Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (dosen sebuah perguruan tinggi negeri
terkemuka di Bandung) telah menyampaikan pertanyaan: “Pak Imron, ijin bertanya. Bagaimana mensinkronkan nash Al Qur’an
berikut ini:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula)
kamu terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki); sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat hamba-hamba-Nya. (QS. al-Israa’(17): 29-30)
Dengan praktik sahabat Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu
‘anhu yang menginfakkan seluruh hartanya? Jazakallahu khairan untuk
pencerahannya”.
TANGGAPAN
Saudaraku,
Berikut ini aku kutipkan surat Al Israa’
ayat 29 – 30 selengkapnya:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَّحْسُورًا ﴿٢٩﴾ إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ
وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا ﴿٣٠﴾
(29) Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal. (30) Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa
yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Al Israa’. 29
– 30).
Saudaraku,
Untuk bisa memahami kedua ayat di atas, berikut ini
kusampaikan Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu
Ahmad Al-Mahalliy) serta Tafsir Ibnu Katsir.
TAFSIR JALALAIN:
(29) (Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara
keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam
membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela)
pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal)
hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian
ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan
hartanya.
(30) (Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rezeki)
meluaskannya (kepada siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya) menyempitkannya
kepada siapa yang Dia kehendaki (sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Melihat akan hamba-hamba-Nya) mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang
terlahirkan tentang diri mereka karena itu Dia memberi rezeki kepada mereka
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.
TAFSIR IBNU KATSIR:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَّحْسُورًا ﴿٢٩﴾ إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ
وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا ﴿٣٠﴾
(29) Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal. (30) Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa
yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Al Israa’. 29
– 30).
Allah Subhanahu waTa'ala
memerintahkan (kepada hamba-hamba-Nya) agar bersikap ekonomis dalam kehidupan,
dan mencela sifat kikir; serta dalam waktu yang sama melarang sifat berlebihan.
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً
إِلَىٰ عُنُقِكَ ... ﴿٢٩﴾
“Dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu. ...”. (QS. Al Israa’. 29)
Dengan kata lain, janganlah
kamu menjadi orang kikir dan selalu menolak orang yang meminta serta tidak pernah
sekalipun memberikan sesuatu kepada seseorang. Orang-orang Yahudi (semoga
laknat Allah menimpa mereka), mengatakan bahwa tangan Allah terbelenggu. Maksud
mereka ialah Allah bersifat kikir, padahal kenyataannya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Suci, Maha Mulia dan Maha Pemberi.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
... وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ...
﴿٢٩﴾
“... dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya. ...”. (QS. Al Israa’. 29)
Artinya janganlah kamu
berlebihan dalam membelanjakan hartamu dengan cara memberi di luar kemampuanmu
dan mengeluarkan biaya lebih dari pemasukanmu.
... فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا ﴿٢٩﴾
“... karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal”. (QS. Al Israa’. 29)
Ungkapan ini termasuk ke dalam
versi lifwannasyr, yakni gabungan dari beberapa penjelasan. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa jika kamu kikir, maka kamu akan menjadi orang
yang tercela; orang-orang akan mencela dan mencacimu serta tidak mau bergaul
denganmu. Seperti yang dikatakan oleh Zuhair ibnu Abu Sulma
dalam Mu'aliaqat-nya yang terkenal itu, yaitu:
وَمَنْ كَانَ ذَا مَالٍ وَيَبْخَلْ
بِمَالِهِ ... عَلَى قَوْمِهِ يُسْتَغْنَ عَنْهُ وَيُذْمَمِ
Barang siapa yang berharta,
lalu ia kikir dengan hartanya itu terhadap kaumnya, tentulah dia tidak digauli
oleh mereka dan dicela.
