Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan
sebagai berikut:
“Pak Imron mohon pencerahannya, ya. Bagaimana kalau dapat kasus seperti saya ini? Kalau saya secara lisan setiap
kali berbeda pendapat selalu keluar talak hingga menyuruh saya keluar rumah? Bagaimana hukumnya ya Pak Imron untuk sikap saya yang dengan sangat terpaksa saya pindah ke rumah eyang?”.
Saya: “Yang
mengeluarkan talak siapa Jeng? Panjenengan
atau suami? Kemudian kata-kata
yang
diucapkan seperti apa?”.
Jawab beliau: “Dulu pertama sering bilang menyesal
menikah dengan aku, ratusan kali. Lalu
dia bilang mungkn
kami lebih baik berpisah. Terus sebelum sakit dia bilang ‘wis pegatan ae’ berulang
kali”.
*) Wis pegatan ae (Bahasa Jawa), artinya: ya sudah (kalau
begini terus) cerai saja.
“Tapi pada saat sakit dia minta maaf, jadi tetap saya
rawat dia sampai lepas keadaan koma. Harapan saya setelah sembuh akan ada
perbaikan, ternyata
malah semakin menjadi. Dia bilang ‘ora nduwe isin panggah
nunut ning omahku ae’ (nggak
punya malu tetap tinggal di rumahku saja)”.
“Sebenarnya sudah tak abaikan ucapannya dengan harapan
kumungkinan itu pengaruh obat atau vagaimana. Tapi mungkin anak-anakku yang nggak
kuat, akhirnya kami ambil sepakat untuk pergi dari rumah. Saya keluar rumah tanpa membawa
apapun dari rumah kami. Cuma baju yang kami pakai dan
baju tidur sepasang”.
“Untuk catatan, saya tidak dinafkahi lahir sudah beberapa
tahun yang lalu, tidak dinafkahi batin hampir 3 tahun sebelum sakit. Maturnuwun Pak Imron, semoga kita semua diberkahi rezeki
kesehatan dan panjenengan bisa melanjutkan pencerahan-pencerahan buat kami
semua. Amin, ya rabba ‘alamin”.
TANGGAPAN.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Membaca pesan yang saudaraku
sampaikan, seolah tak percaya akan kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam
menghadapi cobaan yang teramat berat ini. Semoga kesabaran dan ketabahan
saudaraku tersebut, dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat
menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin!
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada perceraian yang dilakukan oleh
suami kepada istri (ini
adalah perceraian/talak yang paling umum), status
perceraian tipe ini terjadi tanpa harus menunggu keputusan pengadilan. Begitu
suami mengatakan kata-kata talak pada istrinya, maka talak itu sudah jatuh dan
terjadi. Sedangkan keputusan Pengadilan Agama hanyalah formalitas belaka.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika suami mengatakan:
“Cerai, kita cerai talak 3” atau “Kamu aku cerai” atau “Aku menceraikanmu” atau
mengatakan perkataan lain yang semacam itu, maka pada saat
itu juga sudah
jatuh talak (sudah
terjadi talak) tanpa harus menunggu keputusan Pengadilan Agama.
Mengapa demikian? Karena bagi siapa saja yang mengucapkan
kata “talak” (cerai) walau dalam keadaan bercanda atau main-main asalkan lafadz
talak tersebut keluar shorih (tegas, artinya tidak mengandung makna lain ketika
diucapkan dan langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak/cerai), maka talak
tersebut jatuh jika orang yang mengucapkan talak tersebut adalah suami yang
sah, baligh (dewasa), berakal dan dengan kemauan sendiri (tidak
terpaksa).
Dengan demikian tidak ada alasan jika ada yang berucap: “Saya kan hanya
bergurau” atau “Saya kan hanya main-main saja”.
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At
Tirmidzi dan Ibnu Majah berikut ini:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
(رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan
bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no.
2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).
♦ Lafadz (ucapan) talak
Saudaraku,
Lafadz (ucapan) talak bisa dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: (1) talak dengan lafadz shorih (tegas) dan (2) talak dengan lafadz
kinayah (kiasan).
√ Talak
dengan lafadz shorih
(tegas) artinya tidak mengandung makna lain ketika diucapkan dan langsung
dipahami bahwa maknanya adalah talak/cerai.
Contohnya seorang suami
mengatakan kepada
istrinya:
“Saya talak kamu”, atau “Saya
ceraikan kamu”, dst.
Lafadz-lafadz seperti ini tidak bisa
dipahami selain makna cerai atau talak.
Jika lafadz-lafadz seperti ini diucapkan oleh suami, maka
jatuhlah talak dengan sendirinya, baik lafadz tersebut diucapkan dengan serius
maupun dengan bercanda. Hal ini menunjukkan bahwa jika lafadz talak diucapkan
dengan tegas, maka jatuhlah talak selama lafazh tersebut diucapkan atas pilihan
sendiri (tidak dalam keadaan terpaksa), meskipun diucapkan dengan serius maupun
dengan bercanda.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.
(رواه ابو داود والترمذى وابن ماجه)
“Tiga perkara yang serius dan
bercandanya sama-sama dianggap serius: (1) nikah, (2) talak, dan (3) rujuk”. (HR. Abu Daud no.
2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039).
√ Talak
dengan lafazh kinayah (kiasan) artinya tidak
diucapkan dengan kata talak atau cerai secara khusus, namun diucapkan dengan
kata yang bisa mengandung makna yang lain.
Contohnya, suami
mengatakan:
“Pulang saja kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat seperti ini bisa mengandung
makna lain selain cerai. Bisa saja karena telah terjadi pertengkaran hebat dan
suami memandang isterinya berakhlak buruk, kemudian suami meminta isterinya
untuk pulang ke rumah orang tuanya agar mendapat nasehat dari orangtuanya
sehingga akhlak buruknya tersebut bisa diperbaiki.
Contoh lainnya, suami
mengatakan: “Sekarang kita berpisah saja”. Lafazh seperti ini tidak selamanya
dimaksudkan untuk talak.
Bisa jadi ketika suami hendak melanjutkan studi S2 atau S3 ke luar
negeri atau ketika suami hendak merantau di tempat yang jauh sehingga memakan
waktu cukup lama, kemudian menjelang keberangkatannya, suami mengatakan hal itu
kepada isterinya.
Saudaraku,
Untuk kasus-kasus seperti ini, diperlukan adanya niat. Jika ucapan-ucapan
seperti ini diniatkan
untuk maksud talak, maka jatuhlah
talak. Namun jika
tidak diniatkan untuk talak, maka tidak jatuh talak. Karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya setiap amal itu
tergantung dari niatnya”. (HR. Bukhari no. 1
dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob).
Adapun jika
talaknya hanya dengan niat dalam hati (tidak
sampai diucapkan),
maka talaknya tidak jatuh. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut
ini:
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ تَعْمَلْ
أَوْ تَتَكَلَّمْ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya Allah memaafkan
pada umatku sesuatu yang terbetik dalam hatinya selama tidak diamalkan atau
tidak diucapkan”. (HR.
Bukhari no. 5269 dan Muslim no. 127).
Saudaraku,
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka ketika suami
bilang: “Menyesal aku menikah dengan kamu”. Kalimat seperti ini tidak bisa
langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak/cerai, sehingga tidak otomatis
jatuh talak. Untuk kasus-kasus seperti ini, diperlukan adanya niat. Jika ucapan-ucapan
seperti ini tidak diniatkan untuk maksud talak, maka talak juga tidak jatuh.
Sedangkan apabila
diniatkan untuk maksud talak, maka jatuhlah
talak.
Sedangkan saat suami bilang: “Wis pegatan ae”. Kalau
kalimat seperti itu dimaknai: “Ya sudah kalau begini terus, cerai saja”, maka
ini merupakan kalimat bersyarat (artinya baru akan cerai kalau kondisi seperti
ini berlangsung terus, sedangkan apabila kondisi seperti ini bisa terhenti,
maka tidak akan cerai). Dan karena ini merupakan kalimat bersyarat, maka tidak
bisa langsung dipahami bahwa maknanya adalah talak/cerai, sehingga tidak
otomatis jatuh talak. (Wallahu a'lam)
Hal yang sangat berbeda jika suami mengatakan: “Mulai
sa’iki kowe tak pegat (mulai saat ini kamu saya cerai)” atau suami mengatakan:
“Okay, kamu saya talak”. Untuk lafadz-lafadz seperti ini tidak bisa
dipahami selain makna cerai atau talak. Jika lafadz-lafadz seperti ini diucapkan oleh suami,
maka jatuhlah talak dengan sendirinya, baik lafadz tersebut diucapkan dengan
serius maupun dengan bercanda.
♦ Panjenengan
juga bertanya: “Kalau saya secara lisan setiap
kali berbeda pendapat suami
menyuruh saya keluar rumah? Bagaimana hukumnya ya Pak Imron untuk sikap saya yang dengan sangat terpaksa saya pindah ke rumah eyang?”.
Saudaraku,
Jika memang panjenengan keluar rumah karena sangat
terpaksa kemudian pindah ke rumah eyang dan hal itu semua panjenengan lakukan
atas perintah suami, maka in sya Allah tidak mengapa alias boleh-boleh saja.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan penjelasan berikut ini:
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, keluar rumah tanpa ijin
suami itu merupakan perkara yang dilarang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا بِغَيْرِ
إِذْنِ زَوْجِهَا كَانَتْ فِى سُخْطِ اللهِ حَتَّى تَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهَا أَوْ
يَرْضَى عَنْهَا زَوْجُهَا. (رواه الخطيب)
“Tiap isteri yang keluar dari rumah suaminya tanpa ijin
suaminya tetap berada dalam murka Allah sehingga kembali ke rumahnya atau
dima’afkan oleh suaminya”. (HR. Al Khathib).
Meskipun demikian, bukan
berarti suami boleh melarang isteri keluar rumah dengan semena-mena. Karena
maksud pelarangan suami atas istri yang hendak keluar rumah harus didasari
unsur kemaslahatan terhadap istri maupun dirinya sendiri. Tentunya hal ini
karena sangat besarnya tanggung-jawab suami atas isteri dan keluarganya.
Saudaraku,
Sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai
pemimpin bagi isteri (dan keluarganya), maka laki-laki (suami) adalah yang paling bertanggung jawab akan
baik-buruknya isteri serta keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka.
Dia wajib membimbing/mengarahkan isteri dan
keluarganya untuk menggapai ridho-Nya sehingga (atas rahmat-Nya) bisa menggapai
surga yang dipenuhi kenikmatan abadi serta terhindar dari api neraka Jahannam.
Ya, benar-benar sebuah tanggung-jawab yang sangat berat.
Dikisahkan
oleh Abdullah bin ‘Umar dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
...، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ
عَنْهُمْ، ... (رواه البخارى ومسلم)
“..., Dan seorang laki-laki
adalah penanggung-jawab
atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka, ...”. (HR. Al-Bukhari no. 4789 dan Muslim no. 3408).2)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَـــٰــئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللهَ
مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At Tahriim. 6).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa meskipun keluar rumah tanpa
ijin suami itu merupakan perkara yang dilarang, bukan berarti suami boleh
melarang isteri keluar rumah dengan semena-mena. Karena maksud pelarangan suami
atas istri yang hendak keluar rumah tersebut harus
didasari unsur kemaslahatan terhadap istri maupun dirinya sendiri.
Oleh karena itu suami tidak boleh melarang ketika
istrinya pergi ke masjid untuk shalat berjamaah, shalat idul fitri dan idul adha,
untuk mengikuti pengajian, dll (serta untuk menjalankan perkara-perkara
yang baik lainnya).
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَـمْنَعُوا
إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ. (رواه ابو داود)
Telah menceritakan kepada kami
Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Hammad dari Ayyub dari Nafi'
dari Ibnu Umar dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian melarang kaum wanita pergi ke masjid-masjid Allah”. (HR. Abu
Daud, no. 479).
♦ Panjenengan
mengatakan: “Untuk catatan, saya tidak dinafkahi lahir sudah beberapa
tahun yang lalu, tidak dinafkahi batin hampir 3 tahun sebelum sakit”.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sudah menjadi kewajiban suami untuk mempergauli isterinya dengan cara yang baik, sebagaimana penjelasan
Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 19 serta penjelasan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini
:
...
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...﴿١٩﴾
“... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. ...”.
(QS. An Nisaa’. 19).
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو
حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيـمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ. (رواه الترمذى)
Telah menceritakan kepada kami
Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Muhammad
bin 'Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah dari Abu Hurairah berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap para istrinya”. (Hadits
Riwayat Tirmidzi no.1082).
Saudaraku,
Di antara pergaulan yang baik
kepada istri adalah dipenuhinya nafkah lahir (sandang, pangan, papan) serta nafkah
batinnya (mendekati istri, ngobrol dengan sang istri, menjadi tempat curhat
bagi istri, maupun menggauli istri). Bahkan menggauli istri itu akan mendapatkan
pahala sedekah, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim3)
(hadits no. 1674) berikut ini:
... وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا
شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي
حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي
الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
(رواه مسلم)
“..., bahkan
pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat sedekah”. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, jika salah seorang
diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan mendapatkan pahala?”. Beliau
menjawab: “Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya pada sesuatu yang haram,
bukankah kalian berdosa? Begitupun sebaliknya, bila kalian meletakkannya pada
tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala”. (HR.
Muslim, no. 1674).
Saudaraku,
Disamping memberi nafkah batin,
ketahuilah pula memberi nafkah lahir itu (sandang, pangan, papan) merupakan kewajiban
mutlak bagi seorang suami dan tidak bisa dialihkan kepada yang lain selama
suami masih mampu mencari nafkah. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat An
Nisaa’ pada bagian awal ayat 34 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”.
(QS. An Nisaa’. 34).
Terkecuali jika suami sudah
tidak mampu lagi untuk mencari nafkah, seperti ketika suami terkena stroke sehingga
dia hanya bisa berbaring di tempat tidur saja atau karena usianya yang
sudah sangat renta sehingga tidak mampu lagi untuk mencari nafkah, dll.
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَىـٰهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَىـٰهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
”Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath
Thalaaq. 7).
Adapun besaran nafkah yang harus
diberikan kepada keluarga, disesuaikan
dengan kadar kemampuan suami (tidak ada ketentuan harus sekian rupiah per bulan,
dll).
...
وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“...
dan karena mereka (laki-laki/suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”
(QS. An Nisaa’. 34).
...
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ...﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. ...” (QS. Al Baqarah. 233)
Saudaraku,
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka tindakan
suami panjenengan yang sudah tidak memberi nafkah lahir maupun batin hingga
beberapa tahun, jelas ini merupakan perbuatan haram (perbuatan yang dilarang
agama).
Saudaraku yang dicintai
Allah,
Adalah hak
saudaraku sebagai seorang istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari
suami, mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin dari suami serta mendapatkan
bimbingan dari suami dalam menggapai ridho-Nya/agar selamat dari siksa api
neraka.
Sebaliknya,
adalah kewajiban suami untuk memberikan perlakuan yang baik kepada saudaraku
sebagai istrinya, memberikan nafkah baik lahir maupun batin serta memberikan
bimbingan kepada saudaraku sebagai istrinya dalam menggapai ridho-Nya/agar
selamat dari siksa api neraka.
Jika
melihat kembali pada apa yang telah saudaraku sampaikan, nampaknya suami dapat
dikatakan tidak memenuhi hak saudaraku sebagai seorang istri. Dalam hal ini,
keputusan sepenuhnya ada pada pihak saudaraku. Karena penggunaan hak itu
diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang mempunyai hak. Seseorang yang mempunyai
hak atas sesuatu, maka dia boleh mengambil haknya tersebut, boleh juga tidak.
Jika
saudaraku ridho dengan perlakuan suami yang tidak memenuhi hak-hak panjenengan
sebagai seorang istri, sementara panjenengan juga sudah berupaya untuk tetap sabar dan
juga sudah berupaya untuk mengingatkan sang suami agar segera kembali ke dalam
jalan-Nya yang lurus, maka sebagai saudara seiman seagama, aku do’akan semoga
kelapangan dada panjenengan dalam menghadapi keadaan yang demikian
sulit ini dapat dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat
menambah ketakwaan panjenengan kepada-Nya.
Saudaraku,
Sudah
menjadi sesuatu yang wajar jika kita berharap agar semuanya berjalan baik-baik
saja. Jika itu terkait dengan suami, maka kita berharap agar sang suami tetap
setia untuk selamanya, dst.
Namun jika
dalam perjalanan waktu kemudian ada kekhilafan dari suami tercinta, maka
berdo’alah kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya
sehingga bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk kemudian segera
bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat
dipertahankan untuk selamanya.
Dan jika
pada akhirnya sang suami menyadari kesalahannya kemudian mulai belajar untuk
berubah ke arah yang lebih baik, sebaiknya maafkanlah kesalahannya. Semoga
kelapangan dada kita dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat
dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan
kita kepada-Nya.
Namun jika
ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk)
mohonlah kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan
dari-Nya sehingga dia bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk
kemudian segera bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini
dapat dipertahankan untuk selamanya.
Saudaraku yang dicintai
Allah,
Perhatikanlah
kisah perjalanan dakwah Rasulullah. Disaat-saat awal kenabiannya, Rasulullah
melaksanakan dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi (secara rahasia) karena saat
itu jumlah umat Islam masih sedikit. Hingga ketika jumlah umat Islam semakin
bertambah banyak, Rasulullah melaksanakan dakwahnya secara terang-terangan.
فَاصْدَعْ بِمَا
تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿٩٤﴾
Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (QS. Al Hijr. 94).
Selanjutnya
dalam perkembangan dakwahnya, ternyata Rasulullah SAW. beserta kaum muslimin
menemui banyak rintangan. Pada awalnya, mereka berusaha menghentikan dakwah
Rasulullah dengan cara ”halus”. Mereka mencoba menawarkan tiga hal (harta, tahta dan
wanita) kepada Rasulullah agar berhenti mendakwahkan Islam.
Setelah
cara “halus” tak berhasil, mereka mulai menebar teror dengan siksaan terhadap
Rasulullah dan kaum muslimin. Dan ketika siksaan dari kaum Quraisy telah sampai
pada titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya
Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.
Saudaraku,
Kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah perjalanan dakwah Rasulullah tersebut. Ketika
rintangan yang dihadapi masih dalam batas-batas tertentu, Rasulullah tetap
berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan dakwahnya di kalangan penduduk
Makkah. Namun ketika rintangan/siksaan dari kaum Quraisy telah sampai pada
titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya
Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.
Demikian
pula halnya dengan apa yang panjenengan alami. Ketika rintangan yang panjenengan hadapi
masih dalam batas-batas tertentu, maka tetaplah berupaya semaksimal mungkin
untuk mengingatkan sang suami agar segera kembali ke dalam jalan-Nya yang
lurus.
Namun
ketika rintangan yang panjenengan hadapi telah sampai pada titik puncak yang tak bisa
ditanggung lagi, mungkin sudah saatnya bagi saudaraku untuk berhijrah/untuk
memikirkan kembali akan keberlangsungan pernikahan ini. (Sebagai
saudara sesama muslim, aku berdo’a semoga langkah terakhir ini tidak pernah
terpilih dan tidak pernah terjadi).
Saudaraku,
Setelah panjenengan berupaya
secara maksimal, maka apapun yang akan terjadi, terimalah dengan hati yang
lapang. Kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa panjenengan menjadi
tenang.
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
Hai jiwa
yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
(QS. Al Fajr. 27 – 28)
.
Berat
memang. Namun selama panjenengan
tetap bertaqwa kepada Allah, maka panjenengan
tidak perlu merasa bimbang dan ragu. Karena sesungguhnya Allah akan memberi jalan keluar
bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka.
... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”...
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللهَ بَـــٰـلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
﴿٣﴾
Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath Thalaaq. 3).
Maka jangan pernah berputus asa, wahai saudaraku.
Teruslah berusaha. Do'aku menyertai perjuanganmu!
Janganlah panjenengan
terpedaya oleh tipu daya syaitan yang terkutuk. Syaitan menakut-nakuti kita
dengan kemiskinan dan menyuruh kita berbuat kejahatan, sedang Allah menjanjikan
untuk kita ampunan dan karunia. Dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Luas
karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.
الشَّيْطَـــٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ وَاللهُ يَعِدُكُم
مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٦٨﴾
Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah
menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah. 268).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) 1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia telah terjadi
pergeseran. Sama dengan kata: ‘ulama'
( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
2) 2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (hadits no. 4789) dan Imam
Muslim (hadits no. 3408) selengkapnya adalah sebagai berikut:
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ
رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الْإِمَامُ رَاعٍ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْؤُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ
عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
Masing-masing kalian adalah
pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pimpinan negara adalah
pemimpin, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang kepala rumah tangga
adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang
istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang rakyatnya.
Seorang pembantu adalah yang bertanggung jawab tentang harta tuannya dan akan
ditanya tentang yang dipimpinnya. Maka masing-masing kalian adalah pemimpin dan
akan ditanya tentang rakyatnya. (Muttafaqun ‘alaih).
3) 3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim (hadits no. 1674)
selengkapnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ
حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ
يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ
نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللهِ ذَهَبَ أَهْلُ
الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ
وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ
لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ
صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا
أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا
وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
(رواه مسلم)
13.50/1674. Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba'i Telah menceritakan
kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu
Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya'mar dari Abul Aswad Ad Dili
dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat
memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti
kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda:
Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk
bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah
sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah
sedekah, amar ma'ruf nahi munkar adalah sedekah,
bahkan pada kemaluan seorang dari kalian pun terdapat
sedekah. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah,
jika salah seorang diantara kami menyalurkan nafsu syahwatnya, apakah akan
mendapatkan pahala? beliau menjawab: Bagaimana sekiranya kalian meletakkannya
pada sesuatu yang haram, bukankah kalian berdosa? Begitu pun sebaliknya, bila
kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala. (HR.
Muslim).