Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Tuhan
kami ialah Allah (I)”:
Saudaraku juga bertanya tentang penjelasan surat Al
Muzzamil ayat 1 – 6.
Saudaraku,
Berikut ini kukutipkan surat Al Muzzamil ayat 1 – 6:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ ﴿١﴾ قُمِ الَّيْلَ إِلَّا
قَلِيلًا ﴿٢﴾ نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا ﴿٣﴾ أَوْ زِدْ عَلَيْهِ
وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا ﴿٤﴾ إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
﴿٥﴾ إِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا ﴿٦﴾
(1) Hai orang yang berselimut (Muhammad), (2) bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (3) (yaitu)
seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, (4) atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (5) Sesungguhnya
Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (6) Sesungguhnya bangun di
waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan. (QS. Al Muzzamil. 1 – 6).
Untuk menjelaskan ayat-ayat di atas, berikut ini
kusampaikan Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu
Ahmad Al-Mahalliy) serta Tafsir Ibnu Katsir.
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(1). (Hai orang yang berselimut) yakni Nabi Muhammad.
Asal kata al-muzzammil ialah al-mutazammil, kemudian huruf ta diidghamkan
kepada huruf za sehingga jadilah al-muzzammil, artinya, orang yang menyelimuti
dirinya dengan pakaian sewaktu wahyu datang kepadanya karena merasa takut akan
kehebatan wahyu itu.
(2). (Bangunlah di malam hari) maksudnya, salatlah di
malam hari (kecuali sedikit.)
(3). (Yaitu seperduanya) menjadi badal dari lafal
qaliilan; pengertian sedikit ini bila dibandingkan dengan keseluruhan waktu
malam hari (atau kurangilah daripadanya) dari seperdua itu (sedikit) hingga
mencapai sepertiganya.
(4). (Atau lebih dari seperdua) hingga mencapai dua
pertiganya; pengertian yang terkandung di dalam lafal au menunjukkan makna
boleh memilih. (Dan bacalah Alquran itu) mantapkanlah bacaannya (dengan
perlahan-lahan.)
(5). (Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu
perkataan) atau bacaan Alquran (yang berat) yang hebat. Dikatakan berat
mengingat kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya.
(6). (Sesungguhnya bangun di waktu malam) maksudnya,
melakukan salat sunah di malam hari sesudah tidur (lebih tepat) untuk khusyuk
di dalam memahami bacaan Alquran (dan bacaan di waktu itu lebih berkesan) lebih
jelas dan lebih mantap serta lebih berkesan. (QS. Al Muzzamil. 1 – 6).
Tafsir Ibnu Katsir:
Allah SWT.
memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk meninggalkan selimut yang menutupi dirinya
di malam hari, lalu bangun untuk menunaikan ibadah kepada Tuhannya dengan
melakukan qiyamul lail, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui
firman-Nya:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا
وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَـــٰهُمْ يُنفِقُونَ
﴿١٦﴾
Lambung mereka jauh
dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut
dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka. (As-Sajdah: 16)
Dan demikianlah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT. kepadanya seperti qiyamul lail. Hal itu
hukumnya wajib khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain
melalui firman-Nya:
وَمِنَ الَّيْلِ
فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ
أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا ﴿٧٩﴾
Dan pada sebagian
malam hari bershalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu;
mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al-Isra:
79)
Dan dalam surat ini
dijelaskan kadar waktu yang ia harus jalani untuk melakukan qiyamul
lail (salat sunat malam hari).
Untuk itu Allah SWT.
berfirman:
{يَا أَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُ قُمِ الَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا}
Hai orang yang berselimut (Muhammad),
bangunlah (untuk salat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya).
(Al-Muzzammil: 1 – 2)
Ibnu Abbas,
Ad-Dahhak, dan As-Saddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Hai
orang yang berselimut. (Al-Muzzammil: 1) Yakni hai orang yang sedang
tidur; menurut Qatadah, orang yang berselimut dengan pakaiannya. Ibrahim
An-Nakha'i mengatakan bahwa ayat ini diturunkan saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menyelimuti dirinya dengan jubahnya.
Syabib ibnu Bisyr
telah meriwayatkan dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna
firman-Nya: Hai orang yang berselimut.(Al-Muzzammil: 1) Allah SWT.
berfirman, "Hai Muhammad, engkau selimuti Al-Qur'an."
Firman Allah SWT:
{نِصْفَهُ}
(yaitu)
seperduanya. (Al-Muzzammil: 3)
Merupakan badal
atau kata ganti dari al-lail (malam hari), yakni di tengah malamnya.
{أَوِ انْقُصْ مِنْهُ
قَلِيلًا. أَوْ زِدْ عَلَيْهِ}
atau kurangilah
dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua.(Al-Muzzammil: 3 – 4)
Yaitu Kami
perintahkan kamu untuk melakukan salat di tengah malam, lebih sedikit atau
kurang sedikit tidak mengapa bagimu dalam hal tersebut.
Firman Allah SWT:
{وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ
تَرْتِيلًا}
Dan bacalah
Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. (Al-Muzzammil: 4)
Maksudnya, bacalah
Al-Qur'an dengan tartil (perlahan-lahan) karena sesungguhnya bacaan seperti ini
membantu untuk memahami dan merenungkan makna yang dibaca, dan memang
demikianlah bacaan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga Siti Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bila membaca Al-Qur'an yaitu
perlahan-lahan sehingga bacaan beliau terasa paling Iama dibandingkan dengan
orang Lain.
Di dalam kitab
Sahih Bukhari disebutkan melalui sahabat Anas r.a., bahwa ia pernah ditanya
tentang bacaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ia menjawab, bahwa bacaan Al-Qur'an yang dilakukan
oleh beliau panjang. Bila beliau membaca: Dengan nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Fatihah: 1) Maka beliau memanjangkan bismillah
dan memanjangkan Ar-Rahman dan juga memanjangkan bacaan Ar-Rahim.
Ibnu Juraij telah
meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah r.a., bahwa ia pernah
ditanya tentang qiraat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka Ummu Salamah menjawab bahwa
beliau membaca Al-Qur'an ayat demi ayat yang setiap ayatnya berhenti:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰــلَمِينَ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ مٰلِكِ
يَوْمِ الدِّينِ
Dengan nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segalapuji bagi Allah Tuhan semesta
alam, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan.
(Al-Fatihah: 1 – 4)
Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Daud serta Imam Turmuzi.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ
زِرٍّ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ: اقْرَأْ وارْقَ، ورَتِّل
كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ
تَقْرَؤُهَا".
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Sufyan, dari
Asim, dari Zar, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. yang telah bersabda: Dikatakan kepada pembaca
Al-Qur’an, "Bacalah dengan suara indah dan perlahan-lahan sebagaimana
engkan membacanya dengan tartil sewaktu di dunia, karena sesungguhnya
kedudukanmu berada di akhir ayat yang kamu baca!"
Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Nasai meriwayatkannya melalui hadis Sufyan As-Sauri dengan
sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan,
sahih.
Dalam pembahasan
yang terdahulu pada permulaan tafsir telah disebutkan hadis-hadis yang
menunjukkan anjuran membaca Al-Qur'an dengan bacaan tartil dan suara yang
indah, seperti hadis berikut:
"زَيِّنوا
الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ"
Hiasilah Al-Qur’an
dengan suara kalian!
"لَيْسَ مِنَّا مَنْ
لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ"
Bukan termasuk
golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Al-Qur’an.
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah bersabda setelah mendengar suara Abu Musa
Al-Asy'ari membaca Al-Qur'an:
"لَقَدْ أُوتِيَ هذا
مزمار مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ"
Sesungguhnya orang
ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara seruling keluarga Daud.
Maka Abu Musa
menjawab: “Seandainya aku mengetahui bahwa engkau mendengarkan bacaanku,
tentulah aku akan melagukannya dengan lagu yang terindah untukmu”.
Diriwayatkan dari
Ibnu Mas'ud, bahwa ia telah mengatakan: “Janganlah kamu membacanya dengan
bacaan seperti menabur pasir, jangan pula membacanya dengan bacaan tergesa-gesa
seperti membaca puisi (syair). Berhentilah pada hal-hal yang mengagumkan, dan
gerakkanlah hati untuk meresapinya, dan janganlah tujuan seseorang dari kamu
hanyalah akhir surat saja”. Diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Imam Bukhari
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Murrah; ia pernah mendengar
Abu Wa-il mengatakan, bahwa seseorang datang kepada Ibnu Mas'ud, lalu berkata:
“Tadi malam aku telah membaca surat Al-Mufassal (surat-surat yang pendek) dalam
satu rakaat”. Maka Ibnu Mas'ud menjawab: “Berarti bacaanmu seperti bacaan
terhadap syair (tergesa-gesa). Sesungguhnya aku telah mengetahui surat-surat
yang bacaannya digandengkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. di antara surat-surat Al-Mufassal itu”. Lalu Ibnu Mas'ud
menyebutkan dua puluh surat dari surat Al-Mufassal, dua surat tiap rakaatnya.
Firman Allah SWT.:
{إِنَّا سَنُلْقِي
عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا}
Sesungguhnya Kami
akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (Al-Muzzammil: 5)
Al-Hasan dan
Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah berat pengamalannya. Menurut
pendapat yang lain, berat saat diturunkannya karena keagungannya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Zaid ibnu Sabit-r.a., bahwa pernah diturunkan wahyu kepada
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, sedangkan paha Ibnu Mas'ud berada
di bawah paha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka terasa tulang pahanya patah karena tertindih oleh
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam saking
beratnya wahyu yang sedang turun kepadanya.
قَالَ الْإِمَامُ
أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْوَلِيدِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو
قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا
رَسُولَ اللهِ، هَلْ تُحِسُّ بِالْوَحْيِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أسمعُ صَلاصيل، ثُمَّ أسكتُ عِنْدَ ذَلِكَ، فَمَا مِنْ
مَرَّةٍ يُوحَى إِلَيَّ إِلَّا ظَنَنْتُ أَنَّ نَفْسِي تَفِيضُ"
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Lahi'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Amr ibnul Walid, dari
Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau rasakan saat wahyu
diturunkan kepadamu?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Saya mendengar suara gemerincingnya
lonceng, kemudian aku diam saat itu. Dan tidak sekali-kali diturunkan wahyu
kepadaku melainkan aku mengira bahwa nyawaku sedang dicabut”.
Hadis diriwayatkan
oleh Imam Ahmad secara munfarid. Dan dalam permulaan kitab Sahih Bukhari
disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
يُوسُفَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ: أَنَّ
الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
كيف يَأْتِيكَ الْوَحْيُ؟ فَقَالَ: "أَحْيَانًا يَأْتِينِي فِي مِثْلَ
صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ، وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيّ، فَيَفْصِمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيت
عَنْهُ مَا قَالَ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِيَ الْمَلَكُ رَجُلًا
فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ". قَالَتْ عَائِشَةُ: وَلَقَدْ
رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ
لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
Dari Abdullah ibnu
Yusuf, dari Malik, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa Al-Haris
ibnu Hisyam pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Bagaimanakah caranya wahyu datang kepadamu?"
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: Terkadang datang seperti bunyi gemerincingnya lonceng, dan itu
adalah wahyu yang paling berat bagiku; setelah wahyu selesai dariku, aku telah
hafal semua apa yang disampaikannya. Dan adakalanya Malaikat (Jibril) merupakan
diri sebagai seorang laki-laki kepadaku, lalu berbicara kepadaku dan aku hafal
semua apa yang disampaikannya. Siti Aisyah r.a. mengatakan, sesungguhnya
ia menyaksikan wahyu sedang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam di hari yang sangat dingin; setelah wahyu
selesai darinya, kening Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar bercucuran keringat. Demikianlah menurut lafaz
Imam Bukhari.
Imam Ahmad mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada
kami Abdur Rahman, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang
mengatakan bahwa sesungguhnya wahyu benar-benar diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di atas unta kendaraannya, maka unta
kendaraan beliau mendekam dengan meletakkan bagian dalam lehernya ke tanah.
Ibnu Jarir
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Saur, dari Ma'mar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila sedang menerima wahyu dan
berada di atas unta kendaraannya, maka unta kendaraannya berhenti dan mendekam,
ia tidak dapat bergerak hingga wahyu selesai diturunkan. Hadis ini berpredikat
mursal. yang dimaksud dengan jiran ialah bagian dalam leher unta,
artinya unta kendaraannya mendekam dan tidak dapat bergerak karena beratnya
wahyu yang sedang diturunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi Ibnu Jarir
memilih pendapat yang mengatakan bahwa wahyu itu berat dari kedua sisinya,
yakni sisi pengamalan dan saat menerimanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa wahyu itu terasa berat saat di dunia,
sebagaimana terasa berat pula kelak di hari kiamat dalam timbangan amalnya.
Firman Allah SWT:
{إِنَّ نَاشِئَةَ
الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا}
Sesungguhnya bangun
di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih
berkesan. (Al-Muzzammil: 6)
Abu Ishaq telah
meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas,
bahwa nasya-a artinya berdiri menurut bahasa Habsyah, yakni bangun
tidur. Umar, Ibnu Abbas, dan Ibnuz Zubair mengatakan bahwa malam hari
seluruhnya dinamakan nasyi-ah. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid
dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Dikatakan nasya-a apabila
orang yang bersangkutan bangun di waktu sebagian malam hari. Menurut riwayat
yang bersumber dari Mujahid, disebutkan sesudah waktu isya. Hal yang sama telah
dikatakan oleh Abu Mijlaz, Qatadah, Salim, Abu Hazim, dan Muhammad ibnul
Munkadir.
Kesimpulan, nasyi-atul
lail artinya bagian-bagian waktu dari malam hari, yang keseluruhannya
dinamakan nasyi-ah, juga indentik dengan pengertian saat-saatnya. Makna yang
dimaksud ialah bahwa melakukan qiyamul lail atau salat sunat di malam hari
lebih khusyuk dan juga melakukan bacaan Al-Qur'an padanya lebih meresap di
hati. Karena itu, disebutkan oleh firman-Nya:
{هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا
وَأَقْوَمُ قِيلًا}
adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al-Muzzammil: 6)
Yakni lebih
berkesan dalam hati dalam menunaikan bacaan Al-Qur'an di saat itu dan lebih
meresap dalam hati dalam memahami makna bacaannya ketimbang dalam salat sunat
siang hari. Karena siang hari merupakan waktu beraktivitas bagi manusia, banyak
suara gaduh dan kesibukan dalam mencari rezeki penghidupan.
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
{Tulisan ke-2 dari 2
tulisan}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar