بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Kamis, 01 Juni 2023

MENYIKAPI IBU MERTUA DAN ADIK IPAR YANG MATERIALISTIK

Assalamu’alaikum wr. wb.
 
Seorang akhwat1) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan sebagai berikut:
Adik ipar dan ibu mertua suka dengan keduniawian, kekayaan, gengsi tinggi. Adik ipar minta mobil 2, rumah mewah, biaya anaknya kuliah, dll. ke suami saya lewat ibunya (ibu mertua punya 3 orang anak terdiri dari 1 orang laki-laki dan 2 orang perempuan). Yang saya tanyakan, apakah kalau suami tidak menuruti keinginan mereka, suami dikatakan anak durhaka? Tidak berbakti? 
 
Suami menuruti semua keinginan adiknya, tapi keinginan saya untuk naik haji tidak dituruti dengan alasan tidak penting. Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya bahwa haji tidak penting, yang penting menuruti keinginan orang tua dan adik.
 
Dengan menuruti semua kemauan adiknya, suami sampai punya hutang Rp 500 jt di kantor dll., sehingga gaji habis untuk bayar hutang. Untuk makan sehari-hari jadi kerepotan, hidup kami jadi pas-pasan.
 
TANGGAPAN
 
Sebelum membahas kasus yang panjenengan hadapi tersebut, marilah kita perhatikan terlebih dahulu uraian berikut ini:
 
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa seorang wanita muslimah itu kebutuhan hidupnya akan selalu dibawah tanggungan orang lain. Artinya akan selalu ada pihak lain yang wajib untuk menanggung kebutuhan hidupnya. 
 
Seorang anak perempuan wajib dinafkahi ayahnya hingga dia menikah
 
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 berikut ini:
 
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بـِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِـمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”. (QS. An Nisaa’. 34). 
 
Adapun dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini:
 
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).
 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya”. Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu”. (HR. Bukhari).
 
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada istri dan anaknya.
 
As-Shan’ani menuliskan: “Mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu, tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya sakit-sakitan”. (Subulus Salam, 2/325).
 
Seorang wanita yang sudah menikah wajib dinafkahi oleh suaminya 
 
Saudaraku,
Jika sebelum menikah kebutuhan hidup seorang anak perempuan menjadi tanggung-jawab ayahnya, maka setelah menikah tanggung-jawab tersebut beralih kepada suaminya. Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 34 serta dalam surat Al Baqarah ayat 233 berikut ini:
 
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بـِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِـمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”. (QS. An Nisaa’. 34). 
 
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ... ﴿٢٣٣﴾
“...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
 
Tafsir Ibnu Katsir 
 
Yakni diwajibkan atas orang tua si anak memberi nafkah dan sandang ibu anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim. 
 
Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami dalam hal kemampuan ekonominya, karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin. Seperti yang dijelaskan di dalam firman-Nya:
 
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَــىـٰـهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَىـٰـهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath Thalaaq. 7).
 
Saudaraku,
Perhatikan pula firman Allah dalam Al Qur’an surat Ath Thalaaq pada bagian awal ayat 6 berikut ini:
 
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَــــيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ... ﴿٦﴾
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. ...”. (QS. Ath Thalaaq. 6).
 
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
 
(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri.
 
Sedangkan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2137) serta Imam Tirmidzi (hadits no. 1163), diperoleh penjelasan sebagai berikut:
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: 
 
... وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... (رواه مسلم)
“...Dan mereka (istri-istri) punya hak atas kalian, yaitu nafkah dan pakaian yang pantas. ...”. (HR. Muslim no. 2137).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: 
 
... وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ. (رواه الترمذى)
“... Dan hak-hak mereka (istri-istri) kepada kalian adalah: kalian harus berbuat baik kepada mereka dalam masalah sandang dan pangan'. (HR. At-Tirmidzi, no. 1163).
 
Orang tua yang sudah tidak mampu bekerja wajib dinafkahi oleh anak-anaknya 
 
Saudaraku,
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun selama ayah masih mampu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34, surat Al Baqarah ayat 233, surat Ath Thalaaq ayat 6 dan ayat 7 serta dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 2137) serta Imam Tirmidzi (hadits no. 1163) di atas.
 
Kewajiban nafkah dari ayah kepada ibu tentunya sesuai kemampuan ayah. Seandainya ayah sudah tua dan hanya bisa memberi penghasilan yang sedikit, maka sekadar itulah yang wajib baginya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq ayat 7 di atas.
 
Oleh karena itu selama ayah masih mampu memberi nafkah kepada dirinya sendiri dan kepada ibu, dalam kondisi ini tidak ada orang lain yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayah-ibu.
 
Namun jika ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak memiliki penghasilan, maka siapakah yang wajib memberi nafkah?
 
Saudaraku,
Terkait hal ini, kaidahnya yang wajib adalah ahli waris yang terdekat posisinya dalam urutan waris. Allah ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat 233 berikut ini:
 
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
 
Tafsir Ibnu Katsir 
 
Firman Allah SWT:
 
... وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“..., dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
 
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
 
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah: “kepada ahli waris diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan mudarat kepadanya”. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
 
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan oleh Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
 
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق عَلَيْهِ
Barang siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia harus memerdekakannya.
 
Saudaraku,
Ahli waris yang berkewajiban adalah yang paling dekat posisinya dari ayah dan ibu. Sebagaimana hadits dari Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. (رواه مسلم)
“Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
 
Saudaraku,
Untuk memahami ahli waris mana yang posisinya paling dekat, maka kita pahami dahulu bahwa pengelompokkan ahli waris dibagi berdasarkan 2 sisi, yaitu:
 
1.  Jihhah (arah), urutannya:
a. bunuwwah (anak, dan terus ke bawah)
b. ubuwwah (ayah, dan terus ke atas)
c. ukhuwah (saudara, dan terus ke samping)
d. umuwwah (ibu, dan terus ke atas) 
 
2.  Darajah, yaitu level kedekatan jalur. Misal, posisi “anak” lebih dekat kepada ayah-ibu dari pada “cucu”.  
 
Menentukan ahli waris yang terdekat adalah dengan melihat urutan jihhah dahulu, kemudian ketika ada 2 jenis ahli waris yang jihhah-nya sama, maka dilihat dari sisi darajah. 
 
Contoh: ayah dan ibu miskin, sedangkan ahli waris yang ada adalah anak, cucu, dan saudara kandung. Anak dan cucu urutan jihhah-nya lebih tinggi (bunuwwah) dari saudara kandung (ukhuwwah). Kemudian anak dan cucu memiliki jihhah yang sama, namun anak lebih dekat kepada ayah-ibu daripada cucu. Sehingga yang wajib menafkahi adalah anak. Anak-anak yang paling wajib adalah anak-anak laki-laki, jika tidak ada maka anak-anak perempuan.
 
Sedangkan jika anak-anak tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cucu. Jika cucu tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cicit. Demikian seterusnya.
 
Dan jika anak, cucu, cicit semuanya tidak ada atau tidak ada yang mampu maka dari kalangan ubuwwah (ayah dari ayah-ibu, dan terus ke atas). Sedangkan jika dari kalangan ubuwwah tidak ada maka dari kalangan ukhuwwah (para saudara dari ayah-ibu). Demikian seterusnya.
 
   PEMBAHASAN KASUS YANG PANJENENGAN HADAPI
 
Setelah kita memperhatikan uraian di atas, sekarang marilah kita bahas kasus yang panjenengan hadapi
 
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, dengan sangat jelas (tegas, gamblang, tidak tersembunyi, tidak bertele-tele, tersurat, dan tidak mempunyai gambaran makna yang kabur dalam berbagai hal) dapat kita simpulkan bahwa suami panjenengan sama sekali tidak ada kewajiban untuk memenuhi permintaan adik perempuannya untuk dibelikan mobil, rumah mewah, biaya anaknya kuliah, dll. sekalipun permintaan tersebut disampaikan dengan memanfaatkan ibunya (yang sekaligus juga ibu dari suami panjenengan).
Karena yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup adik ipar panjenengan adalah suaminya (karena adik ipar panjenengan masih punya suami sebagaimana yang panjenengan sampaikan melalui telepon). Apalagi suami sampai punya hutang Rp 500 jt di kantor dll. gara-gara menuruti semua kemauan adiknya, sehingga gaji habis untuk bayar hutang.
 
Saudaraku,
Silahkan suami panjenengan memenuhi semua permintaan adiknya jika memang penghasilan suami panjenengan sedemikian banyak sehingga untuk keperluan rumah-tangganya sendiri sangat berlebihan. Perhatikan kembali penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits no. 1663) berikut ini:
 
Dari Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. (رواه مسلم)
“Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
 
Selanjutnya panjenengan juga bertanya: “Apakah kalau suami tidak menuruti keinginan mereka, suami dikatakan anak durhaka? Tidak berbakti?”.
 
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, jika ibu panjenengan sudah tidak punya suami (karena ayah panjenengan sudah wafat) atau karena punya suami namun sudah tidak mampu lagi bekerja (karena sudah renta, karena sakit-sakitan maupun karena sebab-sebab lainnya), maka kebutuhan hidupnya menjadi tanggung-jawab suami panjenengan (sebagai anak laki-laki satu-satunya) untuk memenuhinya.
 
Namun yang perlu diingat adalah bahwa kebutuhan hidupnya yang wajib dipenuhi oleh suami panjenengan hanyalah sebatas kemampuan suami panjenengan saja.
 
Perhatikan penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (Hadits no. 6744) berikut ini:
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى) 
“Apabila aku melarangmu dari sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 6744).
 
Hadits no. 6744 selengkapnya adalah sebagai berikut:
 
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى)
76.19/6744. Telah menceritakan kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abu Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian”. (HR. Al-Bukhari).
 
Sehingga dengan sangat mudah bisa disimpulkan bahwa suami panjenengan tidak akan menjadi anak yang durhaka yang tidak berbakti kepada orang tua jika tidak bersedia untuk memenuhi semua keinginan ibu kandungnya (terlebih lagi memenuhi keinginan adik kandungnya) karena suami panjenengan memang tidak mampu untuk memenuhi semua keinginan mereka. Suami panjenengan hanya wajib untuk memenuhi kebutuhan hidup ibu kandungnya, sesuai dengan batas kemampuan suami panjenengan.
 
Kecuali jika penghasilan suami panjenengan memang sedemikian banyak sehingga untuk keperluan rumah-tangganya sendiri sudah berlebihan, silahkan dipenuhi semua permintaannya (baca kembali penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas/hadits no. 1663).
 
Panjenengan juga bertanya:Suami menuruti semua keinginan adiknya, tapi keinginan saya untuk naik haji tidak dituruti dengan alasan tidak penting. Sesuai dengan apa yang dikatakan ibunya bahwa haji tidak penting, yang penting menuruti keinginan orang tua dan adik”.
 
Saudaraku,
Bicara agama itu harus berdasarkan dalil, bukan berdasarkan logika semata. Mengapa demikian? Karena ilmu yang kita miliki sangatlah terbatas (baca surat Al Israa’ pada bagian akhir ayat 85), sedangkan ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (baca surat Ath Thalaaq ayat 12).
 
... وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
 
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS. Ath Thalaaq. 12). 
 
Sedangkan terkait kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji, dapat kita lihat firman Allah dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imraan ayat 97 berikut ini:
 
فِيهِ ءَايَــــٰـتٌ بَيِّـنَـــٰـتٌ مَّقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِنًا وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ الله غَنِيٌّ عَنِ الْعَـــٰــلَمِينَ ﴿٩٧﴾
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali ‘Imraan. 97).
 
Sehingga jika suami panjenengan memang sudah mampu untuk melaksanakan ibadah haji, maka wajiblah bagi suami panjenengan untuk melaksanakannya. Jika suami panjenengan masih mempunyai kelonggaran dana sehingga beliau juga mampu untuk mengajak panjenengan untuk melaksanakan ibadah haji, maka wajiblah bagi suami panjenengan untuk mengajak serta panjenengan.
 
Sedangkan apabila suami panjenengan mengingkari kewajiban ini, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Kaya, yang tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam (baca kembali penjelasan Allah dalam surat Ali ‘Imraan pada bagian akhir ayat 97 di atas).
 
Saudaraku,
Jelas sekali bahwa hal ini merupakan teguran yang sangat keras dari Allah bagi siapa saja yang berani membangkang atas semua perintah-Nya. Dan hal ini dipertegas lagi dengan firman-Nya dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36 berikut ini:
 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzaab. 36)
 
Demikian yang bisa kusampaikan2). Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
 
Semoga bermanfaat. 
 
NB.
1)  Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim yang kharismatik”.
 
2)  Sebenarnya untuk kasus-kasus seperti ini akan lebih baik jika didengar juga suara suami sehingga bisa diperoleh solusi yang lebih baik lagi.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