Mas Fulan adalah seorang pemuda dari Blitar. Setelah menyelesaikan kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di sebuah kota di Jawa Timur, Mas Fulan bekerja sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) terkemuka di kota yang sama.
Nampaknya Mas Fulan sangat menikmati profesinya sebagai seorang dosen di PTS tersebut. Dengan proses perekrutan pegawai yang profesional (sangat sedikit/hampir tidak ada yang masuk via KKN), juga sistem pelaporan keuangan yang transparan serta apa adanya (sesuai dengan realita di lapangan), membuat suasana kerja menjadi nyaman dan bersahabat.
Hingga pada suatu saat, Mas Fulan mulai berpikir untuk ”hijrah” ke perguruan tinggi negeri (PTN) dan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Pikiran ini muncul karena setelah menyelesaikan pendidikan pasca sarjana dengan predikat yang membanggakan, Mas Fulan secara berturut-turut mendapat banyak tawaran dari beberapa PTN untuk menjadi PNS dan mengajar di sana. Apalagi pada saat yang sama, Mas Fulan juga mendapat dukungan dari mertuanya yang berprofesi sebagai guru SD di Blitar, juga dari orang tuanya yang berlatar belakang PNS.
Sebelum benar-benar memutuskan untuk menjadi dosen di sebuah PTN dan menjadi PNS di sana, Mas Fulan menyangka bahwa dengan menjadi PNS – meski gajinya jauh lebih kecil dari gajinya saat ini – tetapi hal ini mampu menjaminnya hingga hari tua.
Namun setelah Mas Fulan benar-benar menjadi PNS, dia mulai dikejutkan dengan situasi yang jauh berbeda. Dia benar-benar tidak menyangka, bahwa ternyata kejujuran itu menjadi begitu mahal di tempat kerjanya yang baru. Ibarat dalam sebuah perjalanan, jika semula kondisi jalan yang dilaluinya lurus dan mulus sehingga terasa begitu nyaman untuk dilewati, kini dia harus melalui jalan yang berliku dan mendaki, sedangkan disana-sini penuh dengan lubang yang menganga. Dan hal ini telah menjadikan perjalanannya menjadi benar-benar jauh dari kenyamanan. Sungguh..., sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sebenarnya ada keinginan yang kuat dalam diri Mas Fulan untuk kembali bekerja di PTS terkemuka seperti dahulu. Namun apalah daya, saat ini usia Mas Fulan sudah mendekati 40 tahun, suatu usia yang sudah tidak muda lagi untuk mencari pekerjaan baru. Sedangkan untuk berwiraswasta, disamping minim pengalaman, juga sudah terlambat. Hingga akhirnya, terpaksa Mas Fulan tetap menjalani pekerjaannya yang sekarang, meski dengan hati yang gundah gulana.
Mengiringi sholat malam yang senantiasa dilakukannya, Mas Fulan terus merenungi situasi yang dialaminya. Dan jika seandainya benar bahwa begitu banyak lembaga negara yang situasinya seperti tempat kerjanya saat ini, sungguh sulit dibayangkan bagaimana rahmat Allah dapat menyelimuti negeri ini. Dan hal ini benar-benar merupakan keadaan yang tidak pernah terpikir sebelumnya, saat Mas Fulan masih bekerja sebagai seorang dosen di PTS dahulu.
Saudaraku…,
Ditengah kegundahan hati yang semakin menjadi-jadi, Mas Fulan hanya bisa berdo’a, semoga Allah senantiasa melimpahkan kesabaran kepadanya dan me-wafatkan dirinya dalam keadaan berserah diri kepada-Nya.
“Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami". (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)". (QS. Al A’raaf. 126).
Semoga bermanfaat!
NB.
Mas Fulan pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon maaf jika secara kebetulan ada kemiripan / kesamaan nama!
Semoga apa yang dialami oleh Mas Fulan tersebut tidak terjadi di alam ”nyata”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar