Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1)
telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan sebagai berikut:
Adik ipar dan
ibu mertua suka dengan
keduniawian, kekayaan, gengsi tinggi. Adik ipar minta
mobil 2, rumah mewah, biaya anaknya kuliah, dll.
ke suami saya lewat ibunya (ibu
mertua punya 3 orang anak terdiri dari 1 orang laki-laki dan 2 orang
perempuan). Yang saya tanyakan, apakah kalau suami tidak menuruti keinginan mereka, suami dikatakan anak
durhaka? Tidak berbakti?
Suami menuruti semua
keinginan adiknya, tapi keinginan saya untuk naik haji tidak dituruti dengan alasan tidak penting. Sesuai dengan apa
yang dikatakan ibunya bahwa haji tidak
penting, yang penting menuruti keinginan orang tua
dan adik.
Dengan
menuruti semua kemauan adiknya, suami sampai punya hutang Rp 500 jt di kantor dll.,
sehingga gaji habis untuk
bayar hutang.
Untuk makan sehari-hari
jadi kerepotan, hidup kami jadi
pas-pasan.
TANGGAPAN
Sebelum membahas kasus yang panjenengan hadapi tersebut,
marilah kita perhatikan terlebih dahulu uraian berikut ini:
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa seorang wanita muslimah itu kebutuhan
hidupnya akan selalu dibawah tanggungan orang lain. Artinya akan selalu ada
pihak lain yang wajib untuk menanggung kebutuhan hidupnya.
♦ Seorang anak perempuan wajib dinafkahi ayahnya hingga
dia menikah
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah
itu dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah
wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat An Nisaa’ ayat 34 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بـِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِـمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”.
(QS. An Nisaa’. 34).
Adapun
dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ
أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ
أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada
kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah
radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit.
Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda
miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ
عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ
لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia
berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah
berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia
tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil
dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya”. Maka beliau bersabda: “Ambillah
dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu”.
(HR. Bukhari).
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan
suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan
anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib
diberikan kepada istri dan anaknya.
As-Shan’ani menuliskan: “Mayoritas
ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai
usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu,
tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya
sakit-sakitan”. (Subulus
Salam, 2/325).
♦ Seorang wanita yang sudah menikah wajib dinafkahi oleh
suaminya
Saudaraku,
Jika sebelum menikah kebutuhan hidup seorang anak
perempuan menjadi tanggung-jawab ayahnya, maka setelah menikah tanggung-jawab
tersebut beralih kepada suaminya. Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat
34 serta dalam surat Al Baqarah ayat
233 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بـِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِـمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”.
(QS. An Nisaa’. 34).
...
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ... ﴿٢٣٣﴾
“...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
√ Tafsir Ibnu Katsir
Yakni
diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan
cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di
negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim.
Hal
ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya,
karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti yang
dijelaskan di dalam firman-Nya:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَــىـٰـهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَىـٰـهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak
akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath Thalaaq. 7).
Saudaraku,
Perhatikan pula firman Allah dalam Al Qur’an surat Ath
Thalaaq pada bagian awal ayat 6
berikut ini:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا
تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَــــيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ... ﴿٦﴾
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. ...”. (QS. Ath Thalaaq. 6).
√ Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu
(pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian
(menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini
menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi
penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni
pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat
tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk
menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal
yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan
nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri.
Sedangkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
(hadits no. 2137) serta Imam
Tirmidzi (hadits
no. 1163), diperoleh penjelasan sebagai berikut:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
... وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ... (رواه مسلم)
“...Dan
mereka (istri-istri) punya hak atas kalian, yaitu nafkah
dan pakaian yang pantas. ...”. (HR. Muslim no. 2137).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
... وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا
إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ. (رواه الترمذى)
“... Dan
hak-hak mereka (istri-istri) kepada kalian adalah: kalian
harus berbuat baik kepada mereka dalam masalah sandang dan pangan'. (HR.
At-Tirmidzi, no. 1163).
♦ Orang tua yang sudah tidak mampu bekerja wajib dinafkahi
oleh anak-anaknya
Saudaraku,
Orang tua terdiri dari ayah dan
ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun selama ayah
masih mampu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34,
surat Al Baqarah ayat 233, surat Ath Thalaaq ayat 6 dan ayat 7 serta dalam
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2137) serta Imam Tirmidzi (hadits
no. 1163) di atas.
Kewajiban nafkah dari ayah
kepada ibu tentunya sesuai kemampuan ayah. Seandainya ayah sudah tua dan hanya
bisa memberi penghasilan yang sedikit, maka sekadar itulah yang wajib baginya,
sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq ayat 7 di atas.
Oleh karena itu selama ayah
masih mampu memberi nafkah kepada dirinya sendiri dan kepada ibu, dalam kondisi
ini tidak ada orang lain yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayah-ibu.
Namun jika
ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak
memiliki penghasilan, maka siapakah yang wajib memberi nafkah?
Saudaraku,
Terkait hal ini, kaidahnya yang
wajib adalah ahli waris yang terdekat posisinya dalam urutan waris. Allah
ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat
233 berikut ini:
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ...
﴿٢٣٣﴾
“...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang
ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
√ Tafsir Ibnu Katsir
Firman
Allah SWT:
... وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“...,
dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”.
(QS. Al Baqarah.
233).
Menurut
suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli
waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid,
Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut
pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah: “kepada ahli waris diwajibkan
hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi
nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan
mudarat kepadanya”. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini
telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ayat
ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang
mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka
kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan
oleh Umar ibnul Khattab radhiyallahu
‘anhu dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya
hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق
عَلَيْهِ
Barang
siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia
harus memerdekakannya.
Saudaraku,
Ahli waris yang berkewajiban
adalah yang paling dekat posisinya dari ayah dan ibu. Sebagaimana hadits dari Sahabat
Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ
عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي
قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. (رواه
مسلم)
“Mulailah dari dirimu sendiri,
berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada
keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka
nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan,
maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
Saudaraku,
Untuk
memahami ahli waris mana yang posisinya paling dekat, maka kita pahami dahulu
bahwa pengelompokkan ahli waris dibagi berdasarkan 2 sisi, yaitu:
1. Jihhah (arah), urutannya:
a. bunuwwah (anak, dan
terus ke bawah)
b. ubuwwah (ayah, dan
terus ke atas)
c. ukhuwah (saudara,
dan terus ke samping)
d. umuwwah (ibu, dan
terus ke atas)
2. Darajah, yaitu level kedekatan
jalur. Misal, posisi “anak” lebih dekat kepada ayah-ibu dari pada “cucu”.
Menentukan ahli waris yang
terdekat adalah dengan melihat urutan jihhah dahulu, kemudian ketika ada 2
jenis ahli waris yang jihhah-nya sama, maka dilihat dari sisi darajah.
Contoh: ayah dan ibu miskin, sedangkan
ahli waris yang ada adalah anak, cucu, dan saudara kandung. Anak dan cucu
urutan jihhah-nya lebih tinggi (bunuwwah) dari saudara kandung (ukhuwwah).
Kemudian anak dan cucu memiliki jihhah yang sama, namun anak lebih dekat kepada
ayah-ibu daripada cucu. Sehingga yang wajib menafkahi adalah anak. Anak-anak
yang paling wajib adalah anak-anak laki-laki, jika tidak ada maka anak-anak
perempuan.
Sedangkan jika anak-anak tidak
ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cucu. Jika cucu tidak ada atau
tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cicit. Demikian seterusnya.
Dan jika anak, cucu, cicit semuanya
tidak ada atau tidak ada yang mampu maka dari kalangan ubuwwah (ayah dari
ayah-ibu, dan terus ke atas). Sedangkan jika dari kalangan ubuwwah tidak ada
maka dari kalangan ukhuwwah (para saudara dari ayah-ibu). Demikian seterusnya.
♦ PEMBAHASAN KASUS YANG PANJENENGAN HADAPI
Setelah kita memperhatikan uraian di atas, sekarang
marilah kita bahas kasus yang panjenengan hadapi
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, dengan sangat jelas (tegas, gamblang, tidak tersembunyi, tidak bertele-tele, tersurat,
dan tidak mempunyai gambaran makna yang kabur dalam berbagai hal) dapat kita simpulkan bahwa suami panjenengan sama sekali tidak ada
kewajiban untuk memenuhi permintaan adik perempuannya untuk dibelikan mobil, rumah mewah, biaya anaknya kuliah, dll. sekalipun
permintaan tersebut disampaikan dengan memanfaatkan ibunya (yang sekaligus juga
ibu dari suami panjenengan).
Karena
yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup adik ipar panjenengan adalah
suaminya (karena adik ipar panjenengan masih punya suami sebagaimana yang
panjenengan sampaikan melalui telepon). Apalagi suami
sampai punya hutang Rp 500 jt di kantor dll. gara-gara menuruti semua kemauan
adiknya, sehingga gaji habis untuk bayar hutang.
Saudaraku,
Silahkan suami panjenengan memenuhi semua permintaan
adiknya jika memang penghasilan suami panjenengan sedemikian banyak sehingga
untuk keperluan rumah-tangganya sendiri sangat berlebihan. Perhatikan kembali
penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits no. 1663) berikut ini:
Dari Sahabat Jabir radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا
فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي
قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا.
(رواه مسلم)
“Mulailah dari dirimu sendiri,
berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada
keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka
nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan,
maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
♦ Selanjutnya panjenengan juga bertanya: “Apakah kalau
suami tidak menuruti keinginan mereka, suami dikatakan anak durhaka? Tidak
berbakti?”.
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, jika ibu panjenengan sudah
tidak punya suami (karena ayah panjenengan sudah wafat) atau karena punya suami
namun sudah tidak mampu lagi bekerja (karena sudah renta, karena sakit-sakitan
maupun karena sebab-sebab lainnya), maka kebutuhan hidupnya menjadi
tanggung-jawab suami panjenengan (sebagai anak laki-laki satu-satunya) untuk
memenuhinya.
Namun yang perlu diingat adalah bahwa kebutuhan hidupnya
yang wajib dipenuhi oleh suami panjenengan hanyalah sebatas kemampuan suami
panjenengan saja.
Perhatikan penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari (Hadits no. 6744) berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى)
“Apabila aku melarangmu dari
sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka
tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 6744).
Hadits no. 6744 selengkapnya adalah sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ
بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه
البخارى)
76.19/6744. Telah menceritakan
kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abu Zinad dari Al
A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang
sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka,
jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku
perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian”. (HR.
Al-Bukhari).
Sehingga dengan sangat mudah bisa disimpulkan bahwa suami
panjenengan tidak akan menjadi anak yang durhaka yang tidak berbakti kepada
orang tua jika tidak bersedia untuk memenuhi semua keinginan ibu kandungnya
(terlebih lagi memenuhi keinginan adik kandungnya) karena suami panjenengan
memang tidak mampu untuk memenuhi semua keinginan mereka. Suami panjenengan
hanya wajib untuk memenuhi kebutuhan hidup ibu kandungnya, sesuai dengan batas
kemampuan suami panjenengan.
Kecuali jika penghasilan suami panjenengan memang
sedemikian banyak sehingga untuk keperluan rumah-tangganya sendiri sudah
berlebihan, silahkan dipenuhi semua permintaannya (baca kembali penjelasan
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas/hadits no. 1663).
♦ Panjenengan juga bertanya: “Suami
menuruti semua keinginan adiknya, tapi keinginan saya untuk naik haji tidak dituruti dengan alasan tidak penting.
Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya bahwa haji tidak
penting, yang penting menuruti keinginan orang tua
dan adik”.
Saudaraku,
Bicara agama itu
harus berdasarkan dalil, bukan berdasarkan logika semata. Mengapa demikian? Karena ilmu yang kita miliki sangatlah terbatas (baca surat
Al Israa’ pada bagian akhir ayat 85), sedangkan ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu (baca surat Ath Thalaaq ayat 12).
... وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Ath
Thalaaq. 12).
Sedangkan terkait kewajiban untuk melaksanakan ibadah
haji, dapat kita lihat firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imraan ayat 97
berikut ini:
فِيهِ ءَايَــــٰـتٌ بَيِّـنَـــٰـتٌ مَّقَامُ
إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَـــٰــلَمِينَ ﴿٩٧﴾
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya)
maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam. (QS. Ali ‘Imraan. 97).
Sehingga jika suami panjenengan memang sudah mampu untuk
melaksanakan ibadah haji, maka wajiblah bagi suami panjenengan untuk
melaksanakannya. Jika suami panjenengan masih mempunyai kelonggaran dana
sehingga beliau juga mampu untuk mengajak panjenengan untuk melaksanakan ibadah
haji, maka wajiblah bagi suami panjenengan untuk mengajak serta panjenengan.
Sedangkan apabila suami panjenengan mengingkari kewajiban
ini, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Kaya, yang tidak memerlukan
sesuatu dari semesta alam (baca kembali penjelasan Allah dalam surat Ali
‘Imraan pada bagian akhir ayat 97 di atas).
Saudaraku,
Jelas sekali bahwa hal ini merupakan teguran yang sangat
keras dari Allah bagi siapa saja yang berani membangkang atas semua
perintah-Nya. Dan hal ini dipertegas lagi dengan firman-Nya dalam Al Qur’an
surat Al Ahzaab ayat 36 berikut ini:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ
اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah
sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzaab. 36)
Demikian yang bisa kusampaikan2). Mohon maaf
jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah
terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
2) Sebenarnya untuk kasus-kasus
seperti ini akan lebih baik jika didengar juga suara suami sehingga bisa
diperoleh solusi yang lebih baik lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar