Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (dosen sebuah perguruan tinggi ternama di
Jawa Timur) telah menyampaikan pesan via WhatsApp: “Saya berdoa
semoga orang-orang yang terlibat kedholiman pada tragedi 50 km Tol Karawang
segera bertaubat. Kalau tidak,
semoga segera dibalas Allah Ta’ala”.
TANGGAPAN
Saudaraku,
Ketahuilah
bahwa syarat
agar taubat seorang pembunuh bisa diterima itu sangat berat.
Dan setelah
kusampaikan bahwa syarat agar taubat seorang pembunuh bisa diterima itu sangat
berat, rupanya beliau ingin mengetahui apa saja syaratnya agar taubat seorang
pembunuh bisa diterima oleh Allah SWT.
Saudaraku,
Sebelum membahas perkara tersebut, marilah kita
perhatikan terlebih dahulu kisah Nabi Adam AS berikut
ini:
Dikisahkan dalam Al Qur’an, bahwa
syaitan melakukan apapun dalam upayanya untuk
menjerumuskan Nabi Adam AS bersama isterinya
(yakni Hawa) ke dalam jurang kehinaan. Bahkan
mereka tak segan-segan untuk bersumpah bahwa mereka hanyalah hendak
menyampaikan nasihat dan anjuran baik belaka (yang tentunya ini adalah sumpah
palsu), hingga Nabi Adam-pun (bersama isterinya) bisa tergelincir oleh tipu
dayanya.
وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ ﴿٢١﴾
Dan
dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya: “Sesungguhnya
saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua”, (QS. Al A’raaf. 21).
فَدَلَّـــــٰـهُـمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَـهُمَا سَوْءَاتُهُمَا
وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ ... ﴿٢٢﴾
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu)
dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi
keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun
surga. ...”. (QS. Al A’raaf. 22).
Saudaraku,
Setelah keduanya termakan oleh bujuk rayu syaitan (yakni untuk memakan buah itu) hingga nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga, kemudian
Allah-pun menyeru kepada
keduanya:
... وَنَادَىــٰــهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَن تِلْكُمَا
الشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَا إِنَّ الشَّيْطَـــٰنَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٢﴾
“... Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah Aku
telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS.
Al A’raaf. 22).
Menyadari
akan hal itu, maka keduanyapun berdo’a:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ
لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٢٣﴾
Qaalaa: “Rabbanaa dzalamnaa anfusanaa wa illam taghfirlanaa wa tarhamnaa
lanakuunanna minal khaasiriin”. Keduanya
berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Al A’raaf. 23).
Dan
Allah-pun menerima taubat keduanya:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ
إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ ﴿٣٧﴾
Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah. 37).
♦ Rujukan untuk bertaubat
Kita bisa menjadikan do’a Nabi Adam AS bersama isterinya yang telah diabadikan oleh Allah dalam Al Qur'an surat Al
A'raaf ayat 23 di atas
sebagai rujukan manakala kita hendak bertaubat kepada Allah atas segala dosa
yang telah kita perbuat, khususnya yang terkait dengan Allah SWT.
Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan Al Qur'an dalam surat
Al A'raaf ayat 23 di atas, terdapat
3 hal yang harus kita lakukan agar taubat kita diterima oleh Allah SWT manakala
kita berbuat dosa yang terkait dengan Allah SWT., seperti: berburuk
sangka kepada-Nya, tidak bersyukur atas segala nikmat yang telah Dia berikan,
dll.
√ Mengakui +
menyesali dosa yang telah diperbuat. Hal ini tercermin dalam potongan ayat
berikut ini:
... رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا
... ﴿٢٣﴾
“... Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, ...". (QS. Al A’raaf. 23).
√ Benar-benar
berniat ikhlas untuk bertaubat karena mencari ampunan Allah SWT. Hal ini
tercermin dalam potongan ayat berikut ini:
... وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا
وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٢٣﴾
“..., dan
jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Al A’raaf. 23).
√ Berjanji +
bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi. Untuk syarat ketiga ini tidak secara explisit tertulis
pada surat Al A'raaf ayat 23 diatas, namun pada kenyataannya Nabi Adam AS bersama isterinya memang benar-benar tidak
pernah mengulangi perbuatan dosanya lagi.
Saudaraku,
Jika ketiga hal tersebut kita lakukan dengan
sungguh-sungguh, insya Allah Allah-pun akan
menerima taubat kita manakala kita berbuat dosa
yang terkait dengan Allah SWT, sebagaimana
Dia telah menerima taubat Nabi Adam AS bersama
isterinya sebagaimana penjelasan surat Al Baqarah
ayat 37 di atas.
√ Namun jika perbuatan dosa
yang kita lakukan ternyata terkait dengan hak-hak orang lain, disamping harus
kita lakukan ketiga hal di atas, masih ada tambahan satu syarat lagi yang harus
kita penuhi agar taubat kita diterima oleh
Allah SWT, yaitu: hendaklah kita mengembalikan
hak-hak tersebut kepada yang memilikinya atau minta
dihalalkan. Hal ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta Imam Abu
Dawud berikut ini:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي
إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ
شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ
وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ
مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ
فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى)
29.10/2269. Telah menceritakan
kepada kami Adam bin Abi Iyas telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dza'bi
telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Maqburiy dari Abu Hurairah radliallahu
'anhu berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang pernah berbuat aniaya (zhalim) terhadap
kehormatan saudaranya atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya
(maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak
bermanfaat dinar dan dirham. Jika dia tidak lakukan, maka (nanti pada hari
qiyamat) bila dia memiliki amal shalih akan diambil darinya sebanyak
kezholimannya. Apabila dia tidak memiliki kebaikan lagi maka keburukan
saudaranya yang dizholiminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya.
(HR.
al-Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ. (رواه ابو داود)
“Tidak
halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya”. (HR. Abu Dawud).
♦ Syarat agar taubat seorang pembunuh bisa diterima Allah SWT
Saudaraku,
Karena membunuh orang itu terkait
dengan hak-hak orang lain (yaitu menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan agama), disamping harus kita
lakukan ketiga hal di atas, masih ada tambahan satu syarat lagi yang harus kita
penuhi agar taubat kita diterima oleh Allah
SWT, yaitu: hendaklah pembunuh mengembalikan
hak-hak tersebut kepada yang memilikinya atau minta
dihalalkan.
Terkait hal ini, perhatikan penjelasan beberapa
ayat Al Qur’an berikut ini:
وَلَا تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا
بِالحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَــــٰـنًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
﴿٣٣﴾
Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang
benar1). Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya
Kami telah memberi kekuasaan2) kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan. (QS. Al Israa’. 33).
1) Maksudnya
adalah pembunuhan yang dibenarkan oleh syara’, seperti qishash, rajam, dll.
2) Yang
dimaksud dengan kekuasaan di sini ialah hal ahli waris yang terbunuh atau
penguasa untuk menuntut qishash atau menerima diyat (lihat
surat Al Baqarah ayat 178 dan surat An Nisaa’ ayat 92 berikut ini):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْـحـُـــرُّ بِالْـحُــرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ
وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتّــِـــبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَـــٰنٍ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿١٧٨﴾
Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash3) berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af)
membayar (diyat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu
dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih. (QS. Al Baqarah. 178).
3) Yang dimaksud dengan qishash adalah mengambil
pembalasan yang sama. Qishash itu tidak dilakukan bila yang membunuh
mendapatkan kema’afan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar diyat (ganti rugi) yang
wajar. Pembayaran diyat
diminta dengan baik, misalnya dengan tidak mendesak yang membunuh dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, seperti tidak
menangguh-nangguhkannya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَـــئًا
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـــئًا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا
أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ
مِّيثَـــٰقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ فَمَن لَّمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللهِ وَكَانَ اللهُ
عَلِيمًا حَكِيمًا ﴿٩٢﴾
Dan tidak layak bagi seorang
mu'min membunuh seorang mu'min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja)4), dan barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat5)
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah6). Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu,
padahal ia mu'min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang
mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nisaa’. 92).
4) Yang
dimaksud di sini, seperti saat seseorang hendak menembak burung, ternyata
secara tidak sengaja telah mengenai orang lain.
5) Diyat
adalah pembayaran sejumlah harta karena suatu tindak pidana terhadap jiwa atau
anggota badan.
6) Yang
dimaksud dengan bersedekah di sini adalah membebaskan si pembunuh dari
pembayaran diyat.
♦ KESIMPULAN
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 syarat
agar taubat seorang pembunuh bisa diterima Allah SWT:
1. Mengakui +
menyesali dosa yang telah diperbuat.
2. Benar-benar
berniat ikhlas untuk bertaubat karena mencari ampunan Allah SWT.
3. Berjanji +
bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu lagi.
4. Memenuhi
hak-hak ahli warisnya atau minta
dihalalkan.
4a. Jika ahli warisnya menuntut qishash (nyawa dibayar nyawa), maka si pembunuh harus dengan
ikhlas menerima hukuman
qishash tersebut jika dia memang ingin agar taubatnya diterima
Allah.
4b. Hukuman qishash tersebut
bisa dibatalkan pelaksanaannya jika si pembunuh mendapatkan kema’afan dari ahli waris yang
terbunuh, yaitu dengan membayar diyat
(ganti rugi) yang wajar. Jika ini yang terjadi, maka si pembunuh harus dengan
ikhlas membayar
diyat
tersebut jika dia memang ingin agar taubatnya diterima Allah.
♦ Tentang seputar diyat pada kasus pembunuhan
Saudaraku,
Diyat
terbagi atas diyat berat dan diyat ringan. Diyat yang berat dibebankan pada
pembunuhan yang disengaja. Sedangkan diyat ringan dibebankan pada pembunuhan
yang tidak disengaja.
√ Orang yang membunuh secara
sengaja lalu dia menerima diyat.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ قَتَلَ عَمْدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْقَتِيلِ فَإِنْ
شَاءُوا قَتَلُوا وَإِنْ شَاءُوا أَخَذُوا الدِّيَةَ وَذَلِكَ ثَلَاثُونَ حِقَّةً
وَثَلَاثُونَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُونَ خَلِفَةً وَذَلِكَ عَقْلُ الْعَمْدِ مَا
صُولِحُوا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ وَذَلِكَ تَشْدِيدُ الْعَقْلِ. (رواه ابن ماجه)
2142-2675. Dari Abdullah bin
Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membunuh secara
sengaja, maka ia diserahkan kepada keluarga orang yang terbunuh. Apabila mereka
menginginkan, maka mereka bisa membunuh atau mengambil diyat, sejumlah 30 (tiga
puluh) unta hiqqah (unta yang berusia empat tahun), 30 (tiga puluh) unta jad'ah
(unta berusia lima tahun), dan 40 (empat puluh) unta khalifah (unta yang sedang
mengandung). Itulah diyat pembunuh yang disengaja dan apa yang mereka damaikan
merupakan keuntungan bagi mereka. dan itu demi memperberat sanksi diyat
pembunuhan. (HR.
Ibnu Majah).
√ Hukum diyat membunuh karena
kesalahan (tidak disengaja).
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قُتِلَ خَطَأً فَدِيَتُهُ مِنْ الْإِبِلِ ثَلَاثُونَ بِنْتَ
مَخَاضٍ وَثَلَاثُونَ بِنْتَ لَبُونٍ وَثَلَاثُونَ حِقَّةً وَعَشَرَةٌ بَنِي
لَبُونٍ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَوِّمُهَا
عَلَى أَهْلِ الْقُرَى أَرْبَعَ مِائَةِ دِينَارٍ أَوْ عَدْلَهَا مِنْ الْوَرِقِ
وَيُقَوِّمُهَا عَلَى أَزْمَانِ الْإِبِلِ إِذَا غَلَتْ رَفَعَ ثَمَنَهَا وَإِذَا
هَانَتْ نَقَصَ مِنْ ثَمَنِهَا عَلَى نَحْوِ الزَّمَانِ مَا كَانَ فَبَلَغَ قِيمَتُهَا
عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا بَيْنَ
الْأَرْبَعِ مِائَةِ دِينَارٍ إِلَى ثَمَانِ مِائَةِ دِينَارٍ أَوْ عَدْلَهَا مِنْ
الْوَرِقِ ثَمَانِيَةُ آلَافِ دِرْهَمٍ وَقَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ عَقْلُهُ فِي الْبَقَرِ عَلَى أَهْلِ
الْبَقَرِ مِائَتَيْ بَقَرَةٍ وَمَنْ كَانَ عَقْلُهُ فِي الشَّاءِ عَلَى أَهْلِ
الشَّاءِ أَلْفَيْ شَاةٍ. (رواه ابن ماجه)
2145-2680. Dari Abdullah bin
Amr, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membunuh seseorang
karena kesalahan. maka dendanya adalah 30 (tiga puluh) ekor unta bintu makhad
(unta betina yang berusia satu tahun), 30 (tiga puluh) ekor unta bintu labun
(unta betina yang berusia dua tahun), 30 (tiga puluh) unta hiqqah dan 10 (sepuluh)
unta bani labun (unta jantan yang berusia dua tahun) Rasulullah menilai harga
unta tersebut kepada masyarakat kampung dengan nilai empat ratus dinar atau
senilai dengan uang perak. Ia menilainya dengan kondisi harga unta, apabila
harganya sedang tinggi, maka ia menaikkan nilainya dan apabila sedang rendah,
maka ia menurunkan nilainya sesuai dengan kondisi yang ada. Oleh karena itu
nilai harga unta pada masa Rasulullah berada di antara empat ratus sampai
delapan ratus dinar atau sebanding dengan uang perak sejumlah delapan ribu
Dirham. Rasulullah SAW menetapkan bahwa barangsiapa dendanya berupa sapi, maka
ia harus membayar dengan 200 (dua ratus) ekor sapi, barangsiapa dendanya berupa
kambing, maka ia harus membayar dengan 2000 (dua ribu) ekor kambing. (HR. Ibnu Majah).
4c. Hukuman diyat tersebut bisa
dibatalkan pelaksanaannya jika ahli warisnya (keluarga
terbunuh) bersedekah. Yang dimaksud dengan bersedekah di sini
adalah membebaskan si pembunuh dari pembayaran diyat. Jika ini
yang terjadi, maka pembunuh tersebut terbebas dari segala hukuman sehingga agar
taubatnya diterima Allah, pembunuh tersebut cukup melaksanakan 3 syarat pertama
saja.
Saudaraku,
Demikianlah hukum Allah terkait kasus pembunuhan. Dan kita tidak boleh mengambil sebagian saja hukum-hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah, yaitu hukum-hukum yang kita senangi saja. Sementara
hukum-hukum yang lain yang tidak kita senangi kita buang begitu saja. Karena
Allah telah berfirman dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208, yang artinya
adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ
ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu. (QS. Al Baqarah. 208).
Dari Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208
tersebut, diperoleh penjelasan bahwa kita diperintahkan untuk masuk ke dalam
Islam secara keseluruhannya. Artinya kita tidak boleh mengambil sebagian saja
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu hukum-hukum yang kita
senangi saja. Sementara hukum-hukum yang lain yang tidak kita senangi kita
buang begitu saja.
Jika hal
ini yang kita lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan membuang
sebagian yang lainnya), maka tanpa kita sadari, kita telah memperturutkan
langkah-langkah syaitan. Padahal,
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kita. Na’udzubillahi
mindzalika!
...
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَـــٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ
فِي الْـحَيَوٰةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَـــٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا
اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
“...
Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian
yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu,
melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.
(QS. Al Baqarah. 85).
Saudaraku,
Jika kita hanya mengambil Islam sebagian saja, atau
bahkan ingin sepenuhnya mengambil hukum-hukum lain (selain yang ditetapkan oleh
Allah), lalu apakah hukum Jahiliyah yang kita kehendaki? Dan
hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang
yakin?
أَفَحُكْمَ الْجَـــٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ
أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?. (QS. Al Maa-idah. 50).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.