Dan manakala kamu membuka
tanganmu lebar-lebar dengan memberi di luar kemampuanmu, maka kamu akan
menyesal karena tidak punya sesuatu lagi yang akan kamu belanjakan. Perihalnya
sama dengan hewan yang tidak kuat lagi melakukan perjalanan, maka ia berhenti
karena lemah dan tidak mampu. Hewan yang berspesifikasi demikian
dinamakan hasir, yakni hewan yang kelelahan. Pengertian ini sama
dengan apa yang disebutkan di dalam firman-Nya:
... فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِن فُطُورٍ ﴿٣﴾ ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ
الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ ﴿٤﴾
(03) ... Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (04)
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan
payah. (QS. Al Mulk. 3 – 4).
Yang dimaksud
dengan hasir ialah lemah, tidak dapat melihat adanya cela.
Makna yang dimaksud oleh ayat
ini ditafsirkan dengan pengertian kikir dan berlebih-lebihan, menurut ibnu
Abbas, Al-Hasan, Qatadah, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Di dalam
kitab Sahihain disebutkan melalui hadits Abuz Zanad, dari Al-A'raj,
dari Abu Hurairah, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam
bersabda:
"مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُنْفِقِ،
كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثَدْيَيْهِمَا
إِلَى تَرَاقِيهِمَا. فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلَا يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَت - أَوْ:
وَفَرَتْ - عَلَى جِلْدِهِ، حَتَّى تُخفي بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ. وَأَمَّا
الْبَخِيلُ فَلَا يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ
مَكَانَهَا، فَهُوَ يُوَسِّعُهَا فَلَا تَتَّسِعُ".
Perumpamaan orang yang kikir
dan orang yang dermawan ialah sama dengan dua orang lelaki yang keduanya
memakai jubah besi mulai dari bagian dada sampai ke bagian bawah lehernya.
Adapun orang yang dermawan, maka tidak sekali-kali ia mengeluarkan nafkah
melainkan jubah besinya itu terasa makin lebar atau longgar sehingga semua
jarinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Adapun orang yang kikir, maka tidak
sekali-kali dia bermaksud hendak membelanjakan sesuatu melainkan setiap lekukan
dari jubah besinya menempel pada tempatnya; sedangkan dia berupaya untuk melonggarkannya,
tetapi baju besinya tidak mau longgar.
Demikianlah menurut lafaz hadits
yang diketengahkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab zakatnya.
Di dalam
kitab Sahihain disebutkan melalui Hisyam ibnu Urwah, dari istrinya
(yaitu Fatimah bintil Munzir), dari neneknya (yaitu Asma binti Abu Bakar) yang
mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihiWasallam pernah bersabda:
"أَنَفِقِي هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا،
وَلَا تُوعِي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ، وَلَا تُوكِي فَيُوكِيَ اللهُ
عَلَيْكِ" وَفِي لَفْظٍ: "وَلَا تُحصي فَيُحْصِيَ اللهُ عَلَيْكِ"
Berinfaklah dengan cara anu dan
anu dan anu, dan janganlah kamu mengingat-ingatnya, karena Allah akan
membalasmu karena Allah akan membalas menghitung-hitungnya pula. Menurut
lafaz lain disebutkan: Janganlah kamu menghitung-hitungnya, karena Allah
akan membalas memperhitungkannya terhadapmu.
Di dalam kitab Sahih
Muslim disebutkan melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi
Wasallam pernah bersabda:
"إِنَّ اللهَ قَالَ لِي: أَنْفِقْ
أُنْفِقْ عَلَيْكَ"
Sesungguhnya Allah telah
berfirman kepadaku: “Berinfaklah kamu! Maka Aku akan menggantikannya kepadamu”.
Di dalam
kitab Sahihain disebutkan melalui jalur Mu'awiyah ibnu Abu Mazrad,
dari Sa'id ibnu Yasar, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang mengatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam pernah bersabda:
"مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ
فِيهِ إِلَّا وَمَلَكَانِ يَنْزِلَانِ مِنَ السَّمَاءِ يَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللّٰهُمَّ
أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللّٰهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا
تَلَفًا"
Tiada suatu hari pun yang
padanya hamba-hamba Allah berpagi hari melainkan terdapat dua malaikat yang
turun dari langit. Salah seorang yang mengatakan: “Ya Allah, berikanlah ganti
kepada orang yang berinfak.” Sedangkan malaikat yang lainnya mengatakan,
"Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang kikir”.
Imam Muslim telah meriwayatkan hadits
berikut ini dari Qutaibah, dari Ismail ibnu Ja'far, dari Al-Ala, dari ayahnya,
dari Abu Hurairah secara marfu’ yaitu:
"مَا نَقَصَ مَالٌ مِنْ صَدَقَةٍ، وَمَا
زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَنْ تَوَاضَعَ لِلّٰهِ رَفَعَهُ
اللهُ"
Tiada harta benda yang
berkurang karena bersedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada
orang yang berinfak melainkan kemuliaannya. Dan barang siapa yang berendah
diri karena Allah, Allah pasti mengangkatnya (meninggikannya).
Di dalam hadits Abu Kasir
disebutkan hadits berikut dari Abdullah ibnu Umar secara marfu':
"إِيَّاكُمْ والشُّح، فَإِنَّهُ
أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا، وَأَمَرَهُمْ
بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا، وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا"
Waspadalah kalian terhadap
sifat kikir, karena sesungguhnya telah binasalah orang-orang yang sebelum
kalian karena mereka menganjurkan kepada kekikiran, lalu mereka menjadi kikir.
Dan mereka menganjurkan memutuskan tali silaturahmi, lalu mereka memutuskannya.
Dan mereka menganjurkan kepada perbuatan maksiat, lalu mereka bermaksiat.
Imam Baihaqi telah meriwayatkan
melalui jalur Sa'dan ibnu Nasr, dari Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari
ayahnya yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihiWasallam pernah
bersabda:
"مَا يُخْرِجُ رَجُلٌ صَدَقَةً، حَتَّى
يَفُكَّ لَحْيَى سَبْعِينَ شَيْطَانًا"
Tidak sekali-kali seseorang
mengeluarkan suatu sedekah, melainkan terlepaslah (karenanya) rahang
tujuh puluh setan.
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Ubaidah Al-I laddad, telah menceritakan kepada
kami Sikkin ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Hijri,
dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihiWasallam pernah bersabda:
"مَا عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ"
Tidak akan jatuh miskin orang
yang berhemat.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ
لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ... ﴿٣٠﴾
Sesungguhnya Tuhanmu
melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. (QS.
Al Israa’. 30)
Ayat ini memerintahkan bahwa
Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Tuhan Yang Memberi rezeki dan yang
Menyempitkannya. Dia pulalah yang mengatur rezeki makhluk-Nya menurut apa yang
dikehendaki-Nya. Untuk itu Dia menjadikan kaya orang yang Dia sukai, dan
menjadikan miskin orang yang Dia kehendaki, karena di dalamnya terkandung
hikmah yang hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya. Karena itulah dalam ayat
selanjutnya disebutkan oleh firman-Nya:
... إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا
بَصِيرًا ﴿٣٠﴾
sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Al Israa’. 30)
Artinya Dia Maha Melihat lagi
Maha Mengetahui siapa yang berhak menjadi kaya dan siapa yang berhak menjadi
miskin. Di dalam sebuah hadits disebutkan seperti berikut:
"إِنَّ مِنْ عِبَادِي مَنْ لَا
يُصْلِحُهُ إِلَّا الْفَقْرُ، وَلَوْ أَغْنَيْتُهُ لَأَفْسَدْتُ عَلَيْهِ دِينَهُ،
وَإِنَّ مِنْ عِبَادِي لَمَنْ لَا يُصْلِحُهُ إِلَّا الْغِنَى، وَلَوْ
أَفْقَرْتُهُ لَأَفْسَدْتُ عَلَيْهِ دِينَهُ".
Sesungguhnya di antara
hamba-hamba-Ku benar-benar terdapat orang yang tidak layak baginya kecuali
hanya miskin. Seandainya Aku jadikan dia kaya, niscaya kekayaannya itu akan
merusak agamanya. Dan sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku benar-benar
terdapat orang yang tidak pantas baginya kecuali hanya kaya. Seandainya Aku
jadikan dia miskin, tentulah kemiskinan itu akan merusak agamanya.
Adakalanya kekayaan itu pada
sebagian manusia merupakan suatu istidraj baginya (yakni pembinasaan secara
berangsur-angsur), dan adakalanya kemiskinan itu merupakan suatu hukuman dari
Allah. Semoga Allah melindungi kita dari kedua keadaan tersebut.
_____
Setelah kusampaikan surat Al Israa’ ayat 29 – 30 beserta
tafsirnya, berikut ini kusampaikan pula keistimewaan
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
dalam Al Qur’an serta Hadits.
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat At Taubah
ayat 40 berikut ini:
إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ
اللهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُواْ ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي
الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَـــٰحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا فَأَنزَلَ
اللهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ
كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُواْ السُّفْلَىٰ وَكَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا
وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿٤٠﴾
Jikalau kamu tidak menolongnya
(Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang
kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang
dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada
temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta
kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah. 40).
Tafsir Jalalain:
(Jika kalian tidak menolongnya) yakni Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam (maka sesungguhnya Allah telah menolongnya, yaitu ketika)
sewaktu (orang-orang kafir mengeluarkannya) dari Mekah, artinya mereka
memaksanya supaya keluar dari Mekah sebagai tindak lanjut dari rencana yang
telah mereka musyawarahkan di Darun Nadwah, yaitu membunuh, menahan atau
mengusirnya (sedangkan dia salah seorang dari dua orang) lafal ayat ini menjadi
hal/keterangan keadaan; maksudnya sewaktu dia menjadi salah seorang dari dua
orang sedangkan yang lainnya ialah Abu Bakar. Pengertian yang tersirat dari
ayat ini ialah semoga Allah menolongnya dalam keadaan seperti itu, maka semoga
pula Dia tidak membiarkannya dalam keadaan yang lainnya. (Ketika) menjadi
badal/kata ganti daripada lafal idz yang sebelumnya (keduanya berada dalam gua)
di bukit Tsur (di waktu) menjadi badal daripada idz yang kedua (dia berkata
kepada temannya,) kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang pada saat melihat
kaki kaum musyrikin ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
"Seandainya salah seorang daripada mereka melihat ke arah bawah telapak
kakinya niscaya dia akan dapat melihat kita berdua." ("Janganlah kamu
berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.") melalui pertolongan-Nya.
(Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya) rasa aman (kepadanya) menurut suatu
pendapat dikatakan bahwa dhamir di sini kembali kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, sedangkan menurut pendapat yang lain kembali kepada Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu (dan membantunya) yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam (dengan tentara yang kalian tidak
melihatnya) yaitu para malaikat, di dalam gua tersebut dan di medan-medan
pertempuran yang dialaminya (dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir)
yaitu seruan kemusyrikan (itulah yang rendah) yakni kalah. (Dan kalimat Allah)
kalimat syahadat (itulah yang tinggi) yang tampak dan menang. (Allah Maha
Perkasa) dalam kerajaan-Nya (lagi Maha Bijaksana) di dalam penciptaan-Nya.
Saudaraku,
Berdasarkan surat At Taubah ayat 40 di atas diperoleh
penjelasan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu merupakan
orang kedua setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
kesempatan-kesempatan khusus.
Saudaraku,
Perhatikan pula penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari berikut ini (Hadits no. 3382):
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ
عَبْدِ اللهِ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كُنَّا نُخَيِّرُ بَيْنَ النَّاسِ فِي
زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُخَيِّرُ أَبَا بَكْرٍ
ثُمَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ثُمَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ. (رواه
البخارى)
43.153/3382. Telah bercerita
kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Abdullah telah bercerita kepada kami Sulaiman dari
Yahya bin Sa'id dari Nafi' dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhu berkata; Kami
memilih-milih orang terbaik diantara manusia pada zaman Nabi shallallahu
'alaihi wasallam. Akhirnya yang terpilih adalah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu kemudian
'Umar bin Al Khaththab lalu 'Utsman bin 'Affan radliallahu 'anhum. (HR.
Bukhari).
Saudaraku,
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di
atas diperoleh penjelasan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu merupakan
orang terbaik setelah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Bahkan
penilaian tersebut telah disampaikan
sendiri oleh sahabat Ali bin Abi
Thâlib radhiyallahu ‘anhu. Perhatikan penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
berikut ini (Hadits no. 3395):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ
أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ أَبِي رَاشِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو
يَعْلَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ
خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ وَخَشِيتُ أَنْ يَقُولَ عُثْمَانُ
قُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ قَالَ مَا أَنَا إِلَّا رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ. (رواه
البخارى)
43.166/3395. Telah bercerita
kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan telah
bercerita kepada kami Jami' bin Abu Rasyid telah bercerita kepada kami Abu
Ya'laa dari Muhammad bin Al Hanafiyyah berkata; Aku bertanya kepada bapakku
(yaitu, 'Ali bin Abu Thalib); Siapakah manusia paling baik setelah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam?. Bapakku menjawab; Abu Bakar. Aku bertanya lagi;
Kemudian siapa?. Dia menjawab; 'Umar. Aku khawatir bila dia mengatakan 'Utsman.
Kemudian aku tanya; Kemudian engkau?. Dia berkata; Aku ini tidak lain hanyalah
seorang laki-laki biasa dari kaum Muslimin. (HR. Bukhari).
Selanjutnya berdasarkan
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini (Hadits no. 3381) diperoleh penjelasan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu merupakan
seorang sahabat yang sangat istimewa dimata Rasûlullâh shallallahu 'alaihi
wasallam.
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu
meriwayatkan bahwa Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
مِنْ أَمَنِّ النَّاسِ عَلَيَّ فِي صُحْبَتِهِ وَمَالِهِ أَبَا بَكْرٍ
Sesungguhnya manusia yang
paling terpercaya di hadapanku dalam persahabatannya dan hartanya adalah Abu Bakar
radhiyallahu ‘anhu (Sungguh orang yang paling banyak berkorban untukku dalam
harta maupun persahabatan adalah Abu Bakar). (HR. al-Bukhâri, no. 3381).
Terakhir, perhatikan penjelasan Hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari berikut ini (Hadits no. 3398):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مِسْكِينٍ أَبُو الْحَسَنِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ عَنْ شَرِيكِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ
أَخْبَرَنِي أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ أَنَّهُ تَوَضَّأَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ
خَرَجَ فَقُلْتُ لَأَلْزَمَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَلَأَكُونَنَّ مَعَهُ يَوْمِي هَذَا قَالَ فَجَاءَ الْمَسْجِدَ فَسَأَلَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا خَرَجَ وَوَجَّهَ هَا هُنَا
فَخَرَجْتُ عَلَى إِثْرِهِ أَسْأَلُ عَنْهُ حَتَّى دَخَلَ بِئْرَ أَرِيسٍ
فَجَلَسْتُ عِنْدَ الْبَابِ وَبَابُهَا مِنْ جَرِيدٍ حَتَّى قَضَى رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَتَهُ فَتَوَضَّأَ فَقُمْتُ إِلَيْهِ فَإِذَا
هُوَ جَالِسٌ عَلَى بِئْرِ أَرِيسٍ وَتَوَسَّطَ قُفَّهَا وَكَشَفَ عَنْ سَاقَيْهِ
وَدَلَّاهُمَا فِي الْبِئْرِ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ فَجَلَسْتُ
عِنْدَ الْبَابِ فَقُلْتُ لَأَكُونَنَّ بَوَّابَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَوْمَ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَدَفَعَ الْبَابَ فَقُلْتُ
مَنْ هَذَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُلْتُ
يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا أَبُو بَكْرٍ يَسْتَأْذِنُ فَقَالَ ائْذَنْ لَهُ
وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَأَقْبَلْتُ حَتَّى قُلْتُ لِأَبِي بَكْرٍ ادْخُلْ
وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُكَ بِالْجَنَّةِ
فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَجَلَسَ عَنْ يَمِينِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَعَهُ فِي الْقُفِّ وَدَلَّى رِجْلَيْهِ فِي الْبِئْرِ كَمَا صَنَعَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَشَفَ عَنْ سَاقَيْهِ ثُمَّ
رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ وَقَدْ تَرَكْتُ أَخِي يَتَوَضَّأُ وَيَلْحَقُنِي فَقُلْتُ
إِنْ يُرِدْ اللهُ بِفُلَانٍ خَيْرًا يُرِيدُ أَخَاهُ يَأْتِ بِهِ فَإِذَا
إِنْسَانٌ يُحَرِّكُ الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ فَقُلْتُ عَلَى رِسْلِكَ ثُمَّ جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ هَذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
يَسْتَأْذِنُ فَقَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ فَجِئْتُ فَقُلْتُ ادْخُلْ
وَبَشَّرَكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجَنَّةِ فَدَخَلَ
فَجَلَسَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقُفِّ عَنْ
يَسَارِهِ وَدَلَّى رِجْلَيْهِ فِي الْبِئْرِ ثُمَّ رَجَعْتُ فَجَلَسْتُ فَقُلْتُ
إِنْ يُرِدْ اللهُ بِفُلَانٍ خَيْرًا يَأْتِ بِهِ فَجَاءَ إِنْسَانٌ يُحَرِّكُ
الْبَابَ فَقُلْتُ مَنْ هَذَا فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ فَقُلْتُ عَلَى
رِسْلِكَ فَجِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى
تُصِيبُهُ فَجِئْتُهُ فَقُلْتُ لَهُ ادْخُلْ وَبَشَّرَكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْجَنَّةِ عَلَى بَلْوَى تُصِيبُكَ فَدَخَلَ فَوَجَدَ
الْقُفَّ قَدْ مُلِئَ فَجَلَسَ وِجَاهَهُ مِنْ الشَّقِّ الْآخَرِ قَالَ شَرِيكُ
بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ فَأَوَّلْتُهَا قُبُورَهُمْ. (رواه
البخارى)
43.169/3398. Telah bercerita
kepada kami Muhammad bin Miskin Abu Al Hasan telah bercerita kepada kami Yahya
bin Hassan telah bercerita kepada kami Sulaiman dari Syarik bin Abu Namir dari
Sa'id bin Al Musayyab berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Musa Al Asy'ariy
bahwa dia berwudlu' di rumahnya lalu keluar. (Lalu dia bercerita); Aku berkata;
'Aku akan mendampingi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan bersamanya
hari ini.
Dia berkata; Maka dia menuju
masjid lalu bertanya tentang keberadaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Orang-orang menjawab; Beliau keluar dan menuju ke arah sana. Maka aku keluar
menelusuri bekas jejak beliau mencari keberadaannya hingga (aku lihat) beliau
memasuki sebuah sumur Aris (di suatu ladang pusat kota Madinah).
Aku duduk di samping pintu yang
terbuat dari pelepah kurma hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
menyelesaikan keperluannya kemudian berwudlu'. Aku segera menghampiri beliau
yang ternyata beliau sedang duduk dekat sumur Aris tersebut dan berada di
tengah-tengah tepi sumur tersebut.
Beliau menyingkap (pakaiannya)
hingga kedua betisnya dan mengulurkan kedua kakinya ke dalam sumur. Aku memberi
salam kepada beliau lalu berpaling dan kembali duduk di samping pintu. Aku
berkata; Sungguh aku menjadi penjaga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
pada hari ini.
Kemudian Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu datang dan mengetuk pintu. Aku
tanya; Siapakah ini?. Dia berkata; Abu Bakar. Aku katakan; Tunggu sebentar. Kemudian
aku menemui (beliau shallallahu 'alaihi wasallam) lalu aku katakan; Wahai
Rasulullah, ada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu minta izin masuk. Beliau berkata; izinkan dia
masuk dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga.
