Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku,
Marilah kita bersama-sama merenungi
perjalanan hidup sepasang suami-isteri selama di
dunia ini:
√ Bagi sepasang suami-isteri, khususnya bagi suami yang
bekerja sendirian (isteri tidak bekerja), maka sang istri tidak boleh memberikan harta suaminya kepada siapapun, kecuali dengan izinnya.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ فِي
الْمَرْأَةِ تَصَدَّقُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا قَالَ لَا إِلَّا مِنْ قُوتِهَا
وَالْأَجْرُ بَيْنَهُمَا وَلَا يَحِلُّ لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا
إِلَّا بِإِذْنِهِ. (رواه ابو داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, tentang seorang wanita yang bersedekah dari rumah suaminya, ia berkata:
"Tidak dibolehkan kecuali dari makanannya sendiri, dan ganjarannya dibagi
untuk keduanya (istri dan suami). Tidak dihalalkan bagi istri untuk bersedekah
dari harta suaminya kecuali atas izinnya”. (HR. Abu Dawud).
Larangan memberikan harta suami kepada orang lain itu demikian ditekankan oleh
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sampai-sampai sekedar memberikan makananpun juga
dilarang tanpa seizin suami.
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ بْنُ
مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ
الْوَدَاعِ يَقُولُ لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا
بِإِذْنِ زَوْجِهَا قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الطَّعَامُ قَالَ ذَاكَ
أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا. (رواه الترمذى)
Hannad menceritakan kepada
kami, Ismail bin Ayasi memberitahukan kepada kami bahwa Syurahbil bin Muslim Al
Bahil berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda didalam khutbahnya pada haji wada': “Janganlah
seorang istri menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya”.
Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah,
tidak juga makanan?” Beliau menjawab: “Makanan adalah harta kita yang paling
utama”. (HR. At-Tirmidzi).
Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri dan
anak-anaknya (beserta ahli waris lainnya, jika ada) bebas menggunakan harta
tersebut tanpa memerlukan izin dari suami karena setelah suami meninggal, maka kepemilikan harta tersebut telah
berpindah kepada ahli warisnya yang
berhak.
√ Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup dan
belum bercerai, maka isteri tidak boleh menikah lagi karena Islam mengharamkan
poliandri, yaitu satu istri bersuamikan dua orang atau lebih.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلَّا
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ ... ﴿٢٤﴾
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. ...”. (QS. An Nisaa’. 24).
Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri boleh
menikah lagi dengan laki-laki lain setelah
melewati masa iddahnya.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al
Baqarah. 234).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Orang-orang yang wafat) atau meninggal
dunia (di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka mereka
menangguhkan), artinya hendaklah para istri itu menahan (diri mereka) untuk
kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh),
maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai
yang hamil, maka iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat
At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu,
menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya,
(mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada
diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan
(secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa
yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin”.
Bolehnya menikah lagi itu menunjukkan bahwa sang istri memang sudah bukan lagi
berstatus istri almarhum. Seandainya statusnya masih istri almarhum, tentu
tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, karena
Islam mengharamkan poliandri (sebagaimana penjelasan di atas).
√ Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup, saat
anak perempuannya akan menikah, maka dia memerlukan ijin darinya selaku wali
nikahnya.
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR.
At-Tirmidzi).
Namun ketika suami telah wafat, maka saat sang anak perempuannya akan menikah, dia tidak lagi memerlukan
ijin darinya karena statusnya sebagai wali nikah telah digantikan oleh orang
lain (sesuai dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau
ayah dari ayah dan seterusnya ke atas, 3. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah
dan seibu, 4. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah saja, 5. anak laki-laki
dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang seayah saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara
laki-laki ayah/sepupu).
Demikian seterusnya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa
kepemilikan seorang suami terhadap hartanya serta terhadap isteri dan
anak-anaknya, hanyalah sebatas nyawa masih dikandung badan (tentunya hal ini
juga berlaku bagi seorang isteri).
Karena ketika seseorang telah wafat, maka semuanya itu
akan dia tinggalkan untuk kemudian dia akan melanjutkan perjalanan berikutnya
(di alam kubur) sendirian. Hingga pada tahap selanjutnya, dia akan datang
menghadap kepada Allah SWT. dengan sendiri-sendiri untuk mempertanggung-jawabkan
semua perbuatannya.
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَــٰــمَةِ فَرْدًا ﴿٩٥﴾
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah
pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS. Maryam. 95).
Setelah berada di Padang Mahsyar,
maka selanjutnya semua akan dihisab satu persatu.
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ ﴿٢٥﴾ ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا
حِسَابَهُمْ ﴿٢٦﴾
”Sesungguhnya kepada Kami-lah
kembali mereka,” (QS. Al Ghaasyiyah. 25). ” kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab
mereka.”. (QS. Al Ghaasyiyah. 26).
Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa kebersamaan kita
dengan pasangan hidup kita ternyata sangatlah sebentar. Karena berapapun
usia kita saat ini, sesungguhnya sisa umur kita tetaplah sangat sedikit. Karena
kita tidak tinggal di dunia ini, melainkan hanya sebentar saja.
قَالَ إِن لَّبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَّوْ أَنَّكُمْ
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١١٤﴾
Allah berfirman: "Kamu
tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya
mengetahui". (QS. Al Mu’minuun. 114).
Ayat tersebut semakin menegaskan, bahwa sesungguhnya
kebersamaan kita dengan pasangan hidup kita (suami/isteri kita) ternyata sangatlah sebentar saja, meskipun
kebersamaan ini dapat bertahan hingga akhir hayat kita, karena
kita tidak tinggal di dunia ini melainkan hanya sebentar saja.
Saudaraku,
Karena fakta menunjukkan bahwa kebersamaan
kita dengan pasangan hidup kita di dunia ini ternyata sangatlah sebentar, maka optimalkan suami/isteri kita (yang
kebersamaannya dengan kita di dunia ini sangatlah sebentar) untuk meraih ridho-Nya. Yaitu dengan berupaya
semaksimal mungkin untuk memenuhi segala yang menjadi hak suami/isteri kita,
yang kesemuanya itu kita lakukan semata-mata karena
mencari keridhaan-Nya agar kita bisa mendapatkan tempat kesudahan
yang baik.
وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ
وَأَقَامُواْ الصَّلَاةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقْنَــٰـهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَؤُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَـــٰــئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ ﴿٢٢﴾
“Dan orang-orang yang sabar
karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan
serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik)”, (QS. Ar Ra’d. 22).
جَنَّـــٰتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا
وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّـــــٰــتِهِمْ وَالْمَلَـــٰــئِكَةُ
يَدْخُلُونَ عَلَيْهِم مِّن كُلِّ بَابٍ ﴿٢٣﴾
“(yaitu) surga `Adn yang
mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari
bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat
masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu”; (QS. Ar Ra’d. 23).
سَلَـــٰمٌ عَلَيْكُم
بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ ﴿٢٤﴾
“(sambil mengucapkan):
"Salamun `alaikum bima shabartum". Maka alangkah baiknya tempat
kesudahan itu”. (QS. Ar Ra’d. 24). "Salamun `alaikum bima shabartum"
artinya: “Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu”.
Semoga
bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar