Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman alumni SMAN 1 Blitar '89) telah memberi komentar terhadap artikel tentang poligami I s/d III sebagai berikut:
Sangat menarik. Kalau boleh aku berbicara sebagai seorang wanita dan sebagai seorang ibu:
1. Apakah poligami itu diperbolehkan? Boleh. Namun, apakah poligami itu diperintahkan? Tentu tidak. Jadi, sekali lagi, dalam agama poligami itu bukan sunnah, bukan wajib dan bukan makruh. Tapi mubah = boleh.
2. Orang tua manapun tidak akan ikhlas bila putrinya kelak akan dipoligami.
3. Sebenarnya, praktek poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunnah, melainkan persoalan hati. Yang kamu tidak dapat berlaku adil itu adalah hati kamu. Apakah kita bisa menguasai hati kita....???
4. Kenyataannya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih banyak bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami itu hal yang lumrah.
5. Makan permen lolly itu kalau satu... hmmm, nikmatnya luar biasa. Tetapi kalau lebih dari satu... Awas... bisa bisa anda sakit gigi, he...he....
6. Aku bersyukur mempunyai suami yang tidak menganggap penting akan hal berpoligami.
Demikian...,
Semoga bisa menambah wawasan dua arah. WASS.
-----
Saudaraku…,
Sebelumnya aku sampaikan terimakasih atas kesediaannya untuk ikut dalam diskusi ini. Semoga kita semua diberi pemahaman yang benar tentang semua ajaran Islam, termasuk dalam kasus ini. Amin...!!!
Pada kesempatan ini aku ingin memberi komentar tentang beberapa pernyataan saudaraku. Namun, saudaraku tidak harus setuju dengan pendapatku ini. Karena hal ini sifatnya hanyalah saling tukar pendapat saja. Disamping itu, aku juga menyadari bahwa sesungguhnya ilmuku sangatlah terbatas. Dalam hal ini, posisi kita adalah sama-sama belajar.
No. 1:
Sepanjang pengetahuanku, memang tidak ada kewajiban untuk berpoligami. Jika kita perhatikan kembali penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 tersebut, memang kita (laki-laki) diperbolehkan untuk mengawini wanita yang disenangi: dua, tiga atau empat. Namun, sangat disarankan untuk mengawini seorang saja. Hal ini terutama jika kita takut tidak akan dapat berlaku adil. Jadi aku setuju dengan pernyataan no. 1.
No. 2:
Orang tua manapun tidak akan ikhlas bila putrinya kelak akan dipoligami…??? Mohon maaf, yang ini aku tidak setuju.
Perhatikanlah, bagaimana sahabat Abu Bakar dengan penuh keikhlasan menikahkan putri kesayangannya (yaitu Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar) kepada Nabi Muhammad SAW, padahal pada saat itu Rasulullah sudah mempunyai banyak istri. (Dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa yang telah ditunjukkan oleh para sahabat yang lain).
Mengapa Abu Bakar dengan penuh keikhlasan menikahkan putri kesayangannya kepada Rasulullah yang pada saat itu sudah mempunyai banyak istri? Artinya sudah pasti akan dipoligami? Jawabnya adalah karena Abu Bakar tahu dengan pasti, bahwa Rasulullah menikahi putrinya bukan karena semata-mata memperturutkan nafsu syahwatnya saja, tetapi karena benar-benar sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
No. 3:
Insya Allah dijelaskan dengan amat baik oleh mas Puguh Subiantoro*). Berikut ini penjelasan dari mas Puguh Subiantoro:
Ikhwan wal akhwat fillah, berikut saya kutipkan kandungan ayat 3, Al Qur’an surat An Nisaa’ menurut Tafsir Ibnu Katsir, yaitu:
1. Dijaganya hak perempuan yatim:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya.
Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:
وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)
Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.
“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)
2. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.
Tambahan dari saya (Puguh Subiantoro):
1. Ini menunjukkan bahwa Alloh(dalam firmanNya di Al-Qur'an) memberikan jalan keluar bagi yg ingin poligami, walaupun banyak syarat dan tuntutan (bukan anjuran apalagi perintah), namun di bagian akhir ayat Alloh justru MENYARANKAN supaya tetap SATU ISTRI saja, ini menunjukkan bahwa sebagian ada kecenderungan laki2 untuk poligami, tetapi kenyataannya kebanyakan laki2 juga cenderung tidak mampu (dan Alloh Maha Tahu bahwa kebanyakan laki2 tidak mampu). Saya katakan ini jalan keluar karena memang ada sebagian laki-laki yang pengen beristri lagi, sehingga solusinya tetap halal. Kenyataan hari ini, banyak laki-laki yang karena nggak bisa menahan diri, maka dia menyalurkannya ke sembarang tempat (yg nggak halal tentunya) dan ini sudah dianggap biasa (oleh sebagian masyarakat), ironisnya ketika ada mau nikah lagi, malah banyak yang ribut. Ini memang terpulang ke pemahaman.2. Bahwa bagi pasangan suami-istri, poligami sekedar sebuah pilihan dan tentunya semua pertimbangan (thoyib atau tidaknya) dikembalikan kepada pasangan tersebut. Wallohu a'lam
No. 4:
Selama Khodijah binti Khuwailid (istri pertama Rasulullah) masih belum wafat, Rasulullah memang tidak pernah menikah dengan yang lain. Namun hal ini bukan berarti menunjukkan adanya larangan untuk berpoligami. Karena pada kenyataannya, sepeningal Siti Khodijah, Beliau jelas-jelas berpoligami. Terlebih lagi jika kita lihat kembali penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 di atas.
No. 5:
Mohon maaf, yang ini aku juga kurang setuju. Aku jawab dengan sedikit bercanda, ya…! (He… he…, mohon jangan sakit hati, ya…!)
Menurutku, bagi yang mampu, aku kira hal itu tidak masalah. Ingat...!!! Jika seseorang menghadapi satu masalah dan berhasil, maka yang bersangkutan hanya akan mendapatkan satu kebahagiaan.
Sedangkan jika seseorang menghadapi dua masalah dan berhasil, maka yang bersangkutan akan mendapatkan dua kebahagiaan.
Apalagi jika menghadapi tiga atau empat masalah dan berhasil, maka yang bersangkutan akan mndptkan tiga atau empat kebahagiaan.
Hal ini tentunya tidak akan berlaku bagi yang tidak mampu.
No. 6:
Saudaraku mengatakan: “Aku bersyukur mempunyai suami yang tidak menganggap penting akan hal berpoligami”.
Yang ini kebetulan aku juga kurang setuju. Hal sekecil apapun tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT., semuanya adalah penting. Sebagai contoh: masalah bersuci, misalnya. Jika kita tidak mengerti dan tidak mau mengerti / tidak mau belajar tentang masalah bersuci (karena menganggap hal ini sepele / tidak penting), maka keabsahan sholat kita akan dipertanyakan.
Nah…, bagaimana mungkin kita menyepelekan urusan bersuci yang ternyata berdampak pada keabsahan sholat kita? Padahal sholat adalah amal yang pertama kali akan ditanyakan kelak…???
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَاَل: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَاافْتَرَضَ اللهُ
عَلى أُمَّتِى الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَأَوَّلُ مَايُرْفَعُ مِنْ أَعْمَالِهِمُ
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَأَوَّلُ مَايُسْأَلُوْنَ مِنْ أَعْمَالِهِمُ
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، ... (رَوَاهُ الْحَاكِمُ)
Ibn
Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pertama yang diwajibkan atas
umatku sholat lima waktu, dan pertama yang terangkat dari amal mereka sholat
lima waktu, dan pertama yang akan ditanya dari amal mereka sholat lima waktu, …”
(HR.
Al Hakim).
Apalagi jika kita kaitkan dengan penjelasan Al Qur’an berikut ini: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”, (QS. Az Zumar: 23).
Dari Al Qur’an surat Az Zumar ayat 23 tersebut, diperoleh penjelasan bahwa semua ayat-ayat Al Qur’an itu serupa mutu ayat-ayatnya. Tidak ada satu ayat-pun yang lebih baik atau lebih penting dari ayat lainnya. Hal ini sekaligus menegaskan kembali, bahwa apapun tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT., semuanya adalah penting. (Wallah a’lam).
Demikian penjelasan yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat!
NB.
*) Puguh Subiantoro adalah teman alumni SMAN 1 Blitar ’89. Semoga kebaikan mas Puguh ini, dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan mas Puguh kepada-Nya.
Amin...!!!
{Bersambung; tulisan ke-4 dari 6 tulisan}