Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang teman di
Universitas Trunojoyo Madura telah menyampaikan
pertanyaan terkait artikel “Apakah Memang Ada
Takdir Bahwa Seseorang Tidak Memiliki Jodoh? (I)” dengan
pertanyaan sebagai berikut: “Ada kalimat: termasuk perkara
mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia, lalu ada QS An-Nuur:
... Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang
baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mohon pencerahan!”.
TANGGAPAN
Saudaraku,
Berikut ini aku sampaikan ayat
yang panjenengan maksud tersebut:
الْخَبِيثَـــــٰتُ لِلْخَبِيثِينَ
وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَــــٰتِ وَالطَّيِّبَـــٰتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَــــٰتِ أُوْلَـــٰـئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا
يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٢٦﴾
Wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang
keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu).
Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An Nuur. 26).
Saudaraku,
Untuk bisa memahami ayat di atas, berikut ini kusampaikan
penjelasan Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu
Ahmad Al-Mahalliy) serta Tafsir Ibnu Katsir.
√ Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy) surat An Nuur ayat 26:
(Wanita-wanita yang keji) baik perbuatannya maupun
perkataannya (adalah untuk laki-laki yang keji) pula (dan laki-laki yang keji)
di antara manusia (adalah buat wanita-wanita yang keji pula) sebagaimana yang
sebelumnya tadi (dan wanita-wanita yang baik) baik perbuatan maupun
perkataannya (adalah untuk laki-laki yang baik) di antara manusia (dan
laki-laki yang baik) di antara mereka (adalah untuk wanita-wanita yang baik
pula) baik perbuatan maupun perkataannya.
Maksudnya, hal yang layak adalah orang yang keji
berpasangan dengan orang yang keji, dan orang baik berpasangan dengan orang
yang baik. (Mereka itu) yaitu kaum laki-laki yang baik dan kaum wanita yang
baik, antara lain ialah Siti Aisyah dan Sofwan (bersih dari apa yang dituduhkan
oleh mereka) yang keji dari kalangan kaum laki-laki dan wanita.
(Bagi mereka) yakni laki-laki yang baik dan wanita yang
baik itu (ampunan dan rezeki yang mulia) di surga. Siti Aisyah merasa puas dan
bangga dengan beberapa hal yang ia peroleh, antara lain, ia diciptakan dalam
keadaan baik, dan dijanjikan mendapat ampunan dari Allah, serta diberi rezeki
yang mulia.
√ Tafsir Ibnu Katsir
surat An
Nuur ayat
26:
الْخَبِيثَـــــٰتُ لِلْخَبِيثِينَ
وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَــــٰتِ وَالطَّيِّبَـــٰتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَــــٰتِ أُوْلَـــٰـئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا
يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٢٦﴾
Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita
yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka
(yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh
itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An Nuur. 26).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa perkataan yang keji hanyalah pantas
dilemparkan kepada lelaki yang berwatak keji, dan laki-laki yang keji hanyalah
pantas menjadi bahan pembicaraan perkataan yang keji. Perkataan yang baik-baik
hanyalah pantas ditujukan kepada lelaki yang baik-baik, dan lelaki yang
baik-baik hanyalah pantas menjadi bahan pembicaraan perkataan yang baik-baik.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan
Siti Aisyah dan para penyebar berita bohong. Hal yang sama telah diriwayatkan
dari Mujahid, Ata, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Syabi, Al-Hasan Al-Basri, Habib ibnu
Abu Sabit, dan Ad-Dahhak. Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan memberikan
komentarnya, bahwa perkataan yang keji pantas bila ditujukan kepada orang yang
berwatak keji, dan perkataan yang baik pantas bila ditujukan kepada orang yang
baik. Dan apa yang dikatakan oleh para penyebar berita dusta terhadap diri Siti
Aisyah, sebenarnya merekalah yang lebih utama menyandang predikat itu. Siti
Aisyah lebih utama beroleh predikat bersih dan suci daripada diri mereka.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
... أُوْلَـــٰـئِكَ مُبَرَّؤُونَ
مِمَّا يَقُولُونَ ... ﴿٢٦﴾
“... Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh para penuduhnya ...”. (QS. An Nuur. 26).
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan – sehubungan dengan
makna ayat ini – bahwa orang-orang yang keji dari kalangan kaum wanita adalah
untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum pria. Dan orang-orang yang keji
dari kalangan kaum pria adalah untuk orang-orang yang keji dari kalangan kaum
wanita. Orang-orang yang baik dari kalangan kaum wanita adalah untuk
orang-orang yang baik dari kalangan kaum pria. Dan orang-orang yang baik dari
kalangan kaum pria adalah untuk orang-orang yang baik dari kalangan kaum
wanita.
