Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) (alumnus
sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jawa Timur) telah
menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan sebagai berikut: “Suami pernah bersumpah kalau tidak selingkuh, padahal nyatanya
selingkuh. Malah berani bersumpah-sumpah. Apakah sumpah itu ada gunanya? Demikian
Pak Imron pertanyaan saya. Terimakasih sebelumnya”.
TANGGAPAN
Sebelum membahas pertanyaan panjenengan, marilah kita
perhatikan terlebih dahulu penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah serta Imam Baihaqi berikut ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو إِسْحَقَ الْهَرَوِيُّ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللهِ بْنُ الْحَارِثِ الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا سَيْفُ بْنُ سُلَيْمَانَ
الْمَكِّيُّ أَخْبَرَنِي قَيْسُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالشَّاهِدِ وَالْيَمِينِ. (رواه ابن ماجه)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Ishaq Al Harawi Ibrahim
bin Abdullah bin Hatim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin
Al Harits Al Makhzumi] berkata, telah menceritakan kepada kami [Saif bin
Sulaiman Al Makki] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Qais bin Sa'd] dari
[Amru bn Dinar] dari [Ibnu Abbas] ia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam memutuskan (dalam menyelesaikan suatu masalah) dengan adanya saksi dan
sumpah”. (HR.
Ibnu Majah, no. 2361).
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ؛ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ يُعْطَى النَّاسُ
بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ ، وَلَكِنِ
الْبَيِّنَةُ عَلَـى الْـمُدَّعِيْ ، وَالْيَمِيْنُ عَلَـى مَنْ أَنْكَرَ. (رواه البيهقى)
Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Seandainya (setiap) orang dipenuhi klaim (tuduhan)
mereka, maka tentu akan ada orang-orang yang akan mengklaim (menuduh/menuntut)
harta dan darah suatu kaum2), namun barang bukti wajib bagi pendakwa (penuduh) dan
sumpah itu wajib atas orang yang
mengingkari (orang yang tertuduh)”. (HR. Al-Baihaqi, no. 21733).
Saudaraku,
Para ‘Ulama’ bersepakat bahwa
yang dimaksud dengan al bayyinah (bukti) adalah asy-syahâdah (persaksian),
karena saksi pada umumnya dapat mengungkap kebenaran dan kejujuran orang yang
menuduh (pendakwa).
Al bayyinah itu bermacam-macam
sesuai dengan objek yang dituduhkan dan dampak yang ditimbulkan. Adapun terkait
perzinaan, dalam
kasus ini disyaratkan hadirnya empat orang saksi laki-laki dan tidak dapat
diterima kesaksian kaum wanita. Perhatikan firman Allah dalam Al
Qur’an An Nisaa’ ayat 15 surat berikut ini:
وَالَّــــٰتِي يَأْتِينَ الْفَــٰحِشَةَ مِن نِّسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُواْ عَلَيْهِنَّ أَرْبَعةً مِّنكُمْ ... ﴿١٥﴾
“Dan (terhadap)
para wanita yang melakukan perbuatan keji (zina) di antara
wanita-wanitamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di
antara kamu (yang menyaksikannya) ...”. (QS. An
Nisaa’. 15).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan wanita-wanita yang melakukan perbuatan
keji) maksudnya berzina di antara wanita-wanitamu (maka persaksikanlah mereka
itu kepada empat orang saksi di antaramu) maksudnya di antara laki-lakimu yang
beragama Islam. ...”. (QS. An Nisaa’. 15).
Saudaraku,
Jika pihak yang
menuduh bisa mendatangkan bukti, maka apa yang dituduhkannya
dianggap benar. Artinya jika
si penuduh dapat membuktikan kebenaran dari persaksiannya, maka terhindarlah
dirinya dari hukuman had dan yang dikenai hukuman had adalah pihak tertuduh. Demikian
penjelasan Ibnu Katsir terkait surat An Nuur ayat 4 dalam kitab tafsirnya (Kitab Tafsir Ibnu Katsir).
Sedangkan apabila pihak yang menuduh tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi yang menyaksikan perbuatan zina mereka dengan
mata kepala sendiri (bukan berdasarkan foto, rekaman video, dll), maka ada tiga macam sangsi hukuman yang ditimpakan kepada orang yang
menuduh orang lain berbuat zina tanpa bukti yang membenarkan kesaksiannya,
yaitu:
1. Dikenai
hukuman dera sebanyak delapan puluh kali.
2.
Kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya.
3.
Dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun
menurut manusia.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَــٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَـمَــٰـنِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَـــٰـدَةً أَبَدًا وَأُوْلَــــٰـــئِكَ هُمُ الْفَـــٰسِقُونَ ﴿٤﴾
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.
(QS. An Nuur. 4).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): (Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik) menuduh berzina
wanita-wanita yang memelihara dirinya dari perbuatan zina (dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi) yang menyaksikan perbuatan zina mereka dengan
mata kepala sendiri (maka deralah mereka) bagi masing-masing dari mereka
(delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian terima kesaksian mereka) dalam
suatu perkara pun (buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik) karena mereka telah melakukan dosa besar. (QS. An Nuur. 4).
Kecuali bagi orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan
memperbaiki dirinya, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٥﴾
kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (QS. An Nuur. 5).
♦ Argumen orang yang menuduh lebih didahulukan dari
argumen orang yang tertuduh
Saudaraku,
Ketika seseorang telah
menyampaikan tuduhan, selanjutnya ditanyakan kepada yang tertuduh perihal tuduhan tersebut. Jika pihak tertuduh mengakuinya maka perkara diputuskan berdasarkan pengakuannya tersebut karena pengakuan
adalah bukti yang mengikat orang yang menyatakannya.
Sedangkan jika pihak tertuduh mengingkari, maka pihak yang menuduh diminta untuk mendatangkan bukti. Jika
pihak yang menuduh dapat mendatangkan bukti, maka keputusan didasarkan pada bukti
tersebut dengan mengabaikan perkataan orang yang tertuduh (dengan mengabaikan pengingkarannya)
walaupun disertai dengan sumpah yang keras.
Namun jika pihak yang menuduh tidak dapat
menghadirkan bukti, maka orang yang tertuduh diminta untuk mengucapkan sumpah. Jika dia bersumpah, maka dia
bebas dan otomatis tuduhan itu gugur.
Artinya jika pihak yang menuduh bisa mendatangkan bukti, maka apa yang
dituduhkannya dianggap benar. Sebagaimana syari’at ini juga menetapkan bahwa
sumpah sebagai hujjah bagi orang tertuduh. Yaitu
jika dia berani bersumpah (jika yang menuduh tidak dapat menghadirkan bukti), maka terbebaslah dia dari tuduhan yang diarahkan
kepadanya.
Dalil
yang menunjukkan urut-urutan diatas adalah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang menuduh: “Apakah kamu mempunyai bukti ?”. Dia menjawab:
“Tidak!”. Beliau bersabda: “Maka hakmu untuk mengucapkan sumpah”. Perhatikan penjelasan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 197) berikut ini3):
فَقَالَ هَلْ لَكَ
بَيِّنَةٌ فَقُلْتُ لَا قَالَ فَيَمِينُهُ. (رواه مسلم)
Maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah kamu mempunyai bukti?”. Aku menjawab: “Tidak”.
Beliau bersabda: “Maka sumpahnya (dijadikan sebagai alat hukum)”. (HR. Muslim, no. 197).
Saudaraku,
Dalam hadits tersebut, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pertama kali bertanya tentang
bukti kepada yang menuduh. Selanjutnya sabda beliau diarahkan kepada orang yang
tertuduh bahwa dia berhak untuk bersumpah karena si penuduh tidak memiliki
bukti. Maka ditetapkan bahwa argumen orang yang menuduh lebih
didahulukan daripada argumen orang yang tertuduh.
Sedangkan apabila orang yang
tertuduh menolak untuk bersumpah, maka keputusan ditetapkan berdasarkan tuduhan
yang ditujukan kepadanya. Dalilnya adalah
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالْيَمِيْنُ عَلَـى مَنْ أَنْكَرَ. (رواه البيهقى)
Dan
sumpah itu wajib atas orang yang
mengingkari (orang yang tertuduh)”. (HR. Al-Baihaqi, no. 21733).
Maka
keengganannya untuk bersumpah menunjukkan bahwa dia mengakui hak orang yang
menuduh atau dia rela menyerahkannya kepada yang menuduh.
♦ Larangan menyampaikan sumpah palsu
Saudaraku,
Meskipun pihak tertuduh boleh
bersumpah untuk mengingkari tuduhan yang disampaikan manakala pihak penuduh
tidak bisa mendatangkan bukti (jika terkait perzinaan, berarti pihak penuduh
tidak bisa mendatangkan empat orang saksi yang menyaksikan perbuatan zina mereka
dengan mata kepala sendiri), namun bukan berarti pihak
tertuduh boleh seenaknya bersumpah.
Karena ada larangan yang sangat
keras bagi siapa saja yang berani menyampaikan sumpah palsu. Bahkan sumpah
palsu tersebut termasuk golongan dosa besar. Perhatikan penjelasan beberapa
hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا النَّضْرُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا فِرَاسٌ قَالَ
سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ. (رواه البخارى)
63.52/6182. Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Muqatil Telah mengabarkan kepada kami An Nadhr telah
mengabarkan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Firas menuturkan;
aku mendengar Asy Sya'bi dari Abdullah bin Amru dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Dosa besar ialah menyekutukan
Allah, durhaka kepada orangtua, membunuh, dan bersumpah palsu”. (HR. Bukhari).
أَخْبَرَنِي
عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ شُمَيْلٍ قَالَ
أَنْبَأَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا فِرَاسٌ قَالَ سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ الْكَبَائِرُ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ
النَّفْسِ وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami ['Abdah bin Abdur Rahim],
ia berkata; telah memberitakan kepada kami [Ibnu Syumail], ia berkata; telah
memberitakan kepada kami [Syu'bah], ia berkata; telah menceritakan kepada kami
[Firas], ia berkata; saya mendengar [Asy Sya'bi] dari [Abdullah bin 'Amr] dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Dosa-dosa besar adalah
mensekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu”.
(HR.
An-Nasa’i,
no. 3946).
قَالَ
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ
سَعْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ التَّيْمِيِّ
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أُنَيْسٍ
الْجُهَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ الشِّرْكَ بِاللهِ وَعُقُوقَ الْوَالِدَيْنِ
وَالْيَمِينَ الْغَمُوسَ وَمَا حَلَفَ حَالِفٌ بِاللهِ يَمِينًا صَبْرًا
فَأَدْخَلَ فِيهَا مِثْلَ جَنَاحِ بَعُوضَةٍ إِلَّا جَعَلَهُ اللهُ نُكْتَةً فِي
قَلْبِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. (رواه
أحمد)
(Ahmad bin Hanbal radliyallhu'anhu) berkata; telah
menceritakan kepada kami [Yunus bin Muhammad] berkata; telah menceritakan
kepada kami [Laits] dari [Hisyam bin Sa'ad] dari [Muhammad bin Zaid bin Al
Muhajir bin Qunfudz At-Taimi] dari [Abu Umamah Al Anshari] dari [Abdullah bin
Unais Al Juhani] berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: “Yang
termasuk dosa-dosa paling besar adalah: Menyekutukan Allah, durhaka kepada
orang tua, dan sumpah bohong. Tidaklah bersumpah seseorang dengan nama Allah di
hadapan seorang hakim walau hanya untuk perkara sepele yang hanya senilai sayap
nyamuk kecuali Allah akan membuat coretan hitam dalam hatinya sampai Hari
Kiamat nanti”. (HR. Ahmad, no. 15465).
♦ Pihak yang melaksanakan hukuman di atas
Saudaraku,
Pihak yang berhak melaksanakan
hukum di atas adalah penguasa kaum muslimin, yaitu penguasa yang mampu
menegakkan syari’at Allah, karena hukum tersebut termasuk hudud4) yang
merupakan kewajiban penguasa. Jadi bukan hak sembarang orang.
Pada
masa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah setelahnya. Dan
wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan hadits
berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ
أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى
امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا. (رواه
البخارى)
23.13/2147. Telah menceritakan
kepada kami Abu Al Walid telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu
Syihab dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah dari Zaid bin Khalid dan Abu Hurairah
radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Berilah tangguh wanita ini sampai besok wahai Unais.Jika
ia mengaku maka rajamlah”. (HR. Bukhori).
♦ Bila sudah bertaubat dari zina, apakah tetap harus
dirajam?
Saudaraku,
Jika
seseorang sudah bertaubat dari zina (atau pencurian, minum khamr, dan lainnya),
dan urusannya belum sampai kepada penguasa yang menegakkan syari’at Islam, maka
had zina (cambuk atau rajam) gugur dari orang yang bertaubat tersebut. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
وَالَّذَانَ يَأْتِيَـــٰــنِهَا مِنكُمْ فَــئَاذُوهُمَا
فَإِن تَابَا وَأَصْلَحَا فَأَعْرِضُواْ عَنْهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ تَوَّابًا
رَّحِيمًا ﴿١٦﴾
Dan terhadap dua orang yang
melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya,
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa’. 16).
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ
وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿٣٩﴾
Maka barangsiapa bertaubat (di
antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki
diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Maa-idah. 39).
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ سَعِيدٍ الدَّارِمِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
الرَّقَاشِيُّ حَدَّثَنَا وُهَيْبُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَبْدِ
الْكَرِيمِ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّائِبُ مِنْ الذَّنْبِ كَمَنْ
لَا ذَنْبَ لَهُ. (رواه ابن ماجه)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Sa'id Ad
Darimi] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abdullah Ar Raqasy] telah
menceritakan kepada kami [Wuhaib bin Khalid] telah menceritakan kepada kami
[Ma'mar] dari [Abdul Karim] dari [Abu 'Ubaidah bin Abdullah] dari [ayahnya] dia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang
bertaubat dari dosa, bagaikan seorang yang tidak berdosa." (HR. Ibnu
Majah no. 4240)
♦ PEMBAHASAN KASUS YANG PANJENENGAN TANYAKAN
Saudaraku,
Perselingkuhan adalah perbuatan
yang menjurus pada perzinahan bahkan bisa dikatakan perbuatan zina. Dalam dalil
berikut ini
sudah disebutkan untuk tidak mendekati zina karena zina merupakan perbuatan
keji dan jalan yang buruk.
وَلَا تَقْرَبُواْ الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَـــٰحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا ﴿٣٢﴾
Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk. (QS. Al Israa’. 32).
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, jika
panjenengan menuduh suami panjenengan melakukan perselingkuhan (yaitu perbuatan
yang menjurus pada perzinahan bahkan bisa dikatakan perbuatan zina) dan panjenengan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang menyaksikan
perbuatan suami dengan
mata kepala sendiri (bukan berdasarkan foto, rekaman video, dll) sedangkan
suami panjenengan berani bersumpah untuk mengingkari tuduhan panjenengan, maka
suami bebas dan otomatis tuduhan itu gugur.
Sedangkan bagi panjenengan ada tiga
macam sangsi hukuman karena menuduh orang lain berbuat berzina tanpa bukti yang
membenarkan kesaksiannya, yaitu: (1) Dikenai hukuman dera sebanyak delapan
puluh kali, (2) Kesaksiannya tidak dapat diterima buat selama-lamanya, dan (3)
Dicap sebagai orang fasik dan bukan orang adil, baik menurut Allah maupun
menurut manusia.
Namun hal itu semua baru bisa
dilaksanakan jika urusannya sudah sampai kepada penguasa yang menegakkan
syari’at Islam.
Oleh karena itu segera
bertaubatlah. Karena jika seseorang sudah bertaubat dari menuduh orang lain
berselingkuh/berzina tanpa bisa mendatangkan bukti sedangkan pihak tertuduh
berani bersumpah atau sudah bertaubat dari zina (atau sudah bertaubat dari pencurian,
atau sudah bertaubat dari minum khamr, dan lainnya) dan urusannya belum sampai
kepada penguasa yang menegakkan syari’at Islam, maka hukuman cambuk atau rajam gugur
dari orang yang bertaubat tersebut dan dia bagaikan seorang yang tidak
berdosa.
♦ Gunanya sumpah
Panjenengan
juga bertanya: “Apakah sumpah itu ada gunanya?”. Jawabnya jelas ada, yaitu
sebagaimana penjelasan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam dlam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits
no. 3121) berikut ini:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى
وَعَمْرٌو النَّاقِدُ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا هُشَيْمُ بْنُ بَشِيرٍ عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ و قَالَ عَمْرٌو حَدَّثَنَا هُشَيْمُ بْنُ بَشِيرٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمِينُكَ عَلَى مَا
يُصَدِّقُكَ عَلَيْهِ صَاحِبُكَ و قَالَ عَمْرٌو يُصَدِّقُكَ بِهِ صَاحِبُكَ.
(رواه مسلم)
28.18/3121. Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Yahya dan 'Amru An Naqid, Yahya berkata; telah
mengabarkan kepada kami Husyaim bin Basyir dari Abdullah bin Abu Shalih dari
Ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sumpahmu adalah sesuatu yang
dapat meyakinkan sahabatmu”. Dan 'Amru mengatakan:
“Yaitu yang dapat meyakinkan sahabatmu”. (HR.
Muslim).
♦ Solusi dari permasalahan yang panjenengan hadapi
Saudaraku,
Satu hal
yang harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim/muslimah
yang baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata. Kalaupun
kita harus mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua,
anak, saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah
Allah semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya).
Dan jika
suatu ketika Allah memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita,
maka (karena cinta kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal:
ketika tiba-tiba sang istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus
berupaya semaksimal mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang
istri tetap tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia. Sekalipun kecantikannya
masih membuat kita terpesona, juga kelembutan sikapnya, dll. (Semoga hal ini
tidak sampai terjadi pada istri/suami kita. Amin, ya rabbal ‘alamin)
Terus,
apakah sebaiknya kita musti lari dari semua ini? Karena takut jatuh dan
kehilangan suami tercinta? Karena takut disakiti?
Jawabnya:
Mengapa harus lari dari semua ini? Bukankah tidak ada satupun
diantara kita yang mampu menghindar dari masalah selama kita masih menjalani
kehidupan di dunia ini?
Sebaiknya
hadapi saja, wahai saudaraku. Sambil terus berupaya untuk memberikan yang
terbaik buat suami tercinta dan terus berdo’a kepada-Nya agar diberikan jalan
terbaik.
Jika
memang dia benar-benar suami yang baik yang mampu membimbing saudaraku dalam
menggapai ridho-Nya, mohonlah kepada-Nya agar pernikahan ini dapat
dipertahankan untuk selamanya.
Sedangkan
jika ternyata dia bukanlah suami yang baik, mohonlah kepada-Nya agar dia segera
mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya sehingga dia bisa
segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk kemudian segera bisa berubah
ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat dipertahankan untuk
selamanya.
Saudaraku,
Setelah kita
berupaya secara maksimal, maka apapun yang akan terjadi, terimalah dengan hati
yang lapang. Kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa kita
menjadi tenang.
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
“Hai jiwa
yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27 – 28).
Berat
memang!
Namun selama
panjenengan tetap
bertaqwa kepada Allah, maka panjenengan
tidak perlu merasa bimbang dan ragu. Karena sesungguhnya Allah akan memberi jalan keluar
bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka.
... وَمَن
يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”...
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللهَ بَـــٰـلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
﴿٣﴾
”Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).
Maka jangan pernah berputus asa, saudaraku. Teruslah
berusaha. Do'aku menyertai perjuanganmu!
Janganlah panjenengan
terpedaya oleh tipu daya syaitan yang terkutuk. Syaitan menakut-nakuti kita
dengan kemiskinan dan menyuruh kita berbuat kejahatan, sedang Allah menjanjikan
untuk kita ampunan dan karunia. Dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Luas
karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.
الشَّيْطَـــٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُم بِالْفَحْشَاءِ وَاللهُ يَعِدُكُم مَّغْفِرَةً
مِّنْهُ وَفَضْلًا وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٦٨﴾
Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah
menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah. 268).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan
ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah
terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk
jamak dari ‘alim
( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa
Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar
mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”.
Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini:
“Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
2) Maksudnya, orang itu akan mengklaim bahwa harta itu miliknya.
3) Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 197) selengkapnya
adalah sebagai berikut:
و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الْحَنْظَلِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ
أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينِ صَبْرٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ هُوَ فِيهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ قَالَ
فَدَخَلَ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ فَقَالَ مَا يُحَدِّثُكُمْ أَبُو عَبْدِ
الرَّحْمَنِ قَالُوا كَذَا وَكَذَا قَالَ صَدَقَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فِيَّ
نَزَلَتْ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ أَرْضٌ بِالْيَمَنِ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
هَلْ لَكَ بَيِّنَةٌ فَقُلْتُ لَا قَالَ فَيَمِينُهُ قُلْتُ إِذَنْ
يَحْلِفُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينِ صَبْرٍ يَقْتَطِعُ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ هُوَ
فِيهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ فَنَزَلَتْ { إِنَّ الَّذِينَ
يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلًا } إِلَى آخِرِ
الْآيَةِ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ
مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ
يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالًا هُوَ فِيهَا فَاجِرٌ لَقِيَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ
غَضْبَانُ ثُمَّ ذَكَرَ نَحْوَ حَدِيثِ الْأَعْمَشِ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَتْ
بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُومَةٌ فِي بِئْرٍ فَاخْتَصَمْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ شَاهِدَاكَ أَوْ يَمِينُهُ.
(رواه مسلم)
2.189/197. Dan telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki'.
(dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair
telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dan Waki'. (dalam riwayat lain
disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-Hanzhali
dan lafazh tersebut miliknya, telah mengabarkan kepada kami Waki' telah
menceritakan kepada kami al-A'masy dari Abu Wail dari Abdullah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: Barangsiapa bersumpah atas untuk
mengambil harta seorang muslim, maka karena itu ia menjadi seorang yang
durhaka, dia akan bertemu Allah sementara Allah murka kepadanya. Perawi
berkata, Lalu al-Ats'asy bin Qais masuk seraya bertanya, Apa yang diceritakan
Abu Abdurrahman kepada kalian? Mereka menjawab, Demikian dan demikian. Asy'ats
berkata, Abu Abdurrahman benar, hadits tersebut turun berkenaan denganku. Ada
perselisihan antara aku dengan seorang laki-laki tentang tanah di Yaman, lalu
aku mengajukan hal itu ke hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bertanya: “Apakah
kamu mempunyai bukti?”. Aku menjawab: “Tidak”. Beliau bersabda: “Maka sumpahnya
(dijadikan sebagai alat hukum)”. Aku berkata, 'Jadi dia bersumpah? '
Saat itu juga beliau langsung bersabda: Barangsiapa bersumpah untuk mengambil
harta seorang Muslim, maka karena itu ia menjadi seorang yang durhaka, dia akan
bertemu Allah sementara Allah murka kepadanya. Lalu turunlah ayat:
'(Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat
bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka
dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih) ' (Qs. Ali Imran: 77). Telah menceritakan
kepada kami Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Manshur
dari Abu Wail dari Abdullah dia berkata, 'Barangsiapa bersumpah untuk
mendapatkan harta (orang lain), maka karena itu ia menjadi seorang yang
durhaka, dan ia akan berjumpa dengan Allah sementara Allah dalam kondisi murka
kepadanya. Kemudian dia menyebutkan semisal hadits al-A'masy, hanya saja dia
menyebutkan, Pernah terjadi perselisihan antara aku dengan seorang laki-laki
dalam masalah sumur. Maka kami mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Beliau lalu bersabda: Hendaklah kamu menghadirkan dua saksi,
atau dia bersumpah'. (HR. Muslim).
4) Hudud, jama’ dari had. Yaitu: hukuman-hukuman yang
telah ditetapkan syari’at dalam perkara kemaksiatan-kemaksiatan, untuk mencegah
terulangnya kemaksitan-kemaksiatan tersebut. Seperti
had zina, mabok, tuduhan, pencurian, dan lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar