Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) (dosen
sebuah perguruan tinggi terkemuka di Surabaya) telah
menyampaikan pertanyaan sebagai berikut: “Mohon maaf
sebelumnya ada yang ingin saya tanyakan tentang ibadah. Saya
pernah membaca suatu artikel yang
menjelaskan tentang ibadah. Bahwa ibadah yang
mempunyai nilai tinggi dihadapan Allah SWT. adalah ibadah yang
bersifat sosial. Bagaimana
menurut Pak Imron?”.
Saudaraku,
Berbicara masalah agama itu harus berdasarkan dalil/tidak
cukup jika hanya berdasarkan logika semata. Mengapa demikian? Karena ilmu Allah
itu meliputi segala sesuatu, sedangkan ilmu pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas.
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Ath
Thalaaq. 12).
... وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
Terkait pertanyaan apakah ibadah sosial itu lebih utama daripada ibadah individual, marilah kita perhatikan penjelasan beberapa ayat Al Qur’an serta beberapa
hadits berikut ini:
♦ Keutamaan membaca Al Qur’an
Saudaraku,
Orang yang membaca satu huruf dari
Al Qur’an, maka baginya sepuluh kebaikan dari
setiap huruf yang dibacanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ
اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ، وَالْحَسَنَةُ
بِعَشْرِ اَمْثَالِهَا، لَااَقُوْلُ الم حَرْفٌ،
بَلْ اَلِفٌ حَرْفٌ،
وَلَامٌ حَرْفٌ، وَمِيْمٌ حَرْفٌ (رواه الترمذى،
وقال حديث حسن صحيح)
“Barangsiapa membaca satu huruf dari
kitab Allah (Al Qur’an) maka baginya satu kebaikan, sedangkan satu kebaikan itu bernilai sepuluh kali lipat.
Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf,
tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf”. (HR.
At-Turmudzi, dan ia mengatakan hadits hasan shahih).
Sedangkan orang yang mengajarkan satu ayat dari Al Qur’an
itu lebih baik daripada shalat sunnah seratus rakaat.
يَا أَبَاذَرٍّ ، لَأَنْ تَغْدَوْا فَتُعَلِّمَ اَيَةً
مِنْ كِتَابِ اللهِ خَيْرٌ لَّكَ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ مِائَةَ رَكْعَةٍ ، وَلَأَنْ
تَغْدُوْا فَتُعَلِّمَ بَابًا مِنَ الْعِلْمِ عُمِلَ بِهِ اَوْ لَمْ يُعْمَلْ ،
خَيْرٌ مِنْ اَنْ تُصَلِّيَ أَلْفَ رَكْعَةٍ. (رواه ابن
ماجه)
“Wahai
Aba Dzar, kamu pergi mengajarkan ayat dari Kitabullah lebih baik bagimu dari
pada shalat (sunnah) seratus rakaat, dan pergi mengajarkan satu bab ilmu
pengetahuan baik dilaksanakan atau tidak, itu lebih baik dari pada shalat
seribu rakaat”. (HR. Ibnu Majah).
Padahal dalam setiap rakaat sholat sunat itu minimal
dibaca 7 ayat Al Qur’an yaitu yang terdapat dalam surat Al Faatihah (dan masih
ditambah lagi dengan rangkaian bacaan serta perbuatan lainnya dalam ibadah
sholat), karena tidak sah shalat seseorang jika dia tidak membaca surah Al
Faatihah.
Dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu
‘anhu,
dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ الْقُرْآنِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Tidak
ada shalat bagi yang tidak membaca Ummul Qur’an (Al-Faatihah)”. (HR.
Bukhari dan Muslim).
Saudaraku,
Orang yang mengajarkan satu ayat dari Al Qur’an itu
disamping lebih baik daripada shalat sunnah seratus rakaat, ia juga akan
mendapatkan pahala yang sama dengan pahala yang diberikan Allah kepada orang
yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya
sedikitpun.
Artinya setiap kali yang bersangkutan mengamalkan ilmu
yang telah diberikan, maka orang yang mengajarkannya akan selalu mendapatkan
pahala yang sama dengan pahala yang diberikan Allah kepada orang yang
mengamalkannya tersebut.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ عِيسَى الْمِصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ
يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ
أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ. (رواه ابن ماجه)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Isa Al Mishri]
berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Wahb] dari [Yahya bin
Ayyub] dari [Sahl bin Mu'adz bin Anas] dari [Bapaknya] bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka ia
akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala
orang yang mengamalkannya sedikitpun." (HR. Ibnu Majah, no. 236).
Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa mengajarkan
satu ayat dari Al Qur’an itu berlipat-lipat kali lebih baik daripada membaca satu
ayat dari Al Qur’an.
♦ Keutamaan sholat malam dan puasa
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya bagi orang-orang yang
bertakwa yang ketika hidup di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik,
sementara mereka itu sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir
malam mereka memohon ampun kepada Allah SWT., maka bagi mereka itu nantinya
akan berada di dalam taman-taman surga. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Adz
Dzaariyaat ayat 15 – 18 serta dalam surat Al Israa’ ayat 79 berikut ini:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّــــٰتٍ وَعُيُونٍ ﴿١٥﴾ ءَاخِذِينَ مَا ءَاتَـــٰــهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَٰلِكَ مُحْسِنِينَ ﴿١٦﴾ كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ الَّيْلِ مَا
يَهْجَعُونَ ﴿١٧﴾ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ ﴿١٨﴾
(15) “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di
dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air”, (16) “sambil mengambil apa
yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu
di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik”; (17) “Mereka sedikit sekali
tidur di waktu malam”; (18) “Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun
(kepada Allah)”. (QS. Adz Dzaariyaat. 15 – 18).
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا ﴿٧٩﴾
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah
kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat
kamu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al Israa’. 79).
Sedangkan terkait keutamaan ibadah puasa, perhatikan
penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ
يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ
شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ
فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ
اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ. (رواه مسلم)
“Setiap amalan
kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh
kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku.
Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat
dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua
kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika
berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di
sisi Allah daripada bau minyak kasturi”. (HR. Muslim no.
1151)
Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan Al Qur’an dalam surat Adz
Dzaariyaat ayat 15 – 18 dan dalam surat Al Israa’ ayat 79 serta penjelasan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di
atas, nampaklah betapa tingginya keutamaan bagi siapa saja yang mau
melaksanakan ibadah sholat malam serta puasa.
Meskipun demikian, ternyata orang yang membantu para janda dan orang-orang
miskin itu bahkan seperti orang yang berjihad di jalan Allah dan seperti orang
yang shalat malam yang tidak pernah istirahat serta seperti orang yang berpuasa
dan tidak pernah berbuka.
Pertanyaannya adalah:
“Adakah diantara kita yang mampu untuk melakukan shalat malam yang tidak pernah
istirahat (terus-menerus sepanjang malam) serta berpuasa terus-menerus dan tidak
pernah berbuka?”.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ
فِي سَبِيلِ اللهِ وَأَحْسِبُهُ قَالَ يَشُكُّ الْقَعْنَبِيُّ كَالْقَائِمِ لَا
يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لَا يُفْطِرُ. (رواه البخارى)
58.36/5548. Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Maslamah telah menceritakan kepada kami Malik dari
Tsaur bin Zaid dari Abu Al Ghaits dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Orang yang membantu para janda dan orang-orang miskin
seperti orang yang berjihad di jalan Allah – aku mengira beliau juga bersabda (Al
Qa'nabi ragu) – “Dan seperti orang yang shalat malam tidak pernah istirahat dan
seperti orang puasa tidak berbuka”. (HR. Al-Bukhari).
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي
الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَأَحْسِبُهُ قَالَ وَكَالْقَائِمِ لَا يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ
لَا يُفْطِرُ.
(رواه مسلم)
55.40/5295. Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab telah menceritakan kepada kami
Malik dari Tsaur bin Zaid dari Abu Al Ghaits dari Abu Hurairah dari nabi
Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: “Orang yang
membantu para janda dan orang-orang miskin seperti orang yang berjihad dijalan
Allah” – aku mengira beliau bersabda – “Dan seperti orang yang shalat malam
tidak lelah dan seperti orang puasa tidak berbuka”. (HR.
Muslim).
Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa membantu para janda dan orang-orang miskin itu
berlipat-lipat kali lebih baik daripada orang yang melaksanakan ibadah sholat
malam serta puasa.
♦ Ibadah sosial itu lebih utama daripada
ibadah individual
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
memang benar ibadah sosial itu lebih utama daripada
ibadah individual.
Meskipun demikian, kita juga harus memperhatikan
penjelasan surat Al Baqarah ayat 44 serta surat Ash Shaff ayat 2 – 3 berikut
ini:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ
وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿٤٤﴾
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan,
sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab
(Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (QS. Al Baqarah. 44).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِـمَ تَقُولُونَ مَا لَا
تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
﴿٣﴾
(2) Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu perbuat? (3) Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (QS. Ash Shaff. 2 – 3).
Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan surat Al Baqarah ayat 44 serta
surat Ash Shaff ayat 2 – 3 di atas, nampaklah bahwa sebelum berbuat kebajikan kepada
orang lain maka prioritas pertama dan yang pertama kali tentunya adalah berbuat
kebajikan untuk diri kita sendiri.
Hal ini mengandung arti bahwa meskipun ibadah sosial itu
keutamaannya begitu tinggi namun kita harus berbuat kebajikan untuk
diri-sendiri terlebih dahulu sebelum berbuat kebajikan untuk orang lain. Karena
jika tidak, maka kita akan terkena murka Allah sebagaimana ancaman-Nya dalam surat
Al Baqarah ayat 44 serta surat Ash Shaff ayat 2 – 3 di atas. Na’udzubillahi min
dzalika (kami berlindung kepada Allah dari yang demikian).
Lebih dari itu, ketahuilah bahwa dengan berbuat kebajikan
untuk diri-sendiri terlebih dahulu, sesungguhnya hal itu juga akan melahirkan
perbuatan amal kebajikan untuk orang lain. Yang artinya adalah: jika benar
bahwa ibadah individu itu dilaksanakan dengan baik dan benar, maka otomatis hal
itu akan melahirkan ibadah sosial pula.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Thaahaa ayat
14 berikut ini:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَـــٰــهَ إِلَّا أَنَاْ فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ
لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS.
Thaahaa. 14).
Saudaraku,
Berdasarkan surat Thaahaa ayat 14 di atas, diperoleh
penjelasan bahwa tujuan shalat
adalah
agar manusia selalu ingat kepada Allah.
Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya,
bagaimana mungkin akan berani melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa?
Bukankah ketika seseorang berani
berbuat dosa dan pelanggaran, hal ini karena pada saat itu dia tidak
menyadari kehadiran dan kebersamaan Allah dengannya? Karena
pada saat itu dia telah menanggalkan iman yang sebelumnya ada dalam
genggamannya?
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ وَابْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولَانِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي
الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ
يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ
مُؤْمِنٌ. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ
بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ
يُحَدِّثُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَقُولُ كَانَ أَبُو بَكْرٍ يُلْحِقُ
مَعَهُنَّ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ
أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.
(رواه البخارى)
“Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dia berkata;
telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; saya mendengar
Abu Salamah bin Abdurrahman dan Ibnu Musayyab keduanya berkata, Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata; sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Tidaklah seseorang itu berzina, ketika sedang berzina dia dalam keadaan mukmin. Tidak pula seseorang
itu minum khamer ketika sedang minum khamer ia dalam keadaan mukmin. Dan tidak
pula seseorang itu mencuri ketika sedang mencuri ia dalam keadaan mukmin."
Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku pula Abdul Malik bin Abu Bakr
bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam bahwa Abu Bakr pernah menceritakan
kepadanya dari Abu Hurairah, lalu dia berkata; "Abu Bakar menambahkan
dalam hadits tersebut dengan redaksi; "Dan tidaklah seseorang merampas
harta orang lain yang karenanya orang-orang memandangnya sebagai orang yang
terpandang, ketika dia merampas harta tersebut dalam keadaan mukmin". (HR. Bukhari).
Saudaraku,
Disamping penjelasan di atas, dalam Al Qur’an surat Al
‘Ankabuut ayat 45 berikut ini Allah juga telah menyampaikan kepada kita bahwa
shalat itu adalah suatu ibadah yang akan membentuk manusia agar memiliki akhlak
yang mulia.
اُتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَـــٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al
‘Ankabuut. 45).
Oleh karena itu,
orang yang benar-benar melakukan shalat dengan penuh penghayatan terhadap apa
yang dilakukannya, pastilah dia tidak akan pernah melakukan suatu pelanggaran,
baik terhadap aturan Allah maupun aturan masyarakat. Orang yang melaksanakan
shalat dengan benar, pasti tidak akan pernah
melakukan perbuatan yang membuat orang lain risih, tersinggung atau terusik.
Saudaraku,
Bagaimana mungkin,
orang yang melaksanakan shalat dengan benar berani melanggar
aturan Allah? Bukankah di awal shalatnya dia telah
mengakui Kemahabesaran Allah melalui ucapan takbir? Begitu juga, bagaimana
mungkin orang yang melaksanakan shalat dengan benar akan melakukan
sesuatu yang akan mengganggu dan mengusik ketenangan orang lain? Bukankah di akhir shalatnya dia menebarkan kedamaian, keselamatan
dan ketenangan bagi orang di sekitarnya melalui salam?
♦ Orang yang baik ibadah
individualnya akan baik pula ibadah sosialnya
Saudaraku,
Dari uraian di atas, maka bisa dipastikan
bahwa semakin baik shalat seseorang maka akan semakin baik pula amal sosialnya,
semakin peka terhadap persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat dan tidak akan
menimbulkan keburukan dan kerusakan bagi sesamanya.
Dan jika kita kaji ibadah-ibadah individu yang lainnya
maka akan kita dapatkan kesimpulan yang sama, bahwa orang
yang baik ibadah individualnya maka akan baik
pula ibadah sosialnya.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi
pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.