Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat1) (alumnus
sebuah perguruan tinggi negeri ternama) telah
menyampaikan pertanyaan via WhatsApp dengan pertanyaan sebagai berikut:
Suami
berselingkuh dengan anak SMA (abg). Suami obral uang ke semua orang dengan
tujuan tebar pesona agar dipuja banyak wanita (menurut pengamatan saya).
Padahal ke istri bilang nggak punya uang, hutang banyak. Tapi di luar, suami dermawan
sekali.
Apa yang harus
saya lakukan? Apakah membuka hp suami, saya berdosa? Dengan membuka hp suami, saya
jadi tahu suami ada afair.
Jika suami
pelit, apakah saya tidak punya hak untuk minta ini itu? Apakah istri harus
menerima seberapapun pemberian suami walau sedikit, padahal suami punya banyak uang?
TANGGAPAN
Saudaraku,
Silahkan
bersuka cita, tetapi janganlah kita terlalu bersuka cita/terlalu bergembira
dengan apa saja yang telah berhasil kita raih/telah berhasil kita miliki. Termasuk
kepada sang suami. Silahkan mencintainya, tapi jangan terlalu mencintainya.
Bersikaplah yang sewajarnya saja, karena semuanya itu (termasuk suami), pada
hakekatnya hanyalah titipan Allah semata.
Sebaliknya, silahkan
berduka cita tetapi jangan terlalu berduka cita (apalagi sampai larut di
dalamnya) terhadap segala sesuatu yang luput dari kita, apakah itu berupa
kehilangan jabatan, pekerjaan, harta kekayaan, orang-orang yang kita cintai,
dll., termasuk jika saudaraku harus mendapati kemungkinan terburuk (kehilangan
suami tercinta karena beliau wafat, atau karena pergi meninggalkan saudaraku
begitu saja atau sebab-sebab lainnya).
Ingatlah,
bahwa pada hakekatnya semuanya itu hanyalah titipan Allah semata. Karena
sesungguhnya Allah-lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, termasuk
jiwa dan raga kita. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al
Hadiid ayat 23 berikut ini:
لِكَيْلَا
تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَىـٰـكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ﴿٢٣﴾
(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira2)
terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al Hadiid. 23).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Supaya
janganlah) lafal kay di sini menashabkan fi'il yang jatuh sesudahnya, maknanya
sama dengan lafal an. Allah swt. menjelaskan yang demikian itu supaya janganlah
(kalian berduka cita) bersedih hati (terhadap apa yang luput dari kalian, dan
supaya kalian jangan terlalu gembira) artinya gembira yang dibarengi dengan
rasa takabur, berbeda halnya dengan gembira yang dibarengi dengan rasa syukur
atas nikmat (terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian) jika lafal aataakum
dibaca panjang berarti maknanya sama dengan lafal a`thaakum, artinya apa yang
diberikan-Nya kepada kalian. Jika dibaca pendek, yaitu ataakum artinya, apa
yang didatangkan-Nya kepada kalian. (Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong) dengan apa yang telah diberikan oleh Allah kepadanya (lagi membanggakan
diri) membangga-banggakannya terhadap orang lain. (QS. Al Hadiid. 23).
Oleh karena itu tanggapi perilaku suami dengan sewajarnya
saja wahai saudaraku, jika apa yang panjenengan sampaikan di atas memang benar
adanya.
Saudaraku,
Sudah
menjadi sesuatu yang wajar jika kita berharap agar semuanya berjalan baik-baik
saja. Jika itu terkait dengan suami, maka kita berharap agar sang suami tetap
setia untuk selamanya, dst.
Namun jika
dalam perjalanan waktu kemudian ada kekhilafan dari suami tercinta, maka
berdo’alah kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya
sehingga bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk kemudian segera
bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat
dipertahankan untuk selamanya.
وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ﴿١٨٦﴾
Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah. 186).
وَقَالَ
رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ
عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ﴿٦٠﴾
Dan
Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Ghafir. 60).
Jika pada
akhirnya suami menyadari kesalahannya kemudian mulai belajar untuk berubah ke
arah yang lebih baik, sebaiknya maafkanlah kesalahannya. Semoga kelapangan dada
panjenengan dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat
dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan panjenengan kepada-Nya.
Namun jika
ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk)
mohonlah kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan
dari-Nya sehingga dia bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk
kemudian segera bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini
dapat dipertahankan untuk selamanya.
Saudaraku,
Selain
berdo’a kepada-Nya, upaya lain yang sebaiknya juga panjenengan lakukan adalah
beramar ma’ruf nahi munkar kepada suami. Jadi sebaiknya berjalan secara
paralel, berdo’a dan berusaha secara bersamaan.
Saudaraku,
Salah satu diantara tanda-tanda orang beriman adalah
bahwa dia akan selalu berupaya untuk memberantas segala kemungkaran dengan
segala kemampuannya.
يَـــٰـــبُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ ﴿١٧﴾
Hai anakku, dirikanlah shalat
dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS.
Luqman. 17).
Saudaraku,
Orang yang beriman itu saat melihat suatu kemungkaran
yang terjadi dimanapun, kapanpun dan dilakukan oleh siapapun, maka dia akan
selalu berupaya untuk memberantas kemungkaran tersebut dengan segala
kemampuannya.
Pertama dia akan berupaya semaksimal mungkin untuk
memberantas kemungkaran tersebut dengan tangannya (dengan kekuasaan yang ada
pada dirinya).
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُونُ
فِي قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا
عَلَيْهِ فَلَا يُغَيِّرُوا إِلَّا أَصَابَهُمْ اللهُ بِعَذَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَمُوتُوا. (رواه ابو داود)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata, "Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Tidaklah seorang lelaki yang berada di dalam sebuah kaum yang terdapat
kemasiatan yang dikerjakan di dalamnya kemudian (mereka menyadari bahwa) mereka
mampu merubahnya, namun mereka tidak melakukannya, melainkan Allah akan
menimpakan sebuah adzab kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia." (HR. Abu
Daud).
Namun jika
dia tidak
mampu memberantas kemungkaran tersebut dengan tangannya (artinya
tidak ada kekuasaan
pada dirinya untuk memberantas kemungkaran tersebut), maka dia akan berupaya
semaksimal mungkin untuk memberantas kemungkaran tersebut dengan lisannya.
Artinya jika dia mempunyai bekal ilmu yang cukup, maka dia akan mengajaknya
untuk berdiskusi dengan menyertakan hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang
kuat disertai dengan dalil-dalil yang mendasarinya, dengan
harapan agar yang bersangkutan bisa segera meninggalkan perbuatan
mungkarnya.
Sedangkan pelaksanaannya bisa dilaksanakan secara
langsung maupun secara tidak langsung, yaitu lewat tulisan untuk
kemudian disampaikan kepada yang bersangkutan melalui sms/whatsapp/email/facebook/media
lainnya, atau bisa juga dengan meminta bantuan kepada pihak-pihak yang disegani
pelaku kemungkaran tersebut untuk menasehatinya.
Terakhir
jika memberantas kemungkaran dengan lisan tidak mampu juga, maka minimal
hatinya mengingkari kemungkaran tersebut. Artinya dia akan membenci perbuatan
mungkar tersebut dengan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar tersebut. Namun
tindakan ini tergolong orang yang memiliki iman setipis-tipisnya.
عَنْ الْعُرْسِ ابْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِيِّ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا عُمِلَتْ الْخَطِيئَةُ
فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً أَنْكَرَهَا
كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ
شَهِدَهَا. (رواه ابو داود)
Dari Al 'Urs bin 'Amirah Al
Kindi, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Jika
kemaksiatan telah dikerjakan di muka bumi, maka bagi orang yang menyaksikannya
dan ia benar-benar membencinya (dari dalam hatinya), maka ia seperti orang yang
tidak melihatnya (tidak berdosa). Dan orang yang tidak menyaksikannya, akan
tetapi ia merestui perbuatan tersebut, maka ia (dihukumi) seperti orang yang
menyaksikannya." (HR. Abu Daud).
Dari Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَٰلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang
siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan
lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Khusus
untuk amar ma’ruf nahi munkar kepada suami, jika panjenengan merasa
sungkan/ewuh-pakewuh jika menyampaikannya sendiri kepada suami atau berdasarkan
pengalaman selama ini cara seperti itu dirasakan tidak efektif
karena suami selalu mengabaikan/memandang sebelah mata nasehat dari panjenengan
sebagai isteri, maka panjenengan bisa mencoba untuk meminta bantuan dari pihak
ketiga yang disegani suami untuk menyampaikan nasehat kepadanya agar bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk kemudian segera
bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat
dipertahankan untuk selamanya.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat
35 berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ
أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلَـــٰحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا ﴿٣٥﴾
Dan jika
kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. An Nisaa’. 35).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Dan jika kamu khawatir timbulnya persengketaan di antara
keduanya) maksudnya di antara suami dengan istri terjadi pertengkaran (maka
utuslah) kepada mereka atas kerelaan kedua belah pihak (seorang penengah) yakni
seorang laki-laki yang adil (dari keluarga laki-laki) atau kaum kerabatnya (dan
seorang penengah dari keluarga wanita) yang masing-masingnya mewakili pihak
suami tentang putusannya untuk menjatuhkan talak atau menerima khuluk/tebusan
dari pihak istri dalam putusannya untuk menyetujui khuluk.
Kedua mereka akan berusaha sungguh-sungguh dan menyuruh
pihak yang aniaya supaya sadar dan kembali, atau kalau dianggap perlu buat
memisahkan antara suami istri itu.
Firman-Nya:
(jika mereka berdua bermaksud) maksudnya kedua penengah itu (mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada mereka) artinya suami istri
sehingga ditakdirkan-Nyalah mana-mana yang sesuai untuk keduanya, apakah
perbaikan ataukah perceraian. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) segala
sesuatu (lagi Maha Mengenali) yang batin seperti halnya yang lahir”. (QS. An
Nisaa’. 35).
♦ Bertawakal kepada-Nya
Saudaraku,
Jika panjenengan sudah berusaha dan berdo’a secara
maksimal namun ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan
kondisinya semakin memburuk) sehingga saudaraku sudah tidak
mampu lagi untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua
urusan ini hanya kepada-Nya. Yakinlah, bahwa Allah akan memberikan keputusan
terbaik diantara kita. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana,
sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Al An’aam ayat 18:
وَهُوَ
الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan
Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).
Sedangkan
Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an
dalam surat Ar Ruum ayat 6:
وَعْدَ اللهِ لَا
يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَــٰـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
"(sebagai)
janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum. 6).
Sekali lagi kusampaikan bahwa setelah panjenengan
melakukan ikhtiar dan doa, maka langkah terakhir adalah bertawakal kepada-Nya. Panjenengan tidak perlu merasa bimbang dan ragu selama panjenengan
tetap bertaqwa kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah akan memberi jalan keluar bagi
hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka.
... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”...
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).
وَيَرْزُقْهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ
اللهَ بَـــٰـلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
﴿٣﴾
”Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).
رَّبَّنَا Ya Tuhan
kami,
Berilah
kekuatan kepada kami, sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang
telah Engkau berikan kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami hanya
berharap kepada Engkau. Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
وَلَوْ أَنَّهُمْ
رَضُوْاْ مَا ءَاتَاهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللهُ سَيُؤْتِينَا
اللهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللهِ رَاغِبُونَ ﴿٥٩﴾
Jikalau
mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan
memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula)
Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). (QS. At
Taubah. 59).
√
Panjenengan bertanya: “Apakah jika membuka hp suami, saya berdosa? Karena dengan
membuka hp suami, saya jadi tahu jika suami ada afair”.
Saudaraku,
Pada
umumnya kaum lelaki itu punya ego yang tinggi serta harga diri yang tinggi pula
(semoga saya tidak termasuk yang demikian). Berterus-terang kepada suami bahwa
saudaraku telah membuka HP-nya, apalagi sampai membaca SMS/WA
untuk seorang wanita, itu sungguh-sungguh sangat berbahaya. Suami
bisa sangat tersinggung. Dan ini bisa menyebabkan terjadinya pertengkaran
terus-menerus.
Lantas
konkritnya bagaimana sebaiknya panjenengan harus bersikap?
Saudaraku,
Seperti yang
sudah kusampaikan, bahwa sebaiknya hadapi saja dengan tenang, sambil terus
berupaya untuk memberikan yang terbaik buat suami tercinta dan terus berdo’a
kepada-Nya agar diberikan jalan terbaik. Jika memang dia benar-benar suami yang
baik yang mampu membimbing saudaraku dalam menggapai ridho-Nya, mohonlah
kepada-Nya agar pernikahan ini dapat dipertahankan untuk selamanya.
Sedangkan
jika ternyata dia bukanlah suami yang baik, mohonlah kepada-Nya agar dia segera
mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya sehingga bisa segera belajar dari
kesalahannya selama ini untuk kemudian segera bisa berubah ke arah yang lebih
baik sehingga pernikahan ini dapat dipertahankan untuk selamanya.
Setelah
kita berupaya secara maksimal, maka apapun yang akan terjadi, terimalah dengan
hati yang lapang. Kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa
kita menjadi tenang.
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
Hai jiwa
yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
(QS. Al Fajr. 27 – 28).
√
Panjenengan juga bertanya: “Jika suami pelit, apakah saya
tidak punya hak untuk minta ini itu? Apakah istri harus
menerima seberapapun pemberian suami walau sedikit, padahal suami punya banyak uang?”.
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu
dibebankan kepada suami dan bukan kepada isteri. Dalam Islam, seorang suami
wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta surat Al Baqarah ayat 233 berikut ini:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. ...”. (QS. An Nisaa’. 34).
... وَعلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
Sedangkan
dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini (hadits no. 4940 dan no. 6628),
diperoleh penjelasan sebagai beikut:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ
عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا
بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
49.9/4940. Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah
mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah
bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki
yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta
benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR.
Bukhari).
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ وَاللهِ مَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَذِلُّوا مِنْ أَهْلِ خِبَائِكَ وَمَا أَصْبَحَ الْيَوْمَ
عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَعِزُّوا مِنْ
أَهْلِ خِبَائِكَ ثُمَّ قَالَتْ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ
عَلَيَّ مِنْ حَرَجٍ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَهَا لَا
حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ مِنْ مَعْرُوفٍ. (رواه البخارى)
73.25/6628. Telah menceritakan
kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri
telah mengabarkan kepada kami 'Urwah bahwasanya Aisyah radliallahu 'anha
mengatakan, Hindun binti Utbah bin Rabi'ah datang dan berujar: “Wahai
Rasulullah, dahulu tidak ada penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai
untuk dihinakan selain penghuni rumahmu. Kebalikannya sekarang, tidak ada
penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai untuk dimuliakan selain
penghuni rumahmu. Kemudian Hindun binti Utbah mengatakan: “Sesungguhnya abu
Sufyan orangnya sangat pelit, apakah saya berdosa jika memberi makan
orang-orang yang menjadi tanggungan kami (dengan mengambil hartanya tanpa
sepengetahuannya?)”. Nabi menjawab: “Tidak masalah kau memberi makanan untuk
mereka, asalkan dengan ma'ruf (cara wajar)”. (HR. Bukhari).
Saudaraku,
√ Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas menunjukkan
wajibnya nafkah seorang suami pada istrinya.
√ Hadits di atas juga menunjukkan seorang ayah wajib
memberi nafkah pada anaknya.
√ Jika ada suami yang punya kewajiban memberi nafkah
pada istri dan anaknya lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri
boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya, karena nafkah pada istri dan anak itu wajib.
√ Jika seorang isteri mengadukan suaminya demi meminta
nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun, itu tidak termasuk ghibah.
√ Boleh mendengar perkataan dari wanita bukan mahram
ketika ia sedang membutuhkan fatwa atau penjelasan dalam masalah hukum. Di sinilah dituntut adanya
kejujuran kita kepada Allah SWT. dalam mengukur sejauhmana urusan kita tersebut,
apakah benar-benar karena tuntutan syar'i atau hanya sekedar mengikuti hawa
nafsu belaka.
Dan kejujuran itu bergantung
sejauhmana iman kita kepada Allah. Jika muraqabatillah kita kuat (yakni merasa
diri sentiasa dalam pandangan Allah), maka itu yang akan menjadi pengawal kita.
Jika tidak, maka kita akan hanyut bersama orang-orang yang terpedaya dengan
teknologi modern ini. Na’udzubillahi mindzalika!
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk
jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah
terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
2) Yang
dimaksud dengan terlalu gembira disini adalah gembira yang telah melampaui
batas, yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar