikan penjelasan surat An Nuur dalam ayat 6 – 10 berikut ini:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٦﴾ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٧﴾ وَيَدْرَؤُاْ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٨﴾ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٩﴾ وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللهَ تَوَّابٌ حَكِيمٌ ﴿١٠﴾
(06) Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

(07) Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.

(08) Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta,

(09) dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

(10) Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan). (QS. An Nuur. 6 – 10).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

(06) (Dan orang-orang yang menuduh istrinya) berbuat zina (padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi) atas perbuatan itu (selain diri mereka sendiri) kasus ini telah terjadi pada segolongan para Sahabat (maka persaksian orang itu) lafal ayat ini menjadi Mubtada (ialah empat kali bersumpah) lafal ayat ini dapat dinashabkan karena dianggap sebagai Mashdar (dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar) dalam tuduhan yang ia lancarkan kepada istrinya itu, yakni tuduhan berbuat zina.

(07) (Dan sumpah yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta) dalam hal ini yang menjadi Khabar dari Mubtada pada ayat yang sebelumnya tadi ialah, Untuk menolak hukuman hudud menuduh berzina yang akan ditimpakan atas dirinya.
(08) (Istrinya itu dapat dihindarkan) dapat mempertahankan dirinya (dari hukuman) hudud berzina yang telah dikuatkan dengan kesaksian sumpah suaminya yaitu (oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta) dalam tuduhan yang ia lancarkan terhadap dirinya, yaitu tuduhan melakukan zina.
(09) (Dan yang kelima, bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar) dalam tuduhannya itu.
(10) (Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian) dengan menutupi hal tersebut (dan andaikata Allah bukan Penerima tobat) maksudnya, Allah menerima tobatnya yang disebabkan tuduhannya itu dan dosa-dosa yang lainnya (lagi Maha Bijaksana) dalam keputusan-Nya mengenai masalah ini dan hal-hal yang lain, niscaya Dia akan menjelaskan mana yang benar dalam masalah ini, dan niscaya pula Dia akan menyegerakan hukuman-Nya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Tafsir Ibnu Katsir:

Di dalam ayat-ayat ini terkandung jalan keluar bagi para suami dan hukum yang mempermudah pemecahan masalah bila seseorang dari mereka menuduh istrinya berbuat zina, sedangkan ia sulit menegakkan pem­buktiannya, yaitu hendaknya dia melakukan li’an terhadap istrinya, seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT. Yaitu dengan menghadapkan istrinya kepada hakim, lalu ia melancarkan tuduhannya terhadap istrinya di hadapan hakim. Maka imam akan menyumpahnya sebanyak empat kali dengan nama Allah, sebagai ganti dari empat orang saksi yang diperlukannya, bahwa sesungguhnya dia benar dalam tuduhan yang dilancarkannya terhadap istrinya.

وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٧﴾
Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. (An-Nur: 7)

Jika si suami telah menyatakan sumpah li'an-nya itu, maka istri yang dituduhnya berbuat zina itu secara otomatis terceraikan darinya secara ba'in, menurut pendapat Imam Syafii dan sejumlah banyak orang dari kalangan ulama. Kemudian bekas istrinya itu haram baginya untuk selama-lamanya, dan si suami melunasi mahar istrinya, sedangkan bekas istrinya itu dikenai hukuman zina.

Tiada jalan bagi si istri untuk menghindarkan hukuman yang akan menimpa dirinya kecuali bila ia mau mengucapkan sumpah Li’an lagi. Maka ia harus mengucapkan sumpah sebanyak empat kali dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya suaminya itu termasuk orang-orang yang dusta dalam tuduhan yang dia lancarkan terhadap dirinya.

وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٩﴾
dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar. (An-Nur: 9)

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

وَيَدْرَؤُاْ عَنْهَا الْعَذَابَ ... ﴿٨﴾
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman ... (An-Nur: 8).

Yakni hukuman had.

... أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ ﴿٨﴾ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِن كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴿٩﴾
... oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS. An-Nuur. 8 – 9)

Dalam teks sumpah disebutkan secara khusus dengan istilah gadab yang artinya murka, mengingat kebanyakan seorang suami itu tidak akan mau membuka aib keluarganya dan menuduh istrinya berbuat zina kecuali bila dia benar dalam tuduhannya dan menyaksikan apa adanya. Sebalik­nya pihak si istri pun mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkan oleh dia (suaminya) terhadap dirinya.

Karena itulah dalam sumpah yang kelima harus disebutkan sehubungan dengan hak dirinya, bahwa murka Allah akan menimpa dirinya (jika suaminya benar). Orang yang dimurkai oleh Allah ialah seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian berpaling darinya.

Lalu Allah menyebutkan belas kasihan-Nya terhadap makhluk-Nya dalam menetapkan hukum syariat bagi mereka, yaitu memberikan jalan keluar dan pemecahan dari kesempitan yang mengimpit diri mereka. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ ... ﴿١٠﴾
Dan andaikata tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atas diri kalian ... (QS. An-Nuur. 10) tentulah kalian berdosa dan tentulah kalian akan mengalami banyak kesulitan dalam urusan-urusan kalian.

... وَأَنَّ اللهَ تَوَّابٌ ... ﴿١٠﴾
... dan (andaikata) Allah tidak Penerima Tobat ... (An-Nur: 10) kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun hal itu sesudah sumpah yang berat.

... حَكِيمٌ ﴿١٠﴾
lagi Maha Bijaksana. (An-Nur: 10) dalam menetapkan syariat-Nya dan dalam menetapkan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya.

. . . . .

3)  Tertuduh membenarkan tuduhan.

Saudaraku,
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (hadits no. 2024) berikut ini, in sya Allah sudah cukup untuk menjelaskan penggugur had qadzaf no. 3 (tertuduh membenarkan tuduhan):

حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا عَبَّادُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا} قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْأَنْصَارِ أَهَكَذَا نَزَلَتْ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ أَلَا تَسْمَعُونَ إِلَى مَا يَقُولُ سَيِّدُكُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ لَا تَلُمْهُ فَإِنَّهُ رَجُلٌ غَيُورٌ وَاللهِ مَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً قَطُّ إِلَّا بِكْرًا وَمَا طَلَّقَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ فَاجْتَرَأَ رَجُلٌ مِنَّا عَلَى أَنْ يَتَزَوَّجَهَا مِنْ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ فَقَالَ سَعْدٌ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا حَقٌّ وَأَنَّهَا مِنْ اللهِ تَعَالَى وَلَكِنِّي قَدْ تَعَجَّبْتُ أَنِّي لَوْ وَجَدْتُ لَكَاعًا تَفَخَّذَهَا رَجُلٌ لَمْ يَكُنْ لِي أَنْ أَهِيجَهُ وَلَا أُحَرِّكَهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَوَاللهِ لَا آتِي بِهِمْ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ قَالَ فَمَا لَبِثُوا إِلَّا يَسِيرًا حَتَّى جَاءَ هِلَالُ بْنُ أُمَيَّةَ وَهُوَ أَحَدُ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عَلَيْهِمْ فَجَاءَ مِنْ أَرْضِهِ عِشَاءً فَوَجَدَ عِنْدَ أَهْلِهِ رَجُلًا فَرَأَى بِعَيْنَيْهِ وَسَمِعَ بِأُذُنَيْهِ فَلَمْ يَهِجْهُ حَتَّى أَصْبَحَ فَغَدَا عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي جِئْتُ أَهْلِي عِشَاءً فَوَجَدْتُ عِنْدَهَا رَجُلًا فَرَأَيْتُ بِعَيْنَيَّ وَسَمِعْتُ بِأُذُنَيَّ فَكَرِهَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جَاءَ بِهِ وَاشْتَدَّ عَلَيْهِ وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ فَقَالُوا قَدْ ابْتُلِينَا بِمَا قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ الْآنَ يَضْرِبُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هِلَالَ بْنَ أُمَيَّةَ وَيُبْطِلُ شَهَادَتَهُ فِي الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ هِلَالٌ وَاللهِ إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِي مِنْهَا مَخْرَجًا فَقَالَ هِلَالٌ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي قَدْ أَرَى مَا اشْتَدَّ عَلَيْكَ مِمَّا جِئْتُ بِهِ وَاللهُ يَعْلَمُ إِنِّي لَصَادِقٌ وَ وَاللهِ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ أَنْ يَأْمُرَ بِضَرْبِهِ إِذْ أَنْزَلَ اللهُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَحْيَ وَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الْوَحْيُ عَرَفُوا ذَلِكَ فِي تَرَبُّدِ جِلْدِهِ يَعْنِي فَأَمْسَكُوا عَنْهُ حَتَّى فَرَغَ مِنْ الْوَحْيِ فَنَزَلَتْ {وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ} الْآيَةَ فَسُرِّيَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبْشِرْ يَا هِلَالُ فَقَدْ جَعَلَ اللهُ لَكَ فَرَجًا وَمَخْرَجًا فَقَالَ هِلَالٌ قَدْ كُنْتُ أَرْجُو ذَاكَ مِنْ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلُوا إِلَيْهَا فَأَرْسَلُوا إِلَيْهَا فَجَاءَتْ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمَا وَذَكَّرَهُمَا وَأَخْبَرَهُمَا أَنَّ عَذَابَ الْآخِرَةِ أَشَدُّ مِنْ عَذَابِ الدُّنْيَا فَقَالَ هِلَالٌ وَاللهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ صَدَقْتُ عَلَيْهَا فَقَالَتْ كَذَبَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَاعِنُوا بَيْنَهُمَا فَقِيلَ لِهِلَالٍ اشْهَدْ فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنْ الصَّادِقِينَ فَلَمَّا كَانَ فِي الْخَامِسَةِ قِيلَ يَا هِلَالُ اتَّقِ اللهَ فَإِنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ وَإِنَّ هَذِهِ الْمُوجِبَةُ الَّتِي تُوجِبُ عَلَيْكَ الْعَذَابَ فَقَالَ وَاللهِ لَا يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَيْهَا كَمَا لَمْ يَجْلِدْنِي عَلَيْهَا فَشَهِدَ فِي الْخَامِسَةِ أَنَّ لَعْنَةَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنْ الْكَاذِبِينَ ثُمَّ قِيلَ لَهَا اشْهَدِي أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنْ الْكَاذِبِينَ فَلَمَّا كَانَتْ الْخَامِسَةُ قِيلَ لَهَا اتَّقِ اللهَ فَإِنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ وَإِنَّ هَذِهِ الْمُوجِبَةُ الَّتِي تُوجِبُ عَلَيْكِ الْعَذَابَ فَتَلَكَّأَتْ سَاعَةً ثُمَّ قَالَتْ وَاللهِ لَا أَفْضَحُ قَوْمِي فَشَهِدَتْ فِي الْخَامِسَةِ أَنَّ غَضَبَ اللهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنْ الصَّادِقِينَ فَفَرَّقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَهُمَا وَقَضَى أَنَّهُ لَا يُدْعَى وَلَدُهَا لِأَبٍ وَلَا تُرْمَى هِيَ بِهِ وَلَا يُرْمَى وَلَدُهَا وَمَنْ رَمَاهَا أَوْ رَمَى وَلَدَهَا فَعَلَيْهِ الْحَدُّ وَقَضَى أَنْ لَا بَيْتَ لَهَا عَلَيْهِ وَلَا قُوتَ مِنْ أَجْلِ أَنَّهُمَا يَتَفَرَّقَانِ مِنْ غَيْرِ طَلَاقٍ وَلَا مُتَوَفًّى عَنْهَا وَقَالَ إِنْ جَاءَتْ بِهِ أُصَيْهِبَ أُرَيْسِحَ حَمْشَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِهِلَالٍ وَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعْدًا جُمَالِيًّا خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ فَهُوَ لِلَّذِي رُمِيَتْ بِهِ فَجَاءَتْ بِهِ أَوْرَقَ جَعْدًا جُمَالِيًّا خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ سَابِغَ الْأَلْيَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا الْأَيْمَانُ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَانٌ قَالَ عِكْرِمَةُ فَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرٍ وَكَانَ يُدْعَى لِأُمِّهِ وَمَا يُدْعَى لِأَبِيهِ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Yazid] telah mengabarkan kepada kami ['Abbad bin Manshur] dari [Ikrimah] dari [Ibnu 'Abbas], ia berkata; Ketika turun ayat: (Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya) " Sa'd bin Ubadah, -dia adalah pemimpin orang-orang Anshar berkata; "Apakah demikian ayat itu diturunkan ya Rasulullah?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Wahai sekalian kaum Anshar, apakah kalian tidak mendengar apa yang pemimpin kalian katakan?" Mereka menjawab; "Ya Rasulullah, janganlah engkau mencela dia, (karena) sesungguhnya dia itu adalah lelaki pencemburu. Demi Allah, dia tidak pernah menikah kecuali dengan seorang gadis, dan dia pun tidak pernah menceraikan isterinya, karena dia itu sangat pencemburu." Sa'd berkata; "Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tahu bahwa ayat itu benar, dan bahwa ia bersumber dari Allah. Namun aku benar benar merasa heran jika aku (sampai) menemukan wanita yang terkutuk itu digauli seorang lelaki, (tapi) aku tidak berhak marah dan mengusir lelaki itu, hingga aku bisa menghadirkan empat orang saksi. Demi Allah, aku tidak akan bisa menghadirkan mereka hingga lelaki itu telah menyelesaikan hajatnya." Ia (Ibnu 'Abbas) berkata; Tidak lama kemudian Hilal bin Umayyah datang. Dia adalah salah satu dari tiga orang yang diperintahkan untuk bertaubat. Dia datang (ke keluarganya) dari kampung halamannya pada sore hari, lalu dia menemukan seorang lelaki sedang berada di dekat keluarganya. Dia melihat dengan kedua matanya dan mendengar dengan kedua telinganya. Namun dia tidak berhak marah kepada lelaki itu sampai keesokan harinya. Maka dia berangkat pagi-pagi menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu dia berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin sore aku mendatangi keluargaku, lalu aku menemukan seorang lelaki sedang berada di dekat isteriku. Aku melihat dengan mataku dan aku (juga) mendengar dengan telingaku." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak senang dengan berita yang dibawa oleh Hilal dan berita itu pun terasa berat bagi beliau. Sementara itu, orang-orang Anshar telah berkumpul, lalu mereka berkata; "Sesungguhnya kita telah mendapat cobaan dengan sesuatu yang telah dikatakan oleh Sa'd bin Ubadah. Sekarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memukul Hilal bin Umayyah dan membatalkan kesaksiannya di hadapan kaum Muslimin." Hilal berkata; "Demi Allah, aku berharap Allah akan memberikan jalan keluar bagiku dari istriku." Hilal berkata lagi; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar benar melihat Sesutu yang terasa berat bagimu (itu), (yaitu) berupa berita yang aku bawa. Allah Maha Mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah orang yang jujur." Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ingin memerintahkan untuk memukul Hilal, sebab Allah pasti akan menurunkan wahyu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Padahal jika wahyu sedang turun kepada beliau, mereka mengetahui hal itu melalui perubahan kulit beliau yang menjadi abu-abu/gelap. Maksudnya mereka tidak mengganggu beliau hingga selesai dari (menerima) wahyu. Maka turunlah ayat: " (Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah) " sampai akhir ayat. Maka terbukalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau bersabda: "Berbahagialah wahai Hilal, (karena) sesungguhnya Allah telah menjadikan kelapangan dan jalan keluar bagimu." Hilal menjawab; "Sesungguhnya aku memang mengharapkan itu dari Tuhanku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kirimlah surat (oleh kalian) kepada wanita itu (istri Hilal)." Para sahabat kemudian mengirimkan surat kepada wanita itu dan wanita itu pun datang. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian membacakan ayat di atas kepada Hilal bin Umayyah dan istrinya. Beliau juga mengingatkan dan mengabarkan kepada keduanya, bahwa siksa akhirat itu lebih keras daripada siksa dunia. Hilal berkata; "Demi Allah, ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah jujur atas hal itu." Istri Hilal menjawab; "Dia berdusta." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " (Bacakanlah kalimat) li'an oleh kalian kepada keduanya." Dikatakan kepada Hilal, "Bersaksilah." Lalu Hilal bersaksi dengan empat kesaksian dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar. Ketika sampai yang kelima dikatakan (kepada Hilal); "Wahai Hilal, takutlah engkau kepada Allah, karena sesungguhnya siksa dunia itu lebih ringan daripada siksa akhirat. Dan sesungguhnya ini adalah (salah satu) faktor yang mewajibkan (adanya) siksaan bagimu." Hilal menjawab; "Demi Allah, Allah tidak akan menyiksaku karena dia (istrinya), sebagaimana Dia pun tidak akan menderaku (karena) wanita ini." Hilal kemudian bersaksi untuk yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpa dirinya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Setelah itu dikatakan kepada istri Hilal; "Bersaksilah empat kali dengan menyebut nama Allah, bahwa sesungguhnya dia (Hilal) termasuk orang-orang yang berdusta. Dan bahwa ini merupakan faktor yang mewajibkan adanya siksaan bagimu." Istri Hilal terdiam sejenak kemudian dia berkata; "Demi Allah, aku tidak akan menghancurkan kaumku." Istri Hilal kemudian bersaksi yang kelima bahwa siksa Allah akan menimpa dirinya jika Hilal termasuk orang-orang yang benar. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memisahkan mereka berdua dan memutuskan bahwa anaknya tidak boleh dipanggil dengan menyertakan nama bapaknya, istrinya tidak lagi dituduh dan tidak menuduh anaknya. Siapa yang menuduh wanita itu atau anaknya dengan zina, maka ia akan mendapatkan hukuman. Beliau juga memutuskan bahwa Hilal tidak wajib memberikan tempat tinggal dan makanan kepada istrinya karena mereka berpisah bukan atas jalan cerai atau ditinggal mati. Rasulullah bersabda: "Jika wanita itu melahirkan anak yang (berkulit) merah kekuning-kuningan, pantatnya kecil dan kedua betisnya kecil, maka dia adalah anak dari Hilal. Namun jika ia melahirkan anak yang (berkulit) coklat, keriting, anggota tubuhnya besar dan kedua betisnya besar, maka dia adalah anak orang yang tertuduh itu." Lalu istri Hilal melahirkan (anak) yang (berkulit) coklat, keriting, anggota tubuhnya besar, kedua betisnya besar dan kedua pantatnya besar. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seandainya tidak karena sumpah, niscaya antara aku dan wanita itu akan ada sesuatu." Ikrimah berkata; "Maka setelah itu anak tersebut menjadi pemimpin di daerah Mesir, dia dipanggil dengan menyertakan nama ibunya bukan nama bapaknya." (HR. Ahmad, no. 2024).

4)  Penuduh dimaafkan oleh tertuduh.

Had qadzaf tidak ditegakkan bila penuduh dimaafkan oleh tertuduh, yaitu apabila korban memaafkan atau tidak menuntut.

Saudaraku,
Qadzaf merupakan perbuatan yang di dalamnya bergabung hak Allah dan hak hamba. Sebagian ‘ulama’ berpendapat bahwa dalam hal qadzaf, hak hamba lebih dominan sehingga hukumannya dapat dimaafkan atau digugurkan oleh hamba yang menjadi korban. Sebagaimana halnya dengan pelaksanaan qishash atas suatu pembunuhan.

Saudaraku,
Adanya hak Allah pada perbuatan itu (yaitu pembunuhan) karena menyangkut pelanggaran atas ketenteraman umat yang patut dilindungi. Sedangkan hak hamba terlihat dari segi pelaksanaan qishash itu yang dapat dihapuskan oleh pihak keluarga yang terbunuh. Dalam hal adanya hak hamba yang lebih dominan, pelaksanaan hukuman qishash hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berhak dan dapat dibebaskan melalui pihak yang berhak pula. (Wallahu a’lam).

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Israa’ ayat 33 serta dalam surat Al Baqarah ayat 178 berikut ini:

وَلَا تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا ﴿٣٣﴾
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. (QS. Al Israa’. 33).

... فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ... ﴿١٧٨﴾
“... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya [tuntutan qishash], hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). ...”. (QS. Al Baqarah. 178).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

“.... (Barang siapa yang mendapat kemaafan) maksudnya di antara pembunuh-pembunuh itu (berkenaan dengan) darah (saudaranya) yang dibunuh (berupa sesuatu) misalnya dengan ditiadakannya qishash yang menyebabkan gugurnya sebagian hukuman oleh sebagian ahli waris. Dengan disebutkannya 'saudaranya', membangkitkan rasa santun yang mendorong seseorang untuk memaafkan dan menjadi pernyataan bahwa pembunuhan itu tidaklah mengakibatkan putusnya persaudaraan dalam agama dan keimanan. 'Man' yang merupakan syarthiyah atau isim maushul menjadi mubtada, sedangkan khabarnya ialah, (maka hendaklah mengikuti) artinya orang yang memaafkan itu terhadap pembunuh hendaklah mengikuti (dengan cara yang baik) misalnya memintanya supaya membayar diat atau denda dengan baik-baik dan tidak kasar. Pengaturan 'mengikuti' terhadap 'memaafkan' menunjukkan bahwa yang wajib ialah salah satu di antara keduanya dan ini merupakan salah satu di antara kedua pendapat Syafi’i, sedangkan menurut pendapatnya yang kedua yang wajib itu ialah qishash, sedangkan diat menjadi penggantinya. Sekiranya seseorang memaafkan dan tidak menyebutkan diat, maka bebaslah dari segala kewajiban (dan) hendaklah si pembunuh (membayar) diat (kepadanya) yaitu kepada yang memaafkan tadi, yakni ahli waris (dengan cara yang baik pula) artinya tanpa melalaikan dan mengurangi pembayarannya. ...”.

_____

Saudaraku menanyakan: “Apakah ini bisa masuk kategori zina karena sudah didaftarkan oleh suami di PA?”.

Sebelum membahas pertanyaan tersebut, terlebih dahulu akan aku bahas apakah talak yang telah dilakukan oleh suami terhadap isterinya tersebut telah jatuh (sudah terjadi talak) sebelum adanya keputusan dari Pengadilan Agama atau baru jatuh (baru terjadi talak) setelah adanya keputusan dari Pengadilan Agama.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada perceraian yang dilakukan oleh suami kepada istri (ini adalah perceraian/talak yang paling umum), status perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Sedangkan keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas belaka.

Hal ini menunjukkan bahwa ketika suami mengatakan: “Cerai, kita cerai” atau “Kamu aku cerai” atau “Aku menceraikanmu” atau mengatakan perkataan lain yang semacam itu, maka pada saat itu juga sudah jatuh talak (sudah terjadi talak) tanpa harus menunggu keputusan Pengadilan Agama.

Mengapa demikian?

Karena bagi siapa saja yang mengucapkan kata “talak” (cerai) walau dalam keadaan bercanda atau main-main asalkan lafadz talak tersebut keluar shorih (tegas), maka talak tersebut jatuh jika orang yang mengucapkan talak tersebut adalah suami yang sah, baligh (dewasa), berakal dan dengan kemauan sendiri (tidak terpaksa).

Dengan demikian tidak ada alasan jika ada yang berucap: “Saya kan hanya bergurau” atau “Saya kan hanya main-main saja”. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah berikut ini:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ. (رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa terdapat dua pihak dalam perceraian yaitu suami dan istri, dimana pada masing-masing pihak ada syarat sahnya talak/perceraian. Para ‘ulama’ telah membagi syarat sahnya talak menjadi tiga, yaitu: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak.

1. Berkaitan dengan suami yang mentalak

a. Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.

Yang dimaksud di sini adalah bahwa antara pasangan tersebut memiliki hubungan pernikahan yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa jika ada dua orang laki-laki dan wanita yang belum menikah kemudian lelaki tersebut mengatakan: “Saya mentalakmu”, maka ucapan seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau dua orang laki-laki dan wanita yang belum menikah lalu lelaki tersebut mengatakan: “Jika nanti aku menikahimu, aku akan mentalakmu”. Karena pada saat itu belum menikah, maka yang seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad serta penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Al-Hakim berikut ini:

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا عِتْقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ وَلَا طَلَاقَ لَهُ فِيمَا لَا يَمْلِكُ. (رواه الترمذى وأحمد)
“Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada  sesuatu yang bukan miliknya”. (HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190).

Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَلَاقَ اِلَّا بَعْدَ نِكَاحٍ وَلَاعِتْقَ اِلَّابَعْدَ مِلْكً.
Tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan.

Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Ahzaab ayat 49 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَـــٰتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ ... ﴿٤٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ….” (QS. Al Ahzaab: 49).

Saudaraku,
Dalam surat Al Ahzaab ayat 49 di atas, disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria-wanita yang hidup bersama tanpa adanya ikatan pernikahan) lalu si pria mengajukan cerai, maka hal seperti ini adalah talak yang tidak sah (artinya tidak jatuh talak sama sekali).

b. Yang mengucapkan talak telah baligh.

Mayoritas ‘ulama’ berpandangan bahwa jika anak kecil/belum baligh (terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh) menjatuhkan talak, maka talaknya dinilai tidak sah. Hal ini didasarkan pada penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi serta Ibnu Majah berikut ini:

Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ. (رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa”. (HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041).

c. Yang melakukan talak adalah berakal.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Hal ini didasarkan pada penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah di atas.

d. Dengan kemauan sendiri

Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa orang yang mengucapkan talak tersebut telah mengucapkannya atas kehendak sendiri/tanpa ada paksaan. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ. (رواه ابن ماجه)
“Sesungguhnya Allah memaafkan dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”. (HR. Ibnu Majah no. 2045).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَلَاقَ وَلَا عَتَاقَ فِى غَلَاقٍ. (رواه ابو داود)
“Tidak jatuh talak dan tidak pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”. (HR. Abu Daud no. 2193).

2. Berkaitan dengan istri yang ditalak

a. Akad nikahnya sah

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Al-Hakim, juga surat Al Ahzaab ayat 49 (lihat kembali pembahasan pada bagian awal syarat sahnya talak yang berkaitan dengan suami yang mentalak). Berdasarkan ketiga dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak hanya terjadi jika keduanya memiliki hubungan pernikahan yang sah.

b. Belum diceraikan dengan talak tiga oleh suaminya

Saudaraku,
Jika setelah talak pertama dan kedua masih boleh rujuk, maka setelah talak yang ketiga suami tidak bisa langsung menikahi mantan istrinya kembali sampai mantan istrinya tersebut menikah lagi dengan pria lain kemudian keduanya telah cerai dengan cara yang wajar (bukan direkayasa). Baru setelah itu suami yang pertama tadi boleh menikahi lagi.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin tali pernikahan tersebut tersambung kembali setelah talak ketiga, kecuali jika mantan istrinya menikah lagi dengan pria lain kemudian keduanya telah bercerai secara wajar. Nah karena tidak ada tali pernikahan diantara keduanya setelah talak ketiga, maka talak yang seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ahmad serta hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Al-Hakim, serta surat Al Ahzaab ayat 49 (lihat kembali pembahasan pada bagian awal syarat sahnya talak yang berkaitan dengan suami yang mentalak). Berdasarkan ketiga dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa talak hanya terjadi jika keduanya berada dalam tali pernikahan yang sah.

Saudaraku,
Ketika istri sudah ditalak tiga kali, maka haram bagi mantan suaminya untuk rujuk kembali sampai mantan istrinya menikah dengan pria lain dengan pernikahan yang sah. Allah Ta’ala telah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 230:

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ... ﴿٢٣٠﴾
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah dengan suami yang lain ...” (QS. Al Baqarah: 230).

Kemudian jika suami yang lain tersebut telah menceraikannya, maka suami yang pertama tadi boleh menikahi kembali mantan isterinya yang sudah bercerai dengan pria yang lain tersebut.

... فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٢٣٠﴾
“... Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 230).

Saudaraku,
Pada pernikahan yang kedua tersebut, disyaratkan bahwa suami kedua telah menyetubuhi istrinya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah berikut ini:

أَنَّ امْرَأَةَ رِفَاعَةَ الْقُرَظِىِّ جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَنِى فَبَتَّ طَلَاقِى، وَإِنِّى نَكَحْتُ بَعْدَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ الْقُرَظِىَّ، وَإِنَّمَا مَعَهُ مِثْلُ الْهُدْبَةِ . قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِى إِلَى رِفَاعَةَ، لَا، حَتَّى يَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ وَتَذُوقِى عُسَيْلَتَهُ . (رواه البخارى ومسلم)
Suatu ketika istri Rifaa’ah Al Qurozhiy menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata:  “Aku adalah istri Rifaa’ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair Al Qurozhiy. Akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub* (ujung kain)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda: “Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa’ah? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu”. (HR. Bukhari no. 5260 dan Muslim no. 1433).

3. Lafadz/ucapan talak

Lafadz (ucapan) talak bisa dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) talak dengan lafadz shorih (tegas) dan (2) talak dengan lafadz kinayah (kiasan).

a. Talak dengan lafadz shorih (tegas)

Artinya tidak mengandung makna lain ketika diucapkan dan langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak/cerai. Contohnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Saya talak kamu”, atau “Saya ceraikan kamu”, dst. Lafadz-lafadz seperti ini tidak bisa dipahami selain makna cerai atau talak.

Jika lafadz-lafadz seperti ini diucapkan oleh suami, maka jatuhlah talak dengan sendirinya, baik lafadz tersebut diucapkan dengan serius maupun dengan bercanda. Hal ini menunjukkan bahwa jika lafadz talak diucapkan dengan tegas, maka jatuhlah talak selama lafazh tersebut diucapkan atas pilihan sendiri (tidak dalam keadaan terpaksa), meskipun diucapkan dengan serius maupun dengan bercanda.

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ. (رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).

b. Talak dengan lafazh kinayah (kiasan)

Artinya tidak diucapkan dengan kata talak atau cerai secara khusus, namun diucapkan dengan kata yang bisa mengandung makna yang lain.

Contohnya, suami mengatakan: “Pulang saja kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat seperti ini bisa mengandung makna lain selain cerai. Bisa saja karena telah terjadi pertengkaran hebat dan suami memandang isterinya berakhlak buruk, kemudian suami meminta isterinya untuk pulang ke rumah orang tuanya agar mendapat nasehat dari orangtuanya sehingga akhlak buruknya tersebut bisa diperbaiki.

Contoh lainnya, suami mengatakan:  “Sekarang kita berpisah saja”. Lafazh seperti ini tidak selamanya dimaksudkan untuk talak. Bisa jadi ketika suami hendak melanjutkan studi S2 atau S3 ke luar negeri atau ketika suami hendak merantau di tempat yang jauh sehingga memakan waktu cukup lama, kemudian menjelang keberangkatannya, suami mengatakan hal itu kepada isterinya.

Saudaraku,
Untuk kasus-kasus seperti ini, diperlukan adanya niat. Jika ucapan-ucapan seperti ini diniatkan untuk maksud talak, maka jatuhlah talak. Namun jika tidak diniatkan untuk talak, maka tidak jatuh talak. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya”. (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob).

Adapun jika talaknya hanya dengan niat dalam hati (tidak sampai diucapkan), maka talaknya tidak jatuh. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya Allah memaafkan pada umatku sesuatu yang terbetik dalam hatinya selama tidak diamalkan atau tidak diucapkan”. (HR. Bukhari no. 5269  dan Muslim no. 127).

_____

Saudaraku,
Dari uraian di atas, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa begitu suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan terjadi. Sedangkan keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas belaka.

Saudaraku menanyakan: “Apakah ini bisa masuk kategori zina karena sudah didaftarkan oleh suami di PA?”.

Saudaraku,
Istilah zina sudah masuk dalam Bahasa Indonesia. Namun untuk memahami hukum syari’at tentang masalah ini, kita perlu mengembalikannya ke pengertian menurut Bahasa Arab dan syari’at supaya pas dan benar.

Dalam bahasa arab, zina diambil dari kata : زَنَى يَزْنِي زِنىً ، وزِنَاءً  yang artinya berbuat fajir (nista). Sedangkan dalam istilah syari’at, zina adalah melakukan hubungan seksual (jima’) di kemaluan tanpa pernikahan yang sah, kepemilikan budak dan tidak juga karena nikah syubhat****

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan perzinaan atau tidak, syaratnya sangat berat. Yaitu harus bisa didatangkan minimal 4 orang saksi yang benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa yang bersangkutan memang benar-benar telah melakukan perzinaan, sehingga bisa ditegakkan hukuman bagi pezina. Yaitu hukuman cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun bagi pezina yang belum pernah menikah serta serta hukuman rajam bagi pezina yang sudah pernah menikah.

Kecuali jika yang bersangkutan (dengan penuh kesadaran/tanpa adanya paksaan) telah memberikan pengakuan atas perbuatan zina tersebut (maka dalam hal ini tidak diperlukan 4 orang saksi). Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 2 serta penjelasan hadits yang diriwayat oleh Imam Bukhari dan penjelasan hadits yang diriwayat oleh Imam Muslim berikut ini:

سُورَةٌ أَنزَلْنَـــٰـهَا وَفَرَضْنَـــٰـهَا وَأَنزَلْنَا فِيهَا ءَايَـــٰتٍ بَيِّنَاتٍ لَّعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ﴿١﴾ الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِاْئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
(1). “(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”. (2). “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (QS. An Nuur. 1 – 2)

حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ فِيمَنْ زَنَى وَلَمْ يُحْصَنْ جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ غَرَّبَ ثُمَّ لَمْ تَزَلْ تِلْكَ السُّنَّةَ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab dari 'Ubaidullah bin Abdillah bin 'Utbah dari Zaid bin Khalid Al Juhani mengatakan: “Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh menghukum orang yang berzina dan dia belum menikah dengan dera seratus kali dan diasingkan selama setahun”. Kata Ibnu Syihab: “dan telah mengabarkan kepadaku 'Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Khattab pernah mengasingkan (pelaku zina), dan yang demikian menjadi sunnah”. (HR. Bukhari).

فَجَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي. وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ ، لِمَ تَرُدُّنِي؟ لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا، فَوَاللَهِ إِنِّي لَحُبْلَى. قَالَ: إِمَّا لَا، فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي. فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ، قَالَتْ: هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ. قَالَ: اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيهِ. فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ، فَقَالَتْ: هَذَا يَا نَبِيَّ اللهِ، قَدْ فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ. فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا فَيُقْبِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ بِحَجَرٍ فَرَمَى رَأْسَهَا فَتَنَضَّحَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ فَسَبَّهَا فَسَمِعَ سَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ، مَهْ يَا خَالِدُ،  نَبِيُّ اللهِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ. ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ. (رواه مسلم)
Seorang wanita dari kabilah Ghamidiyah datang kepada Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata,“ Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina maka (tegakkan rajam) untuk menyucikanku”. Namun, Rasulullah berpaling darinya (tidak membalas permohonannya) hingga keesokan hari ia berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau tolak aku , apakah engkau menolak aku sebagaimana engkau tolak Ma’iz? Demi Allah, aku telah hamil (yakni benar benar berzina). ”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sekarang, pergilah engkau hingga engkau melahirkan (kandunganmu)”. Setelah melahirkan, datang sang wanita membawa bayi pada sebuah kain (yang digendongnya), ia berkata, “Ini anakku, aku telah melahirkannya”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pergilah, susui anakmu hingga engkau sapih.” Setelah menyapihnya, ia datang membawa anaknya yang sedang memegang sepotong roti.

Ia berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya dan ia sudah bisa memakan makanan”. Nabi lalu menyerahkan si anak kepada salah seorang muslimin. Setelah itu, beliau memerintahkan penggalian tanah dan memendam si wanita hingga dadanya, lantas memerintahkan manusia merajamnya.

Khalid bin Walid radhiyallahu anhu datang dan melempari kepala wanita itu dengan sebuah batu. Memancarlah darah ke wajah Khalid sehingga Khalid mencelanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar celaan Khalid terhadap wanita tersebut. Beliau bersabda, “Tunggu, hai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sungguh dia telah bertobat dengan sebuah tobat yang apabila dilakukan oleh pemungut pajak, tentu akan diampuni dosanya.” Selanjutnya, Nabi memerintahkan manusia menshalati dan menguburkan. (HR. Muslim).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Sebenarnya aku merasa sungkan untuk membahas masalah-masalah fiqih yang terlalu dalam seperti ini, karena aku merasa belum cakap meskipun sudah cukup banyak belajar agama).

Semoga bermanfaat.

NB.
*)       Yang dimaksud dengan fasik adalah orang yang tidak mengindahkan perintah Allah SWT.

**)     Qadzaf ( قذف ) secara bahasa artinya melempar dengan batu atau dengan lainnya. Sedangkan menurut istilah, menuduh orang baik-baik berbuat zina secara terang-terangan. Menuduh dalam arti melemparkan dugaan kepada seseorang tanpa dikuatkan bukti-bukti yang nyata.

***)    Had ( حد ) adalah kosa kata dalam Bahasa Arab yang merupakan bentuk tunggal (mufrad = مُفْرَد ) dari kata hudûd ( حدود ) yang asal artinya pembatas antara dua benda. Dinamakan had karena mencegah bersatunya sesuatu dengan yang lainnya

****)  Disebut nikah syubhat, karena sejatinya nikah ini batal, namun diyakini sah oleh pelaku, karena ketidak-tahuannya. Pernikahan digolongkan sebagai nikah syubhat, dengan syarat: (1) terjadi akad nikah, (2) pernikahan dinilai batal dengan sepakat ulama, karena tidak memenuhi rukun dan syaratnya. (3) dilakukan karena tidak tahu, sehingga tidak ditegakkan hukuman perbuatan zina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