Aku kembali lalu aku katakan
kepada Abu Bakar: Masuklah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan surga. Maka Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu masuk lalu duduk di samping kanan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada tepi sumur kemudian menjulurkan
kedua kakinya ke dalam sumur sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan mengangkat pakaiannya setinggi kedua betisnya.
Kemudian aku kembali dan duduk.
Aku telah meninggalkan saudaraku berwudlu' dan menyusulku. Aku berkata;
Seandainya Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, – yang dia maksud
saudaranya, – pasti Allah memberinya. Tiba-tiba ada orang yang
menggerak-gerakkan pintu, aku bertanya; Siapakah ini?. Oang itu menjawab; Aku
'Umar bin Al Khaththab. Aku katakan; Tunggu sebentar.
Kemudian aku menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dan memberi salam kepada beliau lalu aku katakan;
Wahai Rasulullah, ada 'Umar bin Al Khaththab minta izin masuk. Beliau berkata;
izinkan dia masuk dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga.
Maka aku temui lalu aku katakan;
Masuklah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyampaikan kabar
gembira kepadamu dengan surga. Maka 'Umar masuk lalu duduk di samping kiri
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada tepi sumur kemudian menjulurkan
kedua kakinya ke dalam sumur.
Kemudian aku kembali dan duduk.
Aku berkata; Seandainya Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, pasti Allah
memberinya. Tiba-tiba ada lagi orang yang menggerak-gerakkan pintu, aku
bertanya; Siapakah ini?. Oang itu menjawab; 'Utsman bin 'Affan. Aku katakan;
Tunggu sebentar.
Kemudian aku menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku kabarkan kepada beliau, maka beliau
berkata; izinkan dia masuk dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga,
dengan berbagai cobaan yang menimpanya.
Maka aku menemuinya lalu aku
katakan kepadanya; Masuklah, dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan surga, sekaligus berbagai cobaan
yang menimpamu. Maka 'Utsman masuk namun dia dapatkan tepi sumur telah penuh.
Akhirnya dia duduk di hadapan beliau dari sisi yang lain.
Berkata Syarik bin Abdullah,
berkata Sa'id bin Al Musayyab; Aku tafsirkan posisi duduk mereka bertiga
sebagai posisi kuburan mereka sedangkan kuburan 'Utsman terpisah dari mereka. (HR.
Bukhari).
Saudaraku,
Perhatikan kutipan dari Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas:
Kemudian Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu datang dan mengetuk pintu. Aku
tanya; Siapakah ini?. Dia berkata; Abu Bakar. Aku katakan; Tunggu sebentar.
Kemudian aku menemui (beliau shallallahu 'alaihi wasallam) lalu aku katakan;
Wahai Rasulullah, ada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu minta izin masuk. Beliau berkata:
ائْذَنْ لَهُ وَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
Izinkan dia masuk dan sampaikan
kabar gembira kepadanya dengan surga (Izinkan dia masuk dan sampaikan kabar
gembira kepadanya bahwa dia akan masuk surga). (HR. Bukhari, no. 3398).
Saudaraku,
Seseorang yang masih berstatus
sebagai pelajar atau mahasiwa, namun sudah mendapatkan jaminan akan suatu
pekerjaan dengan gaji di atas rata-rata setelah menyelesaikan studinya adalah
dambaan banyak orang, bahkan tidak berlebihan jika masyarakat akan menyematkan
gelar “orang yang sukses”, baik dalam belajar maupun pekerjaannya. Kondisi ini pasti membanggakan dan membahagiakan, padahal ini baru urusan
dunia dan yang memberikan
janji juga hanya manusia.
Lalu
bagaimanakah jika hal itu berkait dengan kehidupan akhirat? Adakah ketenangan,
kebahagiaan, bahkan kesuksesan seseorang yang melebihi ketenangan, kebahagiaan
dan kesuksesan orang yang telah dijanjikan untuk masuk ke dalam surga Allâh SWT setelah kematiannya? Sehingga
sangatlah pantas jika orang yang telah mendapatkan
janji tersebut akan semakin rindu untuk bertemu dengan Rabb yang
menciptakannya, serta menganggap dunia ini hanya tempat persinggahan yang bersifat sementara.
KESIMPULAN
Saudaraku,
Berdasarkan surat At
Taubah ayat 40 serta beberapa Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di
atas, diperoleh penjelasan bahwa Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu merupakan seorang sahabat yang sangat istimewa.
Beliau merupakan merupakan orang kedua setelah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada kesempatan-kesempatan khusus. Beliau
adalah orang terbaik setelah Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam semenjak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup.
Beliau juga merupakan seorang sahabat yang
sangat istimewa dimata Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam, yang telah
dijamin masuk surga oleh Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam saat beliau
masih hidup (sebelum beliau wafat).
Saudaraku,
Dengan berbagai keistimewaan yang
ada pada diri sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tersebut,
maka wajarlah jika Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam tidak menolak/tidak
melarang ketika beliau menginfakkan seluruh hartanya.
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَزَّازُ
الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ
سَعْدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ قَال سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ
يَقُولُ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِي مَالًا فَقُلْتُ الْيَوْمَ أَسْبِقُ
أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا قَالَ فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِي فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قُلْتُ
مِثْلَهُ وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ مَا
أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمْ اللهَ وَرَسُولَهُ قُلْتُ وَاللهِ
لَا أَسْبِقُهُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا. (رواه الترمذى)
3675. Harun bin Abdullah Al
Bazzaz Al Baghdadi menceritakan kepada kami, Fadhl bin Dukain menceritakan
kepada kami, Hisyam bin Sa'ad menceritakan kepada kami dari Zaid bin Aslam,
dari ayah Zaid yaitu Aslam, ia berkata: Aku mendengar Umar bin Khaththab berkata,
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk bersedekah. Perintah
itu tepat pada harta yang aku miliki. Aku berkata, 'Hari ini aku akan
mendahului Abu Bakar, jika aku dapat mendahuluinya, maka hari inilah waktunya.'
Aku kemudian mendatangi Rasulullah dengan membawa setengah hartaku. Rasulullah
kemudian bertanya kepadaku, 'apa yang Engkau sisakan untuk keluargamu?' Aku
menjawab, 'Sepertinya.' Abu Bakar kemudian datang dengan membawa seluruh harta
miliknya. Rasulullah kemudian bertanya, 'Wahai Abu Bakar, apa yang engkau
sisakan untuk keluargamu?' Abu Bakar menjawab, 'Aku menyisakan Allah dan
rasul-Nya untuk mereka.' Aku berkata, 'Demi Allah, aku tidak akan pernah dapat
mendahuluinya sedikitpun, selamanya'." (HR. At-Tirmidzi). Abu Isa berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan shahih."
Saudaraku,
Rasûlullâh shallallahu 'alaihi
wasallam tidak menolak/tidak melarang ketika sahabat Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu menginfakkan seluruh hartanya, karena Rasûlullâh shallallahu
'alaihi wasallam pasti mengetahui bahwa orang dengan kualitas seperti sahabat Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu, tidak akan goyah imannnya meski tanpa adanya harta
sedikitpun, yang mana hal ini tidak akan mampu dihadapi oleh kebanyakan ummat Rasûlullâh shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana penjelasan Allah dalam
Al Qur’an surat Al Israa’ ayat 29:
... وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ ...
﴿٢٩﴾
“... dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya. ...”. (Al Israa’. 29)
Kutiban Tafsir Ibnu Katsir: Artinya
janganlah kamu berlebihan dalam membelanjakan hartamu dengan cara memberi di
luar kemampuanmu dan mengeluarkan biaya lebih dari pemasukanmu.
Dan manakala kamu membuka
tanganmu lebar-lebar dengan memberi di luar kemampuanmu, maka kamu akan
menyesal karena tidak punya sesuatu lagi yang akan kamu belanjakan. Perihalnya
sama dengan hewan yang tidak kuat lagi melakukan perjalanan, maka ia berhenti
karena lemah dan tidak mampu. (Wallahu ta’ala a’lam).
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena
keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar