Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman sekolah di
SMP 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Mohon maaf sebelumnya karena mau menggangu waktunya. Mau tanya Pak Imron,
masalah zakat mal yang harus dikeluarkan setiap tahunnya yang saya tahu 2,5%.
Nah, suami saya kurang 4 bulan purna tugas (pensiun) dapat uang pesangon dari
perusahaan. Setiap bulan sudah tidak dapat gaji dan tidak ada pemasukan sama sekali.
Sedangkan saya masih punya tanggungan 1 anak kuliah dan 1 orang tua serta untuk
kebutuhan hidup saya sama suami. Yang saya tanyakan adalah: apa saya setiap tahunnya
masih harus membayar zakat sebesar 2,5% dari uang pesangon itu, Pak? Maturnuwun”.
TANGGAPAN
Sebelum membahas perkara di atas, marilah kita perhatikan
uraian berikut ini terlebih dahulu.
Saudaraku,
Yang dimaksud dengan zakat profesi adalah zakat harta
yang dikeluarkan dari hasil pendapatan seseorang yang diperoleh dari profesi/pekerjaan
di bidang selain bertani, berdagang, bertambang maupun beternak, dengan imbalan
berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap atau tidak,
baik pekerjaan yang dilakukan langsung ataupun bagian lembaga, baik pekerjaan
yang mengandalkan pekerjaan otak ataupun tenaga.
Sedangkan zakat harta yang dikeluarkan dari hasil
pendapatan seseorang yang diperoleh dari pekerjaan bertani, berdagang,
bertambang maupun beternak, tidak termasuk jenis zakat profesi sehingga
perhitungannya berbeda (zakat pertanian, zakat perniagaan/zakat perdagangan,
zakat pertambangan maupun zakat peternakan, memiliki ketentuan yang
berbeda-beda untuk masing-masing jenis zakat harta tersebut).
Karena profesi dari suami anda adalah karyawan sebuah
perusahaan dan hal ini tidak termasuk bidang pekerjaan bertani, berdagang,
bertambang maupun beternak, maka suami anda harus mengeluarkan zakat profesi (jika
sudah terpenuhi ketentuan wajibnya mengeluarkan zakat profesi).
Meskipun demikian, sebenarnya zakat profesi itu tidak ada
nash sharih di dalam Al Qur’an maupun Hadits. Artinya tidak terdapat
pensyariatannya dalam bentuk yang eksplisit (tegas,
gamblang, tidak tersembunyi, tersurat, jelas, tidak mempunyai gambaran makna
yang kabur) di dalam Al Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Hal ini sangat berbeda dengan jenis zakat mal lainnya
(yaitu zakat pertanian, zakat perdagangan, zakat emas/perak/uang, zakat
pertambangan, zakat peternakan, serta zakat barang temuan/rikaz) yang memang
terdapat nash sharih di dalam Al Qur’an atau Hadits (artinya terdapat
pensyariatan dalam bentuk yang eksplisit (tegas, gamblang,
tidak tersembunyi, tersurat, jelas, tidak mempunyai gambaran makna yang kabur)
di dalam Al Qur’an atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Saudaraku,
Penghasilan seseorang dari
bekerja tidak pernah disebut-sebut di Al Qur’an maupun Hadits Nabi. Tidak ada
penjelasan tentang nishab-nya, haulnya, berapa persen harus dikeluarkan dan
kapan dilakukannya. Tidak satu-pun ayat Al Qur’an ataupun Hadits Nabawi yang
menyebutkan hal itu.
Lalu dari mana kita bisa menetapkan adanya zakat profesi dan segala
ketentuannya? Tidak ada jawaban terkait hal ini kecuali hanya satu jawaban saja,
yaitu: ijtihad. Tidak ada nash sharih dari Al Qur’an dan Sunnah, jadi
semata-mata hasil ijtihad saja.
Saudaraku,
Karena
tidak terdapat nash sharih dari Al Qur’an maupun Sunnah dan hanya
bersandar pada ijtihad semata, maka tidak ada kesepakatan yang baku tentang
zakat profesi ini. Sehingga jika kita bertanya kepada salah satu ‘ulama’ yang mendukung zakat
profesi, maka jawabannya
bisa berbeda/tidak
sama dengan ‘ulama’ lainnya.
Dan karena
memang
begitu banyak versi jawaban dari masing-masing pihak, maka dipersilahkan untuk mengambil
satu pendapat yang kita condong kepadanya, kemudian tidak serta-merta menyalahkan
pendapat yang lain.
Mau pakai cara ini silahkan, mau pakai cara itu juga silahkan saja. Tidak ada
yang baku dalam masalah ini. Bahkan mau tidak pakai zakat profesi-pun, juga silahkan.
Semua ada dalilnya dan ada ‘ulama’ yang mendukungnya.
Saudaraku,
Bagi pihak yang condong kepada
‘ulama’ yang mendukung adanya zakat profesi, berikut ini aku
kutipkan salah satu diantaranya, yaitu penjelasan KH
Abdurrahman Navis, Lc. (Ketua Bidang Fatwa MUI Jawa Timur), yang beliau kutip dari buku fiqh zakat karya Dr.
Yusuf Qardhawi bab zakat profesi dan penghasilan, bahwa terdapat 3 macam
cara mengeluarkan zakat penghasilan, yaitu:
♦ Pengeluaran
bruto
Yaitu mengeluarkan zakat
penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nishab 85 gram emas
dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum
dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya
dalam sebulan mencapai Rp 10 juta x 12 bulan = Rp 120 juta setahun, berarti
dikeluarkan langsung sebesar 2,5% dari Rp 10 juta tiap bulan = Rp 250 ribu atau
dibayar di akhir tahun sebesar 2,5% dari Rp 120 juta = Rp 3 juta.
Hal ini juga berdasarkan
pendapat Az-Zuhri dan 'Auza'i, beliau menjelaskan: “Bila seorang memperoleh
penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka
hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari
membelanjakannya” (Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannif, 4/30). Dan juga meng-qiyas-kan
dengan beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi
apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma'dzan dan rikaz.
♦ Dipotong oprasional kerja
Yaitu setelah menerima
penghasilan gaji atau honor yang mencapai nishab, maka dipotong dahulu dengan
biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 11 juta
rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat
kerja sebanyak Rp 1 juta, sisanya Rp 10.000.000,-. Maka zakat yang harus
dikeluarkan adalah 2,5% dari Rp 10.000.000 = Rp 250.000,- sebulannya.
Hal ini dianalogikan dengan
zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih
dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho' dan
lain-lain dari itu zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang
di-airi dengan hujan yaitu 10% dan melalui irigasi 5%.
♦ Pengeluaran
netto atau
zakat bersih
Yaitu mengeluarkan zakat dari
harta yang masih mencapai nishab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok
sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk
keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan
setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nishab, maka wajib zakat, akan
tetapi kalau tidak mencapai nishab ya
tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib
zakat) bahkan menjadi mustahiq
(orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin
dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ
حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ
يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ وَعَنْ وُهَيْبٍ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامٌ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا. (رواه البخارى)
13.31/1338. Telah menceritakan
kepada kami Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah
menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Hakim bin Hizam radliallahu
'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam berkata,: Tangan yang diatas lebih
baik dari pada tangan yang di bawah, maka mulailah untuk orang-orang yang
menjadi tanggunganmu dan shadaqah yang paling baik adalah dari orang yang sudah
cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka barangsiapa yang berusaha memelihara
dirinya, Allah akan memeliharanya dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan
dirinya maka Allah akan mencukupkannya. Dan dari Wuhaib berkata, telah
mengabarkan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu
'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam seperti ini. (HR. Bukhari).
Kesimpulan
Seseorang yang mendapatkan penghasilan halal dan jumlah
penghasilan selama setahun (satu tahun hijriyah)
mencapai nishab (85 gram emas murni), wajib mengeluarkan zakat 2,5%, boleh
dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan
dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal
(utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tetapi tidak dizakati, tentu
akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat.
~~~~~
Saudaraku,
Setelah memperhatikan uraian di
atas, in sya Allah kita akan dengan mudah menyelesaikan kasus yang sedang
dihadapi suami anda.
Berdasarkan uraian di atas, jika pendapatan tahun terakhir
bekerja di perusahaan tersebut ditambah dengan uang
pesangon dari perusahaan jumlahnya telah mencapai nishab (yaitu
setara dengan 85 gram emas murni) maka wajib mengeluarkan zakat 2,5% pada tahun
itu. Telah mencapai nishab artinya total pemasukan selama setahun minimal
setara dengan 85 gram emas murni (24 karat).
Sedangkan zakat untuk tahun-tahun berikutnya, jika memang
tidak ada lagi pemasukan, tentunya juga sudah tidak ada lagi zakat yang harus
dibayar. Jadi bayar zakatnya cukup hanya pada tahun terakhir bekerja di
perusahaan tersebut, dengan catatan jika total pemasukan pada tahun terakhir (meliputi gaji bulanan pada tahun terakhir ditambah dengan uang pesangon dari perusahaan) telah mencapai nishab,
yaitu setara 85 gram emas murni atau lebih.
Kecuali jika setelah pensiun dari perusahaan tersebut, suami
anda mendapatkan
pekerjaan lagi. Maka dalam hal ini tinggal dihitung, apakah dari pekerjaan baru
tersebut, total pemasukan selama satu tahun telah
mencapai nishab/setara 85 gram emas murni (telah mencapai nishab
artinya total pemasukan selama setahun minimal setara dengan 85 gram emas).
Jika dari pekerjaan baru tersebut total pemasukan selama
satu tahun telah mencapai nishab,
maka wajib mengeluarkan zakat 2,5% pada tahun itu. Sedangkan mengenai teknis
pembayarannya boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun (lihat kembali
penjelasan sebelumnya). Wallahu ta’ala a'lam.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١٠٣﴾
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan* dan mensucikan** mereka, dan
mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At
Taubah. 103).
*) Maksudnya: zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan terhadap
harta benda.
**) Maksudnya: zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta
benda mereka.
Sebagai catatan tambahan,
Jika uang pesangon tersebut kemudian ditabung/disimpan
(baik disimpan sendiri di rumah maupun di bank atau lainnya), maka suami anda bisa
terkena beban/kewajiban untuk membayar zakat sebesar 2,5% setiap tahunnya
sebagaimana zakat emas dan perak.
Saudaraku,
Sebenarnya yang Allah wajibkan
berzakat adalah orang yang memiliki dan menyimpan/menimbun emas dan perak.
Adapun zakat uang kertas yang disimpan/ditabung sebenarnya tidak ada dalil
secara langsung yang menyebutkan kewajibannya.
Namun harus dicatat bahwa di masa lalu yang namanya uang itu tidak lain adalah
emas dan perak, bukan uang kertas seperti yang kita kenal di zaman sekarang.
Maka intinya adalah zakat uang yang ditimbun/disimpan/ditabung, namun Al Qur’an
menyebutnya dalam wujud fisiknya, yaitu emas dan perak. Perhatikan firman Allah
SWT. dalam Al qur’an surat At Taubah ayat 34 – 35 berikut ini:
... وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿٣٤﴾ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَــٰـذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ
تَكْنِزُونَ ﴿٣٥﴾
(34) ... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (35) pada hari dipanaskan emas
perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung
dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang
kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa
yang kamu simpan itu”. (QS. At Taubah. 34 – 35).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa meskipun
yang tertulis pada ayat di atas adalah kewajiban zakat atas emas dan perak,
namun seluruh ‘ulama’ sepakat bahwa emas dan perak yang dimaksud pada ayat di
atas adalah emas yang berfungsi sebagai uang atau alat tukar, yaitu dinar dan
dirham. Sedangkan emas yang berbentuk perhiasan yang dikenakan oleh para
wanita, hal ini tidak termasuk dalam kriteria yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي
مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ
مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا
جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي
يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا
إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ.
(رواه مسلم)
Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya
melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api
neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk
dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi
dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima
puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke
neraka. (HR. Muslim no. 987)
NISHAB UANG TABUNGAN SAMA
DENGAN NISHAB EMAS
Saudaraku,
Dalam menentukan nishab zakat
uang tabungan, kita mengacu langsung kepada nishab emas. Nishab emas adalah 85
gram, maka kewajiban kita atas uang tabungan hanya apabila uang kita bisa untuk
membeli emas minimal seberat 85 gram di waktu itu.
Jadi bila saat itu (katakanlah
pada tanggal 1 Muharram 1441 H) jumlah uang tabungan dari suami anda belum
melewati angka tersebut, maka belum ada kewajiban zakat. Namun apabila pada
tanggal tersebut jumlahnya sudah menembus angka tersebut atau bahkan lebih
besar, maka uang tabungan sudah termasuk uang yang kena kewajiban zakat.
Meskipun demikian membayar
zakatnya belum wajib, karena harus melewati masa kepemilikan selama setahun
penuh (haul). Dimana hitung-hitungan haulnya harus sesuai dengan hitungan pada
kalender hijriyah (bukan kalender masehi).
NISHAB ZAKAT EMAS
Saudaraku,
Nishab zakat emas adalah 20 mitsqol atau 20 dinar. Satu dinar setara dengan 4,25
gram emas. Sehingga nishab zakat emas adalah 85 gram emas (murni 24 karat).
Jika emas mencapai nishab tersebut atau lebih dari itu, maka ada zakat. Jika kurang dari
itu, maka tidak ada zakat.
Dari
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ –
يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ
لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ
فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ. (رواه ابو داود)
Bila
engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak
memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau
tidak berkewajiban membayar zakat sedikit pun – maksudnya zakat emas – hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau
telah memiliki dua puluh dinar, dan telah berlalu satu tahun (sejak
memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap
kelebihan dari (nishab) itu,
maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu. (HR. Abu Dawud no.
1573)
Dari ‘Amr bin
Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
وَلَا فِى أَقَلَّ مِنْ عِشْرِينَ مِثْقَالًا مِنَ
الذَّهَبِ شَىْءٌ وَلَا فِى أَقَلَّ مِنْ مِائَتَىْ دِرْهَمٍ شَىْءٌ
Tidak ada zakat jika emas kurang dari 20 mitsqol dan tidak ada zakat jika
kurang dari 200 dirham. )HR. Ad Daruquthni(
BESARAN
ZAKAT EMAS
Saudaraku,
Besaran zakat emas adalah 2,5% atau 1/40 jika telah mencapai nishab. Hal ini berdasarkan
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di atas. Dalam Hadits itu
disebutkan bahwa jika kita telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu
satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu,
maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.
Hal ini menunjukkan bahwa besaran
zakat yang harus dibayar adalah 0,5/20 atau sama dengan 1/40 atau 2,5% (dari total uang
tabungan) jika telah mencapai nishab. Contoh: jika nilai
tabungan setara dengan 100 gram emas murni (24
karat), maka besarnya zakat yang harus
dibayar adalah setara dengan 2,5% x 100 = 2,5 gram emas murni (24 karat).
WAKTU MEMBAYAR ZAKAT
Saudaraku,
Perlu diperhatikan bahwa
hitungan setahun itu tidak mengikuti hitungan tahun masehi melainkan mengikuti
hitungan tahun hijriyah. Katakanlah jumlah tabungan suami anda pada tanggal 1
Muharram 1441 H setara dengan 85 gram emas (murni 24
karat) atau lebih.
Selanjutnya dari sini bisa
diketahui bahwa jatuh tempo zakat uang tabungan suami anda adalah setahun
kemudian, yaitu jatuh pada tanggal 1 Muharram 1442 H. Maka pada hari itulah suami
anda wajib membayar zakat atas uang tabungannya, yaitu bila jumlah nilai uang
tabungan suami anda masih tetap setara dengan 85 gram
emas murni (24 karat) atau lebih. Dengan kata lain, bila uang tabungan suami
anda masih bisa untuk membeli 85 gram emas murni (24 karat)
atau lebih, maka pada hari itulah suami anda wajib membayar zakat atas
uang tabungannya.
APAKAH TAHUN DEPAN HARUS BAYAR
ZAKAT LAGI?
Saudaraku,
Hal itu tergantung
apakah nilai tabungan
suami anda
masih setara dengan nishab
emas atau tidak. Jika masih setara dengan nishab emas, maka
tahun depan juga harus bayar zakat lagi sebesar 2,5% dari nilai tabungan.
Sedangkan jika tahun depan nilai tabungan suami anda lebih
sedikit dari nishab emas (bisa karena sebagian tabungan telah diambil atau
karena harga emas yang naik pada waktu itu sehingga jumlah tabungan tidak lagi
cukup untuk membeli 85 gram emas murni), maka tahun
depan tidak ada lagi kewajiban untuk membayar zakat.
Jadi
intinya adalah,
nishab
tabungan suami anda harus selalu
disesuaikan dengan harga emas saat itu. Lalu dibuat perhitungan untuk
zakat tiap tahunnya. Wallahu ta’ala a'lam.
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar