Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (teman sekolah di SMAN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Mas Imron
tolong
dijelaskan, apakah
do’a
seorang muslim nyampai
ke non-muslim?
Misal ada
non-muslim meninggal kita
ucapkan innaa lillaahi... dst. plus semoga khusnul
khotimah. Jazaakallaah”.
Saudaraku,
Pada dasarnya kita kaum muslimin tidak dilarang untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang non-muslim yang tiada memerangi
kita karena agama dan tidak pula mengusir kita dari negeri kita (non-muslim
yang bersikap baik kepada kita). Demikian penjelasan Al Qur’an surat Al
Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَــــٰـــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah tiada melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah. 8).
Saudaraku,
Dalam konteks hubungan
sosial-kemasyarakatan, pergaulan dengan non-muslim tidaklah dilarang dalam
agama Islam, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Mumtahanah tersebut
(termasuk menghadiri prosesi pemakaman mereka yang
non muslim).
Sedangkan terkait permohonan do’a yang ingin disampaikan kepada
non-muslim, tentunya kita harus lebih berhati-hati. Tidak sembarang do’a boleh
kita sampaikan kepada non-mulim. Terhadap mereka yang non-muslim, sebaiknya
kita do’akan agar mereka mendapat hidayah sebagaimana yang sudah dicontohkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana
Beliau pernah berdo’a agar Allah SWT. memberi hidayah kepada salah seorang dari dua lelaki, yaitu
Abu Jahal atau Umar bin Al-Khattab.
اللّٰهُمَّ
أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ
أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
Ya, Allah! Muliakanlah Islam
dengan salah satu di antara dua lelaki yang paling Engkau sukai, (yaitu) dengan
Abu Jahl atau dengan Umar bin Khaththab. (HR. Ahmad, Tirmidzi).
Namun do’a sebagaimana uraian di atas, hanya bisa kita
sampaikan kepada non-muslim yang masih hidup. Karena hanya bagi mereka yang masih
hidup saja, yang peluangnya untuk mendapatkan hidayah masih terbuka. Sedangkan bagi
mereka yang telah wafat dalam keadaan tidak beriman, maka pintu
taubat telah tertutup bagi mereka sehingga mereka akan tetap
dalam kekafiran untuk selama-lamanya. (Na’udzubillahi mindzalika!).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدَ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ. (رواه
الترمذى)
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa
Jalla akan
menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai di tenggorokan.” (HR.
At-Tirmidzi).
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ
السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْئَـــٰنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـــٰـــئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٨﴾
”Dan tidaklah taubat itu
diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga
apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan:
"Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima
taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi
orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”. (QS. An Nisaa’. 18).
Dengan demikian sudah tidak ada lagi do’a yang bisa kita
sampaikan kepada non-muslim yang telah wafat. Adapun
mendo’akannya dengan mengatakan: “al marhum” (artinya yang dirahmati) atau ”dia
telah berpulang ke rahmat Allah”, maka hal ini tidaklah dibenarkan karena
rahmat Allah hanya Allah khususkan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Begitu
pula mendo’akan agar yang bersangkutan mendapat ampunan dari Allah SWT.
Saudaraku,
Kita kaum muslimin tidak
diperkenankan untuk berdo’a memohonkan ampun kepada Allah bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat kita (apalagi
hanya teman kita). Hal ini berdasarkan penjelasan Al Qur’an dalam surat At
Taubah ayat 113 berikut ini:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَـــٰبُ الْجَحِيمِ ﴿١١٣﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam”. (QS. At
Taubah. 113).
Sedangkan terkait ucapan “innaa lillaahi”, itu adalah
kalimat istirja’ yang mana ucapan/kalimat selengkapnya adalah: “Innaa lillaahi wa
innaa ilaihi raaji`uun”, yang artinya adalah: “Sesungguhnya kami adalah milik
Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali”.
Saudaraku,
Jika ada orang non-muslim meninggal, kita boleh saja
mengucapkan kalimat istirja' tersebut, karena inti dari kalimat istirja’ adalah
bahwa kita semua milik Allah (baik yang muslim maupun yang non muslim) dan akan
kembali kepada-Nya.
Hanya saja tidak boleh kita do’akan dengan do’a seperti: semoga
tenang di sisi-Nya, semoga diampuni dan mendapat tempat tertinggi, semoga
dirahmati Allah, dst. Kita tidak boleh mendo’akan dengan do’a semacam ini, yaitu
do’a
diampuni, do’a
mendapat ketenangan dan sebagainya (sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian di atas).
Saudaraku bertanya: “Apakah do’a seorang muslim
nyampai
ke non-muslim?”.
Saudaraku,
Do’a seorang muslim
kepada non-muslim
yang sudah wafat, sudah pasti tidak akan pernah sampai, artinya sudah pasti
akan ditolak oleh Allah SWT. Perhatikan
penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
و
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ
بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ
جَاءَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا
جَهْلٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللهِ
بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ
آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ
يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَمَا وَاللهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ
فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ { مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ } وَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِي
أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ }. ... (رواه مسلم)
Dan telah menceritakan kepadaku
Harmalah bin Yahya at-Tujibi telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Wahb dia
berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata, telah
mengabarkan kepadaku Said bin al-Musayyab dari bapaknya dia berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi Abu Thalib di saat-saat dirinya tengah
menghadapi sakaratul maut. Beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abu
Umaiyyah bin al-Mughirah turut berada di sana.
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: “Paman! Ucaplah Dua Kalimah Syahadat, aku akan menjadi saksi
kamu di hadapan Allah”. Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah mencelah:
“Wahai Abu Thalib, sanggupkah kamu meninggalkan agama Abdul Muththalib?”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak berputus asa, malah tetap
mengajarnya mengucap Dua Kalimah Syahadat serta berkali-kali mengulanginya.
Sehingga Abu Thalib menjawab sebagai ucapan terakhir kepada mereka, bahwa dia
tetap bersama dengan agama Abdul Muththalib, dan enggan mengucapkan Kalimah
Syahadat.
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pun bersabda: “Demi Allah, aku akan mohonkan ampunan dari Allah
untukmu”, sehingga Allah menurunkan ayat:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ
أَصْحَـــٰبُ الْجَحِيمِ ﴿١١٣﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi
dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah
jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka
Jahannam”. (QS. At Taubah. 113).
Lalu Allah menurunkan
firman-Nya berkenaan dengan peristiwa Abu Thalib:
إِنَّكَ
لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَــٰـكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ
أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿٥٦﴾
“Sesungguhnya kamu (hai
Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al Qashash. 56). ... (HR. Muslim).
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar