Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku…,
Perhatikan firman Allah SWT. dalam
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 2 – 5 berikut ini:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ والَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ﴿٤﴾
أُوْلَـئِكَ عَلَى هُدًى مِّن رَّبِّهِمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥﴾
(2) “Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”, (3) “(yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang
Kami anugerahkan kepada mereka”, (4) “dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al
Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”. (5) “Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan
merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al Baqarah. 2 – 5).
Saudaraku…,
Dari ayat-ayat Al Qur’an di atas, diperoleh
penjelasan bahwa orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka yang beriman
kepada yang ghaib, dst. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Allah
SWT. dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Yah, yang pertama kali disebutkan dalam
penjelasan Al Qur’an di atas adalah bahwa orang-orang yang bertakwa itu adalah mereka
yang beriman kepada yang ghaib, baru kemudian yang lainnya. Tentunya hal ini
adalah sebagai isyarat bahwa orang yang bertakwa itu akan mendahulukan beriman
kepada yang ghaib terlebih dahulu, baru kemudian yang dhohir
(yang kasat mata).
Saudaraku…,
Memang demikianlah kiranya
bahwa dalam segala aspek kehidupan, orang yang bertakwa itu akan melihat yang ghaib terlebih dahulu, baru kemudian yang dhohir (yang kasat mata). Terhadap apapun yang akan
dia terima / terhadap apapun yang akan dia upayakan, maka yang dia lihat terlebih dahulu adalah:
apakah dibalik semuanya itu ada
laknat Allah atau tidak, apakah dibalik semuanya itu ada
ridho Allah atau tidak.
Sebagai
ilustrasi: bagi seorang pedagang, maka mengurangi
timbangan serta memberi informasi yang tidak benar
terhadap kualitas / kondisi barang dagangannya, jelas secara kasat mata
akan mendatangkan keuntungan duniawi yang menggiurkan (si pedagang
dapat mengeruk keuntungan lebih besar dengan mudah). Jika
dia bukan orang yang bertakwa, maka hal-hal yang secara kasat mata sangat
menguntungkan inilah yang lebih dia lihat, sehingga dia tak segan-segan
melakukannya tanpa memperdulikan lagi apakah dibalik keuntungan yang melimpah
tersebut ada laknat
Allah atau tidak.
Namun bagi orang yang bertakwa ketika ada kesempatan untuk mendapatkan
keuntungan yang besar, maka yang dia lihat terlebih dahulu adalah: apakah
dibalik semuanya itu ada
laknat Allah atau tidak. Sehingga meskipun tindakan mengurangi
timbangan tersebut (serta tidak memberi informasi yang benar terhadap kualitas / kondisi
barang dagangannya) secara kasat mata jelas-jelas akan mendatangkan
keuntungan yang lebih besar, namun karena dibalik
itu semua ada
laknat Allah, maka dia tidak akan pernah mencoba melakukannya (karena hal-hal
yang tidak kasat mata seperti inilah yang terlebih dahulu dia kedepankan).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
بَاعَ عَيْبًا لَمْ يُبَيِّنْهُ لَمْ يَزَلْ فِى مَقْتِ اللهِ وَلَمْ تَزَلِ
الْمَلَائِكَةُ تَلْعَنُهُ. (رواه ابن ماجه)
“Barangsiapa yang menjual sesuatu yang ada aib
(cela/cacat)-nya lalu tidak dijelaskan pada pembelinya, maka tetap berada dalam
murka Allah dan selalu dikutuk oleh malaikat.” (HR. Ibn Majah)
Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ
كَانَ عِنْدَهُ لِأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ
لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا. إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ
مِنْ حَسَناَتِهِ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٍ
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى)
“Siapa yang memiliki kezaliman
terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta kehalalan saudaranya tersebut pada
hari ini, sebelum datang suatu hari saat tidak berlaku lagi dinar dan tidak
pula dirham. Jika ia memiliki amal saleh, akan diambil dari kebaikannya sesuai
dengan kadar kezaliman yang diperbuatnya lalu diserahkan kepada orang yang
dizaliminya. Apabila ia tidak memiliki kebaikan, akan diambil kejelekan
saudaranya yang dizaliminya lalu dibebankan kepadanya.” (HR. al-Bukhari)
Saudaraku…,
Hal yang
sama juga terjadi pada seorang hakim. Ketika ada seseorang menyodorkan sejumlah
uang/harta kepadanya, tentunya secara kasat mata hal ini benar-benar sesuatu yang sangat
menggiurkan. Bagi hakim
yang tidak bertakwa, maka hal-hal yang secara kasat mata sangat menguntungkan
seperti inilah yang lebih dia kedepankan, sehingga dengan santainya dia terima
saja uang/harta tersebut tanpa memperdulikan lagi apakah dibalik itu semua ada laknat Allah atau tidak.
Namun bagi hakim
yang bertakwa, terhadap pemberian tersebut, yang dia lihat terlebih dahulu
adalah: apakah dibalik sejumlah uang/harta tersebut ada laknat Allah atau
tidak. Jika ada indikasi risywah (suap), maka jelas dibalik sejumlah uang tersebut ada laknat Allah. Nah, karena hal-hal yang tidak kasat mata (ghaib) seperti
inilah yang terlebih dahulu dia kedepankan, maka meskipun secara kasat mata
sangat menggiurkan, dia tetap tidak akan pernah mau menerimanya.
Allah SWT. telah berfirman dalam
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 188:
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah. 188).
Sedangkan
dalam sebuah hadits, dari Abdullah bin Amr, beliau berkata:
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ.
(رواه الترمذى)
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok”. (HR. At-Turmuzi).
Saudaraku…,
Hal yang
berbeda terjadi pada masalah sedekah. Ketika ada perintah untuk bersedekah,
tentunya secara kasat mata hal ini benar-benar sesuatu yang
merugikan. Betapa tidak, uang/harta yang diperoleh dengan susah payah dari
hasil keringat sendiri, tiba-tiba diminta untuk menyerahkan kepada pihak lain
secara cuma-cuma tanpa adanya imbalan duniawi sedikitpun. Bagi orang yang tidak bertakwa, maka
hal-hal yang secara kasat mata sangat merugikan seperti inilah yang lebih dia
kedepankan, sehingga dengan sikap yang tegas tanpa sedikitpun keraguan, dia
tolak / dia hindari perintah untuk bersedekah tersebut tanpa memperdulikan lagi
apakah dibalik itu semua ada ridho
Allah atau tidak.
Namun bagi orang
yang bertakwa, terhadap perintah untuk bersedekah tersebut, yang dia lihat
terlebih dahulu adalah: apakah dibalik sejumlah uang/harta yang dia korbankan tersebut
ada ridho Allah atau tidak. Jika ada ridho Allah, maka hal-hal yang tidak kasat mata (ghaib) seperti
inilah yang terlebih dahulu dia kedepankan, sehingga meskipun secara kasat mata
sangat merugikan, dia tetap dengan ikhlas akan melakukannya.
Dari sahabat Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW. bersabda:
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ
اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ
صَحِيحٌ شَحِيحٌ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى
إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ: لِفُلاَنٍ كَذَا، وَلِفُلاَنٍ كَذَا، وَقَدْ
كَانَ لِفُلاَنٍ. (رواه البخارى ومسلم)
Seseorang datang menemui Nabi SAW. kemudian bertanya,
“Ya Rasulullah, apakah sedekah yang paling banyak pahalanya?” Nabi SAW. menjawab, “Engkau
bersedekah dalam keadaan dirimu sehat, tidak ingin hartamu lepas darimu, serta
dalam keadaan engkau takut kefakiran dan sangat menginginkan harta tersebut.
Janganlah engkau menunda hingga ketika ruh sudah mendekati tenggorokan barulah
engkau mengatakan, ‘Untuk si fulan sekian dan untuk si fulan sekian’, padahal
memang itu sudah menjadi milik si fulan (ahli warisnya).” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Demikian seterusnya bahwa bagi orang yang
bertakwa, dia akan selalu melihat yang ghaib terlebih
dahulu sebelum melihat yang kasat mata.
Saudaraku…,
Ketahuilah, bahwa di antara petunjuk Nabi Muhammad SAW.
demi tercapainya kebersihan jiwa adalah berdo’a sebagai berikut:
اللَّهُمَّ
آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُمَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا
وَمَوْلاَهَا
“Wahai Allah, berilah ketakwaan pada diriku dan
sucikanlah ia, Engkaulah sebaik-baik yang menyucikannya. Engkaulah yang
mengurusinya dan memilikinya.” (HR. Muslim dari Zaid bin Arqam r.a.)
Demikian,
Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar