Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang PNS/dosen purna tugas sebuah perguruan tinggi
terkemuka di Surabaya telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai
berikut: “Saya selalu mengikuti tulisan Pak Imron. Mau
tanya Pak Imron, tentang zakat. Tanpa
tanya saya, anak tiba-tiba sudah membayarkan zakat fitrah untuk kami berdua, mungkin
melihat orang tuanya yang sudah sepuh disamping saya sedang sakit. Tapi
walaupun sudah pensiun, tapi ‘kan ada pensiunan walaupun kecil. Pertanyaan saya,
apakah zakat fitrah tersebut sah walaupun anak saya waktu menyerahkan zakat tersebut
menyebut nama saya dan istri? Suwun, Pak Imron”.
Saudaraku,
Ketika seseorang telah memenuhi
syarat untuk membayar zakat fitri (zakat fitrah) atas dirinya sendiri, maka dia
juga diwajibkan membayar zakat fitri atas orang-orang yang wajib dia nafkahi.
Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:
أَخْبَرَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى
الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى مِمَّنْ تَمُونُونَ. (مسند الشافعي)
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja'far
bin Muhammad, dari ayahnya: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memfardhukan
zakat fitrah atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari
kalangan orang-orang yang kalian jamin penghidupannya. (Musnad Syafi'i, no. 416).
Sedangkan orang-orang yang wajib kita nafkahi adalah isteri dan anak kandung yang
belum baligh serta orang
tua kandung yang faqir. Untuk lebih jelasnya, perhatikan
uraian berikut ini:
♦ Seorang suami/ayah wajib menafkahi isteri dan
anak-anaknya
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu
dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib
menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat An Nisaa’ ayat 34 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بـِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِـمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”.
(QS. An Nisaa’. 34).
Adapun
dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ
أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي
عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ
عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ
عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا
بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
49.9/4940. Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah
mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah
bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki
yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta
benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu
mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ وَاللهِ مَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ
أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَذِلُّوا مِنْ أَهْلِ خِبَائِكَ وَمَا أَصْبَحَ الْيَوْمَ
عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَعِزُّوا مِنْ
أَهْلِ خِبَائِكَ ثُمَّ قَالَتْ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ
عَلَيَّ مِنْ حَرَجٍ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَهَا لَا
حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ مِنْ مَعْرُوفٍ. (رواه البخارى)
73.25/6628. Telah menceritakan
kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri
telah mengabarkan kepada kami 'Urwah bahwasanya Aisyah radliallahu 'anha
mengatakan, Hindun binti Utbah bin Rabi'ah datang dan berujar: “Wahai
Rasulullah, dahulu tidak ada penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai
untuk dihinakan selain penghuni rumahmu, kebalikannya sekarang, tidak ada
penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai untuk dimuliakan selain
penghuni rumahmu”. Kemudian Hindun binti Utbah mengatakan: “Sesungguhnya abu
Sufyan orangnya sangat pelit, apakah saya berdosa jika memberi makan
orang-orang yang menjadi tanggungan kami (dengan mengambil hartanya tanpa
sepengetahuannya)?”. Nabi menjawab: “Tidak masalah
kau memberi makanan untuk mereka, asalkan dengan ma'ruf (cara wajar)”. (HR. Bukhari).
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan
suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan
anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib
diberikan kepada istri dan anaknya.
♦ Orang tua yang sudah tidak mampu bekerja wajib dinafkahi
oleh anak-anaknya
Saudaraku,
Orang tua terdiri
dari ayah dan ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun
selama ayah masih mampu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) di atas.
Kewajiban nafkah
dari ayah kepada ibu tentunya sesuai kemampuan ayah. Seandainya ayah sudah tua
dan hanya bisa memberi penghasilan yang sedikit, maka sekadar itulah yang wajib
baginya, sebagaimana penjelasan
Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq ayat 7:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَــىـٰـهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَىـٰـهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath
Thalaaq.
7).
Oleh karena itu
selama ayah masih mampu memberi nafkah kepada dirinya sendiri dan kepada ibu,
dalam kondisi ini tidak ada orang lain yang berkewajiban memberi nafkah kepada
ayah-ibu.
Namun
jika ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak
memiliki penghasilan, maka siapakah yang wajib memberi nafkah?
Saudaraku,
Terkait hal ini, kaidahnya
yang wajib adalah ahli waris yang terdekat posisinya dalam urutan waris. Allah
ta’ala telah berfirman
dalam Al Qur’an surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat 233 berikut ini:
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا
وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“...
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena
anaknya, dan ahli warispun berkewajiban
demikian. ...”.
(QS. Al Baqarah.
233).
√ Tafsir Ibnu Katsir
Firman
Allah SWT:
... وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“...,
dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
Menurut
suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli
waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid,
Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
Menurut
pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah: “kepada ahli waris diwajibkan
hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi
nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan
mudarat kepadanya”. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini
telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
Ayat
ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang
mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka
kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan
oleh Umar ibnul Khattab radhiyallahu
‘anhu dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya
hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق
عَلَيْهِ
Barang
siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia
harus memerdekakannya.
Saudaraku,
Ahli waris yang
berkewajiban adalah yang paling dekat posisinya dari ayah dan ibu. Sebagaimana
hadits dari Sahabat Jabir radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ابْدَأْ بنَفْسِكَ
فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ
شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا
وَهَكَذَا.
(رواه مسلم)
“Mulailah dari
dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah
nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada
kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih
ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
Saudaraku,
Untuk
memahami ahli waris mana yang posisinya paling dekat, maka kita pahami dahulu
bahwa pengelompokkan ahli waris dibagi berdasarkan 2 sisi, yaitu:
1. Jihhah (arah),
urutannya:
a. bunuwwah (anak, dan terus ke bawah)
b. ubuwwah (ayah, dan terus ke atas)
c. ukhuwah (saudara, dan terus ke samping)
d. umuwwah (ibu, dan terus ke atas)
2. Darajah,
yaitu level kedekatan jalur. Misal, posisi “anak” lebih dekat kepada ayah-ibu
dari pada “cucu”.
Menentukan ahli
waris yang terdekat adalah dengan melihat urutan jihhah dahulu, kemudian ketika
ada 2 jenis ahli waris yang jihhah-nya sama, maka dilihat dari sisi
darajah.
Contoh:
ayah dan ibu miskin, sedangkan ahli waris yang ada adalah anak,
cucu, dan saudara kandung. Anak dan cucu urutan jihhah-nya lebih tinggi
(bunuwwah) dari saudara kandung (ukhuwwah). Kemudian anak dan cucu memiliki
jihhah yang sama, namun anak lebih dekat kepada ayah-ibu daripada cucu.
Sehingga yang wajib
menafkahi adalah anak. Anak-anak
yang paling wajib adalah anak-anak laki-laki, jika tidak ada maka anak-anak
perempuan.
Sedangkan jika
anak-anak tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cucu. Jika
cucu tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cicit. Demikian
seterusnya.
Dan jika anak,
cucu, cicit semuanya tidak ada atau tidak ada yang mampu maka dari kalangan
ubuwwah (ayah dari ayah-ibu, dan terus ke atas). Sedangkan jika dari kalangan
ubuwwah tidak ada maka dari kalangan ukhuwwah (para saudara dari ayah-ibu). Demikian
seterusnya.
♦ Orang tua yang masih bisa mandiri tanpa tanggungan dari anak wajib menunaikan zakatnya sendiri
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa orang tua itu terdiri dari ayah dan ibu. Nafkah ibu
tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun selama ayah masih mampu,
sebagaimana penjelasan
Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta penjelasan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) di atas. Kecuali jika
ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak
memiliki penghasilan, maka yang wajib menafkahi adalah anaknya.
Dan karena orang tua yang masih bisa mandiri tidak menjadi kewajiban
anak untuk menanggung nafkahnya, maka tidak wajib pula bagi anak untuk membayarkan
zakat fitri (zakat fitrah) atas mereka berdua (tidak
ada kewajiban bagi anak untuk membayarkan zakat fitrah bagi kedua orang tuanya).
Sedangkan apabila
anak berinisiatif untuk membayarkan zakat orang tuanya yang masih bisa mandiri
tersebut, jelas ini adalah perbuatan yang sangat mulia yang sudah sepantasnya diamalkan oleh seorang anak dalam menghormati kedua orang tuanya.
Yang menjadi masalah
adalah, apakah anak harus memberitahu terlebih dahulu manakala mau membayarkan zakat
orang tuanya yang masih bisa mandiri tanpa tanggungan
dari anak? Apakah harus ada pernyataan perwakilan dan izin dari orang tua baik
dalam membayarkan zakat fitri maupun dalam niatnya?
Saudaraku,
Jika ada orang yang secara
diam-diam/secara tiba-tiba sudah membayarkan zakat fitrah untuk orang lain
(termasuk anak yang secara diam-diam/secara tiba-tiba
sudah membayarkan zakat fitrah untuk kedua orang tuanya) maka zakat yang
seperti ini menurut Buya Yahya tidak sah.
Jadi apabila anak ingin
membayarkan zakat fitri atas kedua orang tuanya, maka harus ada pernyataan
perwakilan dan izin dari kedua orang tuanya, baik dalam membayarkan zakat fitri
maupun dalam niatnya. Demikian penjelasan Buya Yahya di channel youtube berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=cA6V-GeB39I
Berikut ini kusampaikan 2 buah hadits yang bisa kita
jadikan sebagai bahan renungan terkait kajian di atas. Semoga kita semua senantiasa
berada dalam bimbingan-Nya, dijauhkan dari tipu daya syaitan serta senantiasa berada di
jalan-Nya yang
lurus. Amin, ya rabbal ‘alamin.
أَخْبَرَنَا
يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ
قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى
الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى
الصَّلَاةِ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Muhammad bin As
Sakan] dia berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Jahdham] dia
berkata; Telah menceritakan kepada kami [Isma'il bin Ja'far] dari ['Umar bin
Nafi'] dari [bapaknya] dari [Ibnu 'Umar] dia berkata: “Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha' kurma atau satu sha'
gandum atas orang merdeka dan budak, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang
tua dari kaum muslimin dan memerintahkannya agar ditunaikan sebelum orang-orang
berangkat melaksanakan shalat”. (HR. An-Nasa’i no. 2457).
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ
جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ
الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ
وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى
الصَّلَاةِ.
(رواه البخارى)
13.100/1407. Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Muhammad bin As-Sakkan telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Jahdham telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari
'Umar bin Nafi' dari bapaknya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan
zakat fithri satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba
sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun
besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum
orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied)”. (HR.
Bukhori).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.