Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) (teman alumni SMA 1 Blitar) telah menyampaikan
pertanyaan via WhatsApp di Grup WhatsApp SMA 1 Blitar dengan pertanyaan sebagai
berikut: “Apakah
boleh berteman dengan mantan? Wis nggak
deg-degan blas kok (Sudah nggak deg-degan sama sekali, kok), tapi nggak tahu kalau sang mantan”.
Saudaraku,
Justru yang tidak boleh itu adalah saling dengki, saling marah, dan saling memutuskan hubungan satu sama lain,
tak terkecuali dengan mantan.
Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits
no. 4642) berikut ini:
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَحَاسَدُوا
وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَقَاطَعُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا.
(رواه مسلم)
46.22/4642. Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna; Telah menceritakan kepada
kami Abu Dawud; Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dari Anas
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian saling
dengki, saling marah, dan jangan pula saling memutuskan hubungan satu sama
lain. Tetapi jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara”. (HR. Muslim).
Jadi jawabnya bukan hanya boleh, bahkan hal itu malah
termasuk perkara yang dianjurkan agama. Yaitu menjalin/menyambung tali
silaturrahim (صِلَةُ الرَّحِمِ ) kepada saudara sesama muslim (tidak
terkecuali dengan sang mantan).
Saudaraku,
Terkait perintah untuk mengadakan hubungan shilaturrahim
dan tali persaudaraan tersebut, bisa dilihat penjelasan Al Qur’an dalam surat
An Nisaa' ayat 1 dan surat Ar Ra'd ayat 21, serta penjelasan beberapa hadits
berikut ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا
رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُواْ اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan shilaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisaa’. 1).
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ
وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ ﴿٢١﴾
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkan2), dan mereka takut kepada Tuhannya
dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Ar Ra’d. 21).
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُونَ حَتَّى
تَحَابُّوا ثُمَّ قَالَ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ
تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Waki'] berkata; telah
menceritakan kepada kami [Al A'masy] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah]
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang
jiwaku ada dalam tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian
beriman, dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling menyayangi”. Kemudian
beliau bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan kepada suatu amalan yang jika
kalian amalkan maka kalian akan saling mencintai?. Sebarkanlah salam diantara
kalian”. (HR
. Ahmad no. 9332)
.
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ
يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَوْ
يُنْسَأَ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. (رواه مسلم)
46.18/4638. Telah menceritakan
kepadaku Harmalah bin Yahya At Tujibi; Telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb;
Telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik dia
berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
yang ingin dilapangkan rezkinya atau ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah
dia menyambung shilaturrahmi”. (HR. Muslim).
أَخْبَرَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، قَالَ:
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي مَيْمُونَةَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ إِذَا عَمِلْتُهُ
أَوْ عَمِلْتُ بِهِ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ، قَالَ: أَفْشِ السَّلَامَ، وَأَطْعِمِ
الطَّعَامَ، وَصِلِ الأَرْحَامَ، وَقُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلِ
الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ. (روه ابن حبان)
Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim mengabarkan kepada kami,
ia berkata, Ishaq bin Ibrahim Al Hanzhali menceritakan kepada kami, ia berkata,
Abu Amir menceritakan kepada kami, ia berkata, Hammam menceritakan kepada kami,
dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, ia berkata, aku berkata: “Wahai
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berilah aku khabar mengenai suatu
perbuatan jika aku kerjakan atau aku kerjakan atas dasar perbuatan itu, maka
aku dapat masuk surga”. Beliau
bersabda: “Sebarkanlah
salam, berilah makanan, sambunglah tali shilaturrahim,
dan bangunlah untuk mengerjakan shalat malam ketika orang-orang tertidur, maka
kamu dapat masuk surga dengan selamat”. (HR. Ibnu Hibban, no. 508).
Adapun yang dimaksud dengan shilaturrahim itu adalah menghubungkan
kasih sayang antar sesama.
Shilaturrahim itu sendiri terdiri dari 2 kata, yakni
shilatu ( صِلَةُ ) yang berarti menyambungkan atau
menghimpun, dan ar-rahiimi ( الرَّحِمِ ) yang berarti kasih sayang, sehingga
shilaturrahim diartikan sebagai menghubungkan kasih sayang antar sesama.
♦ Larangan berkhalwat
Saudaraku,
Meskipun dalam Agama Islam sangat dianjurkan untuk
menjalin/menyambung tali shilaturrahim, namun terdapat hal khusus terkait
hubungan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki yang bukan mahram3).
Saudaraku,
Terkait hubungan antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki yang bukan mahram, pada dasarnya tidak dilarang
apabila pembicaraan itu memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh
syara'. Seperti pembicaraan yang mengandung kebaikan, menjaga adab-adab
kesopanan, tidak menyebabkan fitnah dan tidak berkhalwat.
Dalam sejarah, kita bisa lihat bahwa isteri-isteri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berbicara dengan para sahabat, ketika menjawab pertanyaan
yang mereka ajukan tentang hukum agama. Bahkan ada diantara isteri Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi guru para sahabat selepas
wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Sayyidatina Aisyah
radhiyallahu ‘anha.
Saudaraku,
Perhatikan firman Allah SWT. dalam surat Al Ahzaab ayat 32 berikut
ini:
يَــــٰــنِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ
كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ
فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ﴿٣٢﴾
Hai isteri-isteri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah
kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, (QS. Al Ahzaab. 32).
Imam Qurtubi menafsirkan
kata “takhdha'na” (tunduk) dalam ayat di atas dengan
arti lainul qaul (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam
hati. Yaitu menarik hati orang yang mendengarnya atau membacanya adalah
dilarang dalam agama kita.
