Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (teman
alumni SMPN 1 Blitar) telah
bertanya: “Pak Imran, saya
bekerja di negara yang
mayoritas non-muslim. Sebelum
ini saya makan
daging ayam, sapi, kambing dan ikan tanpa ragu. Tapi beberapa minggu yang lalu saya telah melihat sebuah video penyembelihan
binatang ternak yang
dilakukan oleh sebuah perusahaan pensuplay daging,
yang mana dalam video itu ditampilkan tentang proses penyembelihan yang sebagiannya adalah secara tidak menurut Syari'at Islam, bahkan bisa dikatakan animal
abusing bahkan brutal. Semenjak melihat video itu, saya putuskan untuk tidak makan
daging kecuali ikan, teri, ikan asin. Bahkan waktu memasak saya juga tidak akan
menggunakan bumbu yang
menggunakan perasa daging (sejenis Royco, dsb). Bagaimana
pandangan Pak Imron atas tindakan saya ini? Apakah saya
terlalu berlebihan? (berkecimpung
dalam was-was)”.
Di negara tempat saya kerja ini,
mensuplai daging juga dari negara non-muslim.
Tapi saya juga
lihat di youtube. Ada peternak dari Texas (peternak kecil/menengah, bukan perusahaan besar pensuplai daging) yang menyembelih ternak menurut Syari'at Islam.
Saudaraku,
Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan adalah
sikap yang harus diperhatikan oleh setiap kita kaum muslimin, tak terkecuali
dalam hal memilih makanan yang halal dan baik.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلَـــٰـلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَــــٰنِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿١٦٨﴾
“Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 168).
Sedangkan yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan
semua yang meragukan diri kita dan menghilangkan semua yang membuat keburukan
pada diri kita serta mengambil yang lebih baik. Wara’ adalah sikap tidak
tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang
diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang agama.
Saudaraku,
Kita tidak boleh terlalu
memudahkan suatu masalah dan menganggap sepele, karena bisa jadi masalah tersebut
di sisi Allah adalah masalah yang besar. Perhatikan firman Allah dalam surat An-Nuur pada bagian akhir ayat 15 berikut
ini:
... وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ
عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
“..., dan kamu menganggapnya
suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS. An-Nuur. 15).
Surat An-Nuur ayat 15 selengkapnya adalah sebagai berikut:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ
بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
“(Ingatlah) di waktu kamu
menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu
apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang
ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS. An-Nuur. 15).
Sifat
wara’ ini merupakan sifat yang utama bagi seorang muslim. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو
مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْدِيِّ
قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ
وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ. (رواه الترمذى)
Abu Musa Al Anshari
menceritakan kepada kami, Abdullah bin Idris menceritakan kepada kami, Syu'bah
menceritakan kepada kami, dari Buraid bin Abu Maryam, dari Abu Al Haura'
As-Sa'di, ia berkata: Aku berkata kepada Hasan bin Ali, "Apa yang kamu
hapal dari ucapan Rasulullah?" Ia menjawab, "Aku hapal sebuah hadits
dari Rasulullah, 'Tinggalkanlah yang meragukanmu,
(dan gantilah) dengan apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran itu (menimbulkan) ketenangan dan kedustaan itu (menyebabkan timbulnya) keraguan'. (HR. Tirmidzi).
Saudaraku,
Dengan memperhatikan kedua dalil
di atas, maka bila ada seorang hamba yang sangat berhati-hati dalam masalah
makanan kemudian dia memilih untuk memasak dan mengolah sendiri semua makanan
yang dikonsumsinya, tentunya kita harus menghargai sikapnya tersebut sebagai
upaya dari sikap kehati-hatiannya. Apalagi jika hal ini kita kaitkan dengan
penjelasan hadits berikut ini:
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، لَحْمٌ
نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ؛ النَّارُ أَوْلَى بِهِ. (رواه أحمد)
“Tidak akan masuk surga daging
yang tumbuh dari (makanan) yang haram dan neraka lebih layak baginya”. (HR
Ahmad).
Namun
sampai dimana rasa kehati-hatian ini masih dianggap wajar? Apakah semua muslim
yang tinggal di negeri minoritas Islam, harus memasak dan mengolah sendiri
semua makanannya dan meninggalkan semua jenis makanan yang tersedia?
Mari
kita perhatikan penjelasan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ: إِنَّ
الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ
مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ
وَقَعَ فِى الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ
يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ
مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ
الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِىَ
الْقَلْبُ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya perkara yang
halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak
jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh
kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka
sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa
terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam
perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya
di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya
dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah
larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah adalah perkara-perkara yang
haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging,
jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika
sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa
itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadits di atas, diperoleh
penjelasan bahwa
sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada
perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak
diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia.
Sekali lagi, bahwa berdasarkan hadits di atas menunjukkan
bahwa memang ada hal-hal yang hukumnya tidak banyak
diketahui oleh kebanyakan orang. Hal ini juga menyiratkan
pengertian bahwa tetap ada kalangan orang yang mengerti hukumnya dengan pasti. Sedangkan yang mengetahuinya adalah kalangan ahli syariah yang melakukan
berbagai penyelidikan, upaya tak kenal lelah, serta proses penyelidikan kepada
berbagai macam dalil yang ada. Mereka inilah yang mengetahui hukum di balik hal-hal
yang syubhat di mata awam.
Masalahnya adalah karena jumlah
makanan itu sangat banyak dan tidak mungkin semuanya bisa dijatuhkan hukumnya
sebagai halal atau haram. Meskipun demikian, kita tak perlu khawatir karena Islam adalah agama
yang mudah.
...
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ... ﴿١٨٥﴾
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu ...” (QS. Al Baqarah. 185).
Terhadap sejumlah makanan yang kita belum mengetahui
hukumnya (sebagai halal atau haram), maka ketahuilah bahwa ada kaidah fiqih yang mengatakan
bahwa: pada asalnya segala sesuatu (muamalah) adalah
mubah, kecuali ada dalil dan bukti yang menunjukkan keharamannya.
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ
لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal
dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya
(memakruhkannya atau mengharamkannya)”.
لَا تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلَّا بِشَرْعِ اللهِ , وَلَا
تُحَرَّمُ عَا دَةٌ إِلَّا بِتَحْرِيْمِ اللهِ
“Tidak boleh
dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh Allah, dan tidak
dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah”.
Saudaraku,
Tidak menjadi kewajiban bagi seorang
muslim untuk menanyakan hal-hal yang tidak disaksikan sendiri. Misalnya:
Bagaimana cara penyembelihannya? Terpenuhi syaratnya atau tidak? Disebut asma
Allah atau tidak? Maka terhadap apapun yang tidak kita saksikan sendiri tentang
penyembelihannya, semuanya adalah halal buat kita sampai (kecuali) ada bukti
yang menunjukkan keharamannya. Dan disebutkan di dalam hadis agar membaca “bismillah” ketika
hendak memakan makanan yang belum diketahui tata cara penyembelihannya. (Wallahu a'lam).
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ، لَا نَدْرِي: أَذُكِرَ اسْمُ
اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ فَقَالَ: سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ قَالَتْ:
وَكَانُوا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالكُفْرِ. (رواه البخارى)
Dari Aisyah radliallahu
'anhuma, bahwa suatu kaum pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, "Suatu kaum datang kepada kami membawa daging, namun kami tidak
tahu apakah saat menyembelihnya menyebut nama Allah atau tidak?" Beliau
menjawab: "Kalau begitu sebutlah nama Allah, lalu makanlah oleh
kalian." Aisyah berkata, "Mereka adalah orang-orang yang baru masuk
Islam." (HR.
Bukhari).
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar