Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat*)
telah menyampaikan pertanyaan via messenger dengan pertanyaan sebagai berikut: “Satu lagi boleh ya Pak Imron aku bertanya. Salahkah bila seorang
anak perempuan diwali-nikahkan oleh kakak laki-lakinya? Karena dengan sebab
bahwa bapak kandungnya (yang sudah bercerai dengan ibu kandungnya) tidak pernah
menafkahi dan (tidak pernah) bertemu dengan anak perempuan tersebut. Sedang
jika bapaknya menghendaki, bapaknya bisa saja menjumpai anak perempuan tersebut.
Maaf Pak Imron, katakanlah si bapak tersebut dipengaruhi oleh istri barunya
sehingga lupa akan anak perempuan tersebut. Bagaimana menurut Pak Imron? Mohon
kajiannya Pak. Terimakasih”.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak sah
suatu pernikahan, kecuali dengan wali. Demikian
penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR.
At-Tirmidzi).
Dan ketahuilah pula bahwa yang berhak menikahkan seorang wanita
adalah ayah kandung dari wanita tersebut. Siapapun tidak pernah punya hak
untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun dilakukan
juga, maka pernikahan itu menjadi tidak
sah. Tidak sah artinya jika pasangan tersebut nekad menikah juga bahkan melakukan
kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan
zina.
Sehingga siapapun (termasuk kakak
kandung laki-lakinya) yang mengangkat diri menjadi wali tanpa adanya
izin dari ayah kandung lalu menikahkannya, maka dia akan masuk neraka karena
telah menghalalkan perzinaan yang secara nyata dilarang oleh agama.
Dari Aisyah radhiallahu anha
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah
tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal,
nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan yang
lainnya).
Lalu apakah
kedudukan ayah kandung sebagai wali nikah tersebut tidak pernah tergantikan buat
selama-lamanya?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ayah kandung itu tidak akan pernah
tergantikan kedudukannya sebagai wali nikah hingga kapanpun, meski ayah kandung
tersebut tidak pernah memberi nafkah sama sekali. Kecuali jika
terdapat tiga hal berikut ini (posisi ayah kandung sebagai wali nikah bisa
gugur jika terdapat tiga hal berikut ini):
√ Adanya pemberian wewenang/hak
perwalian
Apabila ayah kandung
bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang
(mewakilkan kepada orang lain),
baik orang itu masih famili atau bukan,
maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan dengan
ketentuan orang
tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai wali nikah,
yaitu: muslim,
aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka.
√ Tidak terpenuhinya syarat sebagai wali nikah
Bila
syarat-syarat sebagai wali nikah (yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil
dan merdeka) tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah hak ayah kandung sebagai wali
nikah. Misalnya,
seorang
ayah kandung tidak beragama Islam (baik
karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad), maka haknya
sebagai wali nikah
gugur dengan sendirinya. Atau misalnya ayah kandung menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat
sebagai ‘aqil tidak terpenuhi sehingga
gugurlah haknya untuk menjadi wali nikah.
√ Dengan meninggalnya ayah kandung
Bila ayah kandung telah
wafat, maka
status ayah kandung sebagai wali nikah akan digantikan oleh orang lain (sesuai
dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau ayah dari ayah
dan seterusnya ke atas, 3. saudara laki-laki (kakak/adik) seayah dan seibu, 4. saudara
laki-laki (kakak/adik) seayah saja, 5. anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah
saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara laki-laki
ayah.
Saudaraku menyampaikan bahwa anak
perempuan tersebut ingin diwali-nikahkan oleh kakak laki-lakinya karena bapak
kandungnya (yang sudah bercerai dengan ibu kandungnya) tidak pernah menafkahi
dan tidak pernah bertemu dengan anak perempuan tersebut.
Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa tidak ada
sedikitpun alasan untuk menggantikan status ayah kandungnya sebagai wali nikah
karena perkara yang saudaraku sampaikan tersebut memang tidak bisa menggugurkan
statusnya (satus bapak kandung) sebagai wali nikah.
Kalaupun dilakukan juga (yaitu jika pernikahan tetap
dilaksanakan dengan wali nikah kakak kandung sedangkan masih ada ayah kandung
padahal tidak ada satu perkarapun yang bisa menggugurkan haknya sebagai wali
nikah), maka pernikahan menjadi tidak sah. Artinya jika pasangan tersebut nekad
menikah juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya
dihukumi telah melakukan perbuatan zina.
Lalu apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan
antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh pihak
yang lain?
Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa persengketaan
antara anak dengan bapak karena sang bapak tidak pernah memberi nafkah
kepadanya adalah sama sekali tidak bisa menggugurkan status ayah kandung
sebagai wali nikah sehingga pernikahan si anak perempuan ini tidak boleh
diwalikan oleh pihak lain, baik kakak kandung laki-laki maupun wali hakim.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak semua orang bisa menjadi wali nikah. Allah menghargai
hubungan kekeluargaan/kekerabatan manusia. Oleh karena
itu, keluarga
lebih berhak untuk mengatur daripada orang lain yang bukan kerabat. Perhatikan
penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat Al Anfaal pada bagian akhir ayat 75 berikut
ini:
...
وَأُوْلُواْ الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَــــٰبِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
“... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al
Anfaal. 75).
Bagian dari hak “mengatur” tersebut adalah hak
perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang
bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada
urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita,
dia lebih berhak untuk menjadi wali nikah bagi
si wanita itu. Tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah
sementara masih ada kerabat yang lebih dekat, karena hal semacam ini sama saja
dengan merampas hak perwalian sehingga nikahnya menjadi tidak sah.
Saudaraku,
Terkait hal ini, ada satu hal yang harus kita perhatikan.
Bahwa boleh saja anak perempuan tersebut tidak suka terhadap perbuatan bapak
kandungnya, namun anak perempuan tersebut harus tetap berlaku adil kepadanya
(kepada bapak kandungnya).
Perhatikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian tengah ayat 2 berikut
ini:
...
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ ... ﴿٢﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada
sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). ...”. (QS. Al Maa-idah. 2).
Tafsir Ibnu Katsir: “... Jangan sekali-kali kebencian
kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian
untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong
kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan balas
dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap
memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil
dalam perkara yang hak terhadap siapapun. ...”.
Saudaraku,
Dari surat Al Maa-idah ayat 2 di atas, diperoleh
penjelasan bahwa kebencian kaum muslimin kepada orang-orang yang dahulunya
pernah menghalang-halangi kaum muslimin untuk sampai ke Masjidil Haram, tidak
boleh mendorong kaum muslimin untuk melanggar hukum Allah terhadap mereka
orang-orang yang menghalangi pelaksanaan agama tersebut hingga hal ini bisa
menjadi sebab kaum muslimin mengadakan balas dendam terhadap mereka secara
aniaya dan permusuhan. Yang benar adalah bahwa kaum muslimin harus tetap
memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bersikap adil
dalam perkara yang hak terhadap siapapun.
Saudaraku,
Pesan keadilan di atas begitu
pentingnya,
sehingga ditegaskan kembali dalam surat yang sama (yakni surat Al
Maa-idah) pada ayat
8 berikut ini:
...
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
﴿٨﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maa-idah. 8).
Saudaraku,
Anak perempuan tersebut harus dapat mengambil pelajaran
dari uraian di atas. Bahwa boleh saja anak perempuan tersebut tidak suka
terhadap perbuatan bapak kandungnya yang tidak pernah
menafkahi dan tidak pernah bertemu dengannya, namun sang anak harus
tetap berlaku adil kepada ayahnya. Salah satu diantaranya adalah terkait haknya
sebagai wali nikah bagi sang anak.
Saudaraku,
Tidak mau menikah dengan wali nikah bapak kandung tanpa
alasan yang syar’i, hal ini sama saja dengan merampas hak perwaliannya. Dan
jika ini yang dilakukan, maka itu artinya anak perempuan tersebut
telah berlaku dzolim kepada ayahnya.
Oleh karena itu sampaikan kepada anak perempuan tersebut,
bahwa jangan sampai ketidak-sukaannya kepada ayah kandungnya telah mendorongnya
untuk melanggar hukum Allah.
Sampaikan kepada anak perempuan tersebut bahwa yang
bersangkutan tidak perlu khawatir jika ayah kandungnya ternyata punya itikad
buruk dengan bersikukuh untuk tidak merestui pernikahannya tanpa alasan yang
jelas, setelah anak perempuan tersebut berupaya untuk berlaku adil kepada ayah
kandungnya dengan memberikan haknya sebagai wali nikah.
Santai saja wahai saudaraku, karena Islam telah
memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan terburuk seperti ini. Perhatikan
penjelasan hadits berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو
داود)
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang
menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila
ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas
kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi
mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).
Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini
pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali
nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau jika wali
khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali
nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk
menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau
menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada saat wali tidak mau menikahkan, maka
harus dilihat dahulu alasannya apakah alasannya syar’i atau tidak syar’i.
Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh agama, misalnya anak gadisnya
sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya
adalah orang kafir (non-muslim), atau orang fasik (misalnya pezina atau pemabok),
atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan
sebagainya.
Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan
alasan syar’i seperti ini, maka wali (dalam hal ini adalah ayah kandungnya) wajib
ditaati dan kewaliannya tidak bisa berpindah kepada pihak lain (baik kakak
kandung laki-laki maupun wali hakim).
Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah
dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya jelas tidak sah alias batil.
Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan ayah kandungnya,
tidak berpindah kepada kakak kandung laki-laki maupun wali hakim. Jadi perempuan itu
sama saja dengan menikah tanpa wali, sehingga
nikahnya batil.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR.
At-Tirmidzi).
Namun adakalanya wali menolak menikahkan putrinya dengan
alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan oleh agama. Misalnya calon
suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajahnya tidak rupawan, dan
sebagainya. Termasuk jika penolakannya hanya dilandasi balas dendam
dari wali nikah (ayah kandung) terkait masa lalu hingga beliau bersikukuh untuk
tidak merestui pernikahan sang anak tanpa alasan yang jelas.
Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan
alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali yang seperti ini disebut wali
‘adhol. Makna ‘adhol adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya tanpa
alasan yang syar’i, jika perempuan itu telah menuntut nikah.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم
بِالْمَعْرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ
بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٢٣٢﴾
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah. 232).
Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini,
maka hak kewaliannya akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga anak perempuan
tersebut tidak perlu khawatir seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpanya
setelah yang bersangkutan berupaya untuk berlaku adil kepada ayah kandungnya
dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. (Doaku: semoga hal seperti ini
tidak sampai terjadi padanya. Amin, ya rabbal ‘alamin).
Dan seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa anak
perempuan tersebut dan yang bersangkutan berkeinginan untuk mendapatkan wali
hakim, maka yang bersangkutan bisa datang ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon
mempelai perempuan (anak perempuan tersebut) tinggal. Nantinya ada beberapa
persyaratan serta serangkaian prosedur yang harus dilalui. Untuk lebih
jelasnya, bisa ditanyakan langsung di KUA setempat.
♦ Menyikapi ayah kandung yang telah berlaku
dholim
Saudaraku,
Tentunya sangat bisa dimaklumi jika kemudian timbul rasa
benci sang anak kepada ayahnya jika sang ayah memang telah berperilaku buruk
serta mengkhianatinya sehingga menimbulkan luka yang sangat dalam. Meskipun
demikian, sebaiknya jangan terlalu berlebihan dalam membencinya. Silakan tidak suka (benci) kepada sang ayah, namun bencilah sekedarnya saja.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ
أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أُرَاهُ رَفَعَهُ
قَالَ أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا
وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا.
(رواه الترمذى)
Abu Kuraib menceritakan kepada
kami, Suwaid bin Amr AI Kalbi menceritakan kepada kami, dari Hamad bin Salamah,
dari Ayyub, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah – menurutku Abu Hurairah
meriwayatkan hadits secara marfu' kepada rasul – ia (Abu Hurairah) berkata,
"Cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi
suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci
sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu
cintai." (HR.
At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Terlalu
berlebihan dalam membenci sang ayah hanya akan menimbulkan kelelahan berpikir,
stres, serta membuat pikiran kita dipenuhi kekesalan.
Daripada
membenci yang terlalu berlebihan yang pasti akan sangat banyak menguras
pikiran, tentunya akan lebih bermanfaat jika bisa melapangkan dada untuk
memaafkannya. Semoga kelapangan dadanya
dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah SWT. sebagai
amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaannya
kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
وَأَوْلَـــٰـدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا
وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤﴾
(14) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ
عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
(15) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ... ﴿١٦﴾
(16) “Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. ...”. (QS. At
Taghaabun. 14 – 16).
Sedangkan jika luka itu memang teramat dalam sehingga
sang anak sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua
urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa ini menjadi tenang.
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
“Hai jiwa
yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27 – 28).
Sekali lagi kusampaikan, bahwa jika luka itu memang
teramat dalam sehingga anak perempuan tersebut sudah tidak
mampu lagi untuk memaafkan kesalahan ayahnya,
maka kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa ini
menjadi tenang. Yakinlah, bahwa Allah SWT. pasti akan memberikan keputusan yang terbaik
diantara kita semua. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana,
sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Al An’aam ayat 18:
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).
Sedangkan
Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an
dalam surat Ar Ruum ayat 6:
... لَا يُخْلِفُ
اللهُ وَعْدَهُ وَلَـــٰـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
“... Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
(QS. Ar Ruum. 6).
Saudaraku,
Sampaikan kepada anak perempuan tersebut bahwa dia tidak
perlu galau menghadapi situasi yang benar-benar sulit seperti ini. Karena
masih ada Allah SWT., yang kepada-Nya kita bisa mengadukan segala
kesusahan/kesedihan serta semua permasalahan hidup ini.
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ
وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿٨٦﴾
Ya`qub menjawab:
"Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan
kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada
mengetahuinya." (QS. Yusuf. 86).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari
ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi
pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.