بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Minggu, 03 November 2024

MEMBAYARKAN ZAKAT ORANG TUA

 
Assalamu’alaikum wr. wb.
 
Seorang PNS/dosen purna tugas sebuah perguruan tinggi terkemuka di Surabaya telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Saya selalu mengikuti tulisan Pak Imron. Mau tanya Pak Imron, tentang zakat. Tanpa tanya saya, anak tiba-tiba sudah membayarkan zakat fitrah untuk kami berdua, mungkin melihat orang tuanya yang sudah sepuh disamping saya sedang sakit. Tapi walaupun sudah pensiun, tapi ‘kan ada pensiunan walaupun kecil. Pertanyaan saya, apakah zakat fitrah tersebut sah walaupun anak saya waktu menyerahkan zakat tersebut menyebut nama saya dan istri? Suwun, Pak Imron”.
 
Saudaraku,
Ketika seseorang telah memenuhi syarat untuk membayar zakat fitri (zakat fitrah) atas dirinya sendiri, maka dia juga diwajibkan membayar zakat fitri atas orang-orang yang wajib dia nafkahi. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:
 
أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى مِمَّنْ تَمُونُونَ. (مسند الشافعي)
Ibrahim bin Muhammad mengabarkan kepada kami dari Ja'far bin Muhammad, dari ayahnya: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memfardhukan zakat fitrah atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan perempuan dari kalangan orang-orang yang kalian jamin penghidupannya. (Musnad Syafi'i, no. 416).
 
Sedangkan orang-orang yang wajib kita nafkahi adalah isteri dan anak kandung yang belum baligh serta orang tua kandung yang faqir. Untuk lebih jelasnya, perhatikan uraian berikut ini:
 
Seorang suami/ayah wajib menafkahi isteri dan anak-anaknya
 
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 berikut ini:
 
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بـِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِـمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”. (QS. An Nisaa’. 34).
 
Adapun dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) berikut ini:
 
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
49.9/4940. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).
 
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ حَدَّثَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ وَاللهِ مَا كَانَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَذِلُّوا مِنْ أَهْلِ خِبَائِكَ وَمَا أَصْبَحَ الْيَوْمَ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَهْلُ خِبَاءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ أَنْ يَعِزُّوا مِنْ أَهْلِ خِبَائِكَ ثُمَّ قَالَتْ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ مِنْ حَرَجٍ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَهَا لَا حَرَجَ عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِيهِمْ مِنْ مَعْرُوفٍ. (رواه البخارى)
73.25/6628. Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri telah mengabarkan kepada kami 'Urwah bahwasanya Aisyah radliallahu 'anha mengatakan, Hindun binti Utbah bin Rabi'ah datang dan berujar: “Wahai Rasulullah, dahulu tidak ada penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai untuk dihinakan selain penghuni rumahmu, kebalikannya sekarang, tidak ada penghuni rumah diatas bumi yang lebih saya sukai untuk dimuliakan selain penghuni rumahmu”. Kemudian Hindun binti Utbah mengatakan: “Sesungguhnya abu Sufyan orangnya sangat pelit, apakah saya berdosa jika memberi makan orang-orang yang menjadi tanggungan kami (dengan mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya)?”. Nabi menjawab: “Tidak masalah kau memberi makanan untuk mereka, asalkan dengan ma'ruf (cara wajar)”. (HR. Bukhari).
 
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada istri dan anaknya.
 
Orang tua yang sudah tidak mampu bekerja wajib dinafkahi oleh anak-anaknya
 
Saudaraku,
Orang tua terdiri dari ayah dan ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun selama ayah masih mampu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) di atas.
 
Kewajiban nafkah dari ayah kepada ibu tentunya sesuai kemampuan ayah. Seandainya ayah sudah tua dan hanya bisa memberi penghasilan yang sedikit, maka sekadar itulah yang wajib baginya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ath Thalaaq ayat 7:
 
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا ءَاتَــىـٰـهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا مَا ءَاتَىـٰـهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath Thalaaq. 7).
 
Oleh karena itu selama ayah masih mampu memberi nafkah kepada dirinya sendiri dan kepada ibu, dalam kondisi ini tidak ada orang lain yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayah-ibu.
 
Namun jika ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak memiliki penghasilan, maka siapakah yang wajib memberi nafkah?
 
Saudaraku,
Terkait hal ini, kaidahnya yang wajib adalah ahli waris yang terdekat posisinya dalam urutan waris. Allah ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Baqarah pada bagian tengah ayat 233 berikut ini:
 
... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
 
Tafsir Ibnu Katsir
 
Firman Allah SWT:
 
... وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ... ﴿٢٣٣﴾
“..., dan ahli warispun berkewajiban demikian. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
 
Menurut suatu pendapat, yang dimaksud ialah tidak boleh menimpakan mudarat kepada ahli waris (kaum kerabat) pihak ayah si bayi. Demikianlah pendapat Mujahid, Asy-Sya'bi, dan Ad-Dahhak.
 
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud ialah: “kepada ahli waris diwajibkan hal yang. sama dengan apa yang diwajibkan atas ayah si bayi, yaitu memberi nafkah kepada ibu si bayi, memenuhi semua hak-haknya, dan tidak menimpakan mudarat kepadanya”. Penakwilan yang terakhir ini menurut jumhur ulama. Hal ini telah dibahas secara rinci oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya.
 
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hambali yang mengatakan bahwa kaum kerabat wajib memberi nafkah sebagian di antara mereka kepada sebagian lainnya. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diceritakan oleh Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu dan kebanyakan ulama Salaf. Kemudian hal ini diperkuat dengan adanya hadis Al-Hasan, dari Samurah secara marfu', yaitu:
 
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ عُتِق عَلَيْهِ
Barang siapa yang memiliki orang yang masih kerabat lagi mahram dengannya, maka ia harus memerdekakannya.
 
Saudaraku,
Ahli waris yang berkewajiban adalah yang paling dekat posisinya dari ayah dan ibu. Sebagaimana hadits dari Sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
 
ابْدَأْ بنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فإنْ فَضَلَ شيءٌ فَلأَهْلِكَ، فإنْ فَضَلَ عن أَهْلِكَ شيءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فإنْ فَضَلَ عن ذِي قَرَابَتِكَ شيءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا. (رواه مسلم)
“Mulailah dari dirimu sendiri, berilah nafkah pada dirimu. Jika ada kelebihan, maka berilah nafkah pada keluargamu. Jika sudah menafkahi keluargamu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah kerabatmu. Jika sudah menafkahi kerabatmu dan masih ada kelebihan, maka nafkahilah yang terdekat dan seterusnya”. (HR. Muslim no. 1663).
 
Saudaraku,
Untuk memahami ahli waris mana yang posisinya paling dekat, maka kita pahami dahulu bahwa pengelompokkan ahli waris dibagi berdasarkan 2 sisi, yaitu:
1.  Jihhah (arah), urutannya:
a. bunuwwah (anak, dan terus ke bawah)
b. ubuwwah (ayah, dan terus ke atas)
c. ukhuwah (saudara, dan terus ke samping)
d. umuwwah (ibu, dan terus ke atas)
2.  Darajah, yaitu level kedekatan jalur. Misal, posisi “anak” lebih dekat kepada ayah-ibu dari pada “cucu”. 
 
Menentukan ahli waris yang terdekat adalah dengan melihat urutan jihhah dahulu, kemudian ketika ada 2 jenis ahli waris yang jihhah-nya sama, maka dilihat dari sisi darajah. 
 
Contoh: ayah dan ibu miskin, sedangkan ahli waris yang ada adalah anak, cucu, dan saudara kandung. Anak dan cucu urutan jihhah-nya lebih tinggi (bunuwwah) dari saudara kandung (ukhuwwah). Kemudian anak dan cucu memiliki jihhah yang sama, namun anak lebih dekat kepada ayah-ibu daripada cucu.
 
Sehingga yang wajib menafkahi adalah anak. Anak-anak yang paling wajib adalah anak-anak laki-laki, jika tidak ada maka anak-anak perempuan.
 
Sedangkan jika anak-anak tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cucu. Jika cucu tidak ada atau tidak ada yang mampu, maka dari kalangan cicit. Demikian seterusnya.
 
Dan jika anak, cucu, cicit semuanya tidak ada atau tidak ada yang mampu maka dari kalangan ubuwwah (ayah dari ayah-ibu, dan terus ke atas). Sedangkan jika dari kalangan ubuwwah tidak ada maka dari kalangan ukhuwwah (para saudara dari ayah-ibu). Demikian seterusnya.
 
Orang tua yang masih bisa mandiri tanpa tanggungan dari anak wajib menunaikan zakatnya sendiri
 
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang tua itu terdiri dari ayah dan ibu. Nafkah ibu tetap menjadi kewajiban bagi ayah sampai kapanpun selama ayah masih mampu, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 4940 dan no. 6628) di atas. Kecuali jika ayah dan ibu miskin, tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya, atau tidak memiliki penghasilan, maka yang wajib menafkahi adalah anaknya.
 
Dan karena orang tua yang masih bisa mandiri tidak menjadi kewajiban anak untuk menanggung nafkahnya, maka tidak wajib pula bagi anak untuk membayarkan zakat fitri (zakat fitrah) atas mereka berdua (tidak ada kewajiban bagi anak untuk membayarkan zakat fitrah bagi kedua orang tuanya).
 
Sedangkan apabila anak berinisiatif untuk membayarkan zakat orang tuanya yang masih bisa mandiri tersebut, jelas ini adalah perbuatan yang sangat mulia yang sudah sepantasnya diamalkan oleh seorang anak dalam menghormati kedua orang tuanya.
 
Yang menjadi masalah adalah, apakah anak harus memberitahu terlebih dahulu manakala mau membayarkan zakat orang tuanya yang masih bisa mandiri tanpa tanggungan dari anak? Apakah harus ada pernyataan perwakilan dan izin dari orang tua baik dalam membayarkan zakat fitri maupun dalam niatnya?
 
Saudaraku,
Jika ada orang yang secara diam-diam/secara tiba-tiba sudah membayarkan zakat fitrah untuk orang lain (termasuk anak yang secara diam-diam/secara tiba-tiba sudah membayarkan zakat fitrah untuk kedua orang tuanya) maka zakat yang seperti ini menurut Buya Yahya tidak sah.
 
Jadi apabila anak ingin membayarkan zakat fitri atas kedua orang tuanya, maka harus ada pernyataan perwakilan dan izin dari kedua orang tuanya, baik dalam membayarkan zakat fitri maupun dalam niatnya. Demikian penjelasan Buya Yahya di channel youtube berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=cA6V-GeB39I
 
Berikut ini kusampaikan 2 buah hadits yang bisa kita jadikan sebagai bahan renungan terkait kajian di atas. Semoga kita semua senantiasa berada dalam bimbingan-Nya, dijauhkan dari tipu daya syaitan serta senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus. Amin, ya rabbal ‘alamin.
 
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami [Yahya bin Muhammad bin As Sakan] dia berkata; telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Jahdham] dia berkata; Telah menceritakan kepada kami [Isma'il bin Ja'far] dari ['Umar bin Nafi'] dari [bapaknya] dari [Ibnu 'Umar] dia berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas orang merdeka dan budak, laki-laki dan wanita, anak kecil dan orang tua dari kaum muslimin dan memerintahkannya agar ditunaikan sebelum orang-orang berangkat melaksanakan shalat”. (HR. An-Nasa’i no. 2457).
 
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ. (رواه البخارى)
13.100/1407. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin As-Sakkan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdham telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari 'Umar bin Nafi' dari bapaknya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied)”. (HR. Bukhori).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
 
Semoga bermanfaat.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