Takwil inipun senada dengan apa yang telah dikatakan oleh para ‘ulama’
di atas sebagai suatu kepastian. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa
tidaklah Allah menjadikan Aisyah radhiyallahu
‘anha sebagai istri Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam melainkan karena dia adalah wanita
yang baik, sebab Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam adalah manusia yang terbaik di antara
yang baik. Seandainya Aisyah adalah seorang wanita yang keji tentulah tidak
pantas, baik menurut penilaian syari'at maupun penilaian martabat, bila ia
menjadi istri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam. Karena itu Allah SWT. berfirman dalam
penghujung ayat ini:
... أُوْلَـــٰـئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا
يَقُولُونَ ... ﴿٢٦﴾
“... Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka yang melancarkan
tuduhan ...”. (QS.
An Nuur. 26).
Maksudnya, mereka jauh sekali dari apa yang dituduhkan oleh para
penyiar berita bohong dan musuh-musuhnya.
... لَهُم مَّغْفِرَةٌ ... ﴿٢٦﴾
“... Bagi mereka
ampunan ...”. (QS.
An Nuur. 26).
Disebabkan kedustaan yang dilemparkan terhadap diri mereka (yang
hal itu mencuci dosa mereka).
... وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٢٦﴾
“... dan rezeki
yang mulia”. (QS.
An Nuur. 26).
Yakni di sisi Allah yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan. Di
dalam makna ayat ini terkandung suatu janji yang menyatakan bahwa istri
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pasti masuk surga.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan
kepada kami Abdus Salam ibnu Harb, dari Yazid ibnu Abdur Rahman, dari Al-Hakam
berikut sanadnya sampai kepada Yahya ibnul Jazzar yang mengatakan bahwa Asir
ibnu Jabir datang kepada Abdullah, lalu berkata: “Sesungguhnya saya telah
mendengar Al-Walid ibnu Uqbah pada hari ini mengatakan suatu pembicaraan yang
mengagumkan saya”. Maka Abdullah menjawab: “Sesungguhnya seorang lelaki mukmin
di dalam kalbunya terbetik kalimat yang baik hingga meresap ke dalam hatinya
sampai dalam, hingga manakala dia mengucapkannya dan memperdengarkannya kepada
orang lain yang ada di hadapannya, maka lelaki itu akan mendengarkannya dan
meresapkannya di dalam hatinya. Sesungguhnya seseorang yang durhaka yang di
dalam hatinya terbetik perkataan yang kotor hingga meresap ke dalam relung
hatinya, hingga manakala dia mengutarakannya dan memperdengarkannya kepada orang
lain yang ada di hadapannya, maka orang itu akan mendengarkannya dan
meresapinya di dalam hatinya”.
Kemudian Abdullah membaca firman-Nya (yang artinya): “Perkataan-perkataan
yang keji hanyalah untuk orang-orang yang keji, dan orang-orang yang keji
hanyalah untuk perkataan-perkataan yang keji; dan perkataan-perkataan yang
baik-baik hanyalah untuk orang-orang yang baik-baik, dan orang-orang yang
baik-baik hanyalah untuk perkataan-perkataan yang baik-baik (pula)”.
(QS. An Nuur. 26).
(Terjemahan ini berdasarkan tafsir yang dimaksudkan oleh sahabat
Ibnu Ma'sud r.a., pent.)
Pengertian ini mirip dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad di dalam kitab musnadnya secara marfu', yaitu:
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَوْسِ
بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلُ الَّذِي يَسْمَعُ
الْحِكْمَةَ ثُمَّ لَا يُخْبِرُ عَنْ صَاحِبِهِ إِلَّا بِشَرِّ مَا سَمِعَ
كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى رَاعِيَ غَنَمٍ فَقَالَ أَجْزِرْنِي شَاةً مِنْ غَنَمِكَ
فَقَالَ اخْتَرْ فَأَخَذَ بِأُذُنِ كَلْبِ الْغَنَمِ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Yazid], dia berkata;
telah mengabarkan kepada kami [Hammad bin Salamah] dari [Ali bin Zaid] dari
[Aus bin Khalid] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Permisalan seorang yang mendengarkan hikmah kemudian ia tidak
mengabarkan perihal sahabatnya kecuali hal yang paling buruk yang ia dengar,
adalah seperti seorang lelaki yang datang kepada seorang penggembala kambing,
ia berkata: Sembelihkanlah untukku satu kambing milikmu. Lalu sang penggembala
berkata: Pilihlah. Namun kemudian ia mengambil kambing yang paling buruk”. (HR. Ahmad, no. 10198).
Saudaraku,
Pengertian di atas juga mirip dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad (hadits no.
8285) berikut ini:
حَدَّثَنَا
حَسَنٌ وَعَفَّانُ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ
زَيْدٍ عَنْ أَوْسِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ
الَّذِي يَجْلِسُ فَيَسْمَعُ الْحِكْمَةَ ثُمَّ لَا يُحَدِّثُ عَنْ صَاحِبِهِ
إِلَّا بِشَرِّ مَا سَمِعَ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى رَاعِيًا فَقَالَ يَا رَاعِيَ
اجْزُرْ لِي شَاةً مِنْ غَنَمِكَ قَالَ اذْهَبْ فَخُذْ بِأُذُنِ خَيْرِهَا
فَذَهَبَ فَأَخَذَ بِأُذُنِ كَلْبِ الْغَنَمِ. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami [Hasan] dan ['Affan]
mereka berkata; telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] dari ['Ali
bin Zaid] dari [Aus bin Khalid] dari [Abu Hurairah] ia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda: “Permisalan orang yang duduk dan
mendengarkan hikmah kemudian ia tidak berbicara tentang sahabatnya kecuali yang
jelek dari apa yang ia dengar, seperti seorang laki-laki yang datang kepada
penggembala dan berkata: Hai pengembala sembelihkan untukku satu kambingmu. Maka si pengembala
berkata: Pergi
dan ambillah dengan kambing yang paling bagus. Lalu ia pergi dengan membawa
kambing yang paling jelek”.
(HR. Ahmad, no. 8285).
Saudaraku,
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah sekarang bahwa ayat
nomer 26 dari surat An
Nuur tersebut sama sekali tidak berbicara tentang jodoh. Namun ayat tersebut
turun berkenaan dengan Siti Aisyah dan para
penyebar berita bohong.
Dan apa yang dikatakan oleh para penyebar berita dusta terhadap
diri Siti Aisyah, sebenarnya merekalah yang lebih utama menyandang predikat
itu. Siti Aisyah lebih utama beroleh predikat bersih dan suci daripada diri
mereka. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
... أُوْلَـــٰـئِكَ مُبَرَّؤُونَ
مِمَّا يَقُولُونَ ... ﴿٢٦﴾
“... Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh para penuduhnya ...”. (QS. An Nuur. 26).
Saudaraku,
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa ketika mendapat giliran untuk menyertai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam dalam Perang Muraisi', Sayyidah
Aisyah radhiyallahu ‘anha kehilangan kalungnya saat perjalanan menuju Madinah pasca peperangan.
Dalam
perjalanan pulang itu, mereka beristirahat di sebuah tempat. Saat itu Sayyidah Aisyah radhiyallahu
‘anha keluar dari sekedupnya (semacam tandu yang berada di
atas punggung unta) untuk satu keperluan. Ketika kembali ke sekedupnya, Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha kehilangan kalung.
Akhirnya beliau keluar lagi untuk mencarinya.
Saat
kembali untuk yang kedua kali inilah, Sayyidah Aisyah radhiyallahu
‘anha kehilangan
rombongan, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam telah memerintahkan pasukan beliau berangkat. Para
sahabat yang menaikkan sekedup itu ke punggung unta tidak menyadari bahwa
Sayyidah Aisyah tidak ada di dalamnya.
Sayyidah Aisyah-pun gelisah karena ditinggal rombongan, namun beliau tidak kehilangan akal.
Sayyidah Aisyah tetap menunggu di tempat semula, dengan harapan rombongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam segera
menyadari ketiadaannya dan kembali mencarinya di tempat mereka istirahat.
Akan
tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang. Sampai akhirnya salah satu sahabat Rasulullah yang bernama Shafwan bin Al-Mu'atthal As-Sulami
radhiyallahu 'anhu lewat di tempat itu dan mengenali Sayyidah Aisyah. Shafwan
bin Al-Mu'atthal pernah melihat Sayyidah Aisyah saat sebelum hijab diwajibkan.
Shafwan bin Al-Mu'atthal kemudian membantu Sayyidah Aisyah. Shafwan menidurkan
untanya agar Sayyidah Aisyah bisa naik unta, sementara Shafwan menuntunnya
sampai ke Madinah.
Sejak bertemu dan selama
perjalanan, Shafwan tidak pernah mengucapkan kalimat apapun kepada Sayyidah Aisyah selain
ucapan "inna lillaahi wa inna 'ilaihi raaji'un" karena kaget saat
mengetahui Sayyidah Aisyah tertinggal.
Peristiwa inipun dimanfaatkan oleh kaum munafik. Mereka membubuhi kisah ini
dengan berbagai cerita bohong. Di antara yang sangat berantusias menyebarkan
cerita bohong dan keji itu adalah tokoh munafik Abdullah bin Ubay. Cerita
bohong itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sehingga ada beberapa
sahabat yang terfitnah dan tanpa disadari ikut andil dalam menyebarkan berita
ini.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{Bersambung; tulisan ke-2 dari 3
tulisan}