Saudaraku,
Jelaslah sekarang, bahwa
pembicaraan yang menyebabkan fitnah dengan melembutkan suara merupakan
pembicaraan yang dilarang. Termasuk di sini adalah kata-kata yang diungkapkan
dalam bentuk tulisan. Karena dengan tulisan, seseorang juga bisa mengungkapkan
kata-kata yang menyebabkan seseorang merasakan hubungan istimewa, kemudian
menimbulkan keinginan yang tidak baik.
Adapun khalwat, hukumnya
dilarang dalam Agama Islam. Sebagaimana penjelasan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim (hadits no. 4039 dan no. 2391) berikut ini:
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي عَمْرٌو ح و حَدَّثَنِي أَبُو
الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ
أَنَّ بَكْرَ بْنَ سَوَادَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرٍ
حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ حَدَّثَهُ أَنَّ نَفَرًا
مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُو
بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ
فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ لَمْ
أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
اللهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ
يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوْ اثْنَانِ.
(رواه مسلم)
40.21/4039. Telah menceritakan
kepada kami Harun bin Ma'ruf; Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin
Wahb; Telah mengabarkan kepadaku 'Amru; Demikian juga diriwayatkan dari jalur
yang lain; Dan Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir; Telah mengabarkan
kepada kami 'Abdullah bin Wahb dari 'Amru bin Al Harits, Bakr bin Sawadah;
Telah menceritakan kepadanya; 'Abdur Rahman bin Jubair; Telah menceritakan
kepadanya; 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash; Telah menceritakan kapadanya bahwa
beberapa orang Bani Hisyam datang ke rumah Asma' binti 'Umais, isteri Abu Bakar
Shiddiq (ketika Abu Bakar sedang tidak di rumah).
Tiba-tiba Abu Bakar pulang dan
bertemu dengan mereka. Abu Bakar merasa kurang senang atas kedatangan mereka
yang demikian. Lalu diceritakannya hal itu kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Jawab beliau: “Aku tidak melihat
sesuatu yang buruk atas kedatangan mereka. Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa
Ta'ala telah menyucikan Asma' binti 'Umais dari hal-hal yang demikian”.
Kemudian beliau naik mimbar, lalu
beliau bersabda: “Sesudah hari ini, seorang laki-laki tidak boleh masuk ke
rumah seorang wanita yang suaminya sedang pergi, kecuali bila laki-laki itu
disertai seorang atau dua orang teman laki-laki”. (HR.
Muslim).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ كِلَاهُمَا عَنْ سُفْيَانَ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
عَنْ أَبِي مَعْبَدٍ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا
مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ... (رواه مسلم)
16.380/2391. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb keduanya dari Sufyan -
Abu Bakr berakata- Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah Telah
menceritakan kepada kami Amru bin Dinar dari Abu Ma'bad ia berkata, saya
mendengar Ibnu Abbas berkata; Saya mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berkhutbah seraya bersabda: “Janganlah sekali-kali
seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai
muhrimnya. Dan seorang wanita juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali
ditemani oleh mahramnya”. (HR. Muslim).
Saudaraku,
Khalwat adalah perbuatan
menyepi yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang
bukan mahram dan tidak diketahui oleh orang lain. Perbuatan ini dilarang karena
ia dapat menyebabkan atau memberikan peluang kepada pelakunya untuk terjatuh
dalam perbuatan yang dilarang. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (hadits no. 14124) berikut ini:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ... وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا
يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ
ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Ishaq] telah
mengabarkan kepada kami [Ibnu Lahi'ah] dari [Abu Az Zubair] dari [Jabir bin
Abdullah] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “...
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah menyendiri
dengan seorang wanita yang tidak ada bersamanya seorang mahramnya karena yang
ketiganya adalah setan".(HR. Ahmad, no. 14124).
Saudaraku,
Khalwat bukan saja dengan duduk
berduaan. Tetapi berbual-bual melalui telepon di luar keperluan syar'i,
juga termasuk berkhalwat. Karena mereka sepi dari kehadiran orang lain,
meskipun secara fisik mereka tidak berada dalam satu tempat. Namun melalui
telepon mereka lebih bebas membicarakan apa saja selama berjam-jam tanpa merasa
dikawal oleh orang lain. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan mantan pacar.
Dan haram juga ialah
perkara-perkara syahwat yang membangkitkan hawa nafsu seperti yang dilakukan
oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dimana sms atau email
atau facebook atau WhatsApp atau yang serupa dengannya telah menjadi alat untuk
memadu kasih yang memuaskan nafsu di antara keduanya. Memperbincangkan
perkara-perkara yang berbau pornografi, lebih-lebih lagi hukumnya adalah haram.
Namun bila ada tuntutan syar'i
yang darurat, maka itu diperbolehkan sesuai keperluan. Di sinilah dituntut adanya
kejujuran kita kepada Allah SWT. dalam mengukur sejauh mana urusan kita tersebut,
apakah benar-benar karena tuntutan syar'i atau hanya sekedar mengikuti hawa
nafsu belaka.
Dan kejujuran itu bergantung
sejauhmana iman kita kepada Allah. Jika muraqabatillah kita kuat (yakni merasa
diri sentiasa dalam pandangan Allah), maka itu yang akan menjadi pengawal kita.
Jika tidak, maka kita akan hanyut bersama orang-orang yang terpedaya dengan
teknologi modern ini. Na’udzubillahi mindzalika!
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah
terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk
jamak dari ‘alim
( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa
Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar
mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”.
Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini:
“Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
2) Maksudnya ialah mengadakan
hubungan silaturrahim dan tali persaudaraan.
3) Mahram (محرم) adalah semua orang yang haram untuk dinikahi karena sebab
keturunan, persusuan maupun pernikahan dalam syariat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